• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Sistem Informasi

Sistem informasi merupakan cara yang terorganisir dalam mengumpulkan, memproses, mengelola dan melaporkan informasi sehingga organisasi dapat mencapai tujuannya (Romney dan Steinbart, 2006). Sistem informasi pada jaman modern telah melibatkan teknologi dalam prosesnya sehingga bisa dikatakan sistem informasi merupakan kombinasi dari teknologi informasi dan aktivitas manusia menggunakan teknologi tersebut.

Menurut Laudon dan Laudon (2008), terdapat tiga aktivitas di dalam sistem informasi yang akan memproduksi informasi, yaitu input, pemrosesan, dan output. Umpan balik merupakan output yang dikembalikan kepada anggota

ataupun kegiatan dalam organisasi untuk mengevaluasi dan memperbaiki input.

Pelaku di lingkungan seperti pelanggan, pemasok, pesaing, pemegang saham, dan badan pembuat peraturan akan berinteraksi dengan organisasi dan sistem informasinya.

Penerapan sistem informasi pada sebuah organisasi diharapkan dapat berhasil sehingga dapat memberikan manfaat terhadap individu dan organisasi itu sendiri. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam pengukuran keberhasilan penerapan sistem informasi menurut Laudon dan Laudon (2000) adalah:

1. Tingkat penggunaan sistem yang relatif tinggi.

(2)

2. Kepuasan para pengguna terhadap sistem.

3. Sikap yang menguntungkan para pengguna terhadap sistem informasi dari staf sistem informasi.

4. Tujuan yang dicapai.

5. Imbal balik keuangan untuk organisasi, baik melalui pengurangan biaya atau peningkatan penjualan profit.

2.2 Pengadaan Barang atau Jasa secara Elektronik

Pengadaan barang/jasa secara elektronik atau yang biasa disebut dengan e-procurement adalah penggunaan teknologi berbasis web untuk mendukung

kegiatan pengadaan barang dan jasa. Menurut Turban et al. (2010), e-procurement terdiri dari tujuh macam tipe, yaitu e-sourcing, e-tendering, e-reverse auctioning, e-informing, web-based ERP, e-marketsites, dan e-MRO. Pengadaan secara

elektronik menggantikan kegiatan pengadaan secara tradisional yang cukup rumit dan memakan waktu. Pada proses tradisional, personil pengadaan barang harus melakukan proses seperti mengkualifikasi suplier, menegosiasi harga, dan membuat laporan secara manual.

Tranparansi yang dihasilkan dari implementasi e-procurement membuat pihak yang mengadakan pengadaan barang/jasa terhindar dari kasus penyelewengan dana ataupun korupsi. Di Indonesia, pada tahun 2006, kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah mencapai 77 persen dari seluruh korupsi yang ditangani KPK (Jasin dkk., 2007). Saat ini e-procurement menjadi alat untuk mencegah terjadinya korupsi di lingkungan pemerintah. Sistem e-procurement juga membuat semua pengguna layanan pemerintah memiliki hak

(3)

aksesibilitas dan hak atas informasi yang sama. Penyerahan dokumen fisik dan proses administrasi yang menambahkan beban dan memakan waktu serta biaya operasional telah berkurang secara signifikan. Selain itu, masyarakat umum juga dapat mengetahui kegiatan pemerintah dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa sehingga menghindari kecurigaan publik terhadap pemerintah.

Subramaniam, Qualls, dan Shaw (2003) menyatakan bahwa e-procurement memberikan dampak yang positif terhadap pengukuran kinerja pengadaan pada banyak organisasi. Berdasarkan pengukuran operasional, pengurangan kesalahan dan pembelian dapat dipengaruhi secara signifikan dengan e-procurement.

Pengukuran strategis yang paling berpengaruh dengan e-procurement adalah kepuasan pengguna yang akan memberikan kemudahan dalam proses pembelian atau pengadaan barang/jasa. Pada penelitian Sofian dkk. (2013) disebutkan keuntungan menggunakan e-procurement sebagai berikut:

a. Menyederhanakan proses procurement.

b. Meningkatkan komunikasi.

c. Mempererat hubungan dengan pihak supplier.

d. Mengurangi biaya transaksi karena mengurangi penggunaan telepon atau fax atau dokumen-dokumen yang menggunakan kertas.

e. Mengurangi waktu pemesanan barang.

f. Menyediakan laporan untuk evaluasi.

g. Meningkatkan kepuasan user.

