• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POLA PENGGUNAAN EARPHONE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN POLA PENGGUNAAN EARPHONE"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA PENGGUNAAN EARPHONE DENGAN ANGKA KEJADIAN TINNITUS SERTA TINGKAT KEPARAHAN TINNITUS YANG DIUKUR DENGAN VISUAL

ANALOG SCALE DAN TINNITUS HANDICAP INVENTORY QUESTIONNAIRE PADA MAHASISWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh :

ADRIAN JOSHUA VELARO 170100138

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

HUBUNGAN POLA PENGGUNAAN EARPHONE DENGAN ANGKA KEJADIAN TINNITUS SERTA TINGKAT KEPARAHAN TINNITUS YANG DIUKUR DENGAN VISUAL

ANALOG SCALE DAN TINNITUS HANDICAP INVENTORY QUESTIONNAIRE PADA MAHASISWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

ADRIAN JOSHUA VELARO 170100138

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan hasil penelitian yang berjudul “Hubungan Pola Penggunaan Earphone Dengan Angka Kejadian Tinnitus Serta Tingkat Keparahan Tinnitus Yang Diukur Dengan Visual Analog Scale dan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire” yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di progam studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari banyak kesulitan yang diperoleh dalam menyelesaikan skripsi tugas akhir ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan proposal sampai dengan terselesaikannya laporan hasil penelitian ini.

Penulis menyampaikan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Kedua orangtua penulis, papa dan mama, Ir. Jakornat Sinaga dan Chandra Ruth Pasaribu yang selalu memberikan doa, semangat, dan nasihat, serta keyakinan bahwa penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya serta selalu memberikan hal-hal terbaik dalam hidup penulis.

2. Kedua adik yang penulis sayangi, Bintang Anugrah Yehezkiel dan Esther Indah Maduma yang selalu memberikan semangat dan keceriaan dalam keseharian penulis mengerjakan penelitian ini.

3. Dekan Fakultas Kedokteran USU, Dr .dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) yang telah memberikan sarana dan prasarana untuk mengikuti dan menyelesaikan program studi sarjana kedokteran kepada penulis.

4. Dr. dr. Devira Zahara, M.Ked(ORL-HNS), Sp.T.H.T-K.L(K) sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan waktu, perhatian, dan semangat untuk membimbing penulis sejak pembuatan proposal hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Pembimbing yang sangat peduli kepada penulis, baik dalam proses pembuatan skripsi hingga pengajaran tentang manajemen pribadi untuk bekal ke jenjang berikutnya.

(5)

5. dr. Bambang Prayugo, Sp.B, sebagai ketua penguji yang telah membantu dan memberikan arahan dan penilaian dalam penyusanan skripsi ini.

6. dr. Sake Juli Martina, Sp.FK, sebagai penguji yang telah membantu dan memberikan arahan dan penilaian dalam penyusunan skripsi ini.

7. dr. Riana Miranda Sinaga, M.Ked(DV), Sp.KK, sebagai dosen penasehat akademik yang telah bersama-sama penulis selama menempuh pendidikan program studi sarjana kedokteran di FK USU, telah banyak memberikan nasehat dan selalu peduli kepada anak bimbingan akademiknya.

8. dr. Fiqih Hilman, sebagai mentor yang saat ini sedang menempuh Pendidikan Profesi Dokter Spesialis THT-KL, selalu memberikan nasihat dan saran-saran dalam proses pembuatan skripsi dari awal hingga akhir, selalu terbuka dan bersedia untuk berdiskusi bersama.

9. dr. Yovi Eko Azhra, sebagai mentor yang membantu proses pembuatan skripsi penulis terutama tentang penulisan dan manajemen kata yang baik.

10. dr. Justika Usmadhani Aulya, sebagai mentor yang membantu proses pembuatan skripsi penulis terutama tentang sistematika penelitian, analisis data, dan lain-lain.

11. Muhammad Ikhsan Syafri Amir Nasution, S. Ked, sebagai mentor yang membantu proses pembuatan skripsi penulis dan yang selalu bersedia untuk berdiskusi dengan penulis.

12. Summer Soldier sebagai kelompok belajar terbaik sehingga penulis bisa sampai hingga tahap akhir pendidikan pre klinik. Semoga ilmu yang kita peroleh dan semua pembelajaran selama ini bisa jadi bekal untuk ke jenjang berikutnya.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.5.1 Bidang Penelitian ... 6

1.5.2 Bidang Pelayanan Masyarakat ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Anatomi Telinga ... 7

2.2 Fisiologi Pendengaran ... 12

2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising ... 14

2.4 Tinnitus ... 15

2.4.1 Definisi... 15

2.4.2 Klasifikasi ... 15

2.4.3 Epidemiologi ... 15

2.4.3 Patofisiologi ... 16

2.4.4 Gejala Klinis ... 17

2.4.5 Penegakkan Diagnosis ... 17

(7)

2.4.6 Tatalaksana ... 18

2.5 Earphone ... 19

2.5.1 Definisi... 19

2.5.2 Epidemiologi ... 20

2.5.3 Komponen Earphone ... 21

2.6 Pengaruh Pola Penggunaan Earphone dengan Tinnitus ... 22

2.7 Tingkat Keparahan Tinnitus akibat Earphone ... 23

2.8 Hubungan Hasil Visual Analog Scale (VAS) dengan Tinnitus Handicap Inventory (THI) Questionnaire ... 24

2.9 Kerangka Teori ... 26

2.10 Kerangka Konsep ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Rancangan Penelitian ... 27

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.3 Populasi dan Subjek Penelitian ... 27

3.3.1 Populasi ... 27

3.3.2 Subjek Penelitian ... 27

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 28

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 28

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 29

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 29

3.5.1 Instrumen Penelitian ... 29

3.5.2 Cara Kerja Penelitian ... 29

3.6 Metode Pengolahan Data ... 30

3.7 Metode Analisis Data ... 30

3.7.1 Analisis Univariat ... 30

3.7.2 Analisis Bivariat ... 30

3.8 Definisi Operasional ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Gambaran Distribusi Pola Penggunaan Earphone Responden ... 34

4.2 Gambaran Distribusi Tinnitus Responden ... 36

(8)

4.3 Hubungan Pola Penggunaan Earphone dengan Angka Kejadian Tinnitus . 37 4.4 Tingkat Keparahan Tinnitus yang Diukur dengan Visual Analog Scale dan

Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire ... 38

4.5 Etik Penelitian ... 39

4.6 Keterbatasan Penelitian ... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Anatomi Telinga ... 6

2.2 Telinga Tengah dan Osikel ... 7

2.3 Telinga Dalam… ... 9

2.4 Stimulasi Reseptor Pendengaran ... 12

2.5 Hubungan Skor VAS dan THI ... 23

2.6 Kerangka Teori ... 24

2.7 Kerangka Konsep… ... 24

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Features of Tinnitus Noise ... 15

3.1 Definisi Operasional ... 28

4.1 Gambaran Distribusi Pola Penggunaan Earphone... 32

4.2 Gambaran Distribusi Tinnitus. ... 36

4.3 Hubungan Pola Penggunaan Earphone dengan Angka Kejadian Tinnitus ... 36

4.4 Tingkat Keparahan Tinnitus yang Diukur dengan VAS ... 37

4.5 Tingkat Keparahan Tinnitus yang Diukur dengan THI-Q ... 38

(11)

DAFTAR SINGKATAN

CBF = Cochlear Blood Flow

CBT = Cognitive Behavioral Therapy

dB = Desibel

EU = European

FK = Fakultas Kedokteran

GForm = Google Form

Hz = Hertz

MEU = Medical Education Unit

MP3 = Moving Picture Expert Group Layer-3

ROS = Reactive Oxygen Species

RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat

SMA = Sekolah Menengah Atas

THI = Tinnitus Handicap Inventory

THT-KL = Telinga Hidung Tenggorokan-Bedah Kepala Leher

TRT = Tinnitus Retaining Therapy

UIN = Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

USU = Universitas Sumatera Utara

VAS = Visual Analog Scale

WHO = World Health Organization

ix

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Riwayat Hidup ... 54

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Untuk Calon Subjek Penelitian ... 56

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 57

Lampiran 4. Kuesioner ... 58

Lampiran 5. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 64

Lampiran 6. Surat Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 70

Lampiran 7. Surat Izin Penelitian ... 71

Lampiran 8. Hasil Kuesioner Pola Penggunaan Earphone ... 72

Lampiran 9. Hasil Kuesioner Tingkat Keparahan Tinnitus ... 75

Lampiran 10. Hasil Output Data ... 80

(13)

ABSTRAK

Latar Belakang: Earphone saat ini sangat banyak digunakan seiring dengan perkembangan teknologi audiovisual. Prevalensi pengguna earphone pada remaja sekitar 83,6% dari 436 remaja.

