• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Keadilan

Sebelum masuk kepada substansi dan analisa penelitian, peneliti merasa perlunya mengkaji kata-kata yang menjadi substansi dan menjadi variabel penelitian nantinya. Kajian pustaka ini berisi pengertian, kajian terhadap teori-teori yang relevan dengan isu penelitian, dan kajian terhadap beberapa hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti lain.

Dimulai dengan istilah keadilan, keadilan yang berasal dari kata adil yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sama berat; tidak berat sebelah;

tidak memihak; berpegang pada kebenaran, atau dalam bahasa inggris disebut fairness yang kurang lebih sama dengan pengertian adil dalam artinya. Melalui pengertian adil menunjukkan bahwa sistem perpajakan yang ada pada suatu negara haruslah bertujuan pada kepentingan umum, tidak mementingkan dan merugikan pihak yang satu dengan lainnya.

Teori pertama menangani persepsi keadilan yang relevan untuk penelitian ini dalam Saad (2011) adalah Teori Keadilan (Equity Theory). Teori keadilan muncul pada tahun 1960 melalui karya Adams (1965) yang sangat menarik untuk menguji konsep keadilan dalam organisasi (Greenberg , 1987). Sejak itu, Teori Keadilan telah diperpanjang (Eckhoff, 1974; Leventhal et al, 1980;. Thibaut &

(2)

Walker, 1975) dan diterapkan dalam berbagai bidang studi, seperti pembayaran dan manfaat yang terkait dengan pekerjaan (Aryee et al ,2004. ; Campbell & Pritchard, 1976; Greenberg, 1982; Watson et al, 1996), perpajakan (Bobek, 1997; Carnes &

Cuccia, 1996; Gilligan & Richardson, 2005) dan sistem informasi (Douglas et al, 2007; . Joshi, 1989) .

Adams (1965) menunjukkan bahwa Teori Keadilan terdiri dari dua dimensi yaitu timbal balik dan alokasi. Keadilan timbal balik, atau pertukaran keadilan, didasarkan pada premis bahwa seseorang hanya akan merespon cukup jika pihak lain bertindak adil kepada mereka. Dalam pertukaran ini, kerangka kerja, persamaan atau keadilan dicapai bila ada kesetaraan hasil / input rasio bagi semua pihak yang terlibat dalam pertukaran (Cook & Hegtvedt, 1983). Ketidak adilan, di sisi lain, dikatakan ada apabila rasio ini tidak sama. Dengan kata lain, seseorang akan melihat sistem diangap adil jika manfaat yang dia terima sama dengan kontribusi mereka, dan sebaliknya.

Teori awal Keadilan Adams (1965), seperti yang diungkapkan dalam Gambar 2.1, menerima banyak kritik akibat skema yang sederhana (Bobek, 1997;

Leventhal, 1980). Peneliti lain mengkritisi klaim Teori keadilan tersebut,dalam penilaian keadilan, sejumlah faktor lain yang perlu ditangani terpisah dari pertukaran (baik timbal balik atau tidak langsung) keadilan.

(3)

Gambar 2.1

Teori Dasar Keadilan Adams

(Skema Representasi Teori Keadilan Adams)

Christensen dkk. (dalam Azmi dan Perumal, 2008) menyatakan bahwa persepsi keadilan sulit didefinisikan karena empat masalah utama: (1) merupakan masalah dimensional, (2) dapat didefinisikan pada tingkat individu maupun pada mayarakat luas, (3) keadilan terkait dengan kompleksitas, dan (4) kurangnya keadilan dapat menjadikan pertimbangan atau menyebabkan ketidakpatuhan.

Beberapa peneliti (misalnya Porcano, 1984; Richardson & Sawyer, 2001;

dan Jackson & Milliron, 1986) setuju bahwa keadilan pajak merupakan konsep multidimensi. Gerbing (1988) melakukan survei pada 225 individu pembayar pajak di Amerika dan mengidentifikasi dimensi keadilan pajak serta menemukan lima dimensi keadilan:

1. Keadilan Umum dan Distribusi Beban Pajak (General Fairness and Distribution of the Tax Burden),

2. Timbal balik Pemerintah (Exchange with Government), Timbal Balik

(Reciprocation)

Alokasi (Allocation)

Keadilan (Equity)

(4)

3. Sikap Perpajakan dari Orang Kaya (Attittude Towards Taxation of the Wealthy),

4. Struktur Tarif Pajak yang dipilih (Preferred Tax Rate Structure); dan 5. Kepentingan Pribadi (Self-Interest).

Richardson (2006) melakukan penelitian mengenai dimensi keadilan pajak sebagai variabel kepatuhan pajak di Hongkong. Richardson (2006) meneliti apakah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Gerbing (1988) akan mempengaruhi tingkat kepatuhan di Hong Kong yang memiliki budaya yang berbeda dengan Amerika Serikat. Richardson (2006) dalam penelitiannya juga menambahkan satu dimensi baru yaitu, middle income earners tax share/burden. Penambahan dimensi keadilan ini disesuaikan dengan budaya dan sistem perpajakan yang berlaku di Hong Kong.

Azmi dan Perumal (2008) meneliti pengaruh dimensi keadilan pajak terhadap perilaku kepatuhan pajak di Malaysia. Penelitian ini juga mengembangkan penelitian yang dilakukan oleh Gerbing (1988). Hasil analisis faktor yang dilakukan terhadap dimensi-dimensi keadilan pajak ini dapat diketahui bahwa terdapat tiga dimensi keadilan pajak yang berpengaruh signifikan, yaitu keadilan umum (general fairness), struktur pajak (tax structure), dan kepentingan pribadi (self interest).

Perbedaan hasil ini dipengaruhi dengan adanya perbedaan pendidikan atau pengetahuan atas perpajakan dan kultur budaya antara Malaysia dan negara-negara pada penelitian sebelumnya.

