• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam kajian pustaka pada bab ini, akan dijelaskan beberapa teori tentang siswa underachiever, karakteristik, ciri-ciri, penyebab siswa menjadi underachiever, upaya pecegahan siswa menjadi underachiever dan strategi guru

dalam membantu keberhasilan belajar siswa underachiever.

A. Siswa Underachiever

1. Pengertian Siswa Underachiever

Menurut Davis dan Rimm (dalam Utami Munandar, 2012), Underachiever atau berprestasi di bawah kemampuan adalah

ketidaksesuaian antara prestasi sekolah anak dan indeks kemampuannya sebagaimana nyata dari tes intelegensi, prestasi atau kreativitas, atau dari data observasi, di mana tingkat prestasi sekolah nyata lebih rendah dari pada tingkat kemampuan anak. Rimm juga mengemukakan (dalam Deden Saepul, 2013), anak underachiever merupakan peserta didik dengan kecerdasan tinggi, tetapi tidak mencapai prestasi yang berkisar 50%. Oleh karena itu, anak underachiever ini termasuk peserta didik cerdas istimewa, dan bukan anak berkebutuhan khusus. Mereka hanyalah peserta didik cerdas istimewa yang kurang terlayani atau terabaikan oleh program cerdas istimewa.

Jadi dapat peneliti simpulkan bahwa anak underachiever memiliki tingkat kecerdasan dan keberbakatakan yang tidak seimbang.

Selain itu, gejala seorang anak menjadi underachiever muncul ketika

(2)

anak mulai terlibat kompetisi di dunia sekolah. Contohnya seorang anak memiliki bakat yang luar biasa di sekolah, namun untuk prestasi belajarnya sangat rendah.

2. Karakteristik Siswa Underachiever

Studi longitudinal terhadap 1.500 anak cerdas istimewa yang dilakukan oleh Lewis Terman (dalam Deden Saepul, 2013), mengungkapkan bahwa karakteristik cerdas istimewa berprestasi rendah yaitu:

a. Rendahnya rasa kepercayaan diri b. Ketidakmampuan untuk bertahan c. Kurangnya tujuan/motivasi d. Perasaan rendah diri

Pernyataan Lewis Terman mengenai karakteristik anak berbakat berprestasi kurang diperkuat oleh Rimm (dalam Utami Munandar, 2013), yang menjelaskan bahwa karakteristik anak berbakat berprestasi kurang dapat dikategorikan menjadi tiga tingkat yang berbeda sehubungan dengan sebab dan gejala yang tampak yaitu karakterisitik primer, karakteristik sekunder, dan karakteristik tersier.

a. Karakteristik Primer: Rasa Harga Diri Rendah

Rasa harga diri yang rendah adalah salah satu karakteristik

yang paling sering ditemukan secara konsisten pada anak berprestasi

kurang. Mereka tidak memiliki kepercayaan diri bahwa mereka

mampu melakukan apa yang diharapkan orang tua dan gurunya.

(3)

Mereka menutupi rendahnya rasa harga diri mereka dengan perilaku berani dan menentang atau dengan mekanisme pertahanan diri untuk melindungi diri. Sikap tersebut dapat dicontohkan dengan menyalahkan guru yang mengajar atau dengan menyatakan “tidak peduli” atau “tidak berusaha dengan sungguh-sungguh” jika prestasi mereka kurang memuaskan.

b. Karakteristik Sekunder: Perilaku Menghindari

Salah satu karakteristik gejala yang tampak pada anak underachiever yaitu perilaku menghindari. Perilaku tersebut dapat

dicontohkan misalnya saja anak berbakat berprestasi kurang menghindari upaya berprestasi dengan menyatakan bahwa tidak ada gunanya untuk belajar. Selanjutnya mereka dapat mengatakan bahwa jika mereka benar-benar berminat untuk belajar, mereka dapat berprestasi baik. Dengan perilaku menghindari seperti itu, mereka melindungi diri sendiri dari pengakuan bahwa mereka tidak mampu.

Pertahanan lain yang dilakukan anak berbakat berprestasi kurang adalah dengan menyalahkan sekolah agar membantu anak berbakat berprestasi kurang menghindari tanggung jawab untuk berprestasi.