Penggunaan earphone yang berlebihan dapat menyebabkan tinnitus. Statistik prevalensi dunia menunjukkan 30-40% populasi dewasa pernah mengalami dalam hidupnya tinnitus dan 0,5-2,5%

kualitas hidupnya sangat terganggu oleh tinnitus. Tinnitus merupakan salah satu tanda penurunan fungsi pendengaran dan mampu memnyebabkan penurunan performa kognitif. Tinnitus pada mahasiswa kedokteran dapat mengganggu proses belajar mengajar sehingga dapat menurunkan kualitas mahasiswa kedokteran. Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan pola penggunaan earphone dengan angka kejadian tinnitus serta untuk mengetahui tingkat keparahan tinnitus yang diukur dengan Visual Analog Scale dan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional. Teknik pengambilan menunjukkan terdapat hubungan bermakna sampel yang digunakan adalah teknik consecutive sampling. Hasil:

Analisis bivariat antara pola penggunaan earphone dengan angka kejadian tinnitus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara diperoleh hasil (p = 0,017). Analisis univariat pada 148 responden menunjukkan pola penggunaan earphone berisiko sebanyak (64,2%) dan yang mengidap tinnitus sebanyak 52 orang (35,1%), dan tingkat keparahan tinnitus dengan jumlah responden 52 orang berdasarkan VAS adalah ringan (55,8%) dan berdasarkan THI-Q adalah ringan (53,9%). Pada pola penggunaan earphone diperoleh hasil analisis frekuensi penggunaan earphone 3-4 hari sebanyak (40,5%), volume penggunaan earphone 60-80%

sebanyak (54,1%), lama penggunaan earphone >3 tahun sebanyak (65,5%), dan durasi penggunaan earphone <1 jam sebanyak (38,5%). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara pola penggunaan earphone dengan angka kejadian tinnitus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kata kunci : Pola penggunaan earphone, tinnitus, Visual Analog Scale, Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire.

(14)

ABSTRACT

Background: Earphone nowadays are very widely used along with the audiovisual technology improvement. The prevalence of earphone user in teenager is around 83.6% of 426 teenagers.

Increased pattern of use of earphone can lead to tinnitus. World prevalence statistic shows around 10-20% of adult population had experienced tinnitus during their life and 0.5-2.5% severely affected by tinnitus that interferes their life quality. Tinnitus is one of the signs of hearing impairment and can also lead to decreased cognitive performance. Tinnitus in medical students can interfere in teaching process which can lead to decreased quality of medical students.

Objective: To determine wheteher there was a relationship between the pattern of use of earphone with the incidence of tinnitus and also to determine the severity of tinnitus which measured using Visual Analog Scale and Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire tinnitus among students of the Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara. Method: This study is an analytic study with cross sectional design. The sampling technique used was consecutive sampling. Result: Bivariate analysis between earphone use patterns and the incidence of tinnitus among students of the Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara obtained results (p = 0.017). Univariate analysis on 148 respondents showed a pattern of risky earphone use (64.2%) and 52 people with tinnitus (35.1%), and tinnitus severity with 52 respondents based on VAS was mild (55.8%) and based on THI-Q is light (53.9%). In the pattern of earphone use, the results of the analysis of the frequency of using earphones for 3-4 days were (40.5%), the volume of earphone use was 60-80%

(54.1%), the length of time using earphones> 3 years was (65.5%), and the duration of using earphones <1 hour (38.5%). Conclusion: There is a relationship between the pattern of earphone use and the incidence of tinnitus among students at the Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara.

Keywords: Pattern of use of earphone, tinnitus, Visual Analog Scale, Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan teknologi audiovisual saat ini berdampak besar terhadap inovasi pada pemutar musik dan peranti dengar untuk mendengarkan musik dari pemutar musik dan perangkat audio lain. Berbagai jenis peranti dengar telah banyak diproduksi dengan kapasitas dan fungsi hasil suara yang bervariasi, seperti:

earphone, headset, headphone, dan lain-lain (Hadinoto, 2014).

Pada suatu penelitian didapatkan bahwa sebanyak 88,2% dari 1407 anak menggunakan pemutar musik pribadi yang dikenal dengan MP3 dan 27,4%

diantaranya mendengarkan musik dengan volume maksimal dalam waktu yang lama tanpa jeda. Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa dari 490 subjek penelitian, 94,3% diantaranya menggunakan pemutar musik pribadi dan hampir seluruhnya menggunakan alat tersebut selama 1-3 jam setiap harinya selama tiga tahun. Sedangkan peranti dengar yang paling banyak digunakan adalah jenis earphone. Hal ini menunjukkan betapa maraknya pemakaian earphone pada masyarakat, khususnya remaja (Pellegrino et al., 2013).

Penggunaan earphone untuk mendengarkan musik sudah menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat, khususnya remaja. Menurut WHO Regional Asia Tenggara (2007) berdasarkan data-data yang diambil pada negara berkembang dan negara maju didapatkan remaja dan dewasa muda yang berumur 12-35 tahun sebanyak 50% terpapar dengan suara pada level yang tidak aman dari penggunaan perangkat audio pribadi, 40% terpapar dari suara yang berpotensial berbahaya dari tempat hiburan, dan 10% dari tempat lainnya (World Health Organization (WHO), 2012). Hampir setiap remaja gemar mendengarkan musik melalui earphone selama berjam-jam setiap hari. Berdasarkan suatu penelitian pada remaja, sebanyak 83,6% dari 426 remaja menggunakan earphone. Mereka mendengarkan lagu sembari melakukan aktivitas lain seperti dalam perjalanan jauh, berolahraga bahkan saat tidur (Zain, Warto and Masri, 2016).

1

(16)

Pada suatu penelitian oleh The EU’s Scientific Committee on Emerging and Newly Identified Health Risks (2008) sekitar 5 sampai 10 % pengguna earphone memiliki risiko kehilangan pendengaran permanen jika mereka mendengarkan musik lebih dari 1 jam sehari dengan volume kebisingan yang tinggi setidaknya untuk kurun waktu lima tahun. Gangguan pendengaran dalam hal ini hilangnya pendengaran disebabkan oleh paparan bising secara terus menerus yang sesungguhnya dapat dicegah dengan sangat mudah (Rydzynski and Jung, 2002).

Rabinowitz mendapatkan sebuah kasus, seorang remaja perempuan mengalami peningkatan ambang dengar menetap sebesar 30 dB pada frekuensi 4.000 Hz. Remaja tersebut diketahui memiliki kebiasan mendengarkan musik berjam-jam melalui earphone. Menurut Robinowitz stereo earphone dapat memiliki tingkat kebisingan hingga 120db sedangkan tingkat kebisingan lokomotif kereta hanya 100dB (Rabinowitz, 2010).