Teori keadilan dan dimensinya, dalam penelitian ini dipakai sebagai landasan teori guna melihat apakah sistem pajak negara (dalam hal ini Indonesia)

(5)

telah berjalan sesuai dengan pengertian adil diatas. Dalam kebijakan pajak, keadilan diukur apabila masyarakatnya meresa yakin bahwa pajak-pajak yang dipungut pemerintah telah dikenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan bagiannya (Rosdiana dan Tarigan, 2005). Prinsip keadilan berhubungan seperti yang telah dibahas sebelumnya yakni konsep ability to pay dimana setiap orang yang berbeda penghasilan, maka akan dikenakan tarif pajak yang berbeda pula, semisal adanya lapisan Penghasilan Kena Pajak PPh Pasal 21 yang pengenaan tarif pajak progresif dimana semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pengenaan tarifnya yang berakibat semakin besar pula beban pajak yang harus ditanggung/bayar. Jika wajib pajak tidak setuju dengan pemerintah mengenai pengenaan pajak tidak adil atas suatu objek penghasilan, maka wajib pajak akan mengubah pandangan mereka atas keadilan tersebut sehingga wajib pajak cenderung tidak akan melakukan pembayaran dan pelaporan pajaknya, membayar tapi tidak dengan jumlah yang seharunya atau membuat usahanya dilaporkan rugi dan hal lain yang dapat merugikan negara secara langsung atau tidak langsung.

2.1.2 Kemampuan Membayar (ability to pay) Pajak

Perihal penting dalam penelitian ini yang perlu dikritisi bila ditinjau dari konsep keadilan dalam pemajakan adalah prinsip keadilan (equity principle) itu sendiri, bahwasanya pengenaan PPh Final 1% tersebut tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam pajak, karena tidak mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Ini disebut dengan keadilan vertikal atau vertical equity (Musgrave & Musgrave, 1976). Dengan pengenaan PPh Final

(6)

1% tersebut UMKM yang berbentuk badan usaha tidak diuntungkan dan tidak dirugikan apabila persentase Penghasilan Kena Pajak terhadap peredaran bruto dapat mencapai 8%. Hal tersebut dapat dirumuskan dengan: 1% x peredaran bruto sebulan = 12,5% x 8% x peredaran bruto sebulan. Tarif 12,5% adalah merupakan tarif pasal 31E dari UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Tabel 2.1

Ilustrasi Pengenaan PP No. 46 Tahun 2013 atas UMKM Badan Usaha yang menyelenggarakan Pembukuan dan Orang Pribadi dengan

status kawin tanggungan 3 atau K/3

Wajib Pajak Badan

Persentase Penghasilan kena pajak sebelum PTKP

5% 8% 15% 30% -5%

Penjualan 2.400.000.000 2.400.000.000 2.400.000.000 2.400.000.000 2.400.000.000 Penghasilan Kena Pajak (A) 120.000.000 192.000.000 360.000.000 720.000.000 (120.000.000)

Tarif Pasal 31E WP Badan 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125

PPh dengan tarif 12,5% (B) 15.000.000 24.000.000 45.000.000 90.000.000 0

Tarif PPh Final 1% 1% 1% 1% 1%

PPh dengan tarif Final 1% 24.000.000 24.000.000 24.000.000 24.000.000 24.000.000 WP Badan diuntungan/ (dirugikan)

(B-C)

(9.000.000) - 21.000.000 66.000.000 (24.000.000) Keterangan

Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP)

Dirugikan Titik Impas Diuntungkan Diuntungkan Dirugikan

PTKP Status K/3 (D) 57.000.000 57.000.000 57.000.000 57.000.000 57.000.000 Penghasilan Kena Pajak – PTKP (A-D) 63.000.000 135.000.000 303.000.000 663.000.000 (177.000.000) Tarif Pajak Ps 7 UU PPh

5% Rp. 0 s.d Rp. 50 Juta 2.500.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000 0

15% Rp. 50 Juta - Rp. 250 Juta 1.950.000 12.750.000 30.000.000 30.000.000

25% Rp. 250 Juta – Rp. 500 Juta 13.250.000 62.500.000

30% > Rp. 500 Juta 48.900.000

Total PPh WP OP (E) 4.450.000 15.250.000 45.750.000 143.900.000 0

WPOP diuntungkan /(dirugikan) (E-C) (19.550.000) (8.750.000) 21.750.000 119.900.000 (24.000.000)

Tabel 2.1 menggambarkan UMKM dalam bentuk badan usaha jika mampu meraih persentase penghasilan kena pajak di atas 8%, maka UMKM bentuk badan usaha akan diuntungkan karena membayar PPh lebih kecil dari ketentuan sebelumnya. Demikian sebaliknya akan membayar PPh lebih besar apabila persentase penghasilan kena pajak kurang dari 8% terhadap peredaran bruto, bahkan akan tetap membayar PPh final meskipun dalam keadaan merugi.

(7)

Persentase minimum atas penghasilan kena pajak yang harus dicapai oleh UMKM orang pribadi akan lebih besar dari 8% agar tidak dirugikan dengan berlakunya pengenaan PPh Final 1% dari peredaran bruto, sebab berlakunya PP No. 46 Tahun 2013 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak lagi menjadi faktor pengurang dalam menghitung kewajiban PPh UMKM orang pribadi. (Tambunan, 2013)

Penelitian kemampuan membayar (ability to pay) yang dilakukan oleh Palda dan Hanousek (2002) menyatakan bahwa kemampuan wajib pajak untuk membayar pajak sebagian besar dipengaruhi oleh besar pendapatan, biaya dan laba usaha. Pada penelitian tersebut mereka menemukan bahwa mereka yang percaya mendapatkan pelayanan pemerintah juga cenderung menghindari jauh lebih sedikit daripada mereka yang tidak percaya mendapatkan pelayanan dari pemerintah.

Survey tersebut dilakukan sebanyak 1.089 responden Ceko dan 501 Slowakia.