Selain itu, perfectionism juga merupakan mekanisme pertahanan

anak berbakat berprestasi kurang, anak memberi alasan untuk

prestasinya yang kurang ialah karena ia menentukan sasaran belajar

mereka lebih tinggi daripada siswa lain, dengan sendirinya mereka

tidak selalu dapat mencapainya.

(4)

c. Karakteristik Tersier

Dari karakteristik primer dan sekunder yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka pada anak berprestasi kurang juga timbul karakteristik tersier. Karakteristik tersier yang timbul pada anak berprestasi kurang antara lain kebiasaan belajar buruk, masalah penerimaan oleh teman sebaya, daya konsentrasi kurang, dan masalah disiplin di rumah dan di sekolah. Melalui karakteristik inilah pendidik melakukan penanganan pertama, yaitu dengan memperbaiki kebiasaan belajar anak dan interaksi anak dengan teman-temannya.

Dari ketiga karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidik harus mampu mengatasi prestasi rendah anak berbakat, yaitu dengan cara menangani ketiga tingkat karakterisitik secara terbalik. Pertama dengan mengoreksi pada karakter tersier, dilanjutkan dengan karakteristik sekunder perilaku menghindari tugas, dan yang terakhir membantu anak berbakat berprestasi kurang menangani masalah intinya yaitu rasa harga diri yang rendah.

3. Identifikasi Anak Berbakat Berprestasi Kurang (Underachiever)

Untuk mengetahui seorang siswa tergolong anak underachiever

atau tidak, diperlukan waktu minimal 2 minggu untuk mengetahuinya

dan berikut akan dijelaskan ciri-ciri atau identifikasinya menurut

Whitemore (dalam Utami Munandar, 2013).

(5)

Tabel 1

Daftar Identifikasi Ciri-Ciri Underachiever

Jika siswa menunjukkan ciri-ciri lebih dari sepuluh dalam daftar, kemungkinan besar ia termasuk anak berbakat berprestasi kurang dan memerlukan evaluasi lebih lanjut.

No. Identifikasi

1. Nilai rendah pada prestasi

2. Mencapai nilai rata-rata atau di bawah rata-rata kelas dalam keterampilan dasar, membaca, menulis, berhitung

3. Pekerjaan sehari-hari tidak lengkap atau buruk

4. Memahami dan mengingat konsep-konsep dengan baik jika berminat

5. Kesenjangan antara tingkat kualitatif pekerjaan lisan dan tulisan (secara lebih baik)

6. Pengetahuan faktualnya sangat luas 7. Daya imajinasi kuat

8. Selalu tidak puas dengan tugas dan seninya

9. Kecenderungan ke perfeksionisme dan mengkritik diri sendiri menghindari kegiatan baru seperti untuk menghindari kinerja yang tidak sempurna

10. Menunjukkan prakarsa dalam mengerjakan proyek di rumah yang dipilih sendiri atau keinginannya sendiri

11. Mempunyai minat luas dan mungkin keahlian khusus

12. Rasa harga diri rendah nyata dalam kecenderungan untuk menarik diri atau menjadi agresif di dalam kelas

13. Tidak berfungsi konstruktif di dalam kelompok

14. Menunjukkan kepekaan dalam persepsi terhadap diri sendiri, orang lain, dan terhadap hidup pada umumnya

15. Menetapkan tujuan yang tidak realistis untuk diri sendiri,

(6)

terlalu tinggi atau terlalu rendah

16. Tidak menyukai pekerjaan praktis atau hafalan

17. Tidak mampu memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada tugas-tugas

18. Mempunyai sikap acuh atau negatif terhadap sekolah

19. Menolak upaya guru untuk memotivasi atau mendisiplinkan perilaku di dalam kelas

20. Mengalami kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya, kurang dapat mempertahankan persahabatan

Sumber : Whitmore (dalam Utami Munandar, 2013)

4. Penyebab Siswa menjadi Underachiever

Underachiever bukanlah sebuah kelainan bawaan dari lahir atau

gen yang dibawa sejak kandungan, karena underachiever merupakan sebuah perilaku yang terjadi karena beberapa sebab. Berikut penyebab siswa menjadi underachiever, antara lain:

Menurut penelitian Balitbang Diknas (dalam Deden Saepul, 2013), menyimpulkan bahwa ada 2 faktor peserta didik cerdas istimewa mengalami gejala prestasi kurang (underachiever) yaitu:

a. Lingkungan belajar yang kurang menantang mereka untuk mewujudkan potensinya secara optimal.

b. Model pembelajaran yang kurang kondusif.

