• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 1970/1971

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 1970/1971"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

NOTA KEUANGAN DAN

RANCANGAN ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 1970/1971

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

(2)

BAB I U M U M

A. Kebijaksanaan Keuangan 1.1. Pendahuluan

Tahun anggaran 1970-1971 merupakan tahun kedua daripada pelaksanaan Pelita I, 1969-1974. Pelaksanaan pembangunan ini sesuai dengan garis-garis kebijaksanaan yang telah dituangkan dalam berbagai ketetapan hasil-hasil sidang MPRS tahun 1966, terutama Ketetapan MPRS XXIII/MPRS/1966. Ketetapan MPRS No.XLI/MPRS/1968 menentukan bahwa tugas pokok Kabinet Pembangunan adalah melanjutkan tugas-tugas Kabinet Ampera dengan perincian sebagai berikut :

(a) Menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat untuk berhasilnya pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun dan pemilihan umum

(b) Menyusun dan melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun

(c) Melaksanakan Pemilihan Umum sesuai dengan Ketetapan MPRS No.XLII/MPRS/1968.

(d) Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30 S/PKI dan setiap perongrongan, penyelewengan serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

(e) Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh Aparatur Negara dari Tingkat Pusat sampai Daerah.

Sudah barang tentu tugas pembangunan itu tidak akan dapat berhasil bila beberapa prasyarat tidak dipenuhi atau tidak ada.

Prasyarat-prasyarat yang diperlukan untuk berhasilnya pembangunan itu adalah : (1) Adanya kepemimpinan negara dan pemerintahan yang sepenuhnya merasa dan

bertindak terikat pada usaha-usaha pembangunan;

(2) Terciptanya suatu mentalitas rakyat yang yakin akan berhasilnya suatu pembangunan, sehingga dengan demikian bersedia untuk memikul segala biaya dan akibat-akibatnya dan turut serta didalamnya;

(3) Adanya kesepakatan tentang sasaran-sasaran dan cara-cara untuk mencapai sasaran pembangunan tersebut, sasaran-sasaran dan cara-cara mana haruslah cukup realistis mengingat kondisi, waktu dan tempat; dengan perkataan lain, harus ada suatu rencana pembangunan yang baik dan realistis;

(3)

(4) Memiliki sumber-sumber, baik yang bersifat manusia, kekayaan alam maupun modal, yang dapat dikerahkan untuk melaksanakan usaha-usaha pembangunan; dan akhirnya (5) Memiliki perangkat kelembagaan masyarakat yang membantu bahkan turut serta di

dalam usaha-usaha pembangunan.

Suatu usaha pembangunan mensyaratkan adanya suatu ketenangan dan kemantapan di dalam bidang moneter. Atas dasar itulah Pemerintah telah melaksanakan usaha-usaha stabilisasi di dalam tahun 1967/1968. Tahun 1969 merupakan tahun pertama kali di mana Indonesia mengalami suatu kemantapan harga meskipun jumlah uang yang beredar terus bertambah (lihat grafik). Stabilisasi moneter bukanlah menjadi tujuan akhir Pemerintah.

Kestabilan moneter merupakan salah satu prasyarat ekonomis obyektif yang memungkinkan berhasilnya usaha-usaha pembangunan ekonomi. Berkat tekad dan kesungguhan masyarakat bersama Pemerintah untuk sepenuhnya mengabdikan dan melibatkan diri di dalam usaha stabilisasi dan rehabilitasi itu, maka prasyarat pembangunan tersebut dapat dicapai dalam suatu jangka waktu yang relatif pendek.

Usaha pembangunan itu sendiri memerlukan pembiayaan yang besar sekali. Seluruh sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang dapat dihasilkan dan disisihkan oleh masyarakat, baik oleh Pemerintah maupun oleh sektor swasta, merupakan pembatasan yang mencerminkan sampai di mana usaha-usaha pembangunan dapat dilaksanakan. Pembatasan- pembatasan pembiayaan ini pulalah yang mengharuskan Pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pilihan di antara banyak bidang sasaran. Untuk itulah harus diadakan prioritas- prioritas tertentu.

Kondisi-kondisi obyektif yang ada di Indonesia mengharuskan Pemerintah untuk menentukan sektor pertanian sebagai prioritas utama kegiatan-kegiatan pembangunan Repelita 1969/1970 – 1973/1974. Dengan terarahnya kegiatan pembangunan pada sektor pertanian, diusahakn pula secara simultan pembangunan sektor-sektor perekonomian lain yang akan menunjang sektor pertanian tersebut. Sebaliknya dengan berkembangnya sektor pertanian itu sendiri diharapkan akan mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.

Jelaslah bahwa berhasilnya usaha pembangunan sesuai dengan strategi umum Repelita itu bergantung pada 2 hal, yakni : (a) berlangsungnya terus stabilisasi moneter sebagai landasan pembangunan dan (b) tersedianya dana-dana pembiayaan pembangunan serta pengarahan kegiatan-kegiatan pembangunan. Di samping itu adanya tekad dan kesungguhan masyarakat untuk sepenuhnya mengabdikan dan melibatkan diri di dalam usaha-usaha pembangunan tersebut merupakan pula prasyarat. Dengan demikian tugas untuk tetap menjaga stabilisasi di samping meningkatkan suber-sumber pembiayaan membawa

2

(4)

konsekuensi terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang ekonomi – keuangan.

1.2. Landasan Pokok Kebijaksanaan APBN 1970/1971

Landasan pokok Kebijaksanaan APBN 1970/1971 didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :

(1) Sesuai dengan ketetapan MPRS XXIII/MPRS/1966 Pemerintah akan tetap menyelenggarakan kebijaksanaan integral yang mencakup kebijaksanaan budget, kebijaksanaan fiskal, kebijaksanaan upah, kebijaksanaan neraca pembayaran luar negeri dan sebagainya disertai dengan perubahan-perubahan institusionil dan proseduril guna lebih memantapkan stabilisasi sebagai prasyarat pembangunan dan sesuai dengan skala prioritas pembangunan yang telah dituangkan dalam Repelita 1969/1970 – 1973/1974.

(2) Tetap melaksanakan budget management yang disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi di Indonesia dan dengan tahap-tahap pembangunan.

(3) Mengingat akan bertambah besarnya pembiayaan pembangunan di satu pihak dan makin terbatasnya bantuan program yang nilai lawannya dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan, maka bagian penerimaan dalam negeri yang sejak pelaksanaan tahun pertama PELITA disisihkan sebagai tabungan Pemerintah untuk pembiayaan pembangunan harus lebih ditingkatkan dalam tahun anggaran 1970/1971.