Peneliti menyimpulkan bahwa penghindaran pajak oleh individu mengalami kenaikan di kedua negara dan kesediaan warga untuk membayar kenaikan karena mereka menganggap kualitas pelayanan pemerintah menjadi lebih baik. Temuan serupa berlaku untuk Hungaria, dan Polandia, meskipun surveinya untuk negara- negara ini lebih terbatas daripada terhadap Republik Ceko dan Slovakia.

Menitik beratkan kembali ke teori keadilan, terdapat dua premis dasar mengenai teori keadilan ini, yaitu salah satunya bahwa penilaian keadilan diasumsikan berdasarkan proksi atas kepercayaan antar pribadi untuk berperilaku dengan cara yang kooperatif dalam lembaga-lembaga sosial. Kemudian yang kedua adalah, banyak orang diasumsikan menggunakan jalan pintas kognitif untuk memastikan apakah mereka memiliki penilaian mengenai keadilan yang tersedia

(8)

ketika mereka perlu untuk membuat keputusan tentang keterlibatan dalam perilaku yang kooperatif (Greenberg, 2003). Melalui hal ini dapat dilihat, bahwa persepsi adil bagi seseorang akan mempengaruhi perilaku mereka ketika ingin terlibat dalam suatu kegiatan yang berhubungan dengan pemerintah atau sosial dan juga secara tidak langsung mempengaruhi perilaku dari setiap orang yang ikut terlibat secara bersamaan.

2.1.3 Perilaku Kepatuhan

Perilaku kepatuhan yang dimana objeknya adalah wajib pajak itu sendiri yang mana Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003 bahwa Wajib Pajak (WP) dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila memenuhi semua syarat sebagai berikut:

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir;

2. Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;

3. SPT Masa yang terlambat itu disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya;

4. Tidak mempunyai tunggakan Pajak untuk semua jenis pajak: a) kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

(9)

b) Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir;

5. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan

6. Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.

Laporan audit harus : a) disusun dalam bentuk panjang (long form report);

b) menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.

7. kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

8. Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir;

Dalam hal laporan keuangan Wajib Pajak tidak diaudit oleh akuntan publik, maka Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku berakhir, untuk dapat ditetapkan sebagai WP Patuh sepanjang memenuhi syarat pada huruf a sampai huruf e, ditambah syarat:

Dalam 2 tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP, dan

(10)

Apabila dalam 2 tahun terakhir terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan Pemeriksaan pajak, maka koreksi fiskal untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10%.

Khusus untuk PP No. 46 Tahun 2013 ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai ketentuan wajib pajak secara rinci, hanya dijelaskan bahwa persyaratan objektif wajib pajak telah melakukan kewajiban perpajakannya adalah wajib pajak sudah harus menyetor Pajak Penghasilan terutang yang didapat dari peredaran bruto/omzet sebulan dikali 1% paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya tanpa ada kewajiban melapor, karena surat setoran pajak selaligus sarana wajib pajak telah melaporkan kewajiban perpajakannya.

Fokus lain dari masalah kepatuhan pajak itu sendiri adalah hal tentang pajak tersebut. Pajak menurut Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan definisinya, ciri-ciri pajak antara lain:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."

2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak

(11)

kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.

3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

Lembaga pengelola pajak di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak atau DJP) yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan. Undang- undang terbaru yang mengatur sistem perpajakan di Indonesia, antara lain Undang- Undang No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang- Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No.

7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Wajib Pajak (WP) adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

(12)

2.1.4 Penerapan Teori Keadilan, Prinsip Kemampuan Membayar dan Perilaku Kepatuhan

Teori Keadilan memprediksi bahwa individu menyatakan keadilan atas dasar hasil, dan mereka percaya bahwa imbalan dan hukuman harus didistribusikan yang mengacu pada input atau kontribusi (Bobek, 1997). Selain itu, Teori Keadilan berpendapat bahwa individu lebih cenderung untuk mematuhi aturan jika mereka merasa diperlakukan secara adil di dalam sistem. Dalam istilah sederhana, Teori Keadilan perhatian dengan pertukaran keadilan.

Dalam konteks perpajakan, pihak yang bertukar adalah wajib pajak dan pemerintah. Secara teoritis, orang akan melihat sistem pajak adil jika manfaat yang diterima dari pemerintah untuk jumlah pajak yang dibayar adil juga. Jika tidak adil (merugikan wajib pajak), maka pertukaran tersebut dianggap tidak adil dan individu/badan wajib pajak cenderung berusaha untuk membalikkan keadilan tersebut, melalui ketidakpatuhan. Namun, dalam hal praktis, pertukaran keadilan dalam perpajakan mungkin tidak akan tercapai karena kebutuhan yang berbeda atau persyaratan wajib pajak. Sebagai contoh, seseorang yang berpenghasilan tinggi mungkin akan menerima manfaat yang kurang dari pemerintah, meskipun kontribusi mereka lebih besar dibandingkan dengan yang berpenghasilan rendah.

Dalam istilah praktis, niat wajib pajak apakah mau atau tidak untuk memenuhi kewajiban mereka tidak hanya tergantung pada kemauan mereka.

Mereka mungkin ingin memenuhi tetapi mengalami kesulitan untuk melakukan perilaku tersebut, yang kemudian akan membatasi kehendak mereka. Berdasarkan penelitian sebelumnya, faktor-faktor seperti kompleksitas pajak, pengetahuan

(13)

perpajakan, rekan-rekan, kemungkinan diperiksa dan etika, disimpulkan secara signifikan mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak (Richardson & Sawyer, 2001).

Hal ini menunjukkan bahwa perilaku kepatuhan pajak bukan hanya pilihan yang sepele tetapi keputusan yang dibuat oleh individu yang mungkin akibat dari kemudahan atau kesulitan untuk melakukan perilaku, pengalaman masa lalu, pengetahuan, kompetensi, sumber daya, peluang dan hambatan untuk melakukan, seperti yang disorot oleh Dwyer dan Williams (2002) dalam konteks studi kesehatan. Karena itu, dampak bahwa perilaku kepatuhan pajak lebih mungkin untuk jatuh ke dalam perilaku yang direncanakan. Oleh karena itu, lebih tepat dalam penelitian ini menggunakan TPB dalam memprediksi perilaku kepatuhan pajak, seperti yang disarankan oleh Ajzen (1985).

