BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Kesehatan
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkunagan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003).
Oleh karena itu dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor ini sangat strategis.
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam teori Green, perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:
1. Predisposing faktors (faktor predisposisi)
faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah dan mendasari untuk terjadinya perilaku tertentu. Faktor-faktor ini mencakup umur, pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
1) Umur
Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal, umur manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu
dihitung.
Jenis Perhitungan Usia 1) Usia kronologis
Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghitungan usia.
2) Usia mental
Usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf kemampuan mental seseorang. Misalkan seorang anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan belum dapat berbicara dengan kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan yang setara dengan anak berusia satu tahun, maka dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun.
3) Usia biologis
Usia biologis adalah perhitungan usia berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki oleh seseorang.
2) Tingkat pengetahuan
Pengetahuan merupakan cara manusia untuk menerima alam luar, dan juga sebagai alat yang memberikan keuntungan kepada manusia. Walaupun pengetahuan merupakan alat yang banyak memberikan keuntungan kepada manusia, tetapi pada saat bersamaan juga media yang melindungi atau menjaga sistem kehidupan masyarakat. Karena pengetahuan selain menjadikan manusia kaya, tetapi pengetahuan semakin lama semakin melepaskan diri dari manusia, dan berkembang menjadi alat paten bagi orang orang tertentu/golongan elit atau para ahli. Sebagian orang tidak bisa menikmati atau memegang kendali besar dalam pengetahuan. Pengetahuan bagi mereka merupakan hal yang susah dimengerti dan ditebak, bahkan dianggap sebagai salah satu sumber tekanan hidup (San, 2006).
3) Tingkat pendidikan
Pendidikan saat ini merupakan kebutuhan primer setiap manusia.
Karenanya, pendidikan tidak boleh dianggap sepele karena pendidikan akan
meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Dijelaskannya, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasaan, akhlak yang mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Saman, 2007).
Pendidikan dalam kehidupan manusia merupakan sebuah proses yang harus dilakukan sepanjang hayat. Pada saat ini pendidikan bukan hanya merupakan suatu proses pembelajaran dalam masyarakat, tetapi sudah berkembang menjadi pusat atau narasumber dari segala pengetahuan. Pendidikan mempunyai fungsi utama yang selalu ada dalam perkembangan sejarah manusia yaitu untuk meningkatkan taraf pengetahuan manusia. Pendidikan merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat setempat, juga sebagai media untuk mentransmisikan nilai-nilai baru maupun mempertahankan nilai-nilai lama (Anwarudin, 2008).
Menurut Mantra (1994) makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media masa. Dan sebagian dari mereka sudah bekerja dalam waktu yang lama, pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik.
4) Tingkat sosial ekonomi
Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-bedaan
yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar kita ada orang yang menempati jabatan tinggi seperti gubernur dan wali kota dan jabatan rendah seperti camat dan lurah. Di sekolah ada kepala sekolah dan ada staf sekolah. Di RT atau RW kita ada orang kaya, orang biasa saja dan ada orang miskin.
Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain.
Perbedaan ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang lain.
Sedangkan pada tahun 2009 upah minimum Kabupaten Purbalingga sebesar Rp 618.750 (Winarno, 2009).
2. Enabling faktors (faktor pemungkin)
faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan untuk terjadinya perilaku tertentu tersebut. Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta dan sebagainya;
ketercapaian pelayanan kesehatan baik dari segi jarak maupun segi biaya dan sosial;
adanya peraturan-peraturan dan komitmen masyarakat dalam menunjang perilaku tertentu tersebut.
3. Reinforcing faktors (faktor penguat)
faktor penguat adalah faktor yang memperkuat untuk terjadinya perilaku tertentu tersebut. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan
Sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Menurut Azwar
(2000) sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang atau tidak senang, menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek
Perilaku yang nampak terhadap suatu obyek tertentu setidaknya bisa diramalkan melalui sikap yang diungkapkan oleh seseorang. Dalam arti bahwa sikap seseorang bisa menentukan tindakan dan perilakunya. Sikap terkadang bisa diungkapkan secara terbuka melalui berbagai wacana atau percakapan, namun seringkali sikap ditunjukkan secara tidak langsung. Sikap bisa muncul sebelum perilaku tetapi bisa juga merupakan akibat dari perilaku sebelumnya.