Selain faktor di atas penyebab seorang anak menjadi

underachiever, disebabkan juga dari diri anak dan yang bersumber dari

luar atau lingkungan (Deden Saeful, 2013). W.H Burton (dalam Syamsu

Yusuf, 2006) mengklarifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan anak

(7)

menjadi underachiever yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor Internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal

1) Ketidakseimbangan mental atau gangguan fungsi mental

a) Kurangnya kemampuan mental yang bersifat potensial (kecerdasan)

b) Kurangnya kemampuan mental, seperti kurang perhatian, adanya kelainan, lemah dalam berusaha, menunjukkan kegiatan yang berlawanan, kurangnya energi untuk bekerja atau belajar karena kekurangan makanan yang bergizi, kurangnya penguasaan terhadap kebiasaan belajar dan hal- hal fundamental.

c) Kesiapan diri yang kurang matang.

2) Gangguan fisik

a) Kurang berfungsinya organ-organ perasaan, alat-alat bicara, dan

b) Gangguan kesehatan (sakit-sakitan).

3) Gangguan emosi

a) Merasa tidak aman.

b) Kurang bisa menyesuaikan diri, baik dengan orang, situasi,

maupun kebutuhan.

(8)

c) Adanya perasaan yang kompleks (tidak karuan), perasaan takut yang berlebihan (phobi), perasaan ingin melarikan diri atau menghindar dari masalah yang dialami, dan

d) Ketidakmatangan emosi.

Ada beberapa faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang meliputi 2 aspek yang harus dipenuhi siswa agar proses belajarnya berhasil menurut Muhibbin Syah (2010), yaitu:

1) Aspek Fisiologis

Merujuk dari pernyataan Muhibbin (2010), dapat penulis simpulkan bahwa aspek fisiologis adalah sebuah aspek yang bersifat jasmaniyah seperti gangguan kesehatan, cacat tubuh, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan tonus (tegangan otot) yang dapat mempengaruhi semangat siswa dalam mengikuti pembelajaran.

2) Aspek Psikologis

Beberapa aspek psikologis yang mempengaruhi perolehan belajar siswa, antara lain: tingkat kecerdasan/intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa, motivasi siswa.

a) Intelegensi Siswa

Intelegensi ialah kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang

memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara

tertentu (Ngalim, 2011). Intelegensi pada tiap anak tidak

(9)

sama, adapun rumus untuk mengukur intelegensi menurut William Stern dalam buku Desmita (2009:164), yaitu:

Keterangan:

- IQ = Intelligence Quotient - MA = Rasio antara usia mental - CA = Rasio antara usia kronologis

b) Sikap Siswa

Sikap adalah cara seseorang menerima atau menolak sesuatu yang didasarkan pada cara dia memberikan penilaian terhadap objek tertentu yang berguna ataupun tidak bagi dirinya (Nuryanti, 2008).

Dapat disimpulkan bahwa sikap seseorang dapat muncul

melalui dari hasil yang diterima dan dipelajari melalui

indranya. Jika seorang anak sering melihat sekelilingnya

atau orang yang terdekat di rumahnya bersikap sangat baik,

maka akan menghasilkan sikap yang baik dan sopan pada

diri anak. Sikap yang baik dan sopan dapat ditunjukkan

pada anak saat belajar, ini ditujukkan dengan maksud agar

anak memiliki sikap positif. Sikap yang demikian dapat

(10)

membentuk anak bersikap baik terhadap proses belajar dan usaha pengembangan potensi dirinya.

c) Bakat Siswa

Menurut Chaplin (dalam Muhibbin Syah, 2010), bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Sedangkan menurut Lusi Nuryanti (2008), bakat adalah kapasitas untuk belajar dan baru akan muncul setelah melalui proses latihan dan usaha pengembangan.