(4)

2.3 Perkembangan E-procurement di Organisasi Sektor Publik di Indonesia

Perkembangan e-procurement di organisasi sektor publik di Indonesia dimulai tahun 2003 dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Walaupun sudah dimungkinkan dari segi regulasi, perkembangan penggunaan sistem pengadaan secara elektronik di organisasi sektor publik belum menunjukkan kemajuan yang berarti dan hanya di beberapa instansi pemerintahan yang mulai menerapkan sistem tersebut.

Selain permasalahan rendahnya pelayanan publik pada organisasi sektor publik, kegiatan pengadaan barang/jasa pada sektor publik masih mempunyai banyak masalah baik itu prosedur ataupun hasilnya. E-procurement dapat menjadi salah satu solusi untuk mencegah kasus korupsi guna menciptakan pengadaan barang/jasa yang efisien, efektif, terbuka, bersaing, transparan, adil dan akuntabel sesuai dengan prinsip dasar Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Tahun 2003.

Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan lembaga pengadaan barang/jasa secara elektronik sehingga terbentuk susunan mulai dari ketua, sekretaris, serta pengelola sistem di tahun 2009. Pada bulan Januari tahun 2010, sistem pengadaan barang dan jasa mulai diimplementasikan.

Pada tahun 2010, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 54 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada pasal 7 dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tersebut dijelaskan pihak-pihak yang

(5)

terlibat dalam kegiatan pengadaan barang/jasa di Indonesia yang antara lain adalah:

1. Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya (K/L/D/I) adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) adalah lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa.

3. Pengguna Anggaran (PA) adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD.

4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD.

5. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

6. Unit Layanan Pengadaan (ULP) adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri, atau melekat pada unit yang sudah ada.

7. Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa

(6)

8. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.

9. Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) atau pengawas intern pada institusi lain adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi.

10. Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya.

Pada tahun 2013, terdapat 573 K/L/D/I (kementerian/lembaga/daerah/

instansi) yang memiliki LPSE. LKPP merupakan lembaga yang ditunjuk di Indonesia untuk mengembangkan sistem pengadaan secara elektronik. Sistem ini dioperasionalkan oleh sebuah unit organisasi pemerintahan bernama Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

2.4 Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)

Layanan Pengadaan Secara Elektronik atau LPSE adalah penyelenggara sistem elektronik pengadaan barang/jasa pemerintah. LPSE sendiri mengoperasikan sistem e-procurement bernama SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) yang dikembangkan oleh LKPP. Implementasi e-procurement di Indonesia ditugaskan kepada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. LKPP mengembangkan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) berbasis free license untuk diterapkan seluruh instansi pemerintah di Indonesia.

(7)

Pada awalnya, LPSE hanya sebagai tim ad hoc yang dibentuk oleh kepala instansi (gubernur/walikota/menteri). Pada perkembangan selanjutnya, sebagian instansi telah mendirikan LPSE secara struktural seperti di Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sumatera Barat.

Pada kegiatan pengadaan, LPSE hanya sebagai fasilitator yang tidak ikut dalam kegiatan pengadaan. Pelaksanaan kegiatan pengadaan sepenuhnya dilakukan oleh panitia pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan (ULP). Setiap LPSE tidak hanya melayani pengadaan dari instansi tempat LPSE tersebut berada.

Seperti LPSE Pemerintah Kota Yogyakarta yang memfasilitasi pengadaan di RSUP Dr. Sardjito, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia, PTAPB BATAN, dan lain sebagainya. Instansi-instansi yang tergabung dengan LPSE Pemerintah Kota Yogyakarta tersebut menggunakan satu domain website, yaitu www.lpse.jogjakota.go.id, dalam kegiatan pengadaan barang/jasa.

2.5 Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE)

Sistem Pengadaan Secara Elektronik atau SPSE merupakan aplikasi pengadaan barang/jasa secara elektronik yang dikembangkan oleh LKPP untuk diterapkan pada instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Instansi pemerintah di Indonesia sangat beraneka ragam, begitu pula dengan anggaran yang mereka miliki. Ada instansi daerah yang memiliki anggaran lebih dari 7 trilyun dan ada pula yang hanya puluhan hingga ratusan miliar saja per tahun.

Kondisi ini menjadi pertimbangan LKPP dalam mengembangkan sistem e- procurement SPSE.