B. Poliklinik Kesehatan Desa (PKD)
Untuk memantau kesehatan masyarakat daerah terpencil dan pedesaan, Departemen kesehatan akan membangun desa siaga dengan menyiapkan 12 ribu Poskesdes (Pos Kesehatan Desa). Hingga saat ini banyak daerah terpencil yang tidak memiliki puskesmas maupun dokter praktek. Itu sebabnya pelayanan kesehatan terhadap mereka terutama saat terjadinya wabah penyakit menjadi sulit dilakukan. Dengan pembentukan desa siaga ini, maka semua masyarakat dilatih untuk bisa menolong diri sendiri. Poskesdes ini akan dibangun disetiap desa yang tidak memiliki puskesmas maupun pusat layanan kesehatan lainnya. Poskesdes tersebut merupakan solusi yang paling efektif untuk mengatasi persoalan layanan kesehatan penduduk daerah terpencil.
Beberapa program dan tugas dari poskesdes desa siaga adalah melatih masyarakat untuk terbiasa mendeteksi dan menolong diri sendiri terhadap berbagai kemungkinan munculnya wabah penyakit (Fadillah, 2006).
Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) adalah suatu wujud dari upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk oleh dan untuk masyarakat atas dasar musyawarah dalam rangka meningkatkan: PHBS, kesiapsiagaan masyarakat desa, kemampuan masyarakat desa untuk menolong diri sendiri dan sebagainya.
Desa siaga tidak hanya sekedar konsep yang bertengger di atas awan. Dengan mengacu visi Departemen Kesehatan agar rakyat indonesia dapat mewujudkan kesehatan secara mandiri, perlu dilakukan tindakan-tindakan nyata. Sebagai contoh, pembentukan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang bertujuan agar setiap desa mampu mengidentifikasi dan mencegah bencana, wabah, kurang gizi dan persoalan-persoalan lain. Poskesdes diharapkan pula untuk merevitalisasi upaya-upaya kesehatan bersumber masyarakat seperti posyandu, pos obat desa, ambulans desa, bank darah desa, kelompok pemakai air dan koperasi jamban.
Secara umum ada 4 strategi dalam menggerakkan kemandirian masyarakat di
bidang kesehatan :
1. Memberdayakan masyarakat agar mampu berperilaku hidup sehat.
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan berkualitas.
3. Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan.
4. Meningkatkan pembiayaan kesehatan
Peran Poliklinik Kesehatan Desa dalam desa siaga menurut Yuniarti (2007) antara lain:
1. Poliklinik Kesehatan Desa merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan dasar di perdesaan, dibawah pengawasan dan pendelegasian wewenang kepala puskesmas 2. Lembaga Poliklinik Kesehatan Desa, dimotori oleh bidan desa bersamadgn perawat,
sanitarian, & ahli gizi, meningkatkan pengetahuan & kepedulian masyarakat tentang faktor-faktor yang menimbulkan gangguan kesehatan
3. Lembaga Poliklinik Kesehatan Desa bersama petugas kesehatan desa dan masyarakat, melakukan pengumpulan data / pemetaan kesehatan ibu hamil; ibu hamil resiko tinggi; bayi; balita; kondisi gizi masyarakat; dan kesehatan lingkungan
Untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa, Poliklinik Kesehatan Desa ( (PKD) menurut Yuniarti (2007) memiliki kegiatan:
1. Pengamatan epidemologi sederhana terhadap penyakit, terutama penyakit menular yang berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan faktor resikonya, termasuk kurang gizi.
2. Kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan 3. Pelayanan medis dasar sesuai dengan kompetensinya
4. Promosi kesehatan untuk peningkatan keluarga sadar gizi, peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Dengan demikian Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) diharapkan sebagai pusat
pengembangan / revitalisasi berbagai UKBM yang ada dimasyarakat desa. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) harus didukung oleh sumber daya seperti tenaga kesehatan (minimal seorang bidan) dengan dibantu sekurang- kurangnya 2 orang kader.
Selain itu juga harus disediakan sarana fisik berupa bangunan, perlengkapan dan peralatan kesehatan serta sarana komunikasi seperti telepon, ponsel.
Untuk sarana fisik seperti Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yaitu: mengembangkan polindes yang telah ada seperti balai warga/
balai RW, balai desa, dan lain-lain.