2.1.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang menjadi acuan utama dalam penyusunan usulan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Natrah Saad “Fairness Perceptions and Compliance Behaviour: The Case of Salaried Taxpayers in Malaysia after Implementation of the Self-Assessment System” (2011) dan Giligan Richardson (2005) dengan judul ‘’Perceptions of Tax Fairness and Tax Compliance in Australia and Hongkong – A Preliminary Study.’’ Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menyelidiki dampak dimensi keadilan pajak pada perilaku kepatuhan pajak di Malaysia dan Hong Kong yang kemudian akan dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Selandia Baru dan Australia untuk mempertimbangkan setiap kesamaan atau perbedaan perilaku kepatuhan pajak lintas-budaya. Penelitian

(14)

tersebut dilanjutkan oleh Anna A. Che Azmi and Kamala A. Perumal (2008) dengan judul “Tax Fairness Dimensions In An Asian Context: The Malaysian Perspective”.

Penelitian Giligan dan Richardson (2005) dilakukan dengan survey kuesioner yang dilakukan pada 105 mahasiswa S1 pada satu universitas di Australia dan 302 kuesioner pada dua universitas di Hong Kong. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dimensi-dimensi keadilan pajak yang terkait dengan General Fairness, Special Provisions, Preffered tax-rate structure, dan self interest memiliki hubungan positif yang signifikan dengan perilaku kepatuhan pajak di Australia. Namun, dimensi keadilan pajak, seperti Exchange with the government tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hasil temuan (2005) ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan di Hong Kong.

Penelitian yang dilakukan oleh Azmi dan Perumal (2008) merupakan penelitian yang mereplikasi penelitian Richardson (2005) dengan menggunakan Malaysia sebagai tempat penelitiannya. Berdasarkan hasil analisis faktor, Azmi dan Perumal (2008) menemukan bahwa hanya tiga dimensi keadilan pajak, yaitu General Fairness, Tax Structures, dan Self Interest yang memiliki hubungan positif signifikan terhadap perilaku kepatuhan pajak. Hal ini dikarenakan orang-orang Malaysia menganggap bahwa dimensi Exchange with Government bukanlah bagian yang terpisah dari dimensi General Fairness dan dimensi Tax Rate tidak terpisah dari dimensi Special Privileges for the Wealthy. Penelitian ini dilakukan dengan survey kuesioner terhadap 309 pembayar pajak. Andarini (2010) yang mereplikasi penelitian Azmi dan Perumal (2008) yang meneliti kepatuhan WP Badan di Jakarta.

Penelitian ini dilakukan dengan menyebar 125 kuesioner kepada staf perpajakan

(15)

WP Badan di sejumlah perusahaan di Jakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun dimensi keadilan pajak yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku kepatuhan WP Badan.

Pengujian persepsi kontrol terhadap kepatuhan wajib pajak badan di Indonesia dilakukan oleh Erwin (2009), dimana menghasilkan bahwa persepsi kontrol perilaku tidak signifikan berpengaruh terhadap kepatuhan, sedangkan terhadap niat, kondisi keuangan, fasilitas perusahaan serta iklim organisasi berpengaruh positif. Penelitian kepatuhan yang dilakukan di Negara Tanzania oleh Ndekwa (2014) menjelaskan bahwa pendidikan dan sistem imbalan terhadap sistem mempengaruhi kepatuhan UKM di Tanzania, sedangkan pandangan terhadap sistem pajak tidak berpengaruh terdapat kepatuhan tersebut. Studi lain di negara Afrika yakni di Nigeria yang dilakukan oleh Mukasa (2008) menghasilkan bahwa persepsi WP UKM berkorelasi positif dengan kepatuhan sedang pengetahuan pajak sebaliknya. Sedang studi oleh Alabede et al (2011) masih di Nigeria menjelaskan adanya hubungan positif antara sikap terhadap penghindaran dan perilaku kepatuhan, sedangkan efek kondisi keuangan tidak signifikan berpengaruh terhadap hubungan antara sikap dan perilaku kepatuhan.

Ambala (2015) meneliti kepatuhan di Negara Ghana yang menemukan bahwa tarif pajak, posisi pemotongan dan orientasi etika individu bisa mempengaruhi perilaku kepatuhan wajib pajak di Ghana. Sedangkan Razak dan Adafula (2013) dalam penelitiannya di lakukan di Negara Ghana pula menemukan tingkat pemahaman hukum pajak signifikan mempengaruhi sikap wajib pajak.

Tingkat pemahaman wajib pajak positif berkorelasi dengan tingkat signifikan

(16)

dengan keputusan kepatuhan pajak mereka. Sedangkan tingkat akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan adalah hal-hal yang wajib pajak kurang memperhatikan dalam keputusan mereka.

Sementara penelitian yang dilakukan di Negara Kanada dilakukan oleh Farrar (2015) menemukan dimensi keadilan belum dianggap eksplisit dalam pembangunan.Mengingat bahwa keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasi terjadi secara bersamaan dalam praktek pajak, pembuat kebijakan pajak dapat mempertimbangkan bagaimana wajib pajak mereka mencerminkan multidimensionalitas keadilan pajak.

(17)

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti

(Tahun)

Variabel Metode Analisis Hasil Penelitian 1. Azmi dan

Perumal (2008)

Variabel bebas adalah keadilan umum, timbal balik pemerintah, ketentuan khusus, struktur tarif pajak, dan kepentingan pribadi. Variabel terikat adalah perilaku kepatuhan pajak

Analisis Faktor Hasil analisis faktor menunjukkan terdapat 3 dimensi keadilan pajak yang berpengaruh di Malaysia, yaitu keadilan umum, struktur pajak, dan kepentingan pribadi terhadap perilaku kepatuhan pajak.