(8)

SPSE dikembangkan dengan semangat free license. Instansi dengan anggaran yang terbatas tetap dapat menerapkan SPSE karena tidak diperlukan biaya lisensi kecuali pembelian server dan sewa akses internet. SPSE dikembangkan menggunakan Java dan database PostgreSQL sehingga dapat berjalan di Platform Linux. SPSE dikembangkan sejak tahun 2006 dengan mengacu business process yang tertuang pada Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Dalam mengembangan SPSE, LKPP melibatkan instansi-instansi terkait, yaitu Lembaga Sandi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lembaga Sandi Negara mengembangkan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO). Dokumen penawaran dari peserta lelang di- enkripsi dan di-dekripsi menggunakan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO).

Subsistem e-audit dikembangkan bekerja sama dengan BPKP yang memungkinkan SPSE mengeluarkan informasi detail tentang proses lelang untuk keperluan audit.

Pengguna SPSE adalah Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/lnstitusi Lainnya (K/L/D/I). LPSE merupakan unit kerja yang menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik serta memfasilitasi Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik melalui website yang bisa diakses oleh publik.

(9)

2.6 Model Kesuksesan Sistem Informasi

DeLone dan McLean (1992) menemukan kesuksesan dari sistem informasi dapat diwakili oleh karakteristik kualitas sistem informasi itu sendiri (kualitas sistem), kualitas output dari sistem informasi (kualitas informasi), konsumsi output dari sistem informasi (penggunaan), respon pengguna sistem informasi terhadap sistem informasi (kepuasan pengguna), efek dari sistem informasi pada perilaku pengguna (dampak individual), dan efek dari sistem informasi pada kinerja organisasi (dampak organisasi). Model ini dianggap cukup persimoni (lengkap dan sederhana) sehingga banyak dipakai menjadi acuan dalam menguji kesuksesan sistem informasi.

Gambar 2.1.

Model Kesuksesan Sistem Informasi DeLone dan McLean (1992)

Pada tahun 1997, Seddon membantah model penelitian DeLone dan McLean (1992) karena dianggap rumit. Menurut Seddon (1997), penggunaan sistem informasi adalah suatu perilaku, bukan ukuran kesuksesan, sehingga dalam penelitiannya, variabel penggunaan sistem informasi (system use) dalam model DeLone dan McLean (1992) diganti menjadi persepsi kegunaan (perceived usefulness).

(10)

DeLone dan McLean (2003) tidak sependapat dengan kritik ini, mereka berargumentasi bahwa pemakaian sistem harus mendahului dampak dan manfaat, tetapi tidak menyebabkan dampak dan manfaat. Beberapa usulan untuk perbaikan terhadap model kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean juga muncul karena ketidakjelasan antara apa yang termasuk variabel indepeden dan apa yang merupakan bagian dari variabel dependen dalam mengukur kesuksesan sistem informasi.

Menanggapi berbagai kritikan tersebut, DeLone dan McLean (2003) memperbaiki modelnya dengan menambahkan kualitas pelayanan (service quality) sebagai alat ukur baru dalam kesuksesan sistem informasi, menambah

konstruk niatan untuk menggunakan (intention to use) sebagai alternatif dari konstruk penggunaan sistem (use), dan mengelompokkan dampak individual serta dampak organisasi menjadi manfaat bersih (net benefit).

Gambar 2.2.

Model Kesuksesan Sistem Informasi DeLone dan McLean Diperbarui (2003)

Kualitas Informasi

Kualitas Sistem

Kualitas Pelayanan

Niatan

Memakai Pemakaian

Kepuasan Pengguna

Manfaat- manfaat bersih

(11)

2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pengguna

Kepuasan pengguna adalah sikap afektif terhadap suatu aplikasi komputer tertentu oleh seseorang yang berinteraksi dengan aplikasi tersebut secara langsung (Doll dan Torkzadeh, 1988). Menurut Guimares, Staples, dan McKeen (2003) kepuasan pengguna terhadap sistem informasi adalah bagaimana cara pengguna memandang suatu sistem informasi secara nyata, tapi tidak pada kualitas sistem secara teknik.

Kepuasan pengguna merupakan hal yang menarik untuk diteliti karena pentingnya pengaruh kepuasan terhadap manfaat yang akan diperoleh dalam pengimplementasian sistem informasi. Faktor kepuasan sering dipakai sebagai proksi untuk kesuksesan sebuah sistem informasi dibandingkan dengan proksi lain seperti tingkat pemakaian (usage) dan persepsi mengenai manfaat (Koeswoyo, 2006).