(4) Kebijaksanaan di bidang anggaran yang dianut adalah tetap anggaran berimbang.

Tetapi anggaran berimbang ini sifatnya tidak statis. Mengingat di dalam anggaran berimbang tersebut harus diciptakan public savings yang makin lama makin besar bagi pembiayaan pembangunan, maka anggaran tersebut merupakan anggaran berimbang yang dinamis.

(5) Tetap melaksanakan pengintegrasian antara rencana fisik PELITA dengan anggaran pembangunan dari APBN untuk menjamin berhasilnya pelaksanaan rencana pembangunan.

(6) Pelaksanaan anggaran tetap disusun atas dasar orientasi pada program (program oriented budget).

1.2.1. Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Penerimaan Negara

Khusus mengenai landasan pokok kebijaksanaan APBN yang menyangkut segi penerimaan dapatlah diperinci sebagai berikut :

(5)

Dalam segi penerimaan negara selalu diusahakan kebijaksanaan yang dapat menjamin bagian yang makin meningkat dari pendapatan nasional (GNP). Untuk tahun anggaran 1970/1971 kenaikan penerimaan negara adalah 40% dibandingkan dengan tahun anggaran 1969/1970. Didalam rangka meningkatkan penerimaan Pemerintah tersebut, maka harus dijaga agar tabungan Pemerintah terus meningkat disamping menjamin pemberian perangsang yang cukup bagi kegiatan-kegiatan produktif. Sehubungan dengan ini Pemerintah akan menurunkan dan menyederhanakan tarif-tarif pajak terutama pajak perseroan dan pajak pendapatan.

Untuk pajak perseroan tarif maksimum akan diturunkan dari 60% menjadi 45%, sedangkan jumlah golongan tarif dari 7 macam disederhanakan menjadi 2 macam saja.

Dalam hubungan inilah maka Pemerintah bermaksud mengajukan 5 buah rancangan undang-undang tentang perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan terhadap :

1. Ordonansi Pajak Perseroan 1925 2. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 3. Undang-undang Pajak Dividen 1959

4. Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing 5. Undang-undang No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam

Negeri.

Disamping itu dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, tetap diusahakan usaha-usaha intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi mencakup hal-hal seperti : penetapan dasar pengenaan pajak, yakni besarnya pendapatan, laba ataupun peredaran, yang lebih sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sedangkan penagihannnya diawasi dan dijaga supaya pajak-pajak dibayar tepat pada waktunya.

Dalam hal itu sistim pemungutan MPS dan MPO, yang kini sudah cukup dikenal masyarakat, akan lebih ditingkatkan kemanfaatannya. Dari masyarakat sendiri diharapkan adanya kesadaran, rasa tanggung jawab serta kerelaan yang lebih besar untuk memenuhi kewajiban membayar pajak sebagaimana telah ditetapkan dalam masing-masing undang-undang pajak yang bersangkutan.

Adapun ekstensifikasi berarti usaha-usaha untuk menjangkau obyek-obyek serta subyek-subyek yang kini masih lolos dari pengenaan pajak.

4

(6)

Kedua usaha tersebut hanya akan berhasil apabila disatu pihak kemampuan aparatur dan ketertiban administrasi perpajakan sendiri ditingkatkan, dilain pihak ditempuh usaha-usaha untuk mempertebal kesadaran masyarakat tentang fungsi perpajakan didalam kehidupan bernegara, tentang diperlukannnya pajak-pajak guna membiayai kebutuhan-kebutuhan umum.

Demikian pula dalam bidang bea masuk pokok kebijaksanaan yang ditempuh akan tetap dilaksanakan dalam rangka Peraturan Pemerintah No. 6 bulan Maret 1969 yang kemudian diikuti dengan surat Keputusan Menteri Keuangan RI. No.

Kep.600/MK/III/9/1969 tertanggal 1 September 1969. Dalam bidang cukai, penetapan harga limit hasil tembakau, penertiban merk hasil tembakau dan usaha secara langsung mengawasi produksi beberapa hasil tembakau merupakan langkah- langkah kearah pengamanan penerimaan negara yang berasal dari cukai.

1.2.2. Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Pengeluaran Negara

Dibandingkan dengan pengeluaran Negara tahun 1969/1970, maka pengeluaran negara untuk tahun 1970/1971 akan merupakan beban yang lebih berat bagi Pemerintah. Bila didalam tahun 1969/1970 anggaran rutin berjumlah Rp 204 milyar, maka didalam thaun 1970/1971 akan bertambah besar menjadi Rp 283,4 milyar. Sedangkan anggaran pembangunan (diluar bantuan proyek) akan meningkat dari Rp 87 milyar di dalam tahun 1969/1970 menjadi Rp 115,8 milyar didalam tahun 1970/1971.

Peningkatan dari pengeluaran negara tersebut meliputi sektor-sektor belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, pembayaran hutang, biaya pemilihan umum dan public savings.

Mengenai belanja pegawai, Pemerintah bermaksud untuk menaikkan gaji pegawai negeri dan ABRI sebesar 50%. Kenaikan ini hanya sebesar jumlah tersebut karena terbatasnya kemampuan penerimaan negara dan adanya pengeluaran- pengeluaran lain yang tidak dapat dielakkan dan haruis dibayar oleh Pemerintah, misalnya Pemilihan Umum, dan sebagainya.

Pengeluaran lain yang memerlukan pembiayaan yang jauh meningkat dibandingkan dengan tahun 1969/1970 adalah pembiayaan Pemilihan Umum. Untuk ini dalma tahun 1970/1971 disediakan Rp 10 milyar. Meskipun sebenarnya keperluan pembiayan Pemilihan Umum adalah lebih besar daripada jumlah tersebut, tetapi

(7)

berhubungan terbatasnya dana yang tersedia maka jumlah tersebut adalah yang maksimal dapat disediakan.

Disamping itu pengeluaran pembangunan juga memerlukan pembiayaan yang sangat meningkat berhubung dengan adanya faktor-faktor sebagai berikut :

(a) Diperkirakan bahwa untuk tahun anggaran 1970/1971 penyediaan rupiah untuk

“local cost” daripada bantuan proyek akan meningkat menjadi kurang lebih Rp 32,0 milyar.

(b) Berhubungan adanya keperluan “local cost” yang sangat meningkat tersebut, diperlukan tambahan biaya untuk proyek-proyek lain yang sekarang sedang berjalan guna menghindari kemacetan dan kemunduran di dalam pembangunan.

(c) Pembangunan dari daerah Irian Barat yang harus makin ditingkatkan.