2. Natrah Saad

(2011) Variabel bebas penelitian ini keadilan umum, timbal balik pemerintah,

ketentuan khusus, struktur tarif pajak, dan kepentingan pribadi. Variabel terikat perilaku kepatuhan WP Badan

Analisis Regresi

Berganda Dimensi keadilan

pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan, sikap dan norma subjektif di TPB secara signifikan berpengaruh

3. Giligan dan Richardson (2005)

Variabel bebas keadilan umum dan distribusi pembebanan pajak, timbal balik pemerintah, sikap terhadap

perpajakan orang kaya, struktur tarif pajak yang diinginkan, dan kepentingan pribadi.

Analisis Regresi

Berganda Di Australia 4 dimensi persepsi keadilan pajak mempunyai korelasi signifikan terhadap perilaku kepatuhan pajak yaitu keadilan umum dan distribusi pajak, sikap perpajakan orang kaya, struktur tarif pajak yang diinginkan,dan kepentingan pribadi Di Hongkong terdapat 2 dimensi persepsi keadilan pajak yang signifikan dengan perilaku kepatuhan pajak, yaitu keadilan umum dan

(18)

distribusi pembebanan pajak dan timbal balik pemerintah

4. Erwin (2009) Variabel bebas adalah persepsi kontrol perilaku untuk berperilaku patuh;

persepsi kondisi keuangan; persepsi fasilitas

perusahaan;

persepsi iklim organisasi; niat tax professional dan; kepatuhan pajak badan.

Analisis Multivariat Structural Equation

Modelling (SEM)

Pengujian persepsi kontrol menghasilkan variabel persepsi kontrol

perilaku tidak signifikan mempengaruhi kepatuhan, persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif signifikan terhadap niat.

kondisi keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak, fasilitas perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak, kondisi iklim organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap

kepatuhan pajak

perusahaan/Wajib Pajak Badan.

5. Alberto Gabriel Ndekwa (2014)

Variabel bebasnya pengetahuan pajak ,sistem imbalan, pandangan sistem pajak dan variabel terikatnya adalah faktor yang meningkatkan kepatuhan pajak

Analisis Regresi

Berganda Pendidikan pajak sangat membantu meningkatkan kepatuhan pajak antara UKM di Tanzania, sistem imbalan pajak sangat membantu meningkatkan kepatuhan pajak UKM di Tanzania, pandangan terhadap sistem pajak sangat tidak membantu untuk meningkatkan kepatuhan pajak UKM di Tanzania

6. Joseph Mukasa (2008)

Variabel bebas adalah

pengetahuan pajak dan persepsi keadilan pajak, sedang varibel terikat adalah kepatuhan pajak

Analisis Faktor Persepsi WP UKM di Uganda berkorelasi positif dengan kepatuhan sedangkan pengetahuan pajak tidak signifikan berkorelasi dengan kepatuhan pajak

(19)

7. Nsor-Ambala

(2015) Variabel bebasnya adalah Etika, Tarif Pajak dan Letak Pemotongan Pajak, sedang variabel terikat adalah Perilaku Kepatuhan

Analisis Regresi

Berganda Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa tarif pajak, posisi pemotongan dan orientasi etika individu bisa mempengaruhi perilaku kepatuhan wajib pajak di Uganda

8. Farrar (2015) Dimensi penelitian mencakup

Dimensi Keadilan, Keadilan

Prosedural, Keadilan

Informasi dan Keadilan

Interpersonal

Analisis Statistik Kesimpulan penelitian ini dimensi keadilan belum dianggap eksplisit dalam pembangunan. Mengingat bahwa keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasi terjadi secara bersamaan dalam praktek pajak, pembuat kebijakan pajak dapat mempertimbangkan

bagaimana charter wajib

pajak mereka

mencerminkan multidimensionalitas keadilan pajak 9. Alabede et al,

(2011) Variabel bebas adalah Sikap terhadap

Penghindaran Pajak, Variabel antara adalah Kondisi Keuangan dan Pilihan Risiko, sedang variabel terikat adalah Perilaku

Kepatuhan Pajak

Analisis Regresi

Berganda Hubungan positif dan signifikan antara sikap terhadap penghindaran pajak dan perilaku kepatuhan pajak. Ini sama memberikan bukti

menunjukkan preferensi risiko wajib pajak sangat dimoderasi hubungan antara sikap terhadap penghindaran pajak dan perilaku kepatuhan pajak . Efek dari kondisi keuangan tidak signifikan berpengaruh terhadap hubungan antara sikap terhadap penggelapan pajak dan perilaku kepatuhan

(20)

10. Razak dan Adafula

(2013)

ariabel bebas adalah persepsi beban pajak, pemahaman hukum pajak dan persepsi

akuntabilitas pemerintah, sedangkan

variabel terikat adalah kepatuhan pajak

Analisis Regresi

Berganda Tingkat pemahaman

hukum pajak signifikan mempengaruhi sikap wajib pajak. Tingkat pemahaman wajib pajak positif berkorelasi dengan tingkat signifikan dengan keputusan kepatuhan pajak mereka. Sedangkan Tingkat akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan adalah hal- hal yang wajib pajak kurang memperhatikan dalam keputusan mereka.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, sasaran penelitian ini adalah wajib pajak UMKM sebagaimana menjadi subyek pemajakan pada PP No. 46 Tahun 2013. Alasan pemilihan dalam penelitian ini adalah karena wajib pajak UMKM lebih rentan terhadap pelanggaran pajak daripada wajib pajak badan, dimana mereka lebih peka dan patuh terhadap aturan-aturan perpajakan yang ada. Hal ini berbeda dengan WP Badan yang cenderung lebih pasif terhadap aturan perpajakan yang ada, sehingga perilaku mereka cenderung tidak patuh.