Dapat penulis simpulkan bahwa bakat muncul ketika seorang anak diberi kesempatan untuk mencoba dan berlatih secara terus menerus. Anak berbakat akan memberikan hasil yang jauh lebih baik dari pada anak yang sejak awal tidak menyimpan bakat dalam suatu bidang tertentu. Bakat juga mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar siswa, jika siswa tidak sadar akan bakatnya sendiri dalam memilih jurusan di sekolahnya atau bahkan melalui pemaksaan orang tua, maka akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademiknya.

d) Minat Siswa

Minat adalah kecenderungan seseorang terhadap sesuatu

atau bisa dikatakan apa yang disukai seseorang untuk

dilakukan (Nuryanti, 2008). Minat sangat berpengaruh

(11)

terhadap prestasi belajar anak, jika saat belajar keadaan hati anak senang dan sangat berminat untuk menyelesaikan tugas-tugasnya tentu saja akan menghasilkan sebuah hasil belajar yang baik.

e) Motivasi Siswa

Menurut Nuryanti (2008), motivasi adalah dorongan pada diri seseorang untuk meraih yang terbaik dalam bidang tertentu. Motivasi yang terkait dalam bidang akademik akan muncul dalam bentuk:

- Usaha untuk mendapatkan nilai yang baik - Dapat mengatasi rintangan belajar

- Mempertahankan kualitas prestasi belajar yang baik - Bersaing dengan orang lain untuk menjadi yang terbaik Dimyati (2010), mengemukakan pentingnya motivasi belajar bagi siswa, antara lain:

- Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses, dan hasil akhir.

- Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, yang dibandingkan teman sebaya.

- Mengarahkan kegiatan belajar.

- Membesarkan semangat belajar.

(12)

- Menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja (disela-selanya adalah istirahat atau bermain) yang berkesinambungan, individu dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat berhasil.

b. Faktor Eksternal

Menurut Muhibbin Syah (2010), faktor eksternal adalah faktor yang terdapat di luar diri siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa.

Faktor eksternal yang menyebabkan siswa kesulitan belajar sehingga menyebabkan anak menjadi underachiever, antara lain:

1) Lingkungan Keluarga

Pusat pendidikan yang utama dan pertama adalah keluarga,

namun terkadang, dalam lingkungan keluarga juga sebagai

faktor penyebab kesulitan belajar. Sikap atau perlakuan orang

tua terhadap anak di rumah juga sangat berpengaruh terhadap

kondisi akademik anak di sekolah. Jane Brooks (2011),

mengemukakan bahwa orangtua harus bertindak untuk

menyelesaikan kesulitan karena pencapaian di sekolah memiliki

dampak jangka panjang. Terkadang masalah yang ada di rumah

dibawa anak hingga ke sekolah, sehingga menyebabkan

konsentrasi dan semangat belajar anak menurun.

(13)

2) Lingkungan Sekolah

Utami Munandar (2012), menyatakan bahwa ada beberapa kondisi pribadi dan sekolah yang dapat menimbulkan masalah bagi anak berbakat yang merupakan awal dari pola perilaku berprestasi di bawah taraf kemampuan, antara lain mengenai kondisi di sekolah.

Whitemore (dalam Utami Munandar, 2012), menggambarkan lingkungan kelas yang menyebabkan terjadinya underachievement, yaitu kurang menghargai anak sebagai

individu, iklim yang sangat kompetitif, penekanan pada evaluasi eksternal, kekakuan, perhatian yang berlebih terhadap kesalahan dan kegagalan, dan kurikulum yang tidak menunjang keberbakatan.

a) Kelas yang tidak fleksibel

Anak berbakat intelektual belajar lebih cepat dan lebih

mudah memadukan informasi. Anak berbakat mengamati

bahwa jika menyelesaikan tugas dengan cepat akan

diberikan tugas-tugas lain yang tidak menantang tetapi

sekedar untuk menyibukkan anak, sehingga anak menjadi

bosan dan menganggap tugas tambahan sebagai hukum

untuk bekerja cepat. Agar tidak diberi tugas-tugas lain ia

bekerja lebih lambat sehingga selesai bersama dengan anak-

anak lain. Namun, karena pikirannya tetap aktif, ia mencari

(14)

kesibukan lain, seperti diam-diam membaca buku lain yang menarik, melamun, atau mengganggu tata tertib kelas. Ia kurang memperhatikan tugas-tugas belajar reguler, yang baginya membosankan, sehingga prestasinya menurun.