Menurut DeLone & McLean (1992), kepuasan pengguna merupakan ukuran tunggal yang paling banyak digunakan dalam penelitian kesuksesan sistem informasi karena:

1. Kepuasan memiliki tingkat validitas yang tinggi dimana kesuksesan sistem adalah saat pengguna mengatakan bahwa mereka menyukai sistem tersebut.

2. Pengembangan dari instrumen Bailey dan Pearson (1983) yang memberikan alat yang handal untuk mengukur kepuasan dan menciptakan perbandingan antar studi.

(12)

3. Saran untuk kontruk kepuasan sebagai ukuran kesuksesan adalah yang paling banyak dalam penelitian sistem informasi dibandingkan konstruk yang lain.

Kepuasan pengguna sistem informasi dalam model kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean diperbarui (2003) dipengaruhi oleh tiga macam variabel kualitas, yaitu kualitas sistem (system quality), kualitas informasi (information quality), dan kualitas pelayanan (service quality).

2.7.1 Kualitas Sistem

Kualitas sistem berkaitan dengan apakah tidak ada bug (kesalahan dalam sistem yang disebabkan oleh software atau hardware), konsistensi antarmuka pengguna, kemudahan penggunaan, tingkat respons dalam sistem interaktif, dan kadang-kadang, kualitas dan pemeliharaan dari program aplikasi (Seddon dan Kiew, 1996).

Kualitas sistem menjelaskan pengukuran website sebagai sistem pengolahan informasi. Sebagai desain website dalam kerangka sistem informasi, kualitas sistem masih merupakan ukuran penting dalam konteks kualitas sistem sebuah website. Beberapa contohnya adalah desain, penampilan dan kecukupan teknis, kelambatan dalam mengunduh, navigasi, kemananan dan privasi, serta hypermedia presentation. Ukuran kualitas sistem ini memungkinkan untuk

menyediakan kenyamanan yang lebih bagi penggunanya, meningkatkan privasi, dan mengurangi waktu untuk mencari informasi (Ahn et al., 2004).

Kualitas sistem dalam lingkungan internet mengukur karakteristik yang diinginkan dari sistem e-commerce. Ketergunaan, ketersediaan, keandalan,

(13)

kemampuan beradaptasi, dan waktu respon (misalnya waktu untuk mengunduh), adalah contoh dari kualitas yang dihargai oleh para pengguna sistem e-commerce (DeLone dan Mclean, 2003). Kualitas sistem yang lebih tinggi diharapkan dapat memberikan tingkat kepuasan pengguna dan penggunaan yang tinggi, mengarahkan ke dampak positif terhadap produktivitas individu yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas organisasi.

Menurut Landrum et al. (2008), kualitas sistem diukur dengan item seperti mudah digunakan, mudah dipelajari, mudah untuk menjadi terampil dalam menggunakan, dan dapat berinteraksi dengan cara yang jelas serta mudah dipahami. Sedangkan menurut DeLone dan McLean (1992), kualitas sistem meliputi langkah-langkah dari sistem pengolahan informasi itu sendiri, seperti waktu respon, keandalan, fleksibilitas sistem, dan kelengkapan.

2.7.2 Kualitas Informasi

Kualitas informasi menurut DeLone dan McLean (1992) diartikan sebagai persepsi pengguna suatu website terhadap kegunaan dan kualitas konten website tersebut. Kualitas informasi meliputi ukuran keluaran (output) sistem informasi, yaitu kualitas informasi yang dihasilkan suatu sistem, terutama dalam bentuk laporan.

Menurut Landrum et al. (2008), kualitas Informasi mengacu akurasi (accuracy), relevansi (relevance), ketepatan (accuracy), keandalan (reliability),

kelengkapan (completeness), dan terkini (currency). Menurut Seddon (1996), kualitas informasi berkaitan dengan isu-isu, seperti ketepatan waktu, akurasi, relevansi, dan format informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi.