Pengembangan posyandu yang bermula pada kesehatan kemudian diperluas keberbagai aspek kehidupan dengan mengajak sector terkait pada masyarakat, tidak terkecuali dunia usaha.(Depkes, 2008)
Pelayanan yang terdapat di poliklinik kesehatan desa menurut Yuniarti (2007) antara lain :
1. Pelayanan Imunisasi
a. Pelaksanaan Imunisasi Rutin
Sebelumnya untuk beberapa jenis imunisasi diberikan secara tunggal seperti DPT atau Hepatitis-B, tetapi untuk tahun 2007 imunisasi diberikan dengan istilah combo yaitu satu kali pemberian imunisasi untuk mencegah beberapa jenis penyakit, jenis imunisasi yang diberikan adalah DPT-HB 1, 2 sampai dengan 3.
b. Pelaksanaan TT WUS
Dengan sasaran wanita usia subur (WUS) c. Pelaksanaan BIAS campak
dengan sasarannya yaitu anak-anak usia sekolah dasar 2. Pelayanan Kesehatan Ibu
Pelayanan kesehatan ibu meliputi pemeriksaan ibu hamil, Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan (Linakes) dengan kompetensi kebidanan Komplikasi dan kematian ibu maternal dan bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa di sekitar persalinan, hal ini antara lain disebabkan karena pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi kebidanan.
3. Pelayanan Neonatal
Bayi hingga usia kurang dari satu bulan merupakan golongan yang berisiko kesehatan paling tinggi. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko antara lain dengan melakukan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan pada neonatus (0-28 hari) minimal dua kali, satu kali pada umur 0-7 hari dan satu kali pada umur 8-28 hari. Dalam melaksanakan pelayanan neonatus, petugas kesehatan selain melakukan pemeriksaan kesehatan bayi juga melakukan konseling perawatan bayi kepada ibu.
4. Pelayanan Kesehatan Usia lanjut
Pelayanan kesehatan salah satunya ditujukan terhadap kelompok usia lanjut, dimana pada kelompok ini biasanya banyak mengalami gangguan kesehatan degeneratif dan fungsi tubuh lainnya. Dalam upaya meningkatkan status kesehatan usia lanjut, telah dilaksanakan kegiatan program pelayanan kesehatan usia lanjut.
Program Pelayanan kesehatan usia lanjut juga telah diupayakan melalui kegiatan penjaringan usia lanjut di Posbindu.
5. Pelayanan pengobatan
Upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat dilakukan secara rawat jalan bagi masyarakat yang mendapat gangguan kesehatan ringan dan pelayanan rawat inap bagi masyarakat yang mendapatkan gangguan kesehatan hingga berat.
C. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Teori perilaku menurut Green (Notoatmodjo, 2003) D. Kerangka Konsep
Variabel bebas Variabel terikat Faktor Predisposing:
Umur
Tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan
Tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan
Sistem nilai yang dianut masyarakat
Tingkat pendidikan
Tingkat sosial ekonomi
Faktor enabling:
ketersediaan sumber- sumber atau fasilitas kesehatan.
keterjangkauan pelayanan kesehatan
peraturan dan komitmen masyarakat yang
menunjang perilaku
Faktor reinforcing: sikap dan perilaku (pelayanan) tokoh masyarakat, tokoh agama, dan petugas kesehatan
Pemanfaatan fasilitas kesehatan
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Teori perilaku menurut Green (Notoatmodjo, 2003)
E. Hipotesis
1. Ada pengaruh antara umur masyarakat terhadap pemanfaatan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).
2. Ada pengaruh antara tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pemanfaatan Pemanfaatan Poliklinik
Kesehatan Desa (PKD) Status sosial
ekonomi Tingkat pengetahuan
umur
Tingkat pendidikan
Jarak (keterjangkauan)
Waktu tempuh (keterjangkauan)
Perilaku petugas kesehatan
Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).
3. Ada pengaruh antara tingkat pendidikan masyarakat terhadap pemanfaatan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).
4. Ada pengaruh antara status sosial ekonomi masyarakat terhadap pemanfaatan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).
5. Ada pengaruh antara jarak terhadap pemanfaatan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).
6. ada pengaruh antara waktu tempuh terhadap pemanfaatan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).
7. Ada pengaruh antara perilaku petugas kesehatan terhadap pemanfaatan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).
8. Variabel yang paling dominan adalah pengaruh antara tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pemanfaatan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).