b) Kelas yang kompetitif

Pengumuman nilai-nilai siswa dan perbandingan hasil tes siswa secara terus menerus sangat mendorong persaingan di dalam kelas. Anak yang berprestasi baik dan selalu mendapat prestasi tinggi akan menjadi termotivasi, namun untuk siswa yang berprestasi kurang akan merasakan dampak yang tidak baik dari persaingan tersebut. Setiap hari mereka mengalami bahwa mereka tidak dapat memenuhi standar keunggulan di kelas. Guru hanya menghargai prestasi dan karena anak-anak ini tidak percaya bahwa mereka mampu memperoleh penghargaan guru, maka mereka mencari cara-cara lain di dalam kelas untuk mendapat penghargaan atau bersikap defensive untuk mempertahankan diri.

3) Lingkungan Masyarakat Luas

Menurut Erikson (dalam Sudarwan Danim, 2010), pada fase

sekolah usia 6-12 tahun merupakan tahap yang sangat penting

(15)

bagi pengembangan sosial dan jika manusia mengalami perasaan yang belum terselesaikan, ketidak cukupan kemampuan, dan inferioritas di antara rekan-rekannya, dia dapat memiliki masalah serius dalam hal kompetensi dan harga diri.

Dapat disimpulkan bahwa interaksi anak dengan teman sebaya atau lingkungan bermainnya sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar anak.

B. Upaya Pencegahan Siswa menjadi Underachiever

Mencegah lebih baik dari pada mengobati, itulah yang sering dikatakan orang sebagai motivasi diri agar menjadi individu yang sehat jasmani dan rohani. Begitu pula dengan kasus underachiever ini dapat dicegah oleh guru maupun orangtua siswa. Ada beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah siswa menjadi underachiever menurut Jeanne Ellis (2008) yaitu:

a. Terima anak apa adanya dan beri dorongan

Kemampuan yang dimiliki anak terbatas, sebagai orangtua maupun guru janganlah menuntut anak untuk menjadi seperti yang kita inginkan atau di luar kemampuan anak. Apapun prestasi anak, orangtua harus percaya kepada anak, menghargainya bahwa dia telah berusaha maksimal, dan jangan berkata kasar ketika prestasi yang diperoleh anak tidak sesuai dengan keinginan orangtua.

b. Target yang realistis

(16)

Orangtua dan guru harus membuat target yang diperkirakan sesuai dengan kemampuan anak. Jangan terlalu berharap anak akan cepat mengatasi masalahnya, karena semua membutuhkan proses.

c. Kuasai seni menuntut

Menuntut anak dengan target tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah adalah sebuah seni yang harus dikuasai guru. Berikanlah tugas kepada anak sesuai dengan kemampuannya, karena tugas yang terlalu mudah juga tidak membuat anak tertantang untuk menunjukkan kemampuannya. Sebaliknya, kegagalan yang terus-menerus karena soal yang terlalu sulit akan membunuh motivasi anak.

d. Ajari dan beri contoh belajar aktif dan memecahkan masalah

Pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan solusi atau jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik (Robert Solso, 2012:434). Seperti halnya pernyataan Solso mengenai pemecahan masalah, sebagai orangtua dan guru harus mampu memberikan penerapan pada anak bahwa mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban itu mengasyikkan, dan belajar itu menyenangkan.

Penerapan yang sederhana tersebut dapat membantu anak untuk memecahkan masalah dengan rasa senang tanpa ada ketegangan.

e. Berikan imbalan atau reward ketika anak menunjukkan prestasi belajar

(17)

Anak underachiever biasanya kurang memiliki rasa tanggung jawab atas dirinya sendiri, termasuk prestasinya. Anak yang selalu dihargai karena prestasinya, pada umumnya akan lebih termotivasi untuk berprestasi.

