• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN DAN POLITIK (Gerakan Sarekat Islam di Sulawesi Utara Periode )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN DAN POLITIK (Gerakan Sarekat Islam di Sulawesi Utara Periode )"

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)PENDIDIKAN DAN POLITIK (Gerakan Sarekat Islam di Sulawesi Utara Periode 1920-1950) Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Sejarah dan Peradaban Islam. Oleh: Sabil Mokodenseho (21171200000046). Pembimbing: Prof. Jajat Burhanudin, M.A., Ph.D. Program Studi Pengkajian Islam Konsentrasi Sejarah Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2020 M/1441 H.

(2) KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan keluarganya. Atas izin dan kuasa Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Pendidikan dan Politik (Gerakan Sarekat di Sulawesi Utara Periode 1920-1950)”. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kata sempurna. Namun, terlepas dari semua kekurangan yang ada, penulis secara pribadi mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang turut andil memberikan dukungan, baik moril maupun materil, sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak di antaranya: Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Jamhari Makruf, M.A., Ph.D., dan Dr. Hamka Hasan, Lc., M.A., masing-masing selaku Direktur dan Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A., dan Dr. Asmawi, M.Ag., masing-masing selaku Ketua dan Sekertaris Program Studi Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Arif Zamhari M.Ag., Ph.D., dan Dr. Imam Sujoko, M.A., masing-masing selaku Ketua dan Sekertaris Program Studi Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Jajat Burhanudin, M.A. Ph.D, selaku pembimbing tesis yang banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan arahan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini sampai selesai. Prof. Iik Arifin Mansurnoor M.A., Ph.D., selaku dosen yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk serta arahan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini sampai selesai. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh Dosen Penguji Ujian Proposal Tesis, Ujian Work in Progress (WIP) I & II, Ujian Komprehensif, Ujian Pendahuluan Tesis dan Ujian Tesis, di antaranya: Prof. Iik Arifin Mansurnoor, M.A., Ph.D., Saiful Umam, M.A. Ph.D., Dr. Abd. Chair, M.A., Dr. Hamka Hasan, Lc., M.A., Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D., Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A., Dr. Imam Sujoko, M.A., JM. Muslimin, M.A., Ph.D., Dr. Kamarusdiana, M.H., Dr. Gazi Salam, M.Si., dan Prof. Dr. Nur Rianto Al Arief, M.Si., serta seluruh Dosen Pengajar Mata Kuliah (Semester I-III), di antaranya; Prof. Azyumardi Azra, M.A., Ph.D., Prof. Masykuri Abdillah, M.A., Ph.D., Prof. H. M. Atho Mudzhar, M.A., Ph.D., Prof. Dr. H. Salman Harun., Prof. Iik Arifin Mansurnoor, M.A., Ph.D., Alm. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A., Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A., Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.A., Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H., M.H., Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., Prof. Zulkifli, M.A., Ph.D., Prof. Dr. H.M. Suparta, M.A., Prof. M. Arskal Salim GP, M.Ag., Ph.D., Dr. H. Abd. Chair, M.A., Prof. Ali Munhanif, M.A., Ph.D., Dr. Abd. Wahid Hasyim, M.A., JM. Muslimin, M.A., Ph.D., Usep Abdul Matin, M.A., Ph.D., Prof. Amelia Fauzia, M.A., Ph.D., Khamami Zada, M.A., Ph.D., Yusuf Rahman, M.A., Ph.D., Dr. M. Arief Mufraini, ii.

(3) Lc., M.Si. Seluruh Staf dan Karyawan, serta Staf Perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada orang tua penulis, ayahanda Bakri Mokodenseho dan ibunda Sartini Paputungan, ayahanda Dr. Muh. Idris, M.Ag dan ibunda Dr. Evra Willya, M.Ag. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak beserta suami, Siti Aisa Mokodenseho dan Heri Mandagi, serta ketiga keponakan Fadila Mandagi, Mardhatillah Assyafa Mandagi, Nadifa Azalia Rajwa Mandagi. Kepada adik saya beserta suami, Siti Hardianti Mokodenseho dan Muamar Zamandulak (alm.), serta kedua keponakan, Putra Hafiz Zamandulak (alm.) dan Qorri Aina Zamandulak. Kepada adik bungsu penulis, Mutia Mokodenseho. Berkat motivasi dari merekalah, penulis dengan segala tantangan dan lika-liku hidup yang dihadapi, utamanya dalam menyusun tesis ini, bisa terselesaikan. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia selaku pemberi Beasiswa Penuh Fresh Graduate Tahun 2017-2019. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Provinsi Sulawesi Utara selaku pemberi Beasiswa Tugas Akhir (Penelitian). Juga kepada pihak-pihak, di antaranya H. Sukron Mamonto, S.E., M.M., (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow). Ayahanda Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A., Ayahanda Fu’ad Jabali, M.A., Ph.D (Dosen SPS. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Ayahanda Dr. Muhammad Idris, M.Ag., (Ketua Prodi Pendidikan Islam PPS. IAIN Manado), Ibunda Dr. Evra Willya, M.Ag (Ketua Prodi Syariah PPS. IAIN Manado), Prof. Dustin Carrell Cowell, Ph.D (University of Wisconsin Amerika), Hj. Juhrah M. Arib Lc. M.Th.I (Dosen IAIN Manado), Prof. Ismail Suardi Wekke, Ph.D., (Dosen IAIN Sorong dan University College of Yayasan Pahang, Malaysia), Dr. Drs. Ishak W. Talibo, M.Pd.I (Dosen IAIN Manado), Fanny Saman, S.Ag., (KABAG Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Manado) Nurbaini Futuhat Wulansari, M.I.Kom., (SPS. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Donald Qomaidiansyah Tungkagi, M.A., Almunauwar B. Rusli M.Pd., dan juga buat seluruh saudara/utat-utat yang tergabung dalam Kerukunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow (KPMIBM) Cabang Jakarta, serta Forum Generasi Muda Bolaang Mongondow Indonesia (FGMBMI) Jakarta. Kepada sahabat baik saya Ahmad Labib Majdi, yang telah banyak membantu penulis dalam setiap kesulitan, baik kesulitan dalam bidang akademik maupun kesulitan-kesulitan di luar akademik yang tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu. Semoga persahabatan kita akan terus terjalin sampai seterusnya. Ucapan yang sama juga buat kawan-kawan seperjuangan, di antaranya Abangda Dani Ramdany, Ahmad Ali Fikri, Dede Multazam, Adi Fadila, Agus Kusman, dan Habibie Muttaqin, serta seluruh teman-teman Program Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2017. Jakarta, 05 Januari 2020 Sabil Mokodenseho. iii.

(4) ABSTRAK Tesis “Pendidikan dan Politik (Gerakan Sarekat Islam di Sulawesi Utara Periode 19201950)” bertujuan untuk mengungkap dan menganalisis pengaruh gerakan pendidikan, dan gerakan politik Sarekat Islam, serta kontribusinya terhadap perkembangan masyarakat Bolaang Mongondow. Metode penelitian yang digunakan adalah metode historical research. Prosedur penelitian dilakukan melalui pengumpulan data (heuristik), kritik sumber (verifikasi), analisis dan sintesis (interpretasi), serta penulisan sejarah (historiografi). Sementara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologis, sosiologi, antropologi, keagamaan dan politik. Adapun sumber yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder yang terdiri dari sumber tulisan berupa buku, artikel jurnal, arsip, koran dan majalah, serta sumber non-tulisan berupa hasil wawancara dan bukti arkeologis. Penelitian ini menemukan beberapa hal untuk menjawab rumusan masalah penelitian, di antaranya: Pertama, gerakan Sarekat Islam dalam bidang pendidikan di Bolaang Mongondow ditandai oleh pendirian Sekolah Islamiyah BPPI tahun 1926 dengan masa studi lima tahun. Tahun 1931, Sarekat Islam membuka Sekolah BPPI masa studi tujuh tahun. Di tahun 1937, Sarekat Islam membuka Sekolah Guru dengan masa studi empat tahun. Selain mendirikan sekolah formal (swasta), Sarekat Islam juga mendirikan Kepanduan Sarekat Islam Angkatan Pandu (SIAP) untuk melatih keterampilan murid-murid tamatan Sekolah Islamiyah dan Sekolah BPPI. Kedua, gerakan Sarekat Islam dalam bidang politik di Bolaang Mongondow dilakukan menggunakan tiga model gerakan, yaitu membuka kesempatan politik (political opportunity), melakukan pembingkaian (framing) dan memobilisasi sumber (resource mobilization). Ketiga, kontribusi pendidikan dan politik Sarekat Islam di Bolaang Mongondow adalah untuk menyadarkan dan membebaskan rakyat dari sistem pendidikan dan politik Kolonial Belanda, memunculkan elit baru terdidik, serta menumbuhkan wacana kemajuan dan semangat nasionalisme rakyat. Gerakan Sarekat Islam di Bolaang Mongondow dalam bidang pendidikan, khususnya dalam pendirian Sekolah Islamiyah yang kemudian berubah menjadi Sekolah BPPI, berbeda dengan sekolah yang didirikan Sarekat Islam di daerah lain, seperti Cirebon, Pekalongan, Pati, Majalengka, Kudus, Sukadana, Lampung dan Demak yang memakai nama Sarekat Islam School met de Qur’an sebagaimana penelitian Imas Emalia (2008). Pendidikan Sarekat Islam cenderung mengikuti teori humanisasi yang digagas oleh Paulo Freire (1997) dan sependapat dengan penelitian Mansur (2013) yang mengatakan bahwa pendidikan Sarekat Islam sebagai penyadaran dan pembebasan. Sementara pembahasan gerakan Sarekat Islam dilakukan mengikuti teori social movement yang dikembangkan McAdam, McCarthy, Zald (2004) dan Tarrow (1996). Penelitian ini tidak sependapat dengan tesis Yeon (2003) yang mengatakan bahwa Sarekat Islam seolah gagal dalam menumbuhkan semangat rakyat dan mengusahakan kepentingan rakyat dalam pergerakan nasional. Yeon juga mengatakan bahwa tidak jarang juga terjadi konflik antara internal Sarekat Islam, termasuk antara masyarakat dan Sarekat Islam itu sendiri. Menurut penelitian ini, tidak bisa melihat gerakan Sarekat Islam secara general gagal dalam pergerakannya. Karena di tempat lain, khususnya Bolaang Mongondow, gerakan Sarekat Islam justru berhasil dan tidak terjadi konflik, baik konflik secara internal organisasi atau partai maupun antara masyarakat dengan Sarekat Islam. Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa Sarekat Islam merupakan organisasi nasional pencetus awal pendidikan penyadaran dan pembebasan, serta pembuka kesempatan politik bagi rakyat Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Kata kunci: Pendidikan, Politik, Gerakan Sosial, Nasionalisme, Sarekat Islam. vii.