Penambahan satu variabel independen tentang kemampuan membayar karena sejalan dengan prinsip ability to pay dalam keadilan pajak tersebut, seperti penelitian yang dilakukan oleh Palda dan Hanousek (2002) di Negara Ceko dan Slowakia yang menemukan bahwa kemampuan wajib pajak untuk membayar pajak sebagian besar dipengaruhi oleh omzet,biaya dan laba usaha wajib pajak.

(21)

2.2 Rerangka Pemikiran

Rerangka pemikiran merupakan suatu diagram yang dibuat untuk menjelaskan secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian. Penelitian ini mengembangkan sebuah model penelitian konseptual untuk meneliti hubungan antara persepsi keadilan, bersama dengan faktor-faktor eksternal lainnya, dan perilaku kepatuhan. Meskipun ada sejumlah besar penelitian kepatuhan yang dilakukan sampai saat ini, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran persepsi keadilan para wajib pajak untuk melakukan pengambilan keputusan dalam memenuhi kewajiban pajak mereka. Untuk itu, tinjauan literatur Teori Keadilan dibuat dan dua hal penting yang diambil dari Teori Keadilan adalah : (1) persepsi keadilan yang multi-dimensi, dan (2) persepsi keadilan memiliki hubungan positif dengan niat perilaku dan pengaruhnya. Maka rerangka pemikiran untuk penelitian ini dapat di gambarkan sebagai berikut :

(22)

Gambar 2.2 Rerangka Pemikiran

Sistem Pemungutan pajak Indonesia

Self Assessment System

PP No. 46 Tahun 2013 Withholding System Official Assessment System

Perilaku Kepatuhan UMKM terhadap PP 46 Tahun 2013

Fenomena

Penerimaan Pajak PP 46

Th 2013 rendah Rencana Penelitian

Pertanyaan Penelitian:

1. Apakah persepsi dimensi keadilan pajak tentang keadilan umum dan distribusi beban pajak berpengaruh terhadap perilaku WP UMKM ? 2. Apakah persepsi dimensi keadilan pajak tentang struktur tarif pajak yang lebih disukai berpengaruh terhadap perilaku WP UMKM ? 3. Apakah persepsi dimensi keadilan pajak tentang kepentingan pribadi berpengaruh terhadap perilaku WP UMKM ?

4. Apakah persepsi dimensi keadilan pajak tentang kemampuan membayar berpengaruh terhadap perilaku WP UMKM ?

Landasan Teori 1. Teori Keadilan 2. Prinsip Ability to pay 3. Kepatuhan Pajak

Variabel Penelitian 1. Keadilan Umum dan

Distribusi Beban Pajak (X1) 2. Struktur Tarif (X2) 3. Kepentingan Pribadi (X3) 4. Kemampuan Membayar

(X4)

5. Perilaku Kepatuhan (Y) Ket: X= Variabel Bebas Y= Variabel Terikat Hipotesis Penelitian

H1: Persepsi dimensi keadilan pajak tentang keadilan umum berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan H2: Persepsi dimensi keadilan pajak tentang struktur tarif

berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan

H3: Persepsi dimensi keadilan pajak tentang kepentingan pribadi berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan

H4: Persepsi dimensi keadilan pajak tentang kemampuan membayar berpengaruh terhadap

Metode Penelitian

Hasil Penelitian

Kesimpulan

(23)

Azmi dan Perumal (2008) sebagaimana di sampaikan sebelumnya mengidentifikasi lima dimensi keadilan pajak yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak, seperti di atas yakni:

1. Keadilan Umum (General Fairness). Dimensi ini terkait dengan keadilan menyeluruh atas sistem perpajakan dan distribusi pajak.

2. Timbal balik Pemerintah (Exchange with Government). Dimensi ini terkait dengan timbal balik yang secara tidak langsung diberikan pemerintah atas pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak.

3. Kepentingan Pribadi (Self-Interest). Dimensi ini terkait dengan apakah jumlah pajak yang dibayarkan Wajib Pajak secara pribadi terlalu tinggi dan jika dibandingkan dengan Wajib Pajak lainnya.

4. Ketentuan-ketentuan khusus (Special Provisions). Dimensi ini terkait ketentuan- ketentuan khusus yang diberikan kepada Wajib Pajak tertentu, misalnya insentif pengurangan tarif untuk perusahaan go public maupun UMKM. Dimensi ini merupakan penyederhanaan dua dimensi yang telah diidentifikasi oleh Richardson (2006), yaitu Attittude Towards Taxation of the Wealthy dan middle income earners tax share/burden.

5. Struktur Tarif Pajak (Tax Rate Structure). Dimensi ini terkait dengan struktur tarif pajak yang disukai (misalnya struktur tarif pajak progresif vs struktur tarif pajak flat/proporsional).

Berdasarkan pengelompokkan budaya nasional Hofstede, Indonesia

(24)

yang tinggi dan peringkat dimensi penghindaran ketidakpastian yang rendah.

Kombinasi dari kedua dimensi tersebut menciptakan masyarakat yang berorientasi pada hukum, peraturan, dan pengawasan untuk menghindari ketidakpastian, sementara ketidaksetaraan kekuasaan dan kekayaan tumbuh di masyarakat yang ditunjukkan dengan kecenderungan mengikuti sistem kasta. Orientasi masyarakat pada hukum menunjukkan bahwa setiap perubahan undang-undang secara tidaklangsung akan menciptakan berbagai persepsi masyarakat atas perubahan tersebut. Persepsi ini tentunya akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam merespon perubahan. Oleh karena itu, penelitian ini mempertimbangkan disahkan peraturan perpajakan yang baru, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan berlaku mulai 01 Juli 2013.