Sistem imbalan atau reward ini akan membantu anak untuk membangkitkan rasa tanggung jawabnya, namun dengan begitu orangtua juga harus pandai dalam memilih reward yang diberikan pada anak.

C. Strategi Guru dalam Membantu Keberhasilan Belajar Siswa Underachiever

Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah perilaku underachiever pada anak, guru sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu

melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut (Muhibbin, 2010). Langkah-langkah yang harus ditempuh guru dalam memberikan bantuan atau penanganan yang efektif bagi siswa underachiever, antara lain:

1. Mengenali Peserta Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar

Tes diagnostik merupakan instrumen untuk mengungkapkan adanya kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam bidang pelajaran tertentu (Prayitno dan Erman, 2004). Weener dan Senf (dalam Muhibbin Syah, 2010), mengemukakan banyak langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, yaitu:

a. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang

siswa ketika mengikuti pelajaran.

(18)

b. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.

c. Mewawancarai orangtua siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.

d. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.

e. Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.

2. Memahami Sifat dan Jenis Kesulitan Belajarnya

Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang berprestasi rendah tersebut dapat diketahui secara pasti (Muhibbin, 2010).

Terkadang siswa dilihat berhasil atau tidaknya di sekolah terlihat

sebelumnya dari IQ tinggi yang ia miliki, namun hal tersebut tidak

menjadi jaminan seorang anak berhasil dan tidak mengalami kesulitan

dalam belajar. Ada seorang anak yang memiliki IQ rendah namun

prestasinya tinggi, ini kemungkinan saja anak tersebut termasuk anak

yang terisolasi di dalam kelasnya. Begitu juga sebaliknya siswa memiliki

IQ tinggi, namun berprestasi rendah. Hal yang demikianlah yang harus

mendapat pemahaman yang lebih mendalam tentang jenis kesulitan

belajar yang dihadapi anak.

(19)

Jadi dapat penulis simpulkan, bahwa setiap kesulitan belajar yang dialami anak memiliki sifat dan jenis yang berbeda. Guru harus pintar- pintar dalam mendiagnosis kesulitan belajar pada anak, agar dalam penanganannya dilakukan tindakan yang tepat.

3. Menetapkan Latar Belakang Kesulitan Belajar

Kegiatan yang dilakukan dalam langkah ini menurut Muhibbin (2010) yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan studi terhadap individu dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data untuk mencari latar belakang permasalahan yang menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar. Setelah menemukan kelas atau individu siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, maka selanjutnya masalah-masalah yang harus ditelaah menurut Makmun Abin (2005), antara lain:

a. Mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu.

b. Mendeteksi pada kawasan tujuan belajar dan bagian ruang lingkup bahan pelajaran manakah kesulitan terjadi.

c. Analisis terhadap catatan mengenai proses pembelajaran.

4. Menetapkan Usaha-Usaha Bantuan

Dalam menetapkan usaha bantuan harus berdasarkan hasil

diagnostik yang sudah dilakukan sebelumnya, sehingga dari hasil

diagnostik tersebut dapat ditentukan bidang kecakapan masalah dan

perbaikannnya. Kategori bidang kecakapan menurut Muhibbin (2010),

antara lain:

(20)

a. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri.

b. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orangtua.

c. Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik oleh guru maupun orangtua.

Adapun upaya guru dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar menurut Prayitno dan Erman (2004), yaitu dengan:

a. Pengajaran perbaikan b. Kegiatan pengayaan

c. Peningkatan motivasi belajar

d. Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif

5. Pelaksanaan Bantuan

Langkah pelaksanaan bantuan untuk menangani siswa underachiever harus secara sistematis dan berkelanjutan. Menurut Rimm

(dalam Utami Munandar, 2012), dalam mengatasi siswa underachiever memerlukan strategi dan kerja sama antara sekolah dan keluarga dalam menerapkan lima langkah penting, yaitu:

a. Asesmen Kemampuan Anak dan Kemungkinan Penguatan

Langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengatasi prestasi

kurang dari anak berbakat yaitu sebaiknya dengan kerjasama antara

psikolog, guru, dan orangtua, yang mampu melakukan pengukuran

(21)

atau pengetesan, memahami berbagai gaya, masalah belajar, dan motivasi, menguasai teori belajar perilaku dan mengenal karakteristik khusus dari anak berbakat dan kreatif.