(5) ‫ملخص‬ ‫يهدف هذا البحث "التربية والسياسة (حركة الشريكة اإلسالمية في سوالويزي الشمالية للعام‬ ‫‪ 1950-1920‬م)" كشف وتحليل تأثير حركة شريكة اإلسالمية التربية والسياسية‪،‬‬ ‫ومساهمتها في تطوير مجتمع بوألنج موغوندو‪ .‬وأما طريقة البحث المستخدمة هي طريقة‬ ‫البحث التاريخية‪ .‬وخطوته المستخدمة جمع البيانات (االستدالل) ‪ ،‬نقد المصادر (التحقيق)‬ ‫‪،‬التحليل والتركيب (التفسير) ‪ ،‬وكذلك كتابة التاريخ (حيستوريوكرافي)‪ .‬ونهجه المستخدمة‬ ‫هي النهج النفسية واالجتماعية واألنثروبولوجية والدينية والسياسية‪ .‬ومصادره تبنى على‬ ‫المصادر األولية والثانوية مطبوعة كانت أو غير مطبوعة من الكتب والمقاالت العلمية‬ ‫والصحف الرسمية والجريدات ومجالت وحاصل المقابالت واألدلة األركيولوجية‪ .‬وجد هذا‬ ‫البحث إجابة لمشكلة البحث أوال‪ ،‬أن مبدأ حركة الشريكة اإلسالمية في مجال التربية في‬ ‫بوالنج مونغوندو تأسيس المدرسة اإلسالمية (‪ )BPPI‬في العام ‪ 1926‬م بزمان الدراسة خمس‬ ‫سنوات‪ .‬وتغير زمان الدرسة سبع سنوات فى العام ‪ 1931‬م‪ .‬ثم أسست المدرسة للمعلمين‬ ‫بزمان الدراسة أربع سنوات في العام ‪ 1937‬م‪ .‬وكذلك أسست مدرسة الكشاف اإلسالمية‬ ‫(‪ )SIAP‬لتدريب خريجي المدرسة اإلسالمية (‪ .)BPPI‬ثانيا ً ‪ ،‬استخدمت حركة الشريكة‬ ‫اإلسالمية ثالث طرق فى مجال السياسة فى بوألنج موغوندو هي افتتاح األنسية السياسية‬ ‫والتشكيل وتحريك المصادر‪ .‬وثالثا أن اسهام الشريكة اإلسالمية فى التربية والسياسة الوعي‬ ‫وتحرير الراعية من التربية وسياسة الهولند وإنشاء النبخة الجديدة المتعلمة ونشر التقدم‬ ‫والوطنية للراعية‪ .‬اختلفت المدرسة اإلسالمية بناها الشريكة اإلسالمية فى بوألنج موغوندو‬ ‫بالمدارس اإلسالمية فى الدائرة األخرى كجيرابون‪ ،‬فكالونجان‪ ،‬فاتي‪ ،‬مجالينجكا‪ ،‬كودوس‪،‬‬ ‫سوكادانا‪ ،‬المفونج‪ ،‬وديماك باصطالح مدرسة الشريكة اإلسالمية ( ‪Sarekat Islam‬‬ ‫‪ )School met de Qur’an‬كما كتبتها إيماليا (‪ 2008‬م)‪ .‬ويناسب منهج دراسة مدرسة‬ ‫الشريكة اإلسالمية بنظرة فولو فريري (‪ 1997‬م) كما أشارها منصور (‪ 2013‬م)‪ .‬وتبحث‬ ‫حركة الشريكة اإلسالمية تحت نظرية الحركة اإلجتماعية التي طورها ميك أدم‪ ،‬ميك‬ ‫تراو(‪ 1996‬م)‪ .‬ال يتفق هذا البحث برأي يون (‪ 2003‬م) الذي‬ ‫جارطي‪ ،‬زالد (‪ 2004‬م)‪ ،‬و ّ‬ ‫يقول إن الشريكة اإلسالمية فشلت في إنشاء حماسة الرعية والسعي فى تأييد مصلحتهم الحركة‬ ‫الوطنية‪ .‬وقال يون أيضًا تقع األختالفات فى الشريكة اإلسالمية داخلية كانت أو خارجية أي‬ ‫مع المجتمع‪ .‬اختالفا بذلك يدل هذا البحث أن حركة الشريكة اإلسالمية فى بوألنج موغوندو‬ ‫نجحت والتقع اإلختالفات فيها داخلية كانت أو خارجية‪ .‬وإلستنباط من هذا البحث أن حركة‬ ‫الشريكة اإلسالمية جمعية الوطنية بدأت فى تربية الوعي والتحرير وافتتاح األنسية السياسية‬ ‫لراعية بوألنج موغوندو سوالويزي الشمالية‪.‬‬ ‫الكلمات الرائسية ‪ :‬التربية ‪ ،‬السياسة ‪ ،‬الحركات االجتماعية ‪ ،‬الوطنية ‪ ،‬الشريكة اإلسالمية‬. ‫‪viii‬‬.

(6) ABSTRACT Thesis “Education and Politics (Sarekat Islam Movement in North Sulawesi Period 19201950)” aims to uncover and analyze the influence of the educational movement, Sarekat Islam political movement, and its contribution to the development of the Bolaang Mongondow community. The research method used is the historical research method. Research procedures are carried out through data collection (heuristics), source criticism (verification), analysis and synthesis (interpretation), as well as writing history (historiography). While the approaches used are psychological, sociological, anthropological, religious and political approaches. The sources used are primary and secondary sources consisting of written sources in the form of books, journal articles, archives, newspapers and magazines, as well as non-written sources in the form of interviews and archaeological evidence. This study found several things to answer the formulation of the research problem, including: First, the Sarekat Islam movement in the field of education in Bolaang Mongondow was marked by the establishment of the BPPI Islamic School in 1926 with a five-year study period. In 1931, Sarekat Islam opened the BPPI School for a seven-year study period. In 1937, Sarekat Islam opened a Teacher's School with a four-year study period. In addition to establishing a formal (private) school, Sarekat Islam also established the Sarekat Islam Angkatan Pandu (SIAP) to train the skills of students graduating from Islamic Schools and BPPI Schools. Second, the Sarekat Islam movement in politics in Bolaang Mongondow was carried out using three models of movement, namely opening political opportunities, framing and mobilizing resources (resource mobilization). Third, the educational and political contribution of the Sarekat Islam in Bolaang Mongondow is to awaken and liberate the people from the Dutch colonial education and political system, bring up new educated elites, and foster a discourse of progress and the spirit of popular nationalism. The Sarekat Islam movement in Bolaang Mongondow in the field of education, especially in the establishment of Islamic Schools which later turned into BPPI Schools, is different from schools established by Sarekat Islam in other areas, such as Cirebon, Pekalongan, Pati, Majalengka, Kudus, Sukadana, Lampung and Demak which use the name of Sarekat Islam School met de Qur'an as researched by Imas Emalia (2008). Sarekat Islam education tends to follow the humanization theory that was initiated by Paulo Freire (1997) and agrees with Mansur’s research (2013) which says that Sarekat Islam education as awareness and liberation. While the discussion of the Sarekat Islam movement was carried out following the social movement theory developed by McAdam, McCarthy, Zald (2004) and Tarrow (1996). This research does not agree with Yeon’s thesis (2003) which says that Sarekat Islam seems to fail in fostering people’s enthusiasm and striving for the interests of the people in the national movement. Yeon also said that not infrequently conflicts also occur between internal Sarekat Islam, including between the community and Sarekat Islam itself. According to this research, one cannot see the Sarekat Islam movement in general failing in its movement. Because in other places, especially Bolaang Mongondow, the Sarekat Islam movement actually succeeded and there were no conflicts, both internal conflicts between organizations or parties and between the people and Sarekat Islam. The conclusion of this thesis is that Sarekat Islam is a national organization that originated the initial education of awareness and liberation, as well as opening political opportunities for the people of Bolaang Mongondow, North Sulawesi. Keywords: Education, Politics, Social Movements, Nationalism, Sarekat Islam. ix.

(7) PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Konsonan b. = ‫ب‬. z = ‫ز‬. f = ‫ف‬. t. = ‫ت‬. s = ‫س‬. q = ‫ق‬. th = ‫ث‬. sh = ‫ش‬. k = ‫ك‬. s} = ‫ص‬. l = ‫ل‬. h{ = ‫ح‬. d} = ‫ض‬. m= ‫م‬. kh = ‫خ‬. t} = ‫ط‬. n = ‫ن‬. d = ‫د‬. z = ‫ظ‬. w= ‫و‬. dz = ‫ذ‬. ‘ = ‫ع‬. h = ‫ه‬. r = ‫ر‬. g =‫غ‬. y = ‫ي‬. j. = ‫ج‬. B. Vocal 1. Vocal Tunggal Tanda Nama َ. Fathah. Huruf Latin a. Nama. i u. I U. Kasrah Dhammah 2. Vocal Rangkap Tanda Nama ‫َي‬ ‫و‬ Contoh: ‫ حسين‬: H{usain. Fathah. Gabungan Huruf a. Kasrah. i. ‫ حول‬: H{aul. x. A. Nama A I.