2.3 Model Penelitian

Model Penelitian dalam penelitian ini adalah tentang persepsi keadilan pajak mengenai 5 dimensi menurut penelitian Gerbing (1988) terhadap perilaku kepatuhan wajib pajak pribadi, tetapi di modifikasi menjadi 3 variabel yang berpengaruh signifikan seperti dalam penelitian Azmi dan Perumal (2008).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 5 variabel, yaitu empat variabel independen dan satu variabel dependen. Variabel independen yang digunakan yaitu, keadilan umum dan distribusi beban pajak (GF), struktur tarif

(25)

pajak yang diinginkan (TRS), kepentingan pribadi (SI) dan kemampuan membayar (ATP). Sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah perilaku kepatuhan pajak (Y). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.4 dibawah ini.

(26)

Gambar 2.3

Model Penelitian Persepsi Keadilan dan Perilaku Kepatuhan

+ (H1)

+ (H2)

+ (H3)

+ (H4) Keadilan Umum dan

distribusi Beban Pajak

( 5 Indikator) GF

Struktur Tarif yang disukai (3 Indikator )

TRS

Kepentingan Pribadi ( 4 Indikator )

SI

Perilaku Kepatuhan Pajak ( 4 Indikator )

Y

Kemampuan Membayar

( 4 Indikator ) ATP

(27)

Menurut Jackson dan Miliron (1986), dalam Richardson (2005), dimensi keadilan pajak merupakan variabel kunci non ekonomi yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak. Namun pengaruh dari dimensi keadilan pajak pada perilaku kepatuhan pajak ini berbeda pada setiap penelitian. Christensen, dalam Azmi dan Perumal (2008), mengungkapkan empat (4) masalah utama yang menyebabkan perbedaan hasil dari penelitian penelitian sebelumnya, yaitu keadilan pajak (1) merupakan masalah dimensional, (2) dapat didefinisikan pada tingkat individu maupun pada masyarakat luas, (3) keadilan terkait dengan kompleksitas, dan (4) kurangnya keadilan dapat menjadikan pertimbangan atau atau menyebabkan ketidakpatuhan. Selain keempat masalah tersebut, tidak dapat dihindari adanya pengaruh demografis yang mempengaruhi budaya masyarakat.

2.4 Hipotesis

Menurut Jackson dan Milliron (1986), dalam Richardson (2006), dimensi keadilan pajak merupakan variabel non ekonomi kunci yang mempengaruhi perilaku perilaku pajak. Namun pengaruh dari dimensi keadilan pajak pada perilaku kepatuhan pajak ini berbeda pada setiap penelitian. Christesen (1994), dalam Azmi dan Perumal (2008), mengungkapkan empat masalah utama yang menyebabkan perbedaan hasil dari penelitian sebelumnya, yaitu keadilan pajak (1) merupakan masalah dimensional, (2) dapat didefinisikan pada tingkat individu maupun pada mayarakat luas, (3) keadilan terkait dengan kompleksitas, dan (4) kurangnya keadilan dapat menjadikan pertimbangan atau menyebabkan ketidakpatuhan.

Selain ke empat masalah tersebut, tidak dapat dihindari adanya pengaruh

(28)

demografis yang mempengaruhi budaya masyarakat. Hasil penelitian di Hong Kong oleh Richardson (2006) menunjukkan beberapa hasil yang berbeda dengan penelitian Gerbing (1988) yang menunjukkan bahwa kependudukan kolonial Inggris tidak mempengaruhi persepsi keadilan pajak masyarakat Hong Kong atau adanya budaya yang berbeda telah mengurangi pengaruh kolonial Inggris.

2.4.1 Hipotesis 1

Keadilan umum berhubungan dengan persepsi dan perasaan seorang WP, apakah mereka merasa bahwa sistem pajak yang ada selama ini sudah berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak menyimpang. Distribusi beban pajak berhubungan dengan beban pajak yang dibebankan pada WP dengan tingkat penghasilan yang ada, dimana masyarakat menilai apakah tarif pajak yang dibebankan sudah adil atau belum yang nantinya akan mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak mereka. Jika keadilan umum dalam sistem perpajakan sudah menunjukkan hasil yang positif, atau mendapat respon yang baik dari masyarakat, maka perilaku kepatuhan WP pun akan meningkat.

Begitu juga dengan distribusi beban pajak. Jika pendistribusian beban pajak sudah merata dan adil, sehingga tidak ada WP yang merasa keberatan atas sejumlah beban pajak yang dibayarkan, maka tingkat kepatuhan WP pun akan meningkat. Tetapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, hal ini akan mendorong WP untuk menghindari pajak dan tidak membayar pajak.

Hasil penelitian Giligan (2005) menunjukkan bahwa dimensi keadilan umum dan distribusi beban pajak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku

(29)

kepatuhan pajak. Di sisi lain, penelitian Andarini (2010) tidak membuktikan adanya pengaruh antara dimensi keadilan umum dan distribusi beban pajak dengan perilaku kepatuhan WP Badan. Penelitian ini menguji kembali pengaruh persepsi keadilan pajak mengenai dimensi keadilan umum dan distribusi beban pajak terhadap perilaku kepatuhan pajak, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:

H1: Persepsi dimensi keadilan pajak tentang keadilan umum dan distribusi beban pajak berpengaruh positif terhadap perilaku kepatuhan pajak.

2.4.2 Hipotesis 2

Dimensi kepentingan pribadi berhubungan dengan persepsi dan perasaan seseorang ketika membandingkan beban pajak yang dibayarkan dengan beban wajib pajak lain. Perbandingan beban pajak antara seorang wajib pajak yang memiliki tingkat penghasilan yang lebih tinggi, lebih rendah ataupun sama dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak mereka. Seseorang dengan penghasilan yang tinggi, tetapi membayar beban pajak yang kecil, atau sebaliknya, akan menimbulkan suatu paradigma yang negatif bagi beberapa pembayar pajak yang akan membuat wajib pajak tersebut memilih untuk mengurangi beban pajak yang mereka bayar atau malah tidak membayar pajak. Hal ini terkait dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku bagi setiap WP dalam pemenuhan hak dan kewajiban mereka. Jika WP merasa bahwa beban pajak yang dibayarkan sudah sebanding dengan penghasilannya dan juga jika dibandingkan dengan WP lain, maka akan timbul motivasi yang baik dari dalam dirinya untuk cenderung patuh terhadap peraturan pajak yang ada. Kepentingan pribadi seperti inilah yang dimaksud dapat

(30)

mempengaruhi pola perilaku kepatuhan pajak. Apabila kepentingan pribadi seorang WP sudah baik maka akan sebanding dengan pola perilakunya, tetapi jika yang terjadi adalah sebaliknya maka pola perilaku yang ada cenderung rendah.