Wawancara dengan orangtua membantu untuk menemukan pola berprestasi kurang yang nyata di rumah dan di sekolah. Analisis dari kemampuan anak dan sejauh mana lingkungan rumah dan sekolah memperkuat pola berprestasi kurang, penting untuk langkah kedua dari program menangani anak underachiever.

b. Modifikasi Penguatan di Rumah dan di Sekolah

Dari hasil analisis perilaku anak dan wawancara orangtua pada langkah pertama dapat ditemukan keadaan di rumah dan sekolah yang menyebabkan anak berprestasi kurang. Perilaku anak perlu diubah dengan menentukan tujuan jangka panjang dan beberapa sasaran jangka pendek yang menjamin anak mengalami keberhasilan langsung, meskipun kecil baik di rumah maupun di sekolah.

Pengalaman keberhasilan ini perlu diperkuat dengan penghargaan atau hadiah yang tidak perlu mahal.

c. Mengubah Harapan Orang yang Penting

Terkadang mengubah lingkungan sekolah anak merupakan cara yang

efektif. Sebelum melakukan hal tersebut, kita harus yakin bahwa

perubahan lingkungan sekolah akan bermakna, jika anak berbakat

luar biasa dihambat dalam lingkungan sekolah yang hanya

menentukan tujuan dan harapan yang rata-rata, anak dapat mengubah

(22)

pola prestasinya jika ditempatkan di dalam lingkungan yang menghargai dan mengharapkan prestasi tinggi. Namun, bagi kebanyakan anak lebih realistis untuk mencoba mengubah harapan di dalam sekolah.

d. Identifikasi Model yang Ditingkatkan

Menemukan model identifikasi bagi anak berprestasi kurang sangat penting melebihi treatment lainnya. Anak berbakat berprestasi kurang, memerlukan tokoh yang berhasil dan berprestasi sebagai model. Identifikasi model tersebut sebaiknya memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Kepedulian yang sungguh-sungguh terhadap anak.

2) Jenis kelamin yang sama.

3) Kesamaan agama, minat, talenta, latar belakang ekonomi, pengalaman masalah khusus dan sifat-sifat lain.

4) Keterbukaan

5) Kesediaan memberi waktu

6) Menunjukkan rasa kepuasan pada anak underachiever, bahwa prestasi memberikan kepuasan tersendiri dalam diri.

e. Mengoreksi Keterampilan yang Kurang

Anak berbakat berprestasi kurang sebagai akibat tidak

memperhatikan di dalam kelas dan kebiasaan belajar yang buruk

(23)

menunjukkan kekurangan keterampilan yang perlu dikoreksi.

Namun, karena ia berbakat ia dapat mengatasinya dengan cukup

cepat dengan bantuan tutor dari luar (bukan orangtua). Memperbaiki

kekurangan-kekurangan akademis ini perlu dilakukan dengan tepat

sehingga anak dapat belajar mandiri, anak tidak dapat memanipulasi

tutor, dan anak melihat hubungan antara usaha dan prestasi.

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan penentuan stasiun pengamatan menggunakan teknik purposive sampling yaitu penentuan stasiun

Dari hasil pengujian sistem penggunaan teknologi computer vision yang digunakan untuk mengenali sampah dibawah laut bisa dimplementasikan dengan menguji jenis

Hasil penelitian menunjukkan kedua kelompok baik kelompok kontrol dan perlakuan sama sama memiliki hasil tidak terdapat hubungan asupan bahan makanan sumber

Berdasarkan pada hasil uji regresi berganda pada Tabel 4.17 di atas, menunjukkan bahwa variabel Independensi Auditor secara parsial berpengaruh terhadap Kualitas Audit pada

Sehubungan dengan itu, salah satu pembelajaran yang menarik yaitu pembelajaran outdoor, karena pembelajaran ini peserta didik dapat belajar sesuatu yang konkrit atau nyata

Bank sentral Eropa (ECB) sudah melakukan pembelian surat berharga (obligasi) sebesar EUR60miliar per bulan sejak Maret 2015 dan mempertahankan suku bunga deposito

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Dearah dan Retribusi Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Dearah