(8) C. Ta’ Marbut}ah Transliterasi ta’ marbut}ah ditulis dengan “ha”, baik dirangkai dengan kata sesudahnya maupun tidak, contoh (‫)مرأة‬, madrasah (‫)مدرسة‬ Contoh: ‫المدينة المنورة‬: al-Madi>nah al-Munawwarah D. Shadda>h Shaddah atau tashdid ditransliterasi, dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah tersebut. Contoh: ‫ ربنا‬: Rabbana> ‫ نزل‬: Nazzala E. Kata Sandang Kata sandang “‫ ”ال‬dilambangkan berdasar huruf yang mengikutinya, jika diikuti huruf syamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan ditulis “al” jika diikuti dengan huruf qamariyah. Selanjutnya “‫ ”ال‬ditulis lengkap baik menghadapi al-Qamariyah contoh kata al-Qamar (‫)القمر‬ maupun al-Syamsiyah seperti kata al-Rajulu (‫)الرجل‬. Contoh: ‫ الشمس‬: al-Syams ‫ القلم‬: al-Qalam F. Pengecualian Transliterasi Pengecualian transliterasi adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, seperti lafal ‫هللا‬, Asmaul Husna dan Ibn, kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.. xi.

(9) DAFTAR ISI Halaman Judul .............................................................................................................. i Kata Pengantar ............................................................................................................. ii Lembar Pernyataan Bebas Plagiarisme ........................................................................ iv Lembar Persetujuan Pembimbing ................................................................................. v Lembar Pengesahan Hasil Ujian Tesis ......................................................................... vi Abstrak .......................................................................................................................... vii Pedoman Transliterasi Arab-Latin ............................................................................... x Daftar Isi ....................................................................................................................... xii Daftar Tabel dan Gambar ............................................................................................. xiv Daftar Singkatan ........................................................................................................... xv BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Permasalahan ................................................................................. 15 1. Identifikasi Masalah ................................................................. 15 2. Perumusan Masalah .................................................................. 16 3. Pembatasan Masalah ................................................................ 16 17 C. Tujuan Penelitian ........................................................................... D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian .............................................. 17 E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................ 17 23 F. Metode Penelitian ........................................................................... 27 G. Sistematika Penulisan....................................................................... BAB II. LANDASAN TEORI PENDIDIKAN DAN POLITIK 28 ISLAM ..................................................................................................... A. Politik dan Pengetahuan ................................................................. 28 B. Pendidikan sebagai Penyadaran dan Pembebasan ......................... 35 C. Gerakan Sosial (Social Movements)................................................ 41 1. Kesempatan Politis (Political Opportunity) ............................. 44 2. Mobilisasi Sumber (Resource Mobilization) ............................ 46 3. Proses Pembingkaian (Framing Process) ................................. 49 D. Konsep Nasionalisme ..................................................................... 51. BAB III. 60 SAREKAT ISLAM BOLAANG MONGONDOW .............................. A. Profil Kerajaan Bolaang Mongondow ............................................ 60 65 1. Sosial Keagamaan .................................................................... 2. Dinamika Pendidikan ............................................................... 73 3. Politik Pemerintahan ................................................................ 80 B. Perkembangan Sarekat Islam .......................................................... 92 1. Lahirnya Sarekat Islam di Indonesia ........................................ 92 xii.

(10) 98 2. Perubahan Sarekat Islam Menjadi Partai Politik ...................... 3. Masuknya Sarekat Islam di Bolaang Mongondow ................... 99 BAB IV. GERAKAN SAREKAT ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN POLITIK DI BOLAANG MONGONDOW ..................................................................................... 104 104 A. Gerakan Sarekat Islam dalam Pendidikan ...................................... 1. Jenjang dan Prinsip Kurikulum Pendidikan Sarekat 106 Islam ......................................................................................... a) Jenjang Pertama (Lager Onderwijs) .................................. 106 107 b) Jenjang Kedua (Middelbaar Onderwijs) ........................... c) Jenjang Ketiga (Hooger Onderwijs/Universiteit) ............. 108 2. Pendirian dan Perkembangan HIS BPPI .................................. 108 117 3. Pendirian Kweekschool ............................................................. 4. Pemuda dan Kepanduan ........................................................... 118 B Gerakan Politik Sarekat Islam ......................................................... 120 121 1. Ekonomi sebagai Basis Gerakan Politik Sarekat Islam ............ a) Kelas Menengah sebagai Motor Penggerak 124 Gerakan Politik Sarekat Islam ........................................... b) Pendirian Koperasi Khazanatullah .................................... 134 2. Propaganda Sarekat Islam di Bolaang Mongondow ................. 136 3. Bergabungnya Sarekat Islam dengan Gabungan Politik Indonesia .................................................................................. 141 149 4. Ikut Mengibarkan Bendera Merah Putih ................................... 5. Sarekat Islam dalam Kelaskaran Banteng Bolaang Mongondow .............................................................................. 152. BAB V. KONTRIBUSI PENDIDIKAN DAN POLITIK 156 SAREKAT ISLAM DI BOLAANG MONGONDOW ........................ A. Pendidikan Penyadaran dan Pembebasan ...................................... 156 B. Munculnya Elit Baru yang Terdidik .............................................. 162 C. Tumbuhnya Wacana Kemajuan dan Nasionalisme ........................ 173. BAB VI. PENUTUP ..................................................................................... 182 A. Kesimpulan ..................................................................................... 182 B Saran dan Rekomendasi .................................................................. 183. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 184 LAMPIRAN ................................................................................................................. 209 GLOSARIUM .............................................................................................................. 226 INDEKS ....................................................................................................................... 232 BIOGRAFI PENULIS .................................................................................................. 235. xiii.

(11) DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5.. : : : : :. Tabel 6. Tabel 7.. : :. Tabel 8.. :. Tabel 9.. :. Tabel 10.. :. Tabel 11.. :. Gambar 1.. :. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4.. : : :. Gambar 5.. :. Gambar 6.. :. Gambar 7.. :. Jumlah Penduduk Bolaang Mongondow Tahun 1906 Raja-raja Bolaang Mongondow (+1653-1947) Susunan Residen Manado (1819-1942) Susunan Bupati Bolaaang Mongondow (1950-2011) Daftar Sekolah Rakyat (SR) NZG Bolaang Mongondow Tahun 1906 Kontrolir di Bolaang Mongondow (1901-1950) Sekolah-sekolah Yayasan Pendidikan Cokroaminoto Kabupaten Bolaang Mongondow Perkembangan Sekolah-sekolah Yayasan Pendidikan Cokroaminoto Kabupaten Bolaang Mongondow 19332011 Data Murid Yayasan Pendidikan Cokroaminoto Bolaang Mongondow Raya Tahun 2014-2015 Data Guru Yayasan Pendidikan Cokroaminoto Bolaang Mongondow Raya Tahun 2014-2015 Data Ruang Kelas, Ruang Praktek dan Laboratorium Yayasan Pendidikan Cokroaminoto Bolaang Mongondow Raya Tahun 2014-2015 Peta Bolaang Mongondow dan Sulawesi Utara di Asia Tenggara Hollands Inlandsche School Kotamobagu (1906) Kelas tertinggi dari HIS Kotamobagu Pertemuan Sarekat Islam di Desa Pasi Bolaang Mongondow Tahun 1926 Murid-murid Kelas V dan VI Sekolah Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiyah (BPPI) Molinow (Kerajaan Bolaang Mongondow) Pimpinan dan Anggota Sarekat Islam Angkatan Pandu (SIAP) Kerajaan Bolaang Mongondow Pasukan Kelaskaran Banteng RI Bolaang Mongondow saat mengikuti Pawai Akbar Merah Putih di Kotamobagu Tahun 19 Desember 1945. xiv. 61 62 64 65 75 84 112. 113 115 115. 116 69 76 78 102. 111 119. 154.

(12) DAFTAR SINGKATAN ALS ANRI BB BKR BPPI CSI CSP CVO DPRD EHBO ELS GAPI GBHN Gerindo GHS/GH HIS IEV IKP JIB KKNI KNIL KRI KUD LSM MIAI MPR MTS MULO NICA NIT NKRI NPS NU NZG PAI PAI Partindo PBI PETA PII PKH PKI PMI PNI. : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :. Algemene Lagere School Arsip Nasional Republik Indonesia Binnenlandsch Bestuur Badan Keamanan Rakyat Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiyah Central Sarekat Islam Christelijke Staatkundige Partij Curcus voor Volks Onderwijzer Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Eerste Hulp Bij Ongelukken Europeesche Lagere School Gabungan Politik Indonesia Garis-garis Besar Haluan Negara Gerakan Rakyat Indonesia Geneeskundige Hoogeschool Hollandsch Inlandsche School Indo-Europees Verbond Indische Katholieke Partij Jong Islamieten Bond Keputusan Komite Nasional Indonesia Koninklijke Nederlandsch Indisch Leger Kongres Rakyat Indonesia Koperasi Unit Desa Lembaga Sosial Masyarakat Majelis Islam A’la Indonesia Majelis Permusyawarat Rakyat Madrasah Tsanawiyah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Nederlandsch Indie Civiele Administratie Negara Indonesia Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia Netrale Particuliere School Nahdlatul Ulama Nederlandsche Zendings Genootschap Pendidikan Agama Islam Persatuan Arab Indonesia Partai Indonesia Persatuan Bangsa Indonesia Pembela Tanah Air Partai Islam Indonesia Perserikatan Komunis Hindia Partai Komunis Indonesia Pemuda Muslim Indonesia Partai Nasional Indonesia xv.

(13) PNS PPKI Pramuka PSII RI RIS SD SDI SI SIAP SMA SMI SMK SMP STOVIA TK VC VOC WAPSI YPC YPIC SR UU. : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :. Pegawai Negeri Sipil Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Praja Muda Karana Partai Sarekat Islam Indonesia Republik Indonesia Republik Indonesia Serikat Sekolah Dasar Sarekat Dagang Islam Sarekat Islam Sarekat Islam Angkatan Pandu Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Islam Sekolah Menengah Kejuruan Sekolah Menengah Pertama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Taman Kanak-kanak Vederlandse Club Vereenigde Oost-Indische Compagnie Wanita Partai Sarekat Islam Yayasan Pendidikan Cokroaminoto Yayasan Pendidikan Islam Cokroaminoto Sekolah Rakyat Undang-undang. xvi.