Hasil Penelitian Ferdyanto (2011) menunjukkan bahwa dimensi kepentingan pribadi berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kepatuhan pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Azmi dan Perumal (2008) menunjukkan bahwa dimensi kepentingan pribadi berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kepatuhan WPOP di Malaysia. Penelitian ini menguji kembali pengaruh persepsi keadilan pajak tentang dimensi kepentingan pribadi terhadap perilaku kepatuhan pajak, maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

H2: Persepsi dimensi keadilan pajak tentang kepentingan pribadi berpengaruh positif terhadap perilaku kepatuhan pajak.

2.4.3 Hipotesis 3

Hipotesis ketiga ini berhubungan dengan tingkat tarif pajak yang dikenakan kepada masyarakat pembayar pajak, yaitu WP UMKM, dalam hal ini tarif 1% atas omzet per bulan seperti di atur dalam PP No. 46 Tahun 2013. Struktur tarif yang dikenakan yakni flat, dimana tarif pajak yang dikenakan di sama ratakan dan tidak tergantung tingkat penghasilan seseorang atau tarif pajak yang bersifat progresif, dimana tarif pajak yang dikenakan disesuaikan dengan tingkat peredaran bruto yang diterima oleh wajib pajak. Wajib pajak akan merasa adil jika tarif pajak yang ada disesuaikan dengan tingkat penghasilan masing-masing. Semakin progresif tarif pajak yang dibebankan, maka masyarakat akan merasa bahwa tarif pajak yang dikenakan adil bagi semua pihak. Perbedaan beban pajak yang dibebankan kepada

(31)

WP yang disesuaikan dengan tingkat penghasilan akan mendorong mereka untuk berperilaku patuh.

Hasil penelitian Azmi dan Perumal (2008) menunjukkan bahwa dimensi struktur tarif pajak yang lebih disukai berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kepatuhan pajak. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Giligan (2005) di Hongkong menunjukkan bahwa dimensi struktur tarif pajak yang lebih disukai tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku kepatuhan pajak. Penelitian ini menguji kembali pengaruh persepsi keadilan pajak tentang dimensi struktur tarif pajak yang disukai terhadap perilaku kepatuhan pajak, maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

H3: Persepsi Dimensi Keadilan Pajak tentang tentang struktur tarif pajak berpengaruh positif terhadap perilaku kepatuhan pajak.

2.4.4 Hipotesis 4

Prinsip kemampuan membayar (ability to pay principle) yaitu prinsip yang mencerminkan kesejahteraan menyeluruh yang dapat diperoleh seseorang termasuk diantaranya adalah pendapatan, pola konsumsi dan kekayaan. Menurut prinsip ini, sistem pajak dipisahkan dari sisi pengeluaran publik. Sebab, apabila menggunakan pendekatan ini maka pengeluaran publik menjadi tidak jelas karena dalam sistem perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaaan tertentu. Dalam sistem ini juga bersifat berkeadilan vertikal dan horizontal. Keadilan horizontal yaitu orang- orang yang memiliki pendapatan yang sama maka akan dikenakan pembayaran pajak yang setara. Secara konsep, keadilan perpajakan mengimplikasikan proses

(32)

redistribusi kekayaan masyarakat dimana orang kaya membayar lebih banyak dari orang yang lebih miskin (dimensi vertikal). Dalam penelitian Alberto Gabriel Ndekwa (2014) dalam penelitiannya pada UMKM di Tanzania menyimpulkan bahwa kesediaan UMKM membayar pajak sangat penting dan tidak bisa diabaikan dan dinyatakan bahwa pemerintah harus memperhatikan pendidikan pajak dan penghargaan kepada UMKM yang mempengaruhi kesediaan mereka membayar pajak. Dengan demikian hipotesisnya

H4: Persepsi dimensi keadilan pajak tentang kemampuan membayar berpengaruh positif terhadap perilaku kepatuhan pajak.

Gambar

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No  Nama Peneliti
Gambar 2.2  Rerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Richards and Renandya (2002: 175) claim that few second language learners are able to speak a second language without showing evidence of the transfer of

Sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suraji (2005) pada jaringan lalu lintas di kawasan kota Malang didapatkan bahwa kecelakaan sepeda motor dipengaruhi oleh

a. Pada variabel kualitas produk, nilai rata-rata jawaban responden yang memiliki nilai terendah adalah indikator “Service center smartphone Samsung Galaxy

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk membahas suatu strategi pembangunan ekonomi bagi Kota Payakumbuh yang mana dapat dianalisis dengan melihat

Sebelum penulis menetapkan jenis silabus yang akan dirancang untuk mata kuliah Bahasa Inggris I di JBP, maka terlebih dahulu penulis mempertimbangkan beberapa faktor yang

ψ Apabila Anda ingin membetulkan jawaban yang menurut Anda keliru, maka Anda dapat memberi tanda sama dengan (=) pada jawaban tersebut dan Anda dapat memilih jawaban lain yang

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahw pada minyak goreng kelapa sawit kemasan, sudut polarisasi cenderung linear terhadap kenaikan lintasan optis, minyak

Setelah dilakukan uji sensor dan aktuator secara bersamaan, perancangan sistem pengendalian AFTC diketahui tidak bekerja secara maksimal karena input dari observer