Penggunaan earphone berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan paparan bising kronik yang dapat menyebabkan penurunan sensitifitas pendengaran dan munculnya tinnitus. Gangguan pendengaran yang tidak dikoreksi dapat menimbulkan penurunan kualitas hidup, isolasi diri, penurunan kegiatan sosial dan perasaan seperti tidak diikutsertakan, yang dapat meningkatkan prevalensi gejala depresi, dan itu dipengaruhi oleh tinnitus yang sering muncul (Dobie, 1995; Rydzynski and Jung, 2002; Arlinger, 2003). Tinnitus merupakan salah satu keluhan yang cukup sering ditemukan pada praktik kedokteran keluarga (Yew, 2014). Tinnitus merupakan persepsi bunyi yang diterima oleh telinga penderita tanpa adanya rangsangan bunyi dari luar (Rydzynski and Jung, 2002; Mazurek et al., 2010; Kim et al., 2015; Nugroho, Muyassaroh and Naftali, 2015). Asal kata tinnitus dari bahasa latin yaitu “tinnere”

yang memiliki arti berdenging atau mengeluarkan suara denging (Soepardi et al., 2007; Atik, 2014).

Tinnitus dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu subjektif dan objektif. Tinnitus subjektif adalah tinnitus yang hanya dapat dirasakan oleh telinga penderita dan tidak dapat dirasakan oleh telinga orang lain. Tinnitus objektif merupakan tinnitus yang disebabkan karena adanya sumber suara berasal dari organ dalam telinga

(17)

seperti pada kelainan vaskular atau disfungsi otot (Soepardi et al., 2007; Langguth et al., 2013; Yew, 2014; Nugroho, Muyassaroh and Naftali, 2015).

Sekitar 30-40% populasi dewasa pernah mengalami tinnitus di dalam hidupnya, dan 0,5-2,5% diantara populasi tersebut kualitas hidupnya terganggu (Franke et al., 2012). Statistik prevalensi dunia melaporkan bahwa sekitar 10-20%

populasi pernah mengalami gejala tinnitus (Almeida et al., 2016). Sebuah studi di Korea Selatan melaporkan bahwa prevalensi tinnitus sebanyak 20,7% pada usia besar dari 19 tahun. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan Jepang sebanyak 11,9%, China 14,5%, dan Inggris 18,4% (Kim et al., 2015). Divisi Neurotologi bagian THT-KL RSCM melaporkan bahwa ada sekitar 256 pasien yang datang ke poliklinik dengan keluhan tinnitus yang disebabkan oleh berbagai macam sebab (Bashiruddin and Soetirto, 2012). Divisi Neurotologi bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil periode 1 Januari-31 Desember 2016 mencatat bahwa ada 22 pasien yang datang ke poliklinik dengan keluhan tinnitus (Sakinah, 2017). Hal yang menarik adalah prevalensi tinnitus lebih tinggi daripada jumlah pasien yang mencari pengobatannya (Henry, Dennis and Schechter, 2005).

Tinnitus dapat memberikan dampak negatif yang signifikan dalam kualitas hidup penderitanya (Nondahl et al., 2011; Alhazmi et al., 2016). Tingkat keparahan tinnitus dapat dipengaruhi akibat penggunaan earphone, pola penggunaan earphone yang berlebihan dapat meningkatkan tingkat keparahan tinnitus yang dirasakan oleh penderita tinnitus. Hal itu disebabkan oleh peningkatan paparan bising yang diterima oleh penderita tinnitus (Mazurek et al., 2010; Park et al., 2014; Kurniawati, 2017). Tinnitus yang berat dapat menyebabkan gangguan memori dan konsentrasi karena tinnitus memberikan pengaruh negatif pada performa kognitif otak (Rossiter, Stevens and Walker, 2006; Tegg-Quinn et al., 2016).

Tingkat nyeri akibat bising tinnitus yang dirasakan penderita dapat diukur dengan Visual Analog Scale yang kemudian membagi menjadi 5 derajat, yaitu, tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat, dan nyeri sangat berat.

Lalu untuk tingkat keparahan tinnitus dapat diukur menggunakan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire yang dapat mengklasifikasikan tinnitus

(18)

menjadi 5 derajat keparahan berdasarkan dampak negatif tinnitus dalam hidup penderita, yaitu sangat ringan atau tidak ada kecacatan, ringan, sedang berat, dan sangat berat (Figueiredo, De Azevedo and Oliveira, 2009).

Fenomena maraknya penggunaan earphone pada remaja di Indonesia membuat peneliti ingin untuk mengetahui pola penggunaan earphone serta hubungannya dengan angka kejadian tinnitus. Selain itu, penelitian ini dianggap sangat penting dilakukan karena tinnitus merupakan salah satu tanda penurunan fungsi pendengaran dan mampu menyebabkan penurun performa kognitif.

Apabila pada mahasiswa kedokteran didapati penurunan fungsi pedengaran atau penurunan performa kognitif, proses belajar mengajar dapat terganggu yang kemudian dapat menyebabkan penurunan kualitas mahasiswa kedokteran yang merupakan penerus tenaga medis Indonesia di masa depan.

Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui pola penggunaan earphone serta hubungannya dengan angka kejadian tinnitus serta tingkat keparahan tinnitus yang diukur dengan Visual Analog Scale dan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019 menggunakan desain cross-sectional.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : Apakah terdapat hubungan antara pola penggunaan earphone dengan angka kejadian tinnitus serta tingkat keparahan tinnitus yang diukur dengan Visual Analog Scale dan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019?

1.3 Hipotesis

Terdapat hubungan antara pola penggunaan earphone dengan angka kejadian tinnitus serta tingkat keparahan tinnitus yang diukur dengan Visual Analog Scale dan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

(19)

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui hubungan antara pola penggunaan earphone dengan angka kejadian tinnitus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pola penggunaan earphone pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

2. Mengetahui angka kejadian tinnitus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

3. Mengetahui tingkat nyeri tinnitus yang diukur dengan Visual Analog Scale dan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

4. Mengetahui tingkat keparahan tinnitus yang diukur dengan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

5. Mengetahui frekuensi penggunaan earphone pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

6. Mengetahui volume penggunaan earphone pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

7. Mengetahui lama penggunaan earphone pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

8. Mengetahui durasi penggunaan earphone pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

(20)

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bidang Penelitian

1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengetahuan tentang pola penggunaan earphone pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019

2. Penelitian ini memberikan informasi tentang hubungan penggunaan earphone terhadap angka kejadian tinnitus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

3. Penelitian ini memberikan informasi tentang tingkat keparahan tinnitus yang diukur dengan Visual Analog Scale dan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

1.5.2 Bidang Pelayanan Masyarakat

1. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang penggunaan earphone yang baik dan benar pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta dampak buruk dari penggunaan earphone yang berlebihan.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Telinga terbagi menjadi tiga bagian: (Tortora and Derrickson, 2014).

a. Telinga eskternal (luar), berfungsi untuk mengumpulkan gelombang suara dan meneruskannya ke bagian dalam.

b. Telinga tengah, berfungsi untuk menyampaikan vibrasi suara ke oval window (jendela oval).

c. Telinga internal (dalam), berfungsi sebagai tempat beradanya reseptor pendengaran dan keseimbangan.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga (Tortora and Derrickson, 2014)

Telinga eksternal terdiri dari aurikula, saluran auditori eksternal, dan membran timpani atau gendang telinga. Aurikula terbentuk dari kartilago elastin yang dilapisi oleh kulit. Bagian yang melingkar dari aurikula tersebut disebut heliks dan bagian inferiornya disebut lobul. Aurikula menempel pada kepala dengan ligamen dan otot-ototnya. Saluran auditori eksternal berbentuk tabung dan otot-ototnya.

Saluran auditori eksternal berbentuk tabung dengan panjang 2,5cm (1inci) yang terletak di tulang temporal dan berakhir di gendang telinga. Saluran auditori

(22)

eksternal mengandung sedikit rambut dan kelenjar keringat khusus yang disebut kelenjar serumen yang berfungsi untuk menyekresi kotoran telinga atau serumen.

Gendang telinga dibungkus oleh epidermis dan dilapisi oleh epitel kuboid selapis.

Di antara lapisan epitel terdapat jaringan ikat yang mengandung kolagen, serat elastin, dan fibroblas (Tortora and Derrickson, 2014).

Rambut telinga dan serumen berguna untuk mencegah debu dan benda asing memasuki telinga. Selain itu, serumen juga berfungsi untuk mencegah kerusakan dan melembutkan kulit pada saluran auditori eksternal. Normalnya serumen akan kering lalu keluar dari saluran telinga dengan mekanisme tubuh alami (Tortora and Derrickson, 2014).

Gambar 2.2 Telinga Tengah dan Osikel (Tortora and Derrickson, 2014) Telinga tengah adalah ruangan berisi udara yang berukuran kecil di bagian tulang temporal dan dilapisi oleh epitel. Bagian ini dipisahkan dari telinga luar oleh gendang telinga dan telinga internal dengan oval window (jendela oval) dan round window (jendela bundar) yang berbentuk membran. Di dalam telinga tengah, terdapat tulang-tulang yang saling berartikulasi melalui sendi-sendi sinovial. Tulang-tulang ini dinamakan berdasarkan bentuknya, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tangkai maleus melekat di permukaan bagian dalam gendang telinga. Kepala maleus tersambung dengan badan inkus oleh ligamen kecil. Inkus tersambung dengan kepala stapes. Kaki stapes menempel pada oval window. Di

(23)

bawa oval window terdapat round window yang diselubungi oleh membran timpani sekunder (Tortora and Derrickson, 2014).

Selain ligament, pada osikel (tulang-tulang pendengaran) juga terdapat dua otot skelet (rangka) kecil. Kedua otot skelet itu adalah muskulus tensor timpani yang dipersarafi oleh cabang mandibular nervus trigeminus (V) dan muskulus stapedius yang dipersarafi oleh nervus fasial (VII). Muskulus tensor timpani berfungsi untuk membatasi pergerakan dan meningkatkan tegangan pada gendang telinga guna mencegah kerusakan telinga dalam akibat suara keras. Sedangkan pada muskulus stapedius berfungsi untuk mengurangi getaran yang besar akibat suara keras untuk menjaga oval window dari kerusakan dan juga mengurangi sensitivitas pendengaran (Tortora and Derrickson, 2014).

Pada dinding depan telinga tengah, terdapat suatu celah yang disebut sebagai tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Tuba eustachius pada kondisi normal akan tertutup pada bagian ujungnya di daerah faring. Saat menelan atau menguap, tuba eustachius terbuka, membiarkan udara masuk dan keluar dari telinga tengah sampai tekanan pada telinga tengah sama dengan tekanan atmosfer (lingkungan). Tuba eustachius juga bisa menjadi jalan masuk patogen dari hidung dan tenggorok ke dalam telinga (Tortora and Derrickson, 2014).

Telinga dalam disebut juga dengan labirin karena bentuk salurannya yang sangat kompleks. Telinga dalam dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu labirin tulang di bagian luar dan labirin membranosa di bagian dalam. Labirin tulang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kanalis semisirkularis, vestibulum yang mengandung reseptor keseimbangan, dan koklea yang mengandung reseptor pendengaran. Labirin tulang dilapisi oleh periosteum dan mengandung cairan yang disebut perilimfe yang mengelilingi labirin membranosa. Secara kimiawi perilimfe mirip dengan cairan serebrospinal. Labirin membranosa yang berbentuk tabung panjang dan berlapis epitel memiliki bentuk yang sama dengan labirin tulang. Epitel labirin membranosa juga mengandung cairan yang disebut

(24)

endolimfe. Level ion kalium (K+) pada endolimfe biasanya sangat tinggi jika dibandingkan dengan cairan ekstraseluler, ion kalium ini memiliki peran dalam penghantaran sinyal auditori (Tortora and Derrickson, 2014).

Gambar 2.3 Telinga Dalam (Tortora and Derrickson, 2014)

Di tengah labirin tulang, terdapat vestibulum yang terlihat seperti tabung berbentuk oval. Pada vestibulum, labirin membranosa memiliki dua saluran yang mirip kantung, yaitu utrikulus dan sakulus. Di bagian superior dan posterior dari vestibulum terdapat tiga tulang kanalis semisirkularis yang masing-masing terletak pada sudut yang sama antara satu dengan yang lain. Berdasarkan posisinya, tiga tulang kanalis semisirkularis anterior, posterior, dan lateral.

Kanalis semisirkularis anterior dan posterior terletak vertikal, sedangkan kanalis semisirkularis lateral terletak horizontal. Ampula merupakan sebuah pelebaran di ujung setiap kanal. Bagian labirin membranosa yang terletak di dalam tulang kanalis semisirkularis disebut duktus semisirkularis. Struktur ini terhubung dengan utrikulus pada vestibulum. Cabang vestibular dari nervus vestibulokoklearis (VIII) terdiri dari nervus ampular, utrikular, dan sakular (Tortora and Derrickson, 2014).

Bagian anterior dari vestibulum adalah koklea, sebuah saluran tulang yang berbentuk spiral yang mirip dengan rumah siput. Koklea terbagi menjadi tiga bagian yakni duktus koklearis (skala media), skala vestibuli, dan skala timpani.

(25)

Duktus koklearis adalah terusan dari labirin membranosa ke arah koklea yang terisi oleh endolimfe. Di atas duktus koklearis terdapat skala vestibuli yang berujung di oval window, sedangkan dibawahnya terdapat skala timpani yang berujung di round window. Skala vestibuli dan skala timpani merupakan bagian dari labirin tulang pada koklea, maka dari itu ruang tersebut terisi oleh perilimfe.

Pada bagian apeks koklea yang disebut helikotrema tidak dipisahkan oleh duktus koklearis, berbeda dengan seluruh bagian lain pada skala vestibuli dan skala timpani (Tortora and Derrickson, 2014).

Skala vestibuli dan duktus koklearis dipisahkan oleh membran vestibular (membrane Reissner), sedangkan skala timpani dan duktus koklearis dipisahkan oleh membran basilar. Membran basilar mengandung 20.000 sampai 30.000 serat basilar yang keluar dari sumbu tulang di koklea, yaitu modiolus, menuju ke dinding luar. Serat ini kaku dan elastis pada salah satu ujung bebasnya sehingga dapat bergetar seperti buluh harmonika (Tortora and Derrickson, 2014).

Pada membran basilar terdapat organ korti yang mengandung 16.000 sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran. Sel rambut terbagi menjadi dua, yaitu sel rambut dalam yang terdiri dari satu baris dan sel rambut luar yang terdiri dari tiga baris. Pada ujung apikal setiap sel rambut terdapat 40-80 stereosilia yang menyentuh atau tertanam pada endolimfe duktus koklearis. Pada ujung basal, sel rambut dalam dan sel rambut luar bersinaps dengan neuron sensorik orde pertama dan dengan neuron motorik dari cabang koklear nervus vestibulokoklearis (VIII).

Sel rambut dalam memiliki sinaps lebih banyak meskipun sel rambut luar lebih banyak. Sekitar 90-95% sel rambut dalam bersinaps dengan neuron sensorik orde pertama, sedangkan sel rambut luar hanya sekitar 90% yang bersinaps dengan neuron motorik (Tortora and Derrickson, 2014).

(26)

2.2 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar melalui beberapa tahap kejadian berikut:

1. Aurikula menangkap gelombang suara dan diteruskan ke saluran pendengaran eksternal.

2. Gelombang suara yang sampai ke gendang telinga menyebabkan pergantian tekanan tinggi dan rendah, sehingga gendang telinga bergetar maju dan mundur.

Jarak perpindahannya bergantung pada intensitas dan frekuensi gelombang suara.

Gendang telinga bergetar pelan terhadap frekuensi suara yang rendah dan bergetar kencang terhadap frekuensi suara yang tinggi.

3. Area tengah gendang telinga terhubung oleh maleus yang juga ikut bergetar.

Getaran itu kemudian diteruskan ke inkus dan kemudian ke stapes.

4. Stapes bergerak ke luar dan ke dalam, sehingga oval window tertarik ke luar dan terdorong ke dalam. Oval window bergetar 20 kali lebih keras daripada gendang telinga karena osikel secara efisien mentransmisikan getaran kecil yang tersebar di area permukaan yang luas (gendang telinga) menjadi getaran besar pada permukaan yang lebih kecil (oval window).

5. Pergerakan oval window menghasilkan gelombang tekanan cairan perilimfe di koklea. Oval window yang terdorong ke dalam membuat perilimfe pada skala vestibuli ikut terdorong.

6. Gelombang tekanan ditransmisikan dari skala vestibuli ke skala timpani kemudian ke round window, menyebabkan round window terdorong keluar ke telinga tengah.

7. Selama gelombang tekanan mendorong dinding skala vestibuli dan skala timpani, gelombang tekanan tersebut juga mendorong membran vestibular ke depan dan ke belakang, sehingga membentuk gelombang tekanan di endolimfe pada duktus koklearis.

(27)

8. Gelombang tekanan di endolimfe menyebabkan membran basilar bergetar yang kemudian menyebabkan sel-sel rambut pada organ korti bergerak ke arah yang berlawanan dari membran tektorial. Hal ini menyebabkan membengkoknya stereosilia yang kemudian menciptakan potensial reseptor dan mengaktifkan impuls saraf.

Gambar 2.4 Stimulasi Reseptor Pendengaran (Tortora and Derrickson, 2014) Gelombang bunyi dalam berbagai frekuensi menghasilkan getaran yang berbeda pada tiap segmen membran basilar. Setiap segmen dari membran basilar akan teraktifkan oleh frekuensi tertentu. Serat basilar pada membran basilar di basis koklea (bagian yang lebih dekat ke oval window) lebih pendek dan lebih kaku, sehingga bunyi dengan frekuensi keras sekitar 20.000 Hz akan menstimulasi getaran terbaik pada segmen ini. Sedangkan pada apeks koklea (bagian yang dekat dengan helikotrema), memiliki serat basilar lebih panjang dan lebih fleksibel, sehingga bunyi dengan frekuensi rendah sekitar 20 Hz akan menyebabkan getaran terbaik pada segmen ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kerasnya suara setara dengan instensitas gelombang suara. Gelombang suara dengan intensitas tinggi menyebabkan getaran yang lebih besar pada membran basilar, sehingga menyebabkan terbentuknya frekuensi impuls saraf yang lebih tinggi memasuki otak. Suara yang lebih keras juga menstimulasi selsel rambut dalam jumlah yang lebih banyak (Sherwood, 2010).

(28)

2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Mekanisme gangguan pendengaran akibat bising merupakan kombinasi perubahan faktor mekanik dan faktor metabolik. Faktor mekanik yang dimaksud adalah adanya paparan bising kronis yang merusak sel rambut koklea dan faktor metabolik adalah adanya paparan bising yang menyebabkan vasokonstriksi kapiler sehingga terjadi hipoksia (Ferrite and Santana, 2005; Ding, Yan and Liu, 2019). Gangguan pendengaran akibat bising juga merupakan interaksi dari faktor lingkungan dan faktor genetik (Laer et al., 2002; Van Eyken et al., 2006).

Paparan bising menyebabkan pembentukan 8-isoprostaglandin F2α (8iso- PGF2α) didalam koklea yang merupakan marker terjadinya proses reaktif oksigen dan berpotensi menyebabkan vasokonstriksi sehingga menurunkan aliran darah ke koklea atau Cochlear Blood Flow (CBF) (Miller, Brown and Schacht, 2003;

Seidman and Standring, 2010).

Penilaian tuli akibat bising secara histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada organ korti di koklea, terutama sel-sel rambut. Kerusakan yang terjadi pada struktur organ tertentu bergantung pada intensitas dan lama paparan.

Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar seperti stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kaku (Daniel, 2007; Kujawa and Liberman, 2009).

Bising yang intensitasnya melebihi 85 dB atau lebih dapat menyebabkan kerusakan pada organ korti. Hal-hal yang mempengaruhi paparan bising adalah intensitas bising, frekuensi bising, lama paparan bising dan apakah mendapatkan pengobatan atau tidak (Fine, 2010; Bashiruddin and Soetirto, 2012). Semakin meningkatnya paparan bising maka akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia, kerusakan pada stria vaskular, kolaps sel-sel penunjang, hilangnya jaringan fibrosit dan kerusakan serabut saraf (Daniel, 2007; Kujawa and Liberman, 2009). Gangguan pendengaran akibat bising biasanya dapat disertai dengan tinnitus (Rambe, 2003).

(29)

2.4 Tinnitus

2.4.1 Definisi

Tinnitus merupakan sebuah keadaan presepsi bunyi yang diterima tanpa adanya sumber luar (Holmes and Padgham, 2011; Atik, 2014). Bunyi ini dapat terdengar seperti hissing, berdenging, berdering atau seperti suara music (Langguth et al., 2013; Atik, 2014). Tinnitus setidaknya berlangsung selama 5 menit dan terjadi lebih dari satu kali seminggu (Henry, Dennis and Schechter, 2005).

2.4.2 Klasifikasi

Terdapat dua klasifikasi tinnitus, yaitu berdasarkan etiologinya dan berdasarkan sifatnya. Klasifikasi tinnitus menurut etiologi atau sumbernya dibagi menjadi cochlear atau extra cochlear. Klasifikasi menurut sifatnya dibagi menjadi tinnitus subjektif atau objektif (Holmes and Padgham, 2011; Oghu, Nkiruka and Somefun, 2012; Nugroho, Muyassaroh and Naftali, 2015).

Tinnitus objektif merupakan tinnitus yang berasal dari salah satu organ dalam telinga yang dapat juga di dengar oleh pemeriksa dengan menggunakan stetoskop.(Atik, 2014). Tinnitus objektif yang jarang terjadi ini biasanya melibatkan sistem vaskular dimana disebabkan oleh adanya aliran turbulen dari arteri karotis atau vena jugularis (Atik, 2014).

Tinnitus subjektif sulit dinilai secara objektif, dikarenakan hal ini tidak bisa dirasakan oleh pemeriksa dan hanya dapat dirasakan dan diukur oleh pasien (Han et al., 2009). Tinnitus dapat disebabkan oleh banyak penyebab, namun salah satu penyebab tinnitus yang paling banyak adalah paparan suara bising (Langguth et al., 2013).

2.4.3 Epidemiologi

Berdasarkan sebuah penelitian di Amerika, menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang dewasa mengidap tinnitus dan mayoritas tidak melakukan konsul kesehatan (Baguley, McFerran and Hall, 2013; Bhatt, Lin and Bhattacharyya, 2016). Pada

(30)

suatu penelitian di Jerman, sekitar 12-15% populasi menmiliki gejala tinnitus (Adamchic, Hauptmann and Tass, 2012). Prevalensi global dari tinnitus adalah 10-33% populasi dewasa (Oghu, Nkiruka and Somefun, 2012). Penelitian di Wisconsin menyatakan bahwa 10,6% dari 3285 peserta mengidap tinnitus subjektif (Nondahl et al., 2011).

2.4.3 Patofisiologi

Patofisiologi tinnitus masih belum dapat benar-benar dijelaskan, meskipun sudah banyak teori yang digunakan dalam penelitian (Baguley, 2002; Baldo et al., 2006). Banyak laporan kasus yang melaporkan tinnitus berhubungan dengan usia, hilangnya pendengaran, paparan bising, dan penyebab lainnya yang dapat berasal dari telinga luar, tengah, dalam atau yang berhubungan dengan saraf (Langguth et al., 2013; Atik, 2014).

Tinntius akut dapat disebabkan oleh infeksi, pengobatan, trauma kepala atau leher, paparan bising yang berlebihan, kotoran telinga atau perubahan tekanan darah, dan metabolism (Folmer, Martin and Shi, 2004). Tinnitus kronik juga bisa disebabkan oleh kondisi-kondisi di atas, tetapi yang paling banyak mempengaruhi adalah kelainan yang berhubungan dengan tuli konduktif atau tuli senosorineural (Crummer and Hassan, 2004).

Tinnitus juga dapat berhubungan dengan penyakit meniere atau acustic neuroma (Holmes and Padgham, 2011). Tinnitus juga dapat berhubungan dengan kerusakan saraf pendengaran seperti pada microvascular compression syndrome atau disebabkan oleh tumor (Hain, 2006).

(31)

2.4.4 Gejala Klinis

Tinnitus dibedakan sesuai dengan gejala yang terjadi. Tinnitus mempunyai gejala telinga berdenging selama minimal 5 menit yang berlangsung lebih dari dua kali seminggu (Henry et al., 2010).

Tabel 2.1 Features of Tinnitus Noise (John and Turner, 1990; Phonak, 2014) Noise Criteria Possible Features

Onset Sudden, Gradual

Pattern Pulsatile, intermittent, constant, fluctuating Site Right of left ear, both ear, within head Loudness Wide range, varying over time

Quality Pure tone, noise, polyphonic Pitch Very high, High, Medium, Low

2.4.5 Penegakkan Diagnosis

Tes diagnostik belum ada yang dapat menilai secara objektif karena diagnosis tinnitus hanya didasarkan pada keluhan pasien sehingga tinnitus bersifat subjektif (El Refaie et al., 2004). Anamnesis yang dilakukan pada pasien untuk menilai kondisi yang dialami dan suara yang didengar dinilai sangat penting dan sangat membantu untuk membedakan antara tinnitus subjektif dan objektif, juga untuk mengetahui tinnitus pulsatile dan non-pulsatile (Holmes and Padgham, 2011).

Pemeriksaan labor, imaging, atau tes lainnya dapat dilakukan oleh pemeriksa berdasarkan riwayat kondisi medis pasien seperti melakukan periauricular auscultation atau palpasi, evaluasi liang telinga untuk melihat apakah membran timpani masih utuh atau kelainan saraf kranial yang

(32)

berhubungan dengan gejala hilangnya pendengaran sangat berguna dalam menentukan tinnitus objektif (Crummer and Hassan, 2004; Folmer, Martin and Shi, 2004). Berbeda dengan tinnitus subjektif, sesuai definisinya, pada tinnitus subjektif tidak dapat dilakukan hal demikian karena hanya penderita yang dapat merasakan gejala yang muncul (Baldo et al., 2006).

2.4.6 Tatalaksana

Perbedaan etiologi, kompleksitas, dan banyaknya penyebab yang dapat mempengaruhi kejadian tinnitus membuat pengobatannya menjadi sebuah tantangan (Baguley, 2007). Saat ini, secara umum tidak ada tatalaksana yang efektif untuk tinnitus, dimana pengobatan lebih di fokuskan untuk mengurangi keluhan dengan melakukan irigasi telinga, memberikan obat-obat seperti antipiletik, dan stapedectomy (Ayache et al., 2003; Thrasher dan Allen, 2005).

Dalam pengobatan tinnitus, fokus utamanya adalah bagaimana kita membuat pasien memahami dan tidak terlalu terganggu pada gejala yang dirasakan, serta memastikan bahwa pasien memegang peranan dalam mengontrol gejala yang dirasakan (Folmer, 2002).

Oleh karena itu pengobatan tinnitus lebih banyak melibatkan terapi psikis dan edukasi seperi yang paling banyak digunakan adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) and Tinnitus Retaining Therapy (TRT) (Jastreboff, 2007;

Martinez-Devesa et al., 2020). CBT dilakukan dengan mekanisme manajemen psikis seperti perhatian yang terseleksi, pembiaran dan fokus dalam mengurangi stress daripada mencoba untuk mengubah kondisi presepsi yang diterima (Rief et al., 2005; Londero et al., 2006). TRT dilakukan dengan “directive counseling”

bersama dengan noise generator yang dirancang untuk membuat seseorang menjadi terbiasa dengan cara memberikan efek suara dibawah level tinnitus selama 6-12 per hari termasuk saat tidur (Zachriat and Kröner-Herwig, 2004).

(33)

2.5 Earphone

2.5.1 Definisi

Earphone adalah suatu alat yang berguna untuk mengubah gelombang suara menjadi gelombang listrik yang dapat disambungkan dari alat pemutar musik ke telinga. Earphone yang ada di Indonesia ada 2 jenis, yaitu earphone earbud yang penggunaannya langsung diletakkan di luar telinga dan earphone inear yang digunakan dengan dimasukkan ke dalam bagian depan lubang telinga (Herman, 2011).

Earphone in-ear memiliki eartip yang dimasukkan ke dalam bagian depan lubang telinga sehingga dapat meredam suara dari lingkungan luar yang hampir tidak terdengar, sehingga pengguna dapat dengan leluasa mendengarkan musik dengan intensitas yang sangat keras tanpa gangguan dari lingkungan sekitar (Vogel et al., 2009). Sedangkan earphone earbud memiliki bentuk yang kecil sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana, namun penggunaannya tidak meredam kebisingan di luar dengan baik dibandingkan canalphone sehingga memungkinkan pengguna untuk meningkatkan intensitas (Herman, 2011).

Teknologi earphone sebagai alat bantu dalam mendengarkan suara dan berbicara dengan perangkat komunikasi atau komputer bukan hal baru dalam teknologi telekomunikasi (Wongso, Danes and Supit, 2013). Sebuah earphone memiliki tiga bagian di dalamnya yang terdiri dari sebuah transduser yang berfungsi mengonversikan energi listrik menjadi energi suara, saluran yang berfungsi untuk menghantarkan suara menuju telinga, dan serangkaian penghubung antara alat pemutar musik dengan kanal telinga. Hasil dari transduser nantinya akan diteruskan ke saluran suara tersebut menuju telinga yang dikumpulkan pada suatu titik yang kemudian akan diteruskan melalui busa penyumbat pada ujung kanal (Valente, Valente and Goebel, 1992). Speaker yang terdapat pada earphone memiliki lapisan tipis yang membentang dari bagian kepala earphone dan menyebabkan pengaliran suara akustik yang dihasilkan menjadi lebih baik untuk dapat didengar (DeKalb, 2004).

(34)

2.5.2 Epidemiologi

Dengan kemudahan teknologi saat ini, penggunaan earphone semakin meningkat (Herrera et al., 2016). Dengan meningkatkannya teknologi audiovisual dan telekomunikasi saat ini penggunaan earphone untuk mendengarkan musik dari telepon genggam dan penggunaan perangkat audio lain meningkat (Laoh, Rumampuk and Lintong, 2015). Paparan yang lama dan berulang dari penggunaan earphone dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Howard et al., 2011).

Ditemukan dalam sebuah penelitian bahwa pengguna earphone adalah sebanyak 84% (Warner-Czyz and Cain, 2016).

Penelitian lainnya menemukan penggunaan earphone pada laki-laki adalah sebanyak 51,8% dan perempuan sebanyak 48,2% (Oghu, Nkiruka and Somefun, 2012). Tinnitus ditemukan pada 12,2% pengguna earphone (Sunny et al., 2012).

Penelitian yang dilakukan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan bahwa jenis earphone earbud paling banyak digunakan untuk mendengarkan musik sebanyak 63,4% dan disusul dengan supra-aural serta canalphone sebanyak 14,6% (Herman, 2011). Penelitian yang serupa juga dilakukan terhadap mahasiswa Kedokteran di Universitas Sam Ratulangi, Manado didapatkan sebanyak 63% yang sering menggunakan earphone (Laoh, Rumampuk and Lintong, 2015). Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa SMA Negeri di kota Padang, ditemukan proporsi penggunaan earphone di kalangan siswa tersebut sebanyak 83,6% dan 27,5% di antaranya berasal dari SMA Negeri 1 Padang yang merupakan sekolah dengan proporsi pengguna terbanyak (Zain, Warto and Masri, 2016).

Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Syiah Kuala didapatkan sekitar 17,65% yang mengalami gangguan pendengaran akibat bising pada earphone (Syakila, 2014). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Shah et.al (2009) sebanyak 37,5% dari sampel penelitian yang diteliti mengalami gangguan pendengaran akibat bising earphone (Syakila, 2014).

(35)

2.5.3 Komponen Earphone

Komponen penggunaan earphone terdiri dari dalam lama penggunaan, kekerapan, durasi, dan intensitas penggunaan earphone serta jenis earphone yang digunakan (Almeida and Silvestre, 2013). Intensitas bising, kekerapan, lama pajanan perhari, kepekaan individu, dan umur menjadi faktor-faktor yang dapat memberikan pengaruh dalam timbulnya gangguan pendengaran (Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, 2011). Intensitas bising yang ditangkap oleh telinga berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar (Buchari, 2007). Paparan bising pada intensitas tinggi dapat memicu timbulnya berbagai gejala yang berbeda, seperti tidak toleransi terhadap intensitas suara tertentu, pusing, nyeri telinga, kesulitan memahami kata-kata lawan bicara, rasa berdenging di telinga hingga gangguan pendengaran (Gonçalves and Dias, 2014). Paparan bising pada durasi dan intensitas tertentu menyebabkan terjadinya kehilangan sel rambut luar dan dalam dengan cepat yang disertai dengan kerusakan bahkan kematian pada organ korti, iskemia pada telinga dalam, dan peningkatan aktivitas metabolik yang akan memicu peningkatan pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan peroksidasi lemak di telinga (Duthey, 2013).

Sebuah studi kasus menunjukkan bahwa 61,83% populasi kerap setiap hari menggunakan earphone, 19,83% tiga kali seminggu, dan 8,40% satu kali seminggu (Herrera et al., 2016). Musik yang didengar melaui earphone di dalam telinga memliki intensitas yang lebih besar (Laoh, Rumampuk and Lintong, 2015). Populasi cenderung meningkatkan intensitas earphone saat berada di tempat yang terpapar suara bising (Manisha et al., 2015). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 16,03% menggunakan earphone dengan intensitas yang sangat keras, dan 37,40% pada intensitas keras (Herrera et al., 2016). Selain itu earphone dalam telinga tidak sepenuhnya dapat mencegah masuknya suara-suara dari lingkungan sekitar sehingga penggunanya biasa akan meningkatkan intensitas earphone untuk mengurangi hal tersebut (Rahadian et al., 2010).

(36)

2.6 Pengaruh Pola Penggunaan Earphone dengan Tinnitus

Pola Penggunaan Earphone dibagi menjadi empat kriteria, yaitu frekuensi, durasi, volume bising, dan lama penggunaan earphone. Empat kriteria ini menjadi penilaian utama untuk menentukan pola penggunaan earphone yang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi dua, pola penggunaan earphone yang berisiko dan tidak berisiko (Almeida et al., 2016; Zhang, Jeske and Young, 2017).

Sebuah penelitian di Israel mengenai frekuensi penggunaan earphone yang diukur menggunakan aplikasi melaporkan bahwa sebagian besar peserta melaporkan mendengarkan earphone selama 4-7 hari dalam seminggu, dengan rata-rata kekerapan menggunakan 6 kali dalam satu hari (Kaplan-Neeman, Muchnik and Amir, 2017). Sebanyak 74,43% populasi mendengarkan earphone sekurangnya sebanyak 5 hari dalam minggu dan sebanyak 68% di antaranya mengalami tinnitus (Almeida and Silvestre, 2013). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa remaja dan dewasa muda menggunakan earphone sebanyak 66,7% setiap hari, sebanyak 19,7% menggunakannya beberapa kali dalam satu minggu, dan sebagian lainnya menggunakan earphone satu kali dalam seminggu (Warner-Czyz and Cain, 2016).

Penggunaan earphone dalam kurun waktu yang lama dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Wongso, Danes and Supit, 2013). Dengan paparan yang berlangsung terus menerus akan meningkatkan risiko hilangnya pedengaran (Levey et al., 2012). Faktor yang paling banyak berkontribusi akan terjadinya tinnitus adalah sebanyak 20% disebabkan oleh paparan durasi bising yang lama (Folmer, Martin and Shi, 2004).

Sebuah penelitian menunjukkan data bahwa 39% laki-laki, 18%

perempuan undergraduate, 40% laki-laki, 18% perempuan graduate mendengarkan musik melalui earphone selama lebih dari 4 jam dalam satu hari, hanya sekitar 5% dari kedua populasi tersebut yang menggunakan earphone kurang dari 1 jam per hari dengan 30% diantara mengalami tinnitus (Shah et al., 2009).

(37)

Volume bising yang tinggi saat menggunakan earphone dapat mengakibatkan gangguan pendengaran (Laoh, Rumampuk and Lintong, 2015).

Durasi penggunaan earphone dalam satu hari juga mempengaruhi gangguan pendengaran. Berdasarkan dua hal tersebut, penelitian saat ini menyarankan aturan 60-60 dalam penggunaan earphone. Aturan 60-60 menyatakan bahwa penggunaan earphone yang baik dalam durasi tidak lebih dari 60 menit dan volume bising tidak lebih dari 60% dari volume bising maksimum (Fligor, 2007;

Jarvis, 2011). Salah satu gejala gangguan yang paling banyak dikeluhkan pasien adalah tinnitus, dimana terdapat 38,93% yang positif mengalami tinnitus (Herrera et al., 2016). Usia mahasiswa di temukan lebih banyak mendengarkan musik melalui earphone dengan suara keras. Di antara 189 mahasiswa di kampus New York ditemukan rata-rata paparan bising yang mereka dengarkan melalui earphone adalah 93,6 dB atau sekitar 60% dari maksimal volume bising, dengan rata-rata penggunaan selama satu minggu adalah 18,3 jam atau rata-rata 2,3 jam per hari (Levey et al., 2012).

2.7 Tingkat Keparahan Tinnitus akibat Earphone

Earphone merupakan penyebab gangguan pendengaran akibat bising karena earphone adalah perangkat audio pribadi yang saat ini paling sering digunakan oleh masyarakat karena sangat mudah didapatkan (Pellegrino et al., 2013; Syakila, 2014; Herrera et al., 2016).

Berdasarkan penelitian diperoleh 33% pengguna pengguna earphone menderita tinnitus. Tingkat kebisingan yang didengarkan dapat mempengaruhi tingkat keparahan tinnitus penderitanya, data menunjukkan 13,75% mengidap tinnitus sangat ringan, 32,5% mengidap tinnitus ringan, 37,5%% mengidap tinnitus sedang, dan 12,5% mengidap tinnitus berat, dan 3,75% mengidap tinnitus sangat berat. Semakin tinggi tingkat bisingnya, maka semakin berat tingkat keparahan tinnitusnya (Mazurek et al., 2010; Al-Swiahb and Park, 2016;

Kurniawati, 2017; Sasidharan, Rai and Somayaji, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Park menunjukkan bahwa 32.1% dari 1.488.440 peserta penelitian merupakan pengguna earphone. Pada penelitian

(38)

tersebut juga diperoleh bahwa 926.368 peserta penelitian merupakan pengidap tinnitus dalam waktu satu tahun terakhir, 84,3% dari 926.368 peserta penelitian tidak merasakan gangguan akibat tinnitus, 15,1% dari 926.368 peserta penelitian merasakan gangguan akibat tinnitus, dan 0,6% dari 926.638 peserta penelitian merasa sangat terganggu akibat tinnitus (Park et al., 2014).

2.8 Hubungan Hasil Visual Analog Scale (VAS) dengan Tinnitus Handicap Inventory (THI) Questionnaire

VAS dan THI sering digunakan pada pemeriksaan tinnitus. VAS digunakan untuk menilai tingkat keparahan tinnitus dengan meminta pasien untuk menilai volume dan gangguan dengan skor 0-10. Pemeriksaan VAS dapat dipahami dan diaplikasikan dengan mudah oleh pasien, namun ini hanya pemeriksaan awal karena dapat dipengaruhi oleh nilai budaya, intelektual, dan psikologis (Figueiredo, De Azevedo and Oliveira, 2009).

THI saat ini digunakan sebagai alat diagnostik dan skrining yang telah diakui oleh berbagai konsensus untuk mengukur dampak tinnitus dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kebutuhan klinis, THI telah dikembangkan sehingga dapat mengklasifikasikan tingkat keparahan tinnitus menjadi lima kategori (slight, mild, moderate, severe and catastrophic). Terdapat tiga poin utama yang dinilai oleh THI, yaitu dampak fungsional akibat tinnitus (gangguan konsentrasi dan anti social), dampak emosional akibat tinnitus (marah, frustasi, dan depresi), dan dampak katastrofik akibat tinnitus (perasaan putus asa, ketakutan mengidap penyakit parah, kehilangan kendali, dan ketidakmampuan dalam bekerjasama) (Figueiredo, De Azevedo and Oliveira, 2009; Fackrell and Hoare, 2014).

(39)

Pada penelitian yang dilakukan pada 43 penderita tinnitus dilakukan pemeriksaan VAS dan THI, lalu kedua hasil dibandingkan dengan Uji Korelasi Spearman’s. Hasilnya menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara VAS dan THI (rs = 0.564; p = 0.0001; n = 43) sehingga kesimpulannya semakin tinggi hasil VAS, semakin tinggi juga hasil dari THI (Figueiredo, De Azevedo and Oliveira, 2009; Raj-Koziak et al., 2018).

Gambar 2.5 Hubungan skor VAS dan THI (Figueiredo, De Azevedo and Oliveira, 2009)

(40)

Peningkatan Paparan

Bising

Tingkat Keparahan Tinnitus

Pola Penggunaan Earphone 2.9 Kerangka Teori Lama Durasi Frekuensi Volume

Pola Penggunaan

Earphone

Perubahan Faktor Mekanik:

 Kerusakan sel rambut koklea

 Hilangnya stereosilia

 Kolaps sel-sel penunjang

 Kerusakan serabut saraf

 Hilangnya jaringan fibrosit

 Kerusakan organ korti

Perubahan Faktor Metabolik:

 Vasokontriksi hingga hipoksia

 Penurunan CBF

 Kerusakan stria vaskular

Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Tinnitus

Hasil VAS Hasil THI

Gambar 2.6 Kerangka Teori 2.10 Kerangka Konsep

Gambar 2.7 Kerangka Konsep

Hasil VAS

Hasil THI Tinnitus

Tingkat Keparahan

Tinnitus

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional (potong lintang), dimana pengambilan data hanya dilakukan sekali saja (Sastroasmoro & Ismael, 2017). Penelitian bertujuan untuk melihat hubungan pola penggunaan earphone dengan angka kejadian tinnitus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan mengisi kuesioner secara online melalui Google Form. Pemilihan tempat dipilih dengan alasan memudahkan proses pengumpulan data yang diperlukan sehingga diharapkan dapat memenuhi besar sampel minimal penelitian. Waktu pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2020 sampai dengan Agustus 2020.

3.3 Populasi dan Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019 yang menggunakan earphone.

3.3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah bagian dari populasi yang mewakili populasi yang akan diambil. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017-2019. Mahasiswa tersebut masih aktif kuliah, tidak sedang cuti, dan bersedia menjadi responden peneliti.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Besar sampel dapat dihitung dengan

(42)

menggunakan rumus penelitian analitik terhadap dua proporsi dengan variabel kategorik:(Dahlan, 2016)

(𝑍1−𝛼⁄ √2𝑃(1 − 𝑃) + 𝑍1−𝛽 √𝑃1(1 − 𝑃1) + 𝑃2(1 − 𝑃2))2

𝑛 = 2

(𝑃1 − 𝑃2)2 Keterangan:

n: Besar Sampel

P1: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu (Pengguna earphone berisiko), (dari jurnal=75%=0,75)(Putri, 2016) P2: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu

(Pengguna earphone tidak berisiko) (dari jurnal=25%=0,25)(Putri, 2016) P: Rata-rata P1 dan P2 (𝑃1+𝑃2) (0,5)

2

𝑍1−𝛼⁄2 : Nilai Z pada derajat kemaknaan (1,96)

𝑍1−𝛽 :Nilai Z pada kekuatan uji power (1,64)

𝑛 = (1,96√2 × 0,5(1 − 0,5) + 1,64 √0,75(1 − 0,75) + 0,25(1 − 0,25))2 (0,75 − 0,25)2

𝑛 = 23

Hasil perhitungan di atas menunjukkan jumlah subjek penelitian yang dibutuhkan minimal 23 orang tiap kelompok. Total subjek penelitian adalah 46 orang.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

 Mahasiswa Kedokteran USU angkatan 2017-2019 yang bersedia bepartisipasi dalam penelitian.

 Pengguna earphone.

(43)

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Mahasiswa Kedokteran USU angkatan 2017-2019 yang sedang mengambil cuti akademik.

2. Tidak mengisi kuesioner dengan lengkap 3. Membatalkan menjadi responden

4. Pernah terpapar suara bising dalam jangka waktu lama seperti yang bertempat tinggal di daerah industri.

5. Memiliki riwayat trauma kepala.

6. Sedang mengalami infeksi telinga dan saluran napas.

3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Instrumen Penelitian

 Kuesioner Pola Penggunaan Earphone

 Kuesioner Tinnitus

 Visual Analog Scale

 Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire

3.5.2 Cara Kerja Penelitian

Penelitian ini menggunakan kuesioner yang telah dimodifikasi untuk menentukan apakah responden mengalami tinnitus atau tidak.

Responden dipilih berdasarkan sistem consecutive sampling dan diberikan kuesioner pola penggunaan earphone, dan nantinya yang termasuk ke dalam kriteria inklusi akan dilanjutkan dengan pengisian kuesioner tinnitus. Kemudian, berdasarkan hasil kuesioner pola penggunaan earphone, responden dibagi menjadi dua golongan, yaitu berisiko dan tidak berisiko dan dihubungkan dengan angka kejadian tinnitus berdasarkan hasil kuesioner tinnitus. Berdasarkan kuesioner tinnitus, mahasiswa yang diduga mengidap tinnitus akan melanjutkan pengisian Visual Analog Scale dan Tinnitus Handicap Inventory Questionnaire.

(44)

3.6 Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

1. Editing, peneliti pada tahap ini akan memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh responden, apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam pengisiannya.

2. Coding, mengklasifikasikan kategori-kategori dari data yang didapat dan dilakukan dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk angka pada masing-masing kategori.

3. Tabulating, data yang telah diberi kode kemudian dikelompokkan, lalu dihitung dan dijumlahkan dan kemudian disajikan dalam bentuk tabel.

4. Cleaning, proses pengolahan data dengan melakukan pengecekan kembali data yang sudah di entry untuk melihat ada tidaknya kesalahan terutama kesesuaian pengkodean yang telah ditetapkan dengan pengetikan melalui komputer. Selanjutnya dianalisis dengan bantuan perangkat lunak SPSS.

5. Computer output, proses akhir dalam pengolahan data dimana hasil analisis oleh komputer kemudian dicetak.

3.7 Metode Analisis Data

3.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat disajikan dalam bentuk tabel dengan menampilkan distribusi frekuensi sehingga terlihat gambaran deskriptif semua variabel yang terdapat dalam penelitian.

3.7.2 Analisis Bivariat

Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square namun bila tidak memenuhi syarat, digunakan uji alternatif Fisher exact. Berdasarkan hasil perhitungan statistik dapat dilihat kemaknaan hubungan antar variabel berdasarkan probabilitas. Signifikansi sebesar 0,05 mempunyai kesempatan untuk benar sebesar 95% dan untuk salah sebesar 5%. Jika angka signifikansi sebesar 0,05, maka tingkat kepercayaan adalah sebesar 95%. Jika probabilitas (p-value)

≤0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan Tesis

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan limpahan karunia-Nya lah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Penelitian dan menyusun Laporan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, karunia, dan penyertaan-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pengaruh

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS