BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Howard 1996). Lillesand dan Kiefer (1990) mendefinisikan penginderaan jauh (Remote Sensing) sebagai ilmu, teknik dan seni guna mengetahui informasi mengenai obyek, daerah atau kejadian melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah atau kejadian yang dikaji.
Menurut Lindgren (1985), penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi.
Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. Hasil observasi penginderaan jauh yang berupa gambar yang menampakkan suatu objek disebut citra. Citra tersebut kemudian diinterpretasikan guna mengidentifikasi objek dan menilai arti penting objek tersebut (Estes dan Simonett 1975).
Dalam pelaksanaan penginderaan jauh, perlu adanya alat sensor, alat
pengolah data, dan alat lain sebagai pendukung. Sensor tidak diletakkan pada
objek sehingga perlu adanya wahana atau media sebagai tempat meletakkan
sensor tersebut. Wahana yang digunakkan untuk meletakkan sensor tersebut dapat
berupa balon udara, pesawat terbang, satelit, atau wahana lainnya (lihat gambar
1). Antara wahana, sensor, dan citra diharapkan berkaitan karena akan
mempengaruhi skala yang akan digunakan (Lindgren 1985). Dengan
menggunakan wahana tersebut penginderaan jauh dilakukan. Semakin tinggi letak
sensor, maka daerah yang terdeteksi akan semakin luas dan informasi yang
diperoleh lebih beragam.
Gambar 1 Wahana Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh yang menggunakan tenaga alamiah berupa tenaga matahari disebut penginderaan jauh pasif dan hanya dapat beroperasi pada siang hari saat cuaca cerah, sedangkan penginderaan jauh aktif menggunakan sumber tenaga buatan yang dibuat dan dipancarkan dari sensor kemudian dipantulkan kembali ke sensor untuk direkam. Umumnya menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan, namun dapat pula menggunakan spektrum tampak dengan sumber tenaga buatan berupa laser (Lindgren 1985).
Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek di permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Pada penginderaan jauh sistem aktif menggunakan tenaga elektromagnetik yang dibangkitkan oleh sensor Radar (Radio Detection And Ranging) (Purwadhi 2011).
2.2 Radar
Radar merupakan singkatan dari Radio Detecting and Ranging. Radar
memiliki sumber energi sendiri sehingga dapat beroperasi siang dan malam serta
mempunyai kemampuan menembus awan. Oleh karena itu, sistem radar ini
disebut dengan penginderaan jauh aktif. Radar memiliki tiga fungsi, yaitu
1. Sensor yang memancarkan gelombang microwave (radio) ke bidang permukaan tertentu;
2. Sensor tersebut menerima beberapa bagian dari energi yang dipancarkan balik (backscatter) oleh permukaan; dan
3. Sensor ini dapat menangkap kekuatan (detection,amplitudo) dan perbedaan waktu (ranging, phase) dari pancar balik gelombang energi (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010).
Pencitraan radar telah berkembang sejak tahun 1978 ketika satelit SEASAT SAR diluncurkan guna memperoleh resolusi spatial yang tinggi dan juga dapat diletakkan pada wahana satelit. SAR dapat bersifat kompetitif dan komplementatif terhadap multispectral radiometer sebagai instrumen penginderaan jauh. Dimulai dengan satelit SEASAT yang bekerja pada band L-HH pada tahun 1978, kemudian NASA meluncurkan SIR-A dan SIR-B pada tahun 1980 – 1990an, lalu ERS 1,3 pada tahun 1992 dan 1995, kemudian JERS-1 pada tahun 1992, dan RADARSAT-1 pada tahun 1995. Perkembangan terkini beberapa satelit dengan polarimetrik (HH, HV, VV, dan VH) dan interferometrik atau dikenal sebagai Pol_inSAR penuh telah diluncurkan, seperti ALOS PALSAR tahun 2006 dengan band L, TERRA SAR-X dengan band X, dan Radarsar-2 dengan band C.
Penggunaan band yang berbeda dari ketiga satelit tersebut diharapkan dapat menyajikan data penginderaan jauh untuk memberikan informasi keadaan lingkungan bumi (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010).
Dalam sistem radar, ukuran resolusi spasial pada sebagian besar penginderaan jauh sistem radar dipengaruhi oleh ukuran antena. Pemasangan antena pada sistem radar yang berwahana di udara umumnya terdapat pada bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping yang disebut dengan SLAR (Side Looking Airbone Radar) atau SLR (Side Looking Radar). Dengan sistem SLAR menghasilkan jalur citra berkesinambungan yang menggambarkan daerah medan luas dan berdekatan dengan jalur terbang (Lillesand dan Kiefer 1990).
Penginderaan jauh sistem radar menggunakan tenaga elektromagnetik
berupa pulsa berenergi tinggi yang dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini yang
dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek, yaitu sekitar 10
-6detik. Pancaran
gelombang ini diarahkan mengenai objek dan dipantulkan kembali ke sensor
radar. Selanjutnya sensor merekam waktu pancaran gelombang ditransmisikan dan kembali ke sensor serta intensitas balik (backscatter) panjang gelombang tersebut. Hasil intensitas balik dikonversikan menjadi data dijital dan dikirim ke perekaman data sehingga menjadi citra (Purwadhi 2011).
Dalam sistem radar ini, sinyal ditransmisikan secara tegak/ vertikal (V) dan mendatar/ horisontal (H) dan diterima kembali secara horisontal atau vertikal.
Terdapat empat kemungkinan polarisasi sinyal yang ditransmisikan kemudian diterima kembali oleh sensor, yaitu transmisi H terima H (HH), transmisi H terima V (HV), transmisi V terima V (VV), dan transmisi V terima H (VH). Berbagai objek mempengaruhi tingkat polarisasi sinyal sehingga polarisasi sinyal yang dihasilkan mempengaruhi dalam menampilkan kenampakkan suatu objek (Lillesand dan Kiefer 1990).
Besaran backscatter dipengaruhi oleh sensor dan objek yang menjadi target.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter pada sensor, yaitu:
1. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X, C, S, L, dan P),
2. Polarisasi,
3. Sudut pandang dan orientasi, dan 4. Resolusi yang dihasilkan.
Pada objek yang menjadi target, backscatter dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Konstanta dielektrik (berupa kelembapan atau kandungan air),
2. Kekasaran, ukuran, dan orientasi objek termasuk biomassa di dalamnya, dan
3. Sudut kemiringan (slope) dan orientasinya (sudut pandang lokal/ local incident angle) (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010).
Adanya pengaruh topografi terhadap geometri berhubungan dengan unsur
spasial citra itu sendiri, sedangkan pengaruh terhadap radiometrik lebih terkait
kepada backscatter atau digital number sehingga dapat mempengaruhi tingkat
kecerahan (brightness) citra. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengurangi pengaruh topografi terhadap image radar adalah radiometric terrain
correction atau dikenal dengan slope correction. Metode slope correction ini
dilakukan guna mengoreksi radiometrik piksel-piksel yang terpengaruh oleh variasi topografi, terutama pada lereng yang menghadap sensor (JICA dan Fakultas Kehutanan 2011).
2.3 ALOS PALSAR
Satelit ALOS merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi teknologi yang lebih maju. Satelit buatan jepang ini diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 Januari 2006 dengan massa sekitar 4 ton serta memiliki ukuran panjang 4,5 meter; lebar 3,5 meter; dan tinggi 6,5 meter. Satelit ini memiliki tiga instrumen penginderaan