(d) Disamping subsidi desa yang juga akan diberikan di dalam tahun 1970/1971 ini seperti juga di dalam tahun anggaran yang lalu, maka Pemrintah merasa perlu untuk juga memberikan subsidi kepada kabupaten-kabupaten. Tujuan daripada subsidi tersebut selain dimaksudkan untuk memperluas lapangan kerja juga bertujuan mendorong peningkatan usaha dalam kegiatan ekonomi dan produksi pada tingkat Kabupaten. Dengan demikian dapat lebih dimanfaatkan kelebihan tenaga kerja yang masih tersedia di daerah tersebut, sehingga pendapatan daerah dan kesejahteraan rakyat juga akan meningkat lagi.

Untuk tahun-tahun berikutnya pemberian subsidi ini akan dikaitkan dengan penerimaan daerah. Dengan demikian maka akan diukur dan dinilai pula usaha suatu daerah Kabupaten didalam meningkatkan penerimaan daerah dari sumber-sumber didaerahnya.

Dengan demikian maka tabungan Pemerintah yang harus disediakan lebih besar daripada didalam tahun anggaran yang lalu. Untuk itu diperkirakan tabungan Pemerintah akan berjumlah Rp 37,1 milyar (menurut perkiraan didalam REPELITA hanya Rp 33,0 milyar).

Mengenai pembiayaan disekitar belanja barang telah terjadi peningkatan dari Rp 36,7 milyar menjadi Rp 69,4 milyar; ini berarti suatu kenaikan hampir sebesar 100%. Kenaikan ini sebagian disebabkan keperluan pemeliharaan (maintenance) dan pelaksanaan proyek-proyek disamping kebutuhan belanja barang yang diperlukan untuk lebih meningkatkan jalannya roda Pemerintahan.

6

(8)

Sebagai akibat daripada usaha Pemerintah untuk meningkatkan gaji pegawai, maka subsidi daerah otonom juga meningkat yaitu dari Rp 41,4 milyar menjadi Rp 53,2 milyar.

Mengenai pembayaran hutang-hutang terjadi peningkatan sebagai akibat semakin besarnya hutang-hutang yang telah jatuh tempo.

1.3. Landasan Pokok Kebijaksanaan Perkreditan Bank

Pada azasnya kebijaksanaan perkreditan Pemerintah dalam tahun 1970/1971 masih tetap berlandaskan kebijaksanaan perkreditan yang selektif yang mendorong kegiatan- kegiatan pembangunan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut meliputi kebijaksanaan suku bunga, pengarahan kredit, penyediaan kredit jangka menengah/panjang untuk investasi dan penyediaan kredit jangka pendek untuk sektor-sektor produksi dan industri.

Mengenai kebijaksanaan suku bunga debet, seperti dalam tahun 1969/1970, akan terus disesuaikan sedemikian rupa sehingga akan mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi tanpa mengganggu kestabilan ekonomi. Disamping itu guna menjaga pengarahan kredit ke sektor-sektor yang lebih prodyktif maka kebijaksanaan “differential interes rates” akan tepat dilaksanakan.

Begitu pula mengenai kebijaksanaan suku bunga deposito akan disesuaikan dengan perkembangan ekonomi pada umumnya.

Kebijaksanaan kredit investasi yang telah dimulai sejak bulan April 1969 akan tetap dilanjutkan untuk 1970/1971 guna lebih memberikan perangsang kepada kegiatan-kegiatan investasi yang diprioritaskan oleh Pemerintah.

Diperkirakan bahwa ekspansi kredit perbankan untuk tahun 1970/1971 akan mencapai jumlah Rp 130,0 milyar. Didalam pelaksanan daripada pemberian kredit tersebut akan tetap diperhatikan situasi dan keadaan moneter pada umumnya.

1.4. Situasi Moneter Internasional

Segala kebijaksanaan yang akan dilakukan Pemerintah tidak terlepas dari situasi monoter internasikonal. Kalau diperhatikan keadaan moneter pada waktu ini dan memperkirakan apa yang akan terjadi dalam tahun anggaran 19701971, maka keadaan tersebut secara umum dapat dikatakan tidak begitu mengkhawatirkan dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.

Seperti diketahui, krisis moneter internasional dimulai dengan devaluasi Pound Sterling Inggris dalam bulan Nopember 1967 yang kemudian diikuti oleh negara-negara

(9)

commonwealth. Krisis tersebut terjadi sebagai akibat adanya defisit dalam Neraca Pembayaran Inggris yang sangat berat yang telah menimbulkan balance of payment gap dan mengakibatkan merosotnya cadangan emas dan devisa secara drastis.

Beberapa bulan kemudian telah terjadi pula kegoncangan moneter internasional yang kedua sebagai akibat terjadinya krisis emas internasional. Di dalam bulan Maret 1968 ditentukan adanya “two-tier System” untuk emas yang berarti adanya 2 harga untuk emas : satu harga untuk transaksi emas antar bank sentral beberapa negara besar dan harga yang lain untuk pasaran bebas emas. Harga untuk antar bank sentral ditentukan sebesar US$ 35 per ounce sedangkan untuk pasar bebas diserahkan kepada kekuatan permintaan dan penawaran.

Sementara itu dalam tahun 1968 di Perancis telah terjadi kenaikan-kenaikan harga sebagai akibat tuntutan kenaikan upah buruh yang telah mengakibatkan meningkatnya ongkos produksi dan aggregate demand. Gejala ini pada akhirnya telah menekan pada Neraca Pembayaran luar negeri sehingga terjadi defisit yang menyebabkan merosotnya cadangan emas dan devisa pula. Pada bulan November 1968 Pemerintah Perancis terpaksa mengumumkan devaluasi mata uang Franc.

Pada waktu yang bersamaan keadaan moneter di Jerman Barat menunjukkan gejala yang sebaliknya dibandingkan dengan di Inggris dan Perancis. Keadaan perekonomian adalah demikian pesatnya sehingga nilai mata uang DM menjadi sangat kuat. Neraca Pembayaran luar negerinya menunjukkan surplus yang sangat besar yang telah menyedot cadangan emas dan devisa dari negara-negara lain. Dengan adanya tekanan-tekanan tersebut Pemerintah Jerman Barat terpaksa melepaskan nilai paritasnya terhadap emas dan US$ dan menyerahkan kursnya kepada suatu “floating rate” dan kemudian diakhiri dengan suatu revaluasi di dalam bulan Oktober 1969.

Kegoncangan yang di satu pihak berbentuk devaluasi dan di lain pihak revaluasi pada hakekatnya bersumber pada ketidakseimbangan kekuatan ekonomi di antara negara-negara yang mata uangnya dianggap sebagai cadangan alat pembayaran internasional. Sebagai akibat hal-hal yang disebutkan itu maka terasa sekali gangguan terhadap kelancaran lalu- lintas pembayaran internasional. Untuk mengatasi hal ini IMF telah mengambil berbagai langkah untuk menetralisir akibat-akibat negatifnya.