(14)

Secara tradisional, kualitas informasi adalah kualitas laporan yang dihasilkan suatu sistem. Dalam lingkungan web, informasi yang berkaitan tidak hanya laporan atau keluarannya (output), tetapi juga kehadiran dari pengguna sistem itu sendiri dalam menggunakan sistem (Ahn et al., 2004). Menurut Ahn et al. (2004), item yang paling umum digunakan untuk mengukur kualitas informasi

dalam beberapa penelitian adalah akurasi, terkini, kelengkapan, ketepatan waktu, dan dapat dimengerti.

2.7.3 Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan adalah perbandingan antara harapan konsumen dan persepsi mereka atas kualitas pelayanan yang diberikan (Pasuraman et al., 1988).

Kualitas pelayanan pada bidang teknologi memiliki definisi yang berbeda dengan kualitas pelayanan secara tradisional. Kualitas pelayanan secara tradisional lebih dimaksukan pada pelayanan yang diberikan oleh perusahaan kepada konsumennya. Indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas pelayanan secara tradisional didasarkan pada penelitian Parasuraman et al. (1988) yang terdiri dari tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty. Indikator ini digunakan oleh banyak penelitian yang mengadopsi model kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean (2003) dalam variabel kualitas pelayanan.

Gefen (2002) adalah peneliti yang mengembangkan kualitas pelayanan tradisional tersebut dalam konteks elektronik dan mengelompokkan lima dimensi kualitas pelayanan menjadi tiga dimensi, yaitu 1) tangibles, 2) kombinasi dari responsiveness, reliability, dan assurance; dan 3) emphaty. Dalam penelitian tersebut, tangibles merupakan dimensi paling penting dalam meningkatkan

(15)

kesetiaan konsumen. Item-item dalam penelitian tersebut telah disesuaikan dengan konteks elektronik, seperti dimensi tangible mewakili tampilan website, tetapi menurut Parasuraman (2005) skala tersebut menjadi tidak sesuai dengan konteks awal dari penelitian tersebut.

Kualitas pelayanan mendapatkan perhatian lebih pada dunia e-commerce dimana konsumen menggunakan website sebagai media dalam bertransaksi.

Kualitas dari website itu sendiri dianggap sebagai bentuk pelayanan, misalnya kemudahan dalam mengoperasikan website tersebut. Parasuraman et al. (2005) kemudian mempertimbangkan kualitas dari sebuah website (WebQual) sebagai bentuk pelayanan. Pada penelitian tersebut, kualitas pelayanan secara elektronik yang kemudian disingkat menjadi E-S-Qual, terdiri dari 22 item yang dimasukkan ke dalam empat dimensi, yaitu:

1. Efisiensi (efficiency): kemudahan dan kecepatan dalam mengakses dan menggunakan website.

2. Pemenuhan (fulfillment): sejauh mana website menjanjikan pengiriman pesanan dan ketersediaan barang terpenuhi.

3. Ketersediaan sistem (system availability):

4. Kerahasiaan pribadi (privacy): keamanan dan perlindungan terhadap informasi pribadi konsumen.

Pengukuran terhadap kualitas pelayanan secara elektronik tidak hanya mengacu pada dimensi tertentu. Terdapat berbagai macam modifikasi yang disesuaikan dalam mengukur kualitas website secara lebih spesifik sesuai dengan

(16)

jasa yang ditawarkan oleh setiap penyedia jasa, seperti penelitian pada bidang perbankan, kesehatan, keperawatan, atau situs yang digunakan dalam pendidikan.

2.8 Efektivitas Sistem Informasi

Efektivitas adalah hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab dengan sasaran yang harus dicapai (Supriyono, 2000). Suatu unit organisasi dapat dikatakan efektif apabila pencapaian lebih besar dibandingkan usaha untuk mendapatkannya.

Simatupang dan Akib (2007) menyatakan bahwa efektivitas sistem informasi merupakan upaya organisasi untuk memanfaatkan kemampuan dan potensi sistem informasi yang dimiliki untuk mencapai tujuan.

Dalam penelitian Gupta et al. (2007), efektivitas teknologi informasi dinilai berdasarkan peningkatan efektivitas, peningkatan komunikasi, pengambilan keputusan yang lebih baik, peningkatan respon organisasi, dan sistem informasi secara keseluruhan.

2.9 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan penulis mengacu pada beberapa penelitian terdahulu untuk mendukung model penelitiannya. Penelitian ini menguji hubungan variabel yang berasal dari model penelitian DeLone dan Mclean (2003), yaitu hubungan kualitas sistem, kualitas informasi, dan kualitas pelayanan terhadap kepuasan pengguna.