(14) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Awal abad ke-20 menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pencanangan kebijakan penjajah yang baru. Penjajahan di negeri ini mempunyai dua sisi yaitu keterpurukan dan kesengsaraan pada pihak terjajah, serta kemakmuran dan kejayaan bagi pihak yang menjajah. Keduanya berhadap-hadapan sebagai lawan di segala bidang.1 Pihak pertama berusaha membebaskan diri dan bangsanya dari genggaman serta kekuasaan bangsa asing yang ditandai dengan hadirnya sekelompok orang yang memelopori usaha-usaha untuk melenyapkan penjajah. Sementara pihak kedua berusaha untuk mempertahankan koloninya sebagai sumber devisa yang diambil dari tanah jajahan.2 Sejak Belanda memasuki wilayah Indonesia yang berlangsung mulai abad ke-17 sampai dengan abad ke-19, perlakuan-perlakuan diskriminasi pada bangsa India, Arab dan Cina terhadap Pribumi juga berlangsung di masa ini. Pemberlakuan politik “rasionalisme” berdampak pada stratifikasi sosial masyarakat. Manusia digolongkan menjadi beberapa golongan dan penduduk Pribumi (Indonesia) diposisikan sebagai golongan atau kelas bawah dalam strata sosial di masyarakat.3 Pemerintah Hindia Belanda di tanah jajahan melakukan ekspansi kekuasaan hingga ke berbagai segi kehidupan, baik kehidupan politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Dalam urusan politik, Belanda turut campur tangan secara intensif dalam masalah-masalah intern rakyat Pribumi dengan ikut menentukan kebijakankebijakan politik rakyat. Begitu juga dalam bidang ekonomi, Belanda mendesain suatu kebijakan untuk memberi kebebasan berdagang bagi kalangan Cina.4 Saat itu, posisi Cina dalam struktur ekonomi adalah sebagai pedagang yang menjembatani pemerintah Hindia Belanda dengan orang-orang Pribumi dalam urusan perdagangan. Selain diberikan kebebasan berdagang oleh Belanda, mereka turut terbantukan dengan segala macam fasilitas yang mumpuni, sehingga tidak heran jika orangorang Cina sukses menguasai hampir semua sektor ekonomi rakyat Hindia Belanda, utamanya dalam memonopoli bahan-bahan batik. Kesuksesan orang-orang Cina dalam bidang ekonomi membuat mereka besar kepala dan makin bergejolak pasca revolusi Cina.5 Penekanan dalam bidang ekonomi pada masa itu tidak hanya terjadi di masyarakat Pribumi (Indonesia). Brunei misalnya, meningkatnya tekanan yang diberikan Eropa sejak abad ke-19, membuat mereka menderita secara ekonomi. Hal tersebut membuat para pemimpin 1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, cet. 3, Penerjemah S. Wahono, dkk., (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 341. 2 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional dan Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid. 2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 6. 3 Abu Hanifah, Renungan Perjuangan Bangsa Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), h. 8-10. 4 W. Poespoprodjo, Jejak-jejak Sejarah 1908-1928: Terbentuknya Suatu Pola, (Bandung: Remaja Karya, 1986), h. 8. 5 A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1980), h. 4.. 1.

(15) lokal menjalankan kekuasaannya secara sendiri-sendiri atau bekerja sama dengan kalangan luar. Dengan demikian, para elit di Brunei bersaing lebih agresif untuk mendapatkan posisi dan akses yang lebih baik ke sumber daya ekonomi terbatas yang tersedia. Sehingga tidak heran jika krisis politik dan persaingan di antara kelas penguasa menjadi fitur berulang selama paruh pertama abad ke-19.6 Selain diskriminasi dalam masalah politik dan ekonomi, Belanda juga ikut campur dalam urusan-urusan pendidikan masyarakat Pribumi. Kita ketahui bersama bahwa pendidikan di Indonesia sudah berjalan sejak Belanda menjajah bangsa ini. Di tanah jajahan, Belanda mengeluarkan kebijakan politik etis atau politik balas budi yang di dalamnya mencakup irigasi, edukasi dan emigrasi (transmigrasi). Suzanne Moon dalam studinya melihat kebijakan politik etis sebagai pertautan teknologi dan perluasan ekonomi. Irigasi dilakukan untuk menaikkan hasil produksi panen, sedangkan dalam bidang edukasi, termasuk sekolah pertanian dijalankan untuk mendidik para pekerja yang terampil dalam pertanian. Begitupun dalam bidang emigrasi, merupakan kebijakan untuk mendistribusikan hasil pertanian ke berbagai penjuru dengan bantuan alat dari pemerintah.7 Melalui politik etis, Belanda menyatakan bahwa mereka memegang komitmen moral terhadap kesejahteraan seluruh masyarakat Pribumi. Gagasan politik etis ini muncul sebagai kritik atas politik tanam paksa8 yang diberlakukan Belanda sebelumnya. Bermula dari dilaksanakannya sistem tanam paksa tahun 1830-1870 ikut membuat Hindia Belanda dilanda kemiskinan. Penerapan sistem tanam paksa tersebut menuai kritikan dari kelompok pembela kaum Pribumi, mereka adalah L. Vitalis (Inspektur Pertanian), dokter W. Bosch (Kepala Dinas Kesehatan), dan W.R. Baron van Hoevell yang tidak lain adalah seorang pendeta yang ditugaskan untuk Hindia Belanda dan kemudian menjadi Anggota Parlemen di masa itu. Tiga tokoh tersebut ikut membela penduduk Hindia Belanda serta memandang bahwa pemerintah kolonial Belanda harus memerhatikan dan memenuhi kepentingan masyarakat Pribumi.9 Di tahun 1885, banyak perusahaan asing ikut masuk dan bergabung dengan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan. Hal tersebut ikut menghapus harapanharapan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Pribumi, termasuk dengan adanya pemberian upah rendah kepada buruh. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda tersebut sebenarnya sejak awal telah mendapat kritikan-kritikan pedas dari berbagai kalangan, misalnya kritikan yang ditulis dalam buku Max Havelaar (1860) karya. Iik Arifin Mansurnoor, “Sosio-Religious Changes in Brunei after the Pacific War.” Journal Islamic Studies, vol. 35, no.1, 1996, h. 45-70. 7 Suzanne Moon, “The Emergency of Technological Development and the Question of Native Identity in Netherlands East Indies.” Journal of Southeast Asian Studies, vol. 36, no. 2, 2005, h. 200. 8 Marieke Bloembergen, Polisi Zaman Hindia Belanda, (Jakarta: Kompas Media Nusantara & KITLV, 2011), h. 225.; Linbald J. Thomas, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru, (Jakarta: LP3ES, 2000), h. 80. 9 A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad 19-Awal Abad 20, (Jakarta: Ombak, 2012), h. 56.; Gusti M. Prayudi & Dewi Salindri, “Educational on Dutch Government in Surabaya at 1901-1942.” Jurnal Publika Budaya, vol. 1, no. 3, 2015, h. 20-34. 6. 2.

(16) Multatuli (Douwes Dekker).10 Buku tersebut menjelaskan bahwa kondisi buruk dan penderitaan masyarakat petani saat itu disebabkan penekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, gagasan yang ditulis oleh C. Th. van Deventer berjudul Een Eereschuld (Hutang Budi) yang dimuat dalam Majalah De Gids tahun 1899.11 Gagasan tersebut berisi tentang kejayaan dan kemakmuran negeri Belanda diperoleh dari semangat, kerja keras dan jasa masyarakat Pribumi. Sudah sepatutnya, Belanda sebagai bangsa yang maju harus membayar hutang budi terhadap masyarakat Pribumi dengan menyelenggarakan trias atau trilogi yang kita kenal dengan (politik etis), yaitu irigasi, emigrasi dan edukasi. Gagasan C. Th. van Deventer di atas mendapat tanggapan dari pihak pemerintah kolonial Belanda dengan menyampaikan gagasan pembaharuan melalui isi pidato Ratu Wilhelmina yang berjudul Ethische Richting (Haluan Etis) atau Nieuw Keurs (Haluan Baru) tahun 1901.12 Dalam isi pidato tersebut ditegaskan beberapa hal, di antaranya; pertama, usaha-usaha untuk menanggulangi kemunduran kesejahteraan masyarakat Pribumi dengan menyelidikinya. Kedua, dihidupkan kembali usaha-usaha di bidang agraris dan industri. Ketiga, membuat aturan untuk mencegah kemunduran rakyat yang lebih jauh dengan memberi pinjaman tidak berbunga sebesar f. 30 juta dengan waktu 5/6 tahun, serta pemberian hadiah sebesar f. 40 juta. Pemerintah kolonial Belanda menerima usulan-usulan sebagaimana yang dikemukakan oleh C. Th. van Deventer, Kielstra, dan D. Fock, untuk dapat memperbaiki kondisi dan tingkat kehidupan masyarakat Pribumi.13 Salah-satu kebijakan politik etis dalam bidang edukasi yang diterapkan Belanda secara gamblang dapat dimaknai sebagai langkah awal untuk mengenalkan pendidikan modern kepada masyarakat Pribumi atau Jamhari Makruf menyebutnya masyarakat adat, terutama kelompok-kelompok bangsawan.14 Namun, pada perkembangannya politik etis tidak sejalan lagi dengan tujuan awal, yaitu Belanda memegang tanggungjawab moral terhadap kesejahteraan masyarakat Pribumi yang diketahui penduduknya mayoritas beragama Islam. Tujuan itu berubah ketika politik etis dirasakan oleh masyarakat Pribumi sebagai bentuk penjajahan yang halus. Scholten mengatakan “politik etis telah berubah menjadi kebijakan yang bertujuan untuk memperluas kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Hindia Belanda menuju pemerintahan sendiri di bawah Belanda menurut gaya bangsa Eropa”.15 Permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat Pribumi adalah diskriminasi ilmu pengetahuan sebagaimana Scherer mengatakan bahwa diskriminasi ilmu Prayudi & Salindri, “Educational on Dutch Government...,” h. 20-34. Conrad Theodoor van Deventer, “Een Eereschuld.” De Gids, vol. 17, no. 3, 1899, 205-257. Lihat juga Conrad Theodoor van Deventer, “Een Eereschuld.” De Gids 1899, dicetak ulang oleh R. Aerts dan T. Duquesnoy (ed.), “Een Eereschuld.” Essays uit De Gids over Ons Koloniaal Verleden, Amsterdam, 1993, h. 197-245. 12 Jeroen Touwen, “Paternalisme en Protest, Ethische Politiek 1900-1942.” Leidschrift, 15, 2000, h. 28. 13 Daliman, Sejarah Indonesia..., h. 64-65. 14 Jamhari Makruf, “New trend of Islamic Education in Indonesia.” Journal Studia Islamika, vol. 16, no. 2, 2009, h. 243-290. 15 E.L. Scholten, Etika yang Berkeping-keping. Penerjemah Nicolette P. Ratih, (Jakarta: Jambatan, 1996), h. 270. 10. 11. 3.