Didalam sidang tahunan Dana Moneter Internasional 1969 yang baru lalu telah diambil keputusan yang mengijinkan negara-negara yang ekonomi lemah untuk mempergunakan “hak tarik dana khusus” (special drawing right) untuk menambah liquiditas dalam perdagangan luar negeri negara-negara yang bersangkutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya.

8

(10)

Jumlah SDR yang disediakan IMF adalah US$ 9,5 milyar yang akan dibagikan di dalam 3 tahun. Untuk tahun pertama (1970) akan disediakan US$ 3,5 milyar, sedangkan untuk tahun kedua (1971) dan tahun ketiga (1972) masing-masing disediakan US 3,0 milyar.

Besarnya SDR bagi masing-masing negara tergantung pada quota negara-negara mereka.

70% daripada SDR ini dapat digunakan secara bebas sedangkan yang 30% pada akhir tahun harus dikembalikan kepada IMF. SDR tidak dapat digunakan oleh negara-negara yang mengalami surplus di dalam Neraca Pembayarannya tetapi untuk kelebihan SDR-nya IMF membayar bunga.

Disamping penciptaan SDR ini IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar negara yang maju tetap memenuhi kewajibannya untuk menyisihkan 1% dari Pendapatan Nasional mereka untuk bantuan-bantuan luar negeri.

Dalam bidang ekspor diharapkan bahwa harga-harga daripada barang-barang ekspor kita yang berada pada tingkatan yang menguntungkan akan tetap bertahan. Demikian pula dalam bidang impor dapat diharapkan tidak akan terjadi kenaikan-kenaikan harga sehingga tidak akan merugikan “terms of trade” Indonesia.

Keadaan moneter internasional dan indikator-indikator ekonomi internasional selalu akan diperhatikan Pemerintah untuk menentukan kebijaksanaan APBN dan kebijaksanaan- kebijaksanaan ekonomi lainnya.

1.5. Landasan Pokok Kebijaksanaan Dalam Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri

Di dalam melaksanakan pencapaian sasaran dalam pembangunan, maka pemerintah berusaha untuk merangsang sebanyak mungkin dana, baik di dalam sektor pemerintahan sendiri maupun dlaam sektor swasta, dalam dan luar negeri, karena pemerintah berkeyakinan bahwa pendobrakan keterbelakangan ekonomi tidaklah mungkin dilakukan dengan permodalan yang kecil. Saling berkaitannya pelbagai sektor menandakan betapa luas dan banyaknya modal yang dibutuhkan. Oleh karena itu maka keserasian dan harmoni dalam kerjasama antara sektor Pemerintah dan Swasta dalam maupun luar negeri sangatlah dibutuhkan.

Haruslah diakui bahwa selama kemampuan kita masih terbatas, maka perlu dimanfaatkan dana-dana luar negeri sepanjang hal tersebut tidak diikuti ikatan-ikatan politik dan dapat dipertanggungjawabkan penggunannya secara ekonomis. Tujuan terpenting penanaman modal asing adalah sebagai alat pembantu untuk mempercepat proses

(11)

pengolahan kekayaan alam kita yang potensiil menjadi kekayaan yang riil terutama selama kita sendiri belum mampu melaksanakannya.

Landasan pokok daripada penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri pada hakekatnya berdasarkan pada Undang-undang No.1 tahun 1967 dan No. 6 tahun 1968 serta Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.

Dalam pelaksanaan Undang-undang tersebut oleh Pemerintah telah dikeluarkan beberapa keputusan baik yang mengenai bidang perpajakan maupun yang mengenai bidang bea dan cukai. Dalam bidang perpajakan telah dikeluarkan :

a. Instruksi Presidium Kabinet No. 06/EK/IN/I/1967 tanggal 27 Januari 1967 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1967

b. Instruksi Menutama EKKU No.IN/026/MEKKU/IV/1967 tanggal 1 April 1967 yang mengatur tax holiday bagi investasi baru oleh perusahaan-perusahaan asing yang dikembalikan.

c. Instruksi Presidium Kabinet No. 36/U/IN/6/1967 tanggal 3 Juni 1967 mengenai pemberian tambahan tax holiday 1 tahun untuk proyek-proyek yang mengadakan joint enterprise.

Dalam bidang bea dan cukai telah dikeluarkan :

a. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 156/Men.Keu/1967 tanggal 3 Agustus 1967 yang kemudian disempurnakan dengan surat keputusan No. Kep-246/M/IV/9/1968 tanggal 5 September 1968, yang mengatur pemberian fasilitas pembebasan/keringanan bea masuk dan pajak penjualan impor, terhadap barang-barang modal yang diimpor.

b. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-342/MK/III/5/1969 tanggal 23 Mei 1969 tentang pemberian fasilitas pembebasan/keringanan bea masuk dan pajak penjualan impor terhadap barang-barang modal yang diimpor dengan mempergunakan DICS-Rp.

Sedang dalam rangka memanfaatkan dan merangsang agar modal nasional/domestik turut serta di dalam pembangunan, maka Undang-undang No.6 tahun 1968 merupakan landasan pokok bagi penanaman modal dalam negeri. Sebagai pelaksanaan lebih lanjut, telah pula dikeluarkan beberapa ketentuan baik yang mengatur pemberian fasilitas perpajakan maupun bea dan cukai.

Ketentuan-ketentuan yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan penanaman modal dalam negeri adalah :

a. Surat Keputusan Ketua Panitia Tehnis Penanaman Modal No.01/Kep/PTPM/68 tanggal 18 November 1968 tentang prosedure pengajuan permohonan fasilitas PMDN.

10

(12)

b. Surat Keputusan Menteri Keuangan No.Kep-24/MK/II/1/1969 tanggal 21 Januari 1969 tentang fasilitas-fasilitas di bidang perpajakan :

a. tax holiday (pajak perseroan dan pajak dividen);

b. bea materai modal;

c. pemutihan modal;

d. pajak kekayaan atas modal yang ditanam.

c. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-202/MK/IV/3/1969 tanggal 28 Maret 1969 tentang fasilitas-fasilitas bea masuk dan pajak penjualan impor.

d. Surat Keputusan Menteri Keuangan No.Kep-611/MK/III/9/1969 tanggal 3 September 1969 tentang fasilitas bea masuk dan pajak penjualan impor (PMDN dan PMA), khusus mengenai pembangunan/rehabilitasi hotel tingkat internasional.