Penelitian yang dilakukan oleh Istianingsih dan Utami (2009) mendukung model kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean (2003). Hasil penelitian

(17)

pada 204 responden pengguna software akuntansi, seperti SAP, Oracle, Myob Accounting, maupun software buatan sendiri pada berbagai perusahaan di Indonesia menunjukkan hasil yang signifikan pada hubungan antara kualitas sistem, kualitas informasi, dan kualitas pelayanan terhadap kepuasan pengguna sistem tersebut.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ramdan et al. (2014) memiliki hasil yang signifikan antara kualitas sistem, kualitas informasi, dan kualitas pelayanan terhadap kepuasan pengguna. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 119 responden untuk menguji model kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean pada tiga sistem informasi berbasis website milik pemerintah di Malaysia dari perspketif masyarakat umum.

Pada penelitian ini, penulis juga menguji variabel kepuasan pengguna terhadap efektivitas sistem informasi. Penelitian Gupta et al. (2007) yang dilakukan pada pengguna teknologi informasi di pemerintahan India menunjukkan bahwa kepuasan pengguna merupakan indikator yang paling baik untuk menilai efektivitas sistem informasi. Penelitian tersebut membuktikan secara empiris bahwa kepuasan pengguna memiliki hasil yang positif signifikan terhadap efektivitas sistem informasi.

Handayani (2010) melakukan penelitian berdasarkan model penelitian yang diajukan oleh Gupta et al. (2007) untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan efektivitas system informasi pada organisasi sektor publik di Surakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepuasan pengguna dan budaya organisasi tidak berpengaruh positif terhadap efektivitas sistem informasi

(18)

sementara, manajemen puncak, manajemen sistem informasi, dan sistem informasi secara statistik berpengaruh positif terhadap efektivitas sistem.

2.10 Pengembangan Hipotesis

2.10.1 Kualitas Sistem dan Kepuasan Pengguna Sistem Informasi

Kualitas sistem mengukur sistem dalam memproses informasi. Menurut Ives dan Olson (1984), kualitas sistem merupakan representasi beberapa aspek suatu sistem yang memberikan keuntungan untuk organisasi dilihat dari perspektif pengguna sistem informasi. Kualitas sistem dinilai berdasarkan kemampuan dari sistem informasi untuk memproses dan mengirimkan informasi sehingga memberikan manfaat bagi penggunanya.

Dalam penelitian yang dilakukan beberapa peneliti seperti Istianingsih dan Utami (2009) serta Ramdan et al. (2014) membuktikan bahwa kualitas sistem memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pengguna. Semakin tinggi kualitas sistem yang dimiliki maka kepuasan pengguna sistem tersebut akan semakin meningkat menurut persepsinya.

Dari uraian di atas maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis yang pertama sebagai berikut:

H1: Kualitas sistem memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepuasan pengguna akhir.

2.10.2 Kualitas Informasi dan Kepuasan Pengguna Sistem Informasi

Kualitas informasi berhubungan dengan kualitas dari keluaran sistem informasi. Dalam literatur sistem informasi, kualitas informasi dari keluaran

(19)

sistem informasi sering digunakan sebagai salah satu kriteria penting dalam menilai kepuasan pengguna akhir yang dapat mempengaruhi kinerja dan keberhasilan sistem informasi.

Menurut Tjakrawala dan Cahyo (2010), penekanan atas aspek kualitas informasi di dalam pengimplementasian sistem informasi akan meningkatkan kepuasan penggunanya sehingga pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap keberhasilan implementasi sistem informasi. Pendapat ini didukung hasil penelitian Wu dan Wang (2006), Livari (2005), serta Seddon dan Kiew (1996) yang membuktikan bahwa kualitas informasi mempunyai pengaruh yang positif signifikan terhadap kepuasan pengguna akhir.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini mengajukan hipotesis kedua, yaitu:

H2: Kualitas informasi memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepuasan pengguna akhir.