(17) pengetahuan telah berlangsung dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia terutama di masa Pergerakan Nasional. Lembaga pendidikan yang dibuat oleh pemerintah Belanda memberikan perbedaan terkait pembayaran uang sekolah untuk anak-anak Pribumi dan Eropa. Lanjut Scherer bahwa biaya sekolah anak-anak Pribumi saat itu dua kali lebih besar dari biaya sekolah anak-anak Eropa, sehingga hanya anak-anak Pribumi yang tergolong ningrat dan kaya yang bisa sekolah di lembaga pendidikan pemerintah Belanda.16 Model dan transformasi dalam lembaga pendidikan dengan kemunculan sekolah-sekolah pada paru kedua abad ke-19 hingga abad ke-20, menarik untuk dikaji sebagai sebuah perjalanan historis masa lalu. Titik balik dari sikap pemerintah kolonial Belanda terkait pendidikan masyarakat Pribumi merupakan akibat dari pengaruh politik kaum liberal dalam masalah-masalah tanah jajahan. Demi melancarkan kepentingan ekonomi kaum liberal, ekspansi birokrasi pemerintahan merupakan suatu keharusan untuk dilakukan oleh kolonial Belanda. Sejak itulah, baik Kantor Pemerintahan Sipil untuk orang Eropa dan kaum Pribumi dalam pemerintahan kolonial Belanda17berupaya untuk meningkatkan kemampuan mereka dan merekrut para pekerja yang terampil di bidangnya. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Organik Tahun 1854 dan menetapkan tanggungjawab untuk keberlangsungan pendidikan kaum Pribumi. Pada tahun 1867 dibentuklah Departemen Pendidikan sebagai tindaklanjut dari Undang-Undang Organik Tahun 1854.18 Sejak tahun tersebut, pemerintah kolonial Belanda memberikan perhatiannya terhadap dunia pendidikan di negeri jajahan (Indonesia). Belanda beranggapan bahwa usaha pendidikan ini mengandung sebuah dilema bagi mereka sendiri. Di satu sisi, usaha di bidang pendidikan bagi kolonial merupakan hal penting untuk mendukung birokratisasi dan ekonomi-politik industrialisasi. Tetapi di sisi lain, timbul juga kekhawatiran bahwa pendidikan mengandung ancaman besar bagi mereka. Akhirnya untuk menghindari kekhawatiran itu, dibuatlah pendidikan yang didasarkan pada pemisahan etnis (segregasi) dan perbedaan status.19 Penulis melihat bahwa sifat dari kebijakankebijakan awal dalam pendidikan masa pemerintahan Belanda, tidak ada pembauran (anti-asimilasi). 16. SP. Sherer, Keselarasan dan Kesenjangan: Pemikiran-pemikiran Priayi Nasional Jawa Awal Abad 20, (Jakarta: PT. Sinar Harapan, 1985), h. 44. 17 J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1944), h. 175. 18 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, edisi digital, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2012), h. 97-98. 19 Dalam pasal 6 Garis-garis Besar Pelaksanaan Hukum untuk Hindia (Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie) tahun 1848, penduduk Hindia diklasifikasikan berbeda-beda. (1) Orang-orang Eropa dan yang secara resmi diperlakukan setara dengan orang-orang Eropa, yaitu semua orang Pribumi (bumi putra) yang beragama Kristen. (2) Kaum bumi putra dan mereka yang diperlakukan setara dengan kaum bumi putra, yaitu orang-orang Arab, Moor, Cina, dan semua penganut Muslim serta penganut agama lainnya. Lihat P. T. Simbolon, Menjadi Indonesia, vol. 1: Akar-akar Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kompas, 1995), h. 128-129.. 4.

(18) Adanya pemisahan antara etnis dan status sosial dalam bidang pendidikan, sekaligus mengubah model pendidikan yang mula-mula pendidikan dasar bergaya Eropa diubah menjadi Sekolah Dasar 7 tahun. Sekolah ini dikenal dengan nama Europeesche Lagere School (ELS),20 yang di dalamnya berisi mata pelajaran Belanda dan Eropa, serta secara eksklusif diperuntukkan bagi anak-anak orang Eropa dan atau setara dengan orang Eropa. Namun pasca tahun 1864, karena kebijakan kolonial untuk memasukkan kelas penguasa tradisional (priyayi) ke dalam ranah pengaruh kolonial,21 sekolah ini terbuka tetapi rakyat Pribumi tidak semua berkesempatan sekolah di sekolah tersebut. Pada tahun 1891, akses masuk ke ELS juga ditawarkan kepada keturunan orang kaya yang “memenuhi syarat”. Masuknya kaum Pribumi yang bukan pemeluk agama Kristen ke dalam sekolah-sekolah dasar Eropa ini terus meningkat, mulai dari sekitar 400 siswa pada tahun 1883 menjadi 762 pada tahun 1898 dan terus meningkat hingga mencapai 1.870 pada tahun 1900.22 Di masa pemerintahan Hindia Belanda, terdapat dua model sekolah yang didirikan dan dijaga oleh pemerintah yaitu sekolah pemerintah (gouvernement scholen) dan sekolah swasta (particuliere scholen).23 Sekolah swasta terbagi atas sekolah yang diberikan subsidi oleh pemerintah dan sekolah swasta non subsidi. Sekolah swasta bersubsidi didirikan dan dijaga oleh suatu perkumpulan yang telah diakui pemerintah dan diberikan hak rechtspersoon (badan hukum), atau yang didirikan dan dijaga oleh perkumpulan yang berada di luar tanah Hindia Belanda, namun memiliki cabangnya di Hindia Belanda.24 Pada umumnya, sekolah-sekolah swasta bersubsidi adalah sekolah yang didirikan oleh gereja, baik Katolik maupun Protestan. Sementara itu, hanya sedikit yang diberikan kepada sekolah-sekolah Islam.25 Gambaran terkait perbedaan jumlah subsidi yang diberikan pemerintah kepada sekolah swasta, yaitu periode 1938-1939 telah diberikan subsidi kepada. 20. ELS (Sekolah Dasar Eropa) didirikan pada tahun 1818 untuk anak-anak Eropa Asing Timur atau keturunan bumi putra dari para tokoh terkemuka, lihat Lilie Suratminto, “Educational Policy in The Colonial Era.” Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, vol. 14, no. 1, 2013, h. 77-84. 21 D. Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, vol. 1: Batas-Batas Pembaratan, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 103. 22 H. Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite, (Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books (Asia) Ltd., 1979), h. 46.; P. W. van der Veur, “Education and Social Change in Colonial Indonesia (I)”, Pepers in International Studies (Southeast Asia Series No. 12), Ohio University Center for International Studies (Southeast Asia Program), (Athens, Ohio, 1969), h. 1. 23 “Sekolah Particulier.” Oetoesan Hindia, no. 72, Selasa, 13 April 1915. 24 “Besluit Gubernur Jenderal Tanggal 11 Agustus 1913, Staatsblad no. 524.” Oetoesan Hindia, no. extra, Jumat 16 April 1915. 25 Sekolah Islam yang diberikan bantuan atau subsidi oleh pemerintah adalah sekolahsekolah yang dijalankan oleh Muhammadiyah. Selanjutnya, yang dimaksud dengan sekolah swasta di sini yaitu sekolah yang dijalankan oleh kelompok nasionalis, bukan oleh gereja. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Penerjemah Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 52.. 5.

(19) 2.016 sekolah Protestan, 728 sekolah Katolik dan hanya sedikit buat Islam, yaitu 113 sekolah Islam.26 Gambaran di atas tidak luput dari kebijakan-kebijakan politik etis yang salahsatunya di bidang pendidikan, sekolah Kristen mendapatkan perhatian yang cukup besar dan dukungan finansial yang tidak sedikit, sementara sekolah Islam justru diperlakukan sebaliknya oleh Belanda. Kebijakan Belanda terhadap kelangsungan pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran mereka akan munculnya militansi kaum Muslim terdidik. Di tahun 1882, Belanda membuat sebuah badan khusus untuk mengontrol kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut dengan Priesterraden.27 Melalui petunjuk badan inilah kemudian pada tahun 1905, Belanda dalam mengontrol pendidikan Islam mengeluarkan sebuah kebijakan yang dikenal dengan Ordonansi Guru.28 Tidak hanya itu, semua guru yang mengajar di sekolah-sekolah Islam harus mendapatkan izin mengajar dari Belanda, sebagaimana pada tahun 1932-193329 Belanda mengeluarkan kebijakan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie) dan membubarkan sekolah-sekolah madrasah yang tidak memiliki izin. Berubahnya tujuan politik etis ke arah yang tidak menguntungkan masyarakat Muslim sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Shihab bahwa politik etis merupakan kerangka kerja yang di atasnya penguatan agama Kristen di Indonesia dimapankan. Politik etis menurutnya benar-benar mengilustrasikan peralihan penting dalam strategi pemerintahan Hindia Belanda ke arah kristenisasi masyarakat Muslim Indonesia. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa tidak ada netralitas dalam hal agama.30 Berangkat dari pernyataan Shihab tersebut, terlihat jelas bahwa tidak ada keberpihakan pemerintah Belanda terhadap Islam ataupun pendidikan Islam pada saat itu. Kondisi-kondisi sebagaimana disebutkan Shihab mendapat perhatian dari berbagai kalangan yang ingin agar kaum Muslim tidak ketinggalan, khususnya dalam urusan-urusan agama dan pendidikan Islam itu sendiri. Burhanudin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia mengatakan bahwa politik etis telah melahirkan perubahan sosial-budaya, khususnya di daerah perkotaan, di mana gagasan kemajuan menjadi wacana umum. Selain perubahan dalam hal sosialbudaya, proses perubahan juga berlangsung dalam jaringan para intelektual Islam. “Algemeen Verslag van het Onderwijs in Nederlandsch Indie over het Schooljaar 1938-1939.” Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981), h. 279. 27 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 149.; A. Faishol Haq, “Integrasi Madrasah dalam Sistem pendidikan Nasional: Analisis Kebijakan Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional”, (Disertasi S3 UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015). 28 Manpan Drajat, “Sejarah Madrasah di Indonesia.” Al-Afkar: Journal for Islamic Studies, vol. 1 no. 1, 2018, h. 192-206. 29 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h. 285.; Drajat, “Sejarah Madrasah...,” h. 192-206. 30 Alwi Shihab, Membendung Arus Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 43-44. 26. 6.

(20) dari Mekah ke Kairo, di mana mereka mulai belajar tentang pembaharuan Islam, sekaligus menyuarakan pentingnya menciptakan kemajuan bagi kaum Muslim.31 Melihat bahwa adanya diskriminasi pemerintah Belanda terhadap pendidikan Islam, membuat fungsi ini diambil alih dan dijalankan secara sendiri-sendiri oleh para kaum terdidik di bawah organisasi yang berlabelkan Islam. Kaum terdidik yang peduli dengan kondisi bangsa inilah membentuk suatu pergerakan yang dikenal dengan pergerakan nasional, baik yang bersifat kooperatif maupun non kooperatif. 32 Salah-satu organisasi yang penulis maksudkan dalam pembahasan ini adalah organisasi Sarekat Islam. Beberapa literatur menyebutkan bahwa banyak organisasi yang lahir di masa pergerakan nasional, salah satunya organisasi yang berlabelkan Islam (Sarekat Islam) untuk menegakkan hak-hak rakyat dan menolak perbuatan diskriminatif. R. van Niel mengatakan bahwa Tirtoadisoerjo menyebut “mula-mula Sarekat Islam”(1912).33 Alasan pendirian Sarekat Islam yang awalnya Sarekat Dagang Islam, bukan sekadar masalah ekonomi dalam hal rivalitas perdagangan batik dengan kalangan Cina,34 tetapi penulis melihat adanya sebuah upaya penentangan terhadap segala bentuk kesombongan rasial dan penindasan, seperti penolakan terhadap politik pengkristenan (kerstening politiek) dari kaum Zending, juga perlawanan terhadap kekecewaan dan penindasan dari pihak ambtenar-ambtenar Bumiputera dan Eropa. Dilihat dari aspek pergerakan, Sarekat Islam adalah organisasi masa pertama di Indonesia. Sedangkan dari aspek politik, Sarekat Islam menurut banyak sejarawan sebagai partai masa pertama. Sementara dari aspek kepartaian Islam, Sarekat Islam adalah partai politik Islam pertama di Indonesia. Jamhari Makruf menyebutkan bahwa para pemimpin partai politik “Islamis”- kelompok-kelompok yang memegang serangkaian ideologi bahwa Islam tidak hanya sebuah agama, tetapi juga sistem politik yang mengatur hukum, ekonomi, dan imperatif sosial negaramemoderasi agenda mereka untuk mengeksploitasi lembaga demokratis untuk kompetisi politik.35 Perjuangan Sarekat Islam diwujudkan dalam bentuk program kerja yang isinya menolak sistem kapitalisme sebagaimana terjabarkan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya adalah pendidikan dan politik. Pasca berubahnya nama Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI), HOS. Cokroaminoto selaku pimpinan pusat meminta agar Sarekat Islam diterima dan disetujui sebagai suatu organisasi berbadan hukum, namun permintaan tersebut ditolak oleh Gubernur Jenderal. Ia menyatakan bahwa yang ditolak adalah perkumpulan Sarekat Islam seluruhnya, tetapi perkumpulan Sarekat Islam yang 31. Jajat Burhanudin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), h.. x-xi. 32. Taufik Abdullah, Nasionalisme dan Sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001), h. 26. Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesia Elite, cet. II, (Hague: W. van Hoeve Publishers LTD, 1970), h. 90-92. 34 Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 35-36. 35 Jamhari Makruf, “Islam, Democracy, and the Road to Moderation: Testing the Political Commitment of Indonesian Muslim Activists.” Journal Islam and Civilizational Renewal (ICR), vol. 2, no. 3, 2011, h. 517-528. 33. 7.

(21) berdiri sendiri-sendiri berupa cabang dapat diterima sebagai badan hukum.36 Dari sinilah SI giat membuka cabang-cabangnya di berbagai daerah yang meskipun secara legalitas antara cabang-cabang Sarekat Islam dan Sarekat Islam pusat berjalan sendiri-sendiri sesuai aturan hukum. Namun, di belakang Sarekat Islam Pusat tetap membangun komunikasi intens dengan cabang-cabang SI yang ada di daerah, termasuk Sarekat Islam di Sulawesi dan secara khusus Sarekat Islam yang didirikan di Bolaang Mongondow. Masuknya Sarekat Islam di daerah Bolaang Mongondow pada tahun 1920, daerah ini disebut sebagai Onderafdeeling Bolaang Mongondow yang statusnya sebagai daerah administrasi dari Keresidenan Manado. Daerah Bolaang Mongondow saat itu memiliki lima kerajaan, yaitu Kerajan Bolaang Mongondow (kerajaan yang paling besar), Kerajaan Kaidipang, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Bolaang Itang dan Kerajaan Bolaang Uki,37 sekaligus ditempatkannya seorang kontrolir dan pembantu kontrolir sejak tahun 1901 untuk melaksanakan asas dekonsentrasi. Namun, Desa Poopo yang direncanakan Residen untuk dijadikan Ibu kota Onderafdeeling Bolaang Mongondow mengalami kegagalan yang disebabkan rakyat yang tinggal disekitaran desa tersebut, seperti Desa Bilalang, Pangian, dan Pontodon mengadakan pemberontakan secara besar-besaran hingga akhirnya dipindahkan ke Kotamobagu (kota yang baru).38 Dengan demikian terlihat bahwa ada kekuatan yang berbeda-beda di setiap desa, sehingga tidak semua dapat dipengaruhi oleh Keresidenan Manado, meskipun pada akhirnya mereka berhasil membangun rumah kontrolir dan pembantu kontrolir di Kotamobagu. Selanjutnya diikuti dengan pembangunan rumah sakit,39 penjara, 36. Mohamad Sidky Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), h. 17. 37 Nurtina Gonibala Manggo, Sejarah Perjuangan Kelaskaran Banteng Republik Indonesia, Bolaang Mongondow, (Jakarta: CV. Cakra Media, 2003), h. 1.; M. van Rhijn, Memorie van overgave het bestuur van den aftredenden Resident van Manado, (Manado: T.pn., 1941), h. 267. 38 Literatur yang menerangkan Perlawanan Rakyat Pontodon terhadap Belanda di Bolaang Mongondow jarang ditemui. Alasan Utamnya adalah karena tidak tersedianya catatan mengenai peristiwa tersebut. Informasi bersejarah tersebut ditulis oleh S.K. Damopolii yang disarikan dari Naskah Sejarah Bolaang Mongondow Bua’ Pena, Alm. S.A. Sugeha yang tidak sempat diterbitkan. Lihat S.K. Damopolii, Cuplikan Sejarah Bolaang Mongondow, (Bungko: 5 Januari 2009), h. 1-6. 39 Sejak dipindahkan Ibu kota Kerajaan Bolaang Mongondow ke Kotamobagu, pemerintah Belanda membangun rumah sakit darurat di daaerah ini tepatnya di salah satu sudut kota bernama “Lokuyu” atau yang sekarang berada di kompleks perkuburan Cina. Selanjutnya, di tahun 1920, Kontrolir Boslaar dan Raja Datu Cornelis Manoppo membagun Rumah Sakit di bekas lokasi RSU Datu Binangkang Kotamobagu (1969) sebelum di pindahkan ke Lolak oleh animer Belanda bernama Rombouth. Bagunan Rumah Sakit yang terbuat dari papan nibong tersebut mula-mula diberi nama Landscap Zuekenhuis (1920), kemudian dirubah namanya menjadi Hospital Kotamobagu (1925). Di tahun 1920, pemerintah Belanda mendatangkan dokter bernama Dokter Pesik, dan sejak saat itu Rumah Sakit di Kotamobagu sudah dikepalai oleh seorang dokter secara berkesinambungan. Sementara para medis didatangkan Belanda dari Manado dan Minahasa. Atas perjuangan Raja Datu Cornelis Manoppo, di tahun 1930, ia mulai mengirimkan putra-putri Bolaang. 8.

(22) tangsi tentara, pasangrahan, susiteit, dan lain sebagainya. Itu semua dikerjakan oleh rakyat Bolaang Mongondow dengan sistem kerja paksa. Bagi rakyat yang menolak dan tidak mematuhi pemerintah Belanda, langsung ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.40 Berbicara Sarekat Islam di Sulawesi Utara khususnya masuk dan berdirinya di Bolaang Mongondow pada tahun 1920 perlu ditelusuri lebih jauh tentang model dan corak gerakannya. Menurut beberapa sumber bahwa HOS Cokroaminoto memiliki hubungan baik dengan Sarekat Islam Bolaang Mongondow. Namun kita mengetahui bersama bahwa Sarekat Islam yang awalnya dipimpin oleh Cokroaminoto telah terpecah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam Putih di bawah HOS Cokroaminoto dan Abdoel Moeis yang tetap mempertahankan dasar agama sebagai dasar organisasi, serta Sarekat Islam Merah yang dinahkodai oleh Semaoen dan Darsono yang mempertahankan ekonomis dogmatis.41 Dengan demikian afiliasi Sarekat Islam Bolaang Mongondow dengan Sarekat Islam yang berada di pusat maupun tokohtokoh besarnya perlu dikaji sebagai upaya untuk mencari tahu arah gerakan Sarekat Islam yang berdiri dan berkembang di Bolaang Mongondow, sebelum penulis nantinya akan mengkaji dan menjelaskan dari sisi gerakannya dalam bidang pendidikan dan politik. Fenomena Sarekat Islam dalam konteks Bolaang Mongondow menjadi penting dan menarik untuk dikaji. Perubahan secara besar-besaran yang terjadi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20 ketika Sarekat Islam masuk ke Bolaang Mongondow berbeda dengan apa yang kita pahami di tempat-tempat lain di Indonesia. Sehingga mungkin, hal tersebut yang membuat organisasi Sarekat Islam bersikeras hingga para pemimpin Sarekat Islam Pusat turut melakukan propaganda di Bolaang Mongondow. Padahal, pada masa itu akses dan fasilitas untuk ke Bolaang Mongondow untuk mengikuti pendidikan juru rawat di Manado, Makassar (Ujung Pandang) dan Batavia (Jakarta), di antaranya B, Dadodali, D. Kolintama, J.D. Talot, B. Kobandaha, B. Kassi, O. Kobandaha, dan E. Lankum Wuisan. Di tahun 1936, dibukalah 3 buah poliklinik di Desa Imandi yang dikepalai oleh C.D. Tampemawa; di Desa Inobonto dikepalai oleh Ziekenoppadeer Kando Anggai; dan di Desa Kotabunan dikepalai oleh P. Lambe. Adapun dokter yang menjadi kepala Rumah Sakit Umum Datu Binangkan dari masa ke masa, yaitu: Pesik (1920-1923); Tieloeng (1923-1927); Aboetan (1927-1932); Tilaar (1932-1937); Andoe (1937-1942); Tjoa Sin Ho (1942-1946); G.D. Winter (1946-1948); H.J.D. Mantik (19481949); Masoko (1949/2 bulan); A.A. Djelantik (1949-1954); Liem Swie Poh (1954-1958); J.V. van Hootsolar (1958-1962); Liem Swie Hok (1962-1964); Moninca (1964-1967); Teng Key/Teng Ping Liep (1967-1971); Eddy Pondaag/Tjia Tjeng Hoen (1971-1977); R. Soebowo (1977-1979); Ahmad Arham Arif (1979-1980); Frans Paliliewu (1980-1989); R. Salindeho (1989-1990); Syarifudin Mokoginta (1990/2 bulan); E.E. Pijoh (1990-31 Agustus 1999); S. Lukum (1 September 1999-2004). Di tanggal 26 Oktober 2004 digantikan oleh Salmon Helweldery, kemudian diikuti oleh beberapa kepala rumah sakit setelahnya. Lihat Zainal A. Lantong, Ikhtisar Sejarah Badan Pengelola Rumah Sakit Kabupaten Bolaang Mongondow, (Bolaang Mongondow: T.pn., t.t.), h. 4-10. 40 Manggo, Sejarah Perjuangan Kelaskaran..., h. 3-4. 41 Soe Hok Gie, Di bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 19171920, (Yogyakarta: Bentang, 2005), h. 69-70.; Endang Muryanti, “Muncul dan Pecahnya Sarekat Islam di Semarang 1913-1920.” Jurnal Paramita, vol. 20, no. 1, Januari 2010, h. 2135.. 9.

(23) Mongondow belum cukup memadai dalam mendukung propaganda SI, utamanya akses jalan dan lain sebagainya sebagaimana yang dikatakan Harsono Cokroaminoto ketika mengunjungi daerah ini. Dalam konteks Bolaang Mongondow, Sarekat Islam adalah organisasi pertama yang bergerak dalam lingkungan kerajaan, meskipun pihak kerajaan penuh dengan bujuk rayu dan intrik, serta berbahaya bagi eksistensi organisasi, misalkan, mudah menuduh “salah adat”,42ditambah lagi dengan adanya penolakan kuat dari Belanda tentang pentingnya Islam dalam kebijakan kolonialnya.43 Ini kemudian yang menimbulkan perbedaan pandangan antara Sarekat Islam dengan pihak kerajaan terkait dengan masalah hukum adat. Misalnya dalam masalah pernikahan, di satu sisi, Sarekat Islam memiliki aturan-aturan tersendiri soal itu, namun di sisi lain, kerajaan juga memilik aturan atau hukum adat yang berlaku sejak turun temurun dalam kerajaan. Sehingga tidak jarang hal ini menimbulkan sebuah permasalahan, misalnya sikap Raja Hassan van Gobel dari Kerajaan Bolaang Uki menolak berdirinya Divisi Sarekat Islam di wilayah yang ia pimpin, karena menurutnya aturan-aturan Sarekat Islam bertentangan dengan hukum adat kerajaan.44 Masuknya Sarekat Islam di daerah Bolaang Mongondow awalnya tidak terlepas dari permasalahan agama. Tetapi pada perjalanannya Sarekat Islam menaruh perhatiannya dalam berbagai bidang khususnya di bidang sosial,45 ekonomi, pendidikan dan politik. Di masa pemerintahan Belanda, Sarekat Islam fokus pada bagaimana menghidupkan ekonomi rakyat, menghidupkan lembaga pendidikan dan mengawal kebijakan-kebijakan politik Belanda yang merugikan rakyat Pribumi. Sedikit berbeda di masa pendudukan Jepang, selain fokus pada program-program yang dijalankan SI sebelumnya, para tokoh Sarekat Islam, masyarakat dan pemuda, serta organisasi-organisasi yang tergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) membuat satu komitmen untuk memerdekakan rakyat Pribumi, khususnya rakyat Bolaang Mongondow dan Sulawesi Utara, serta Indonesia pada umumnya, dari penindasan kaum penjajah. Bergabungnya tokoh-tokoh Sarekat Islam Bolaang Mongondow dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) sebagai upaya menyatukan kekuatan bersama untuk Indonesia merdeka. Pada Desember 1939 GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia yang pesertanya tidak terbatas pada organisasi politik, melainkan terbuka bagi organisasi-organisasi non politik. Sementara di tingkatan pusat organisasi yang tergabung dalam GAPI di antaranya; Partai Sarekat Islam (PSI),. 42. Manggo, Sejarah Perjuangan Kelaskaran..., h. 2. R.F. Ellen, “Social Theory Ethnography and the Understanding of Practical Islam in South-East Asia.” M.B. Hooker (ed), Islam in South-East Asia, (Leiden: E. J. Brill, 1983), h. 64.; A.G. Muhaimin, The Islamic Tradition of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims, (Australia: ANU Press, 1995), h. 116. 44 “Klachten van de P.S.I.: Radja’s, Adat en Politiek.” Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, Batavia, vol. 45, no. 14, 17 Januari 1940, lembar pertama, h. 2.; Klachten van de P.S.I.: Radja’s, Adat en Politiek.” De Indische courant, Soerabaia, vol. 19, no. 106. 19 Januari 1940. Lembar Kedua, h. 1. 45 “Sociaal Werk.” Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, Batavia, vol. 45, no. 2, 03 Januari 1940, lembar kedua, h. 1. 43. 10.

(24) Parindra, Gerindo, dan Persatuan Minahasa.46 Diakhir tahun 1939, GAPI melakukan ekspansi ke Sulawesi Utara, termasuk di dalamnya adalah wilayah Bolaang Mongondow. Sesuai dengan perkembangan di tingkat nasional, di mana organisasiorganisasi politik mengadakan fusi menjadi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan yang dipercayakan menjadi ketua GAPI Bolaang Mongondow, yaitu Adampe Dolot dari PSII Cabang Bolaang Mongondow. Untuk pembahasan secara rinci mengenai bergabungnya tokoh-tokoh SI Bolaang Mongondow ke dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Sumber menyebutkan sekitar tahun 1650, masyarakat Bolaang Mongondow belum memeluk agama apapun, yang ada adalah aliran kepercayaan (animisme). Keberadaan agama Islam di Bolaang Mongondow dapat ditelusuri melalui beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan masyarakat setempat sudah banyak yang memeluk agama Islam berdasarkan penelitian Sven Kosel.47 Sumber lain, seperti Jansen,48 J.G.F. Riedel,49 S. Ulfers,50 dan F.S.A. de Clercq51 berspekulasi bahwa pada akhir 1850-an dan 1860-an populasi umat Islam di Bolaang Mongondow mencapai 50 persen. Namun pemahaman agama Islam belum begitu “paham”, sebab rasionalisasi agama di Bolaang Mongondow tidak dimulai dengan pendirian lembaga formal dan profesionalisasi para pemimpin agama, tetapi hanya sebatas pada perubahan dalam pandangan dunia. Kesiapan esensial untuk mengonversi ditampilkan dengan jelas oleh elit yang berkuasa di awal abad ke-19, dan mungkin diharapkan di antara beberapa rakyat kecil berkontribusi pada penerimaan Islam yang relatif cepat. Sama halnya di negara-negara lain, Brunei Darussalam misalnya, menurut Mansurnoor selama paruh pertama abad ke-20, seiring dengan adanya pelembagaan di berbagai aspek kehidupan publik, penerapan Islam juga mengalami beberapa perubahan. Lebih jauh dikatakan bahwa pada perkembangan selanjutnya bersamaan dengan pembentukan administratif Inggris, kegiatan keagamaan di 46. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1967), h. 140. 47 Islam mulai berlaku di Bolaang Mongondow pada awal abad ke-19. Lihat Sven Kosel “The History of Islam in Bolaang Mongondow North Sulawesi: Rationalisation and Derationalisation of Religion” (ed.), Indonesia and the Malay World Taylor Routledge & Francis Group, vol. 38, no. 110, March 2010, h. 43-64. Bandingkan dengan Kosel dalam karyanya yang menyebutkan bahwa Raja Bolaang Mongondow (Kosel tidak menyebutkan nama raja yang dimaksud), secara resmi meminta Residen Belanda di Manado untuk memberikan izin kepada dirinya serta rakyatnya untuk pindah agama dari Kristen ke Islam pada tahun 1844. Lihat Sven Kosel, “Christian Mission in An Islamic Environment: Religious Conversion in North Sulawesi in the Light of a case-study from Bolaang Mongondow”, Paideuma 51, 2005, h. 41-65. 48 A.J.F. Jansen, “Reis naar N. en W. kust van Celebes” dalam ANRI Manado, no. 167, (Jakarta: National Archives of Indonesia, 1857), h. 20. 49 J.G.F. Riedel, “Het landschap Bolaang-Mongondow.” Tijdschrift voor Indische Taal-, Landen Volkenkunde, no. 13, 1864, h. 277. 50 S. Ulfers, “Het Rano-i-apo-gebied en de bevolking van Bolaang Mongondow.” Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendings Genootschap, no.12, 1868, h. 19. 51 F.S.A. de Clercq, “Schets van het landschap Bolaang-Mongondow.” Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap te Amsterdam, no. 7, 1883, h. 121.. 11.

(25) Brunei difokuskan pada birokratisasi Islam.52 Sehingga itu, perkembangan Islam di Bolaang Mongondow sangat perlu didukung oleh pemikiran Sarekat Islam, sebab hal itu merupakan tantangan yang penting. Sarekat Islam sangat melihat potensi masyarakat Muslim yang ada di Bolaang Mongondow. Mereka tidak hanya datang membuat intensifikasi ke dalam tetapi juga instusionalisasi. Apa yang ditanamkan Sarekat Islam adalah semangat, agar masyarakat Bolaang Mongondow tidak pasif, memiliki sifatnya kooperasi dan memiliki keistimewaan yang harus dijaga dan dipertahankan. Kemudian, kesenjangan sosial yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dirasakan ketika awal keberadaan Sekolah Rakyat atau Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang dikelola pemerintah ataupun Nederlandsche Zendings Genootschap (NZG), yaitu sekolah dasar tujuh tahun yang mendapat pelajaran bahasa Belanda, hanya dikhususkan bagi anak-anak pejabat, anak-anak Kristen dan anak keturunan bangsawan. Sementara sekolah tersebut tidak menerima anak-anak yang bukan keturunan bangsawan, termasuk anak kaum Muslim yang tergolong mampu. Kebijakan ini tidak hanya dirasakan dan berlaku di Sulawesi, melainkan juga di seluruh daerah jajahan. Misalnya, kebijakan yang diterapkan pada sekolah Hollandsch Inlandsche School di Sumatera,53Jawa54 dan lain sebagainya. Melihat kondisi pendidikan di Bolaang Mongondow saat itu, melalui gerakan politiknya, Sarekat Islam mencoba menyusun strategi untuk membuat sebuah lembaga pendidikan. Selain karena alasan bahwa banyak anak Pribumi yang tidak mendapatkan kesempatan untuk sekolah, ini juga merupakan aset SI demi kelangsungan organisasi. Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik sehingga erat kaitannya. Di Bolaang Mongondow, Sarekat Islam dan tokoh-tokohnya berhasil mendirikan Sekolah Islamiyah di Molinow pada tahun 1926, kemudian pada tahun 1931 dibuka juga Sekolah Ibtidaiyah di bawah Yayasan Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiyah (BPPI). Dalam waktu yang sangat singkat, BPPI berhasil membuka sekolah-sekolah di seluruh daerah Kerajaan Bolaang Mongondow yang jumlahnya mencapai 34 sekolah.55 Sistem pendidikan Belanda yang membeda-bedakan antara bangsa Eropa dan rakyat Pribumi (Indonesia) di mana tidak semua rakyat Pribumi mendapatkan pendidikan layak menjadi sebab utama bagi Sarekat Islam untuk berupaya mendirikan sekolah di semua desa. Sekolah-sekolah yang didirikan Sarekat Islam direspon baik oleh seluruh masyarakat karena dirasa Sarekat Islam bisa 52. Iik Arifin Mansurnoor, Living Islamically in the Periphery: Muslim Discourse, Institution, and Intellectual Tradition in Southeast Asia, (Tanggerang Selatan: UIN Jakarta Press, 2011), h. 110. 53 Badruzzaman Busyairi, Catatan Perjuangan H. M. Yunan Nasution, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1985), h. 10. 54 Romdhon Aji Saputra, “Perkembangan Sekolah Hollandsch Illandsch School di Purwokerto Tahun 1915-1930.” Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, vol. 3, no. 6, 2018, h. 701-715. 55 Manggo, Sejarah Perjuangan Kelaskaran..., h. 9. Sumber-sumber lain yang menceritakan sekolah-sekolah yang dibuat Sarekat Islam, lihat Zakaria Imban, dkk., Perjuangan Kemerdekaan dan Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow (Kotamobagu: 1970), h. 6-7; Rachmat Iman, Peran Sarekat Islam dalam Pembangunan Pendidikan di Desa Molinow 1920-1950, (Manado: 1984), h. 7-8.. 12.

(26) mengakomodir pendidikan anak-anak kelas bawa yang tergolong miskin. Kehadiran sekolah-sekolah yang dibuka Sarekat Islam turut disokong oleh para guru, hampir semuanya adalah intelektual Jawa. Seiring berjalannya waktu, sekolah SI ini mampu menggantikan sekolah rakyat yang dipelopori oleh misionaris Kristen atau Nederlandsche Zendings Genootschap (NZG). Ditambah lagi, para orang tua murid yang beragama Islam telah lama menyadari bahwa pendidikan Belanda tidak dapat merubah pandangan mereka tentang kehidupan. Jadi, dari dalam ke luar, secara alami ada tantangan untuk mempertahankan pendidikan misionaris yang ada di sekolah-sekolah Belanda yang mahal.56 Pendidikan dan politik umumnya seakan dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, namun keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Artinya, jika tidak ada pendidikan, maka tidak ada kaum terdidik yang dapat mengelola dan menjalankan sistem pemerintahan dan perpolitikan dengan baik. Begitupun sebaliknya, ketiadaan politik, pendidikan tidak mampu berjalan secara maksimal dikarenakan kurangnya aspek-aspek yang mendukung sarana dan pra-sarana pendidikan, baik yang diusahakan oleh berbagai organisasi maupun lewat kebijakan-kebijakan pemerintah. Begitupun dalam bidang ekonomi, pada akhir abad ke-19, kegiatan ekonomi masyarakat Bolaang Mongondow berkisar pada pertanian, berburu, meramu hasil hutan dan nelayan. Namun ada hal yang sangat memprihatinkan, yaitu jika di daerah-daerah lain sistem tanam paksa secara formal berakhir sekitar tahun 1870, lain halnya dengan daerah Bolaang Mongondow yang terus diberlakukan sistem tersebut. Belanda memperkenalkan tanaman kopi sebagai tanaman industri atau perdagangan. Bukan hanya itu, praktik-praktik perpajakan dan rodi yang sangat memberatkan rakyat juga terus dilakukan di Bolaang Mongondow oleh pemerintah Belanda.57 Sepanjang sejarah Sarekat Islam dalam menjalankan dan memajukan program organisasi maupun kepartaiannya di Bolaang Mongondow telah mengalami tiga periode pemerintahan, yaitu masa pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang dan pemerintahan Republik Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam tiga masa pemerintahan tersebut sangat berbeda dan tentu hal ini sangat memengaruhi perkembangan Sarekat Islam, khususnya dalam pengimplementasian program-program kerja organisasi. Ini juga yang kemudian menjadi menarik untuk diungkapkan karena ada kemungkinan bahwa programprogram yang dijalankan Sarekat Islam tidak sejalan dengan politik pemerintahan yang ada pada saat itu. Sehingga muncul adanya pelarangan dan berujung pada pembekuan organisasi pergerakan. Sejak 11 Januari 1942, tentara Jepang mulai menguasai Keresidenan dan menempati Ibu kota Manado. Hal tersebut menandakan akhir dari kekuasaan pemerintah Belanda di Keresidenan Manado. Pasca Jepang menaklukkan Belanda dan berhasil masuk di wilayah Keresidenan Manado, mereka memberlakukan kebijakan-kebijakan dalam urusan-urusan pemerintahan dan lain sebagainya. Salah “De Zending en het Volksonderwijs: De Hoofdoorzaak.” Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie”, Batavia, vol. 45, no. 13, 16 Januari 1940, lembar kedua. 57 Depdikbud, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979), h. 54-55. 56. 13.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat ditinjau dari persentase penangkapan radikal bebas dari sampel ekstrak semangka (kulit putih semangka merah, kulit putih semangka kuning, daging semangka merah

16 Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar fisika siswa yang diajarkan strategi scaffolding dalam penyajian problem solving

pada >HCG atasan yang memberhentikan pega9ainya berdasarkan status atau prasangka status HIV merekaG atau ke.uarga atau masyarakat yang meno.ak mereka yang hidup atau

Hasil perhitungan stabilitas statis kapal ikan katamaran dengan penggerak layar pada. berbagai kondisi operasional seperti yang diperlihatkan pada

Perhatian dan sikap mengajar guru dapat mempengaruhi minat belajar siswa, sehingga seorang Guru harus mampu memberikan perhatian yang cukup untuk siswa, dan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, Menurut Sugiono (2008:14) metode penelitian kuantitatif dapat

Tabel 2 menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan keluarga dengan tindakan penderita TB Paru melakukan kontrol ulang secara rutin diperoleh hasil bahwa sebanyak 22

Lestari, (2012) yang berjudul “Pembuatan Website Profil Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Jumantono Kabupaten Karanganyar” dijelaskan bahwa “ Didalam penyampaian