Dalam pemberian fasilitas penanaman modal, Pemerintah berpegang teguh pada kebijaksanaan ekonomi sebagai keseluruhan. Pemberian fasilitas hanyalah diberikan kepada investor-investor yang benar-benar melakukan penanaman modal dengan mempertaruhkan modalnya terhadap resiko yang harus dihadapi serta yang proyeknya benar-benar sangat diperlukan masyarakat.

Di samping memberikan perangsang-perangsang, juga harus diperhitungkan bahwa penanaman modal baru tidak boleh mematikan bahkan sebaliknya harus lebih menyehatkan cara kerja dan management daripada perusahaan-perusahaan yang telah ada (asas proteksi).

Akhirnya selalu diperhitungkan pula bahwa pemberian fasilitas kepada perusahaan penanaman modal baru tidak boleh mengganggu kebijaksanaan keuangan negara (penerimaan negara) dan kebijaksanaan moneter yang dilaksanakan Pemerintah.

Seperti dijelaskan di atas, pemberian perangsang dalam rangka penanaman modal dimaksudkan untuk menarik modal baik dari luar negeri maupun nasional yang belum dimanfaatkan untuk usaha produktif, agar mau menanamkannnya di dalam usaha-usaha produktif terutama dalam bidang penggalian kekayaan alam. Selain itu juga dimaksudkan untuk menciptakan lapangan kerja baru, mendatangkan skill dan teknik modern dan lain-lain hal sehubungan dengan pembangunan ekonomi.

Dengan adanya fasilitas penanaman modal dalam negeri, kredit investasi dan lain- lain memungkinkan mereka mengadakan pembaruan teknik, management dan organisasinya sehingga dengan demikian mereka akan lebih maju. Dalam kebijaksanaan perekonomian dewasa ini dan dalam suasana pembnagunan sekarang, tidak pada tempatnya lagi usaha- usaha yang bekerja dengan sistim jatah, sistim lisensi, sistim golongan dan sebagainya

(13)

seperti di masa-masa lampau, melainkan harus didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi secara rasionil.

B. Perkembangan Harga, Gaji, Produksi dan Penanaman Modal

Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 1969 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Perbedaan tersebut secara fundamental terutama terdapat dalam bidang-bidang perkembangan harga, lalu lintas devisa, perkreditan dan investasi/produksi.

Di bidang perkembangan harga, maka selama sembilan bulan pertama dalam tahun 1969 tingkat harga menunjukkan perkembangan yang jauh lebih bantap dan stabil. Apabila dalam tahun 1966 tingkat harga telah mengalami kenaikan yang sangat tinggi yaitu lebih dari 600%, maka dalam periode terakhir ini kenaikannya hanya berjumlah 4%. Lebih-lebih bila diperhatikan bahwa kestabilan ini telah dapat dicapai meskipun jumlah uang yang beredar terus bertambah. Kalau di dalam tahun 1967 setiap pertambahan uang beredar selalu mengakibatkan kenaikan harga, maka keadaan ini tidak terjadi lagi dewasa ini. Perbedaan yang fundamentil ini menunjukkan bahwa pertambahan jumlah uang tersebut dapat dikendalikan dan diarahkan oleh pemerintah. Dengan tercapainya kemantapan harga maka telah timbul kembali kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah.

Hal ini akan lebih jelas lagi apabila dilihat perkembangan di bidang lalu lintas devisa.

Dengan adanya kemantapan kurs BE dan DP yang terjadi untuk jangka waktu yang lama yang berbeda pula dengan keadaan sebelumnya, maka telah terjadi pengaliran kembali devisa yang dahulu justru melarikan diri dari Indonesia. Pada gilirannya gejala ini menambah supply devisa dalam negeri dan memperkuat kestabilan kurs devisa yang pada akhirnya menambah pula kemantapan harga pada umumnya.

Di bidang suku bunga telah pula terjadi perubahan yang fundamentil jika dibandingkan dengan masa yang lalu. Jika dahulu tingkat bunga di pasar bebas dapat mencapai lebih dari 20% sebulan, maka sebagai hasil daripada kebijaksanaan suku bunga Pemerintah, suku bunga pada waktu ini dapat ditekan menjadi sekitar 6% sebulan.

Kalau dahulu Pemerintah tidak dapat mengendalikan suku bunga pasar bebas dan terpaksa mengikuti saja gerak arahnya, maka sekarang Pemerintah justru mengendalikan kekuatan-kekuatan pasar bebas itu sesuai dengan kebijaksanaan ekonomi Pemerintah.

Dengan pengendalian itu maka kegiatan spekulatip dapat dialihkan ke arah kegiatan-kegiatan yang produktif.

12

(14)

Masalah daya beli rakyat adalah masalah ekonomi secara keseluruhan. Jika keadaan ekonomi bertambah baik, maka yang sedemikian itu akan membawa kekuatan pula pada daya beli. Dalam suasana inflasi, daya beli rakyat akan terus menerus merosot.

Pada hakekatnya usaha stabilitasi pemerintah dalam tahun 1967 – 1968 adalah usaha untuk memberikan kemantapan pada daya beli rakyat. Namun demikian, harus disadari bahwa daya beli rakyat masih harus terus ditingkatkan. Yang sedemikian ini hanya dapat dicapai dengan kerja keras, dengan terus menerus meningkatkan investasi dan penanaman modal, dengan terus menerus memperluas produksi serta dalam suatu suasana yang stabil baik ekonomis maupun politis.

Di dalam hubungan ini perlu ditegaskan kembali peringatan yang diberikan di dalam REPELITA (Bab I) sebagai berikut :

“Oleh karena itu maka perlu diperingatkan bahwa pembangunan tidaklah segera akan memberi kepuasan dan pemenuhan secara menyeluruh. Lain dari pada itu perlu pula dikemukakan bahwa ikhtiar pembangunan tidaklah identik dengan hasil pembangunan.

Semua orang menghasrati pembangunan untuk memetik hasil-hasil dan manfaat pembangunan. Akan tetapi mengusahakan pembangunan memerlukan sikap hidup yang berani mengurangi konsumsi, berani menabung dan memupuk modal serta rela untuk dipajak. Usaha pembangunan memerlukan cucuran keringat, kerja keras dan pengorbanan yang tidak kecil.

Hasil pembangunan ini tidak segera akan terasa. Hasil jerih payah hari ini baru akan terpetik beberapa waktu kemudian. Menyadari hal ini sepenuhnya maka sudah sewajarnya apabila kita tidak mengharap terlalu banyak dalam waktu terlalu pendek.

Yang penting adalah agar masyarakat Indonesia mengetahui ke arah mana bangsa dan negara kita di bawa. Apa yang dapat diharapkan terjadi di hari esok. Apa perspektif di masa depan. Dan apa pula yang belum dapat diharapkan dengan segera.”