2.10.3 Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Pengguna Sistem Informasi

Kualitas pelayanan merupakan variabel yang perlu ditambahkan dalam mengukur kesuksesan sistem informasi selain variabel kualitas sistem dan kualitas informasi. Kualitas sistem dan kualitas informasi merupakan komponen kualitas yang diperlukan untuk mengukur keberhasilan suatu sistem, tetapi kepuasan pelayanan merupakan komponen yang penting untuk mengukur keberhasilan departemen sistem informasi secara keseluruhan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh DeLone dan McLean (2003), direkomendasikan penambahan kualitas pelayanan sebagai dimensi penting dalam

(20)

kesuksesan sistem informasi terutama pada lingkungan jual beli barang dan jasa secara elektronik karena dalam lingkungan tersebut, pelayanan kepada pelanggan merupakan hal yang sangat krusial dalam meningkatkan kepuasan pelanggan.

Hasil penelitian yang dilakukan Istianingsih dan Wiwiek (2009) membuktikan bahwa kualitas pelayanan terbukti secara signifikan berpengaruh positif terhadap kepuasan penggunanya. Semakin tinggi tingkat kualitas pelayan maka akan meningkatkan kepuasan pengguna sistem informasi tersebut.

Dari uraian di atas maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis yang ketiga sebagai berikut:

H3: Kualitas pelayanan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepuasan pengguna akhir.

2.10.4 Kepuasan Pengguna dan Efektivitas Sistem Informasi

Harapan pemakai sistem informasi menentukan kepuasan pengguna sistem informasi. Oleh karena itu, penting bagi pengembang sistem informasi untuk mengetahui harapan para pemakai sistem informasi sehingga pada akhirnya mereka akan mencapai kepuasan dalam menggunakan sistem informasi. Untuk itu, para pengguna hendaknya dilibatkan dalam pengembanagan sistem.

Kepuasan pengguna terhadap sistem informasi diharapkan dapat meningkatkan efektivitas sistem informasi (Handayani, 2010). Hasil dari penelitian Gupta et al. (2007) menunjukkan bahwa kepuasan pengguna mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap efektivitas sistem informasi.

Kepuasan pengguna merupakan suatu ukuran dalam keefektivitasan sistem informasi dalam sebuah organisasi. Efektivitas sistem informasi juga memberikan

(21)

manfaat bagi peningkatan kinerja penggunanya. Atas dasar uraian tersebut maka penelitian ini mengajukan hipotesis keempat sebagai berikut:

H4: Kepuasan pengguna memiliki pengaruh positif signifikan terhadap efektiviras sistem informasi.

2.11 Model Penelitian

Penelitian ini menggabungkan variabel-variabel kualitas dalam penelitian DeLone dan McLean (2003) untuk mengukur kepuasan pengguna. Hubungan antara kepuasan pengguna terhadap efektivitas sistem dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan model penelitian Gupta et al. (2007). Gambar model penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3.

Model Penelitian

KUALITAS SISTEM

KUALITAS INFORMASI

KUALITAS PELAYANAN

KEPUASAN PENGGUNA

EFEKTIVITAS SISTEM INFORMASI H1 (+)

H2 (+)

H3 (+)

H4 (+)

Gambar

Gambar 2.3.   Model Penelitian  KUALITAS  SISTEM KUALITAS  INFORMASI KUALITAS  PELAYANAN KEPUASAN PENGGUNA EFEKTIVITAS SISTEM INFORMASIH1 (+)H2 (+)H3 (+)H4 (+)

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan adalah data primer (teknik wawancara dengan pihak yang mempunyai kapabilitas dalam memberikan data dalam penelitian ini) dan data sekunder yang diperoleh dari data

analisis data diketahui bahwa terdapat 2 orang guru Biologi yang menjawab soal dengan benar tetapi memiliki nilai CRI yang rendah (lihat lampiran 1. Rekapitulasi

Artinya, mereka yang menjalankan tugas jurnalistik, tidak bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP 9 .” Secara hukum didasarkan pada pasal 50 KUHP yang

SIM golongan A Umum digunakan untuk mengemudikan mobil atau kendaraan untuk penumpang umum, atau kendaraan penumpang yang memiliki trayek untuk penumpang umum

Ekstraksi rimpang kunyit yang kemudian dilanjutkan dengan fraksinasi hexan dilakukan agar dapat menarik zat-zat aktif berkhasiat yang terkandung pada rimpang

Kontrolne karte spadaju u statisticke metode kvaliteta.U sustini to je grafikon u kome apscisa predstavlja redosled kontrolisanja a na ordinatu se obelezavaju vrednosti parametra,koje

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan analisis faktor, variabel-variabel yang termasuk dalam faktor Earning merupakan variabel utama pembentuk kinerja perbankan