1.6. Perkembangan Harga, Gaji dan Upah 1.6.1. Perkembangan Harga

Perkembangan harga-harga dalam semester pertama dari masa pelaksanaan PELITA tahun pertama ini dapat dilihat pada perkembangan angka-angka indeks harga 62 macam barang dan jasa (indeks biaya hidup), indeks harga 9 bahan pokok dan indeks harga beras di Jakarta. Dapat ditambahkan pula bahwa di samping indeks tersebut dapat dilihat pula perkembangan harga-harga barang ekspor penting dan kurs valuta asing di Jakarta sebagai di muat dalam Tabel-tabel yang dilampirkan.

(15)

a. Indeks Biaya Hidup

Angka indeks biaya hidup di Jakarta seperti dimuat dalam Tabel 1.1. selama periode triwulan II 1969/1970 ini menunjukkan kenaikan pada bulan Juli dan Agustus masing-masing sebesar + 1,87% dan + 3,04% dan pada bulan September menunjukkan penurunan sebesar – 1,12% sehingga selama triwulan tersebut terdapat kenaikan indeks sebesar + 3,79% atau rata-rata sebesar + 1,26% per bulan. Dari Tabel 1.2. ternyata kenaikan tersebut terjadi pada semua sektor indeks biaya hidup, yang masing-masing sebesar + 1,09% pada sektor makanan, + 3,10% pada sektor perumahan, + 0,71% pada sektor pakaian dan +1,45% pada sektor lain-lainnya. Sebaliknya angka-angka indeks di dalam periode triwulan I 1969/1970 menunjukkan penurunan total – 6,18% selama triwulan tersebut atau rata-rata – 2,06% per bulan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa untuk semester I tahun pertama pelaksanaan PELITA ini indeks biaya hidup menunjukkan suatu penurunan. Jika dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi pada masa Januari – Maret 1969 yang lalu yakni sebesar + 2% per bulan, maka kenaikan yang terjadi pada masa Juli – September ini sebesar + 1,26% terutama sebagai akibat dari kenaikan indeks harga yang terjadi pada bulan Agustus sebesar + 3,04%. Pada Tabel 1.2. indeks biaya hidup pada sektor perumahan dalam bulan Juli mengalami kenaikan sebear + 7,14% dan pada sektor makanan dalam bulan Agustus menunjukkan kenaikan sebesar + 5,10%.

b. Indeks Harga 9 Bahan Pokok

Indeks harga 9 bahan pokok di Jakarta selama periode triwulan II 1969/1970 mengalami kenaikan rata-rata sebesar + 5,37% per bulan. Untuk bulan Juli, Agustus dan September masing-masing sebesar + 2,38%, + 10,45% dan + 3,27%.

Dibandingkan dengan keadaan pada masa triwulan I – 1969/70 dimana terdapat penurunan rata-rata – 4,88% per bulan, kenaikan pada truwulan II – 1969/70 cukup berarti. Kenaikan yang agak besar terjadi pada bulan Agustus yakni sebesar + 10,45% sebagai akibat dari kenaikan harga beras dan harga bahan lain- lain pada minggu ke-IV dan V bulan Agustus. Kenaikan yang terjadi dalam bulan Agustus itu sebagian diimbangi dengan berkurangnya kenaikan dalam bulan September yakni hanya sebesar + 3,27%.

c. Indeks Harga Beras

Harga beras di Jakarta (Tabel 1.1.) pada periode triwulan II – 1969/70 ini menunjukkan kenaikan pula dengan terjadinya kenaikan sebesar +20% dalam

14

(16)

bulan Agustus. Dalam bulan Juli tidak terdapat kenaikan harga, sedangkan dalam bulan September hanya ada sedikit saja perubahan harga sehingga kenaikan rata- rata adalah sebesar + 7,86% per bulannya. Dalam periode Januari – Juni 1969 terdapat penurunan rata-rata per bulan sebesar – 3,13%. Masalah dan kebijaksanaan harga beras tetap mendapat perhatian besar dari Pemerintah, terutama di dalam menghadapi hari-hari raya pada akhir tahun 1969agar harga beras tidak mempengaruhi kestabilan harga-harga umumnya.

d. Indeks Harga Emas, BE, DP dan Valuta Asing

Harga emas (Tabel 1.5.) selama periode triwulan II – 1969/70 menunjukkan harga yang stabil selama dua bulan pertama yakni masing-masing 0,00% (nol) dalam bulan Juli dan Agustus dan dalam bulan September terdapat penurunan sebesar – 1,67% (harga emas 24 karat). Periode triwulan Januari – Maret dan April – Juni tahun 1969 menunjukkan penurunan rata-rata masing-masing sebesar – 1,84% dan – 1,54%.

Dibandingkan dengan periode triwulan II – 1969/70 dimana angka penurunan rata-rata sebesar – 0,56% per bulan, dapat dikatakan bahwa harga emas (24 karat) adalah stabil. Harga BE (Tabel 1.5.) dalam periode truwulan II – 1969/70 tetap bertahan pada kurs Rp 326,- untuk setiap US$. Karena keadaan ini telah terjadi sejak bulan Oktober 1968 yang lalu, maka kurs BE telah stabil untuk jangka waktu kurang lebih satu tahun lamanya. Harga DP selama periode triwulan II – 1969/70 tidak mengalami kenaikan. Dalam periode Januari – Juni 1969 yang lalu terlihat adanya tendensi penurunan sebear – 1,46% per bulan, sedang untuk periode Juli – September keadaan harga/kurs DP tetap stabil. Kurs valuta asing di pasaran bebas Jakarta untuk bulan Juli dan Agustus mengalami penurunan masing-masing sebesar – 0,03% dan – 0,17%; dan untuk bulan September sebesar 0,00% (stabil) sehingga untuk masa Juli – September 1969 ini terdapat penurunan sebear – 0,07% per bulan (lihat Tabel 1.4.). Dibandingkan dengan periode Januari – Juni yang lalu dimana penurunan rata-rata sebesar – 0,89% per bulan, harga valuta asing di pasaran bebas adalah stabil pada dua bulan terakhir triwulan II – 1969/70. Angka-angka di atas menunjukkan bahwa nilai rupiah kita di pasaran valuta asing telah menunjukkan kemantapan dan kepercayaan yang bertambah besar dari masyarakat pada umumnya.

(17)

e. Harga Hasil Bumi Ekspor Golongan A

Harga beberapa hasil bumi ekspor di pasar luar negeri dan lokal dalam periode triwulan II – 1969/70 mengalami kenaikan, kecuali biji sawit yang mengalami tendens harga menurun. (lihat Tabel 1.6. dan Tabel 1.7.). Harga rata-rata karet RSS III di pasar luar negeri untuk triwulan II – 1969/70 tercatat sebesar US$ 26 cts/lb per bulannya, sedang untuk triwulan Januari – Maret dan triwulan I – 1969/70 masing-masing tercatat sebesar US$ 22 cts/lb dan US$ 24 cts/lb per bulannya. Dari angka-angka tersebut ternyata bahwa tendens kenaikan harga karet di pasar luar negeri telah terjadi sejak awal tahun 1969, kenaikan mana diikuti pula oleh kenaikan harga lokal/dalam negeri sebagaimana terlihat pada harga rata-rata karet di pasar lokal Jakarta pada periode triwulan Januari – Maret, I dan I I – 1969/70 yang masing-masing adalah sebear Rp 138,-; Rp 152,- dan Rp 163,- per kg. Harga kopra rata-rata di pasar luar negeri Manila pada periode triwulan II – 1969/70 mengalami tendens kenaikan dengan catatan harga sebesar US$ 200,81/longton. Dibandingkan dengan kejadian pada masa triwulan I – 1969/70 yang mengalami tendens menurun, maka tendens pada periode triwulan II ini menunjukkan suatu kenaikan yang mendekati harga yang tercatat pada triwulan Januari – Maret 1969, yakni sebesar US$ 201,48/longton. Kenaikan harga tersebut diikuti pula dengan kenaikan harga lokal di Sulawesi yang mencatat harga rata-rata Rp 52,57/kg untuk masa triwulan II – 1969/70. Harga kopi (robusta) di pasar luar negeri Singapore mengalami penurunan di dalam triwulan I, II dan III tahun 1969 yang masing-masing tercatat sebesar Str$

90,14/pic, Str$ 79,52/pic dan Str$ 74,49/pic dan di pasar New York untuk triwulan II – 1969 mengalami kenaikan dengan catatan sebesar US$ 27 cts/lb sedang untuk triwulan II – 1969 tercatat sebesar US$ 26 cts/lb. Kenaikan yang terjadi di pasar New York tidak mempunyai pengaruh terhadap harga pasar lokal.

Pada waktu ini harga Singapore yang mempunyai pengaruh terhadap harga lokal.

Hal ini ternyata dari harga lokal di Jakarta yang telah menurun sampai Rp 75,70/kg sedang untuk triwulan-triwulan Januari- Maret dan April-Juni 1969

masing-masing tercatat sebesar Rp 111,67 dan Rp 89,67 per kg. Harga Lada hitam di pasar luar negeri New York pada triwulan I, II dan III tahun 1969 masing-masing mencatat sebesar US$ 32 cts, US$ 34 cts, dan US$ 40 cts per lb, sehingga terlihat adanya kenaikan harga. Kenaikan tersebut diikuti pula oleh kenaikan harga lokal di Jakarta untuk triwulan I, II dan III tahun 1969 masing-

16

(18)

masing tercatat Rp 157,85; Rp 176,66 dan Rp 192,41 per kg. Harga timah di pasar luar negeri London pada periode triwulan II – 1969/70 masih menunjukkan tendens kenaikan. Dari catatan harga-harga di pasar luar negeri, untuk periode triwulan I sampai akhir triwulan III tahun 1969 ini masing-masing tercatat sebesar : £ 1370; £ 1420 dan £ 1465 per long ton. Dari angka-angka yang tercatat di pasar luar negeri maupun di pasar lokal, jelas terlihat bahwa harga hasil bumi ekspor golongan A pada periode triwulan II – 1969/70 cukup baik.

Indeks Oktober'66 = 100

Indeks Oktober'66 = 100

Indeks Rata-rata '66 = 100

1965 Desember 15,23 46,17

1966 Maret 29,48 + 34,97 70,31 + 25,37

Juni 46,99 + 16,91 80,46 + 14,44

September 73,38 + 13,38 110,10 + 36,87

Desember 106,92 + 10,23 116,76 - 140,80 + 27,88

Rata-rata 1966 - + 18,85 - - 100,00 26,14

1967 Maret 136,63 + 10,80 154,18 + 11,38 187,16 + 12,15

Juni 154,05 + 1,21 153,64 - 1,89 181,90 - 4,01

September 171,85 + 5,93 191,82 + 14,86 244,86 + 21,53

Desember 226,31 + 8,81 345,92 + 17,94 504,30 + 22,18

Rata-rata 1967 - + 6,69 - + 10,55 - + 12,95

1968 Maret 356,47 + 17,39 652,35 + 23,61 996,94 + 26,39

Juni 369,22 + 0,55 545,59 - 5,05 748,58 - 7,99

September 409,18 + 2,74 558,16 - 0,74 783,56 + 0,71

Desember 424,54 + 2,00 518,99 - 1,00 703,10 - 1,94

Rata-rata 1968 - + 5,76 - + 4,21 - + 3,94

1969 Januari 449,40 + 2,16 516,79 - 0,29 671,62 - 3,03

Februari 456,72 + 1,63 521,07 + 0,83 671,62 0,00

Maret 466,83 + 2,21 506,70 - 2,76 650,63 - 3,13

April 447,22 - 4,20 483,16 - 4,65 598,16 - 8,06

Mei 444,40 - 0,63 454,57 - 5,92 545,49 - 8,77

Juni 438,42 - 1,35 436,10 - 4,06 524,70 - 3,85

Juli 446,63 + 1,87 446,50 + 2,38 524,70 0,00

Agustus 460,22 + 3,04 493,14 + 10,45 629,65 + 20,00

September 458,52 - 0,37 509,38 + 3,27 652,27 + 3,59

Oktober 469,23 + 2,34 570,44 + 12,01 770,27 + 18,09

Nopember Desember Rata-rata 1969

Triwulan I + 2,00 - 0,74 2,05

II - 2,06 - 4,88 6,89

III + 1,57 + 5,37 + 7,86

IV

Sumber : Biro Pusat Statistik; diolah kembali oleh Departemen Keuangan

INDEKS BIAYA HIDUP, INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DAN INDEKS HARGA BERAS DI JAKARTA, 1965 - 1969

Tabel 1.1

Biaya Hidup 9 Macam Bahan Pokok Beras

Tahun/Bulan

( % ) ( % ) ( % )

(19)

18

% 39,81 9,24 3,12 -5,80 5,85 2,61 4,28 3,71 0,25 -1,32 3,69 3,64 +5,76 2,16 1,63 2,21 +2,00 -4,20 -0,63 -1,35 -2,06 +1,87 +3,04 -0,37 +1,51 +2,34 Nopember Desember Rata-rata Sumber : Biro Pusat Statistik; diolah kembali oleh Departemen Keuangan

(100%) Indeks%Indeks%Indeks%Indeks%Indeks (Okt'66=100)(Okt'66=100)(Okt'66=100)(Okt'66=100)(Okt'66=100) 1968Januari420,7949,54280,745,91154,6723,38229,5422,76332,24 Februari465,0310,51267,09-4,86163,595,77253,2210,32362,93 Maret467,600,55286,197,15166,291,65293,7616,01374,25 April417,35-10,75302,645,75186,421,21307,824,79352,25 Mei430,143,06443,7146,61202,678,72311,901,33372,85 Juni441,272,59391,30-11,81221,039,06332,936,74382,59 Juli460,504,36373,56-4,53246,5511,54346,103,96398,97 Agustus468,581,75367,29-1,68262,576,50386,8411,77413,76 September465,80-0,60367,290,00264,450,72398,703,06414,80 Oktober453,64-2,61367,290,00272,513,05400,250,39409,32 Nopember458,651,10368,390,30307,7112,92734,168,47424,42 Desember463,471,05449,5222,02323,105,00457,395,35439,89 Rata-rata 1968451,52+5,05355,42+5,41230,96+7,46346,05+7,91398,86 1969Januari470,101,43449,520,00326,431,03480,785,11449,40 Februari479,011,90456,611,58327,290,26488,771,66456,72 Maret484,991,25486,026,44325,98-0,40515,105,39466,83 Rata-rata Triwulan I+1,53+2,67+0,297+4,05 April450,54-7,10482,84-0,05325,73-0,077517,86+0,54447,22 Mei441,75-1,95482,55-0,06326,40-0,21528,74+2,10444,40 Juni434,13-1,72473,00-1,98325,62-0,24524,82-0,74438,42 Rata-rata Triwulan II-3,59-0,90-0,18+0,63 Juli434,67+0,12508,06+7,41331,59+1,83547,52+4,33446,63 Agustus456,83+5,10517,61+1,88332,14+0,17547,63+0,02460,22 September *)447,88-1,96517,610,00332,57+0,13547,39-0,04458,52 +1,09+3,10+0,71+1,45 Oktober485,50+8,40437,40-15,50321,76-3,25546,02-0,25469,23

Umum

Tabel 1.2. INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA (BERDASARKAN 62 MACAM BAHAN), 1968 - 1969 Tahun / BulanMakanan (63%)Perumahan (11%)Pakaian (9%)Lain-lain (17%)

(20)

Macam BarangUnit 1. Berasliter32,0032,0030,7528,9026,1325,0025,8029,8431,3036,80 2. Ikankg159,82167,68170,53162,71161,61160,09151,71150,00149,71147,80 3. Minyak Gorengbtl81,6185,7282,1479,2876,9773,7575,5775,5474,7975,00 4. Gula Pasirkg65,0063,9361,8865,0079,9169,2063,2159,6859,7162,40 5. Garam Bataanbata13,7914,5214,5514,8615,0015,0015,6416,3415,6415,00 6. Minyak Tanahbtl4,394,544,854,554,514,204,564,884,844,80 7. Sabun Cucibtg40,5443,3043,2242,4342,1440,7142,0042,1442,0040,80 8. Tekstilmtr110,18110,71110,36110,00110,00108,57113,15114,65115,71114,60 9. Batiklbr426,79428,57425,00421,43421,43421,43427,14430,36435,71435,70 1. Berasliter556,52556,52534,78502,61454,43434,78448,70518,96544,35640,00 2. Ikan Asinkg694,87729,04741,43707,43702,65699,52650,60652,17650,91642,40 3. Minyak Gorengbtl582,92612,28586,71566,28549,78526,78539,78539,57534,21535,71 4. Gula Pasirkg650,00639,30618,80650,00799,10692,00632,10596,80597,10624,00 5. Garam Bataanbata913,24961,59963,58984,10993,38993,381035,761082,121035,76993,38 6. Minyak Tanahbtl313,57324,29346,43325,00322,14300,00325,71348,57345,71342,86 7. Sabun Cucibtg405,40433,00432,20424,30421,40407,10420,00421,40420,00408,00 8. Tekstilmtr367,26369,03367,86366,66366,66361,90377,16382,16385,70382,00 9. Batiklbr189,67190,46188,87187,28187,28187,28189,82191,25193,63193,63 516,79521,07506,70483,16454,57436,10446,50493,14509,28570,44

Tabel 1.3. HARGA DAN INDEKS 9 BAHAN POKOK DI JAKARTA (HARGA DALAM Rp) TAHUN 1969 Indeks Rata-rata (Dasar : 4 Oktober 1966 = 100) Indeks Keseluruhan

NopOktoberSeptemberAgustusMaretFebruariJanuariJuliJuniMeiApril -0,29+0,83-2,81-4,65-5,92-4,06+2,06+2,38+10,4512,01 Sumber : Biro Pusat StatistikCatatan :Pada bulan Juli 1969Minggu ke I, II & III harga beras Rp 25/ltr Diolah kembali oleh Departemen KeuanganMinggu ke IV menjadi Rp 26/ltr Minggu ke V menjadi Rp 28/ltr

Kenaikan Indeks (%)

Desemberember

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan keterangan di atas maka tindak pidana delik wanprestasi (penipuan) tidak termasuk dalam tindak pidana yang sanksinya diatur dalam alquran dan Hadis, maka

Maka seperti fadjar merekah meliputi gunung-gunung, demikianlah suatu bangsa jang besar dan kuat, sebagainja belum pernah ada dari awal zaman, dan tiada pula akan ada pada

Karena Indonesia dalam waktu yang tidak lama lagi menjadi negara pengimpor minyak maka kita harus bersiap untuk mengkonsumsi BBM dengan harga 3 kali lipat dari harga sekarang

dapat mempengaruhi respon imun inang ke arah yang lebih protektif (Belkaid et al., 1998), maka pendekatan yang mungkin dilakukan untuk mengendalikan transmisi virus dengue yaitu

Kromatografi gas dipilih untuk metode analisis residu pestisida karena kromatografi gas memiliki kelebihan diantaranya teknik analisis yang cepat, dapat menghasilkan batas

Maklumat di atas hanya berkaitan dengan bahan khusus yang ditentukan di sini dan mungkin tidak sah untuk bahan ini digunakan apabila bercampur dengan apa-apa bahan lain atau

penelitian ini adalah agar dapat mengetahui efek pemberian anestesi inhalasi sevofluran terhadap perubahan frekuensi nadi selama intra anestesi sehingga perawat

Pada penelitian ini telah dijumpai adanya beberapa faktor yang berpengaruh terhadap status bebas kejang pascaoperasi walaupun jumlah subjek pada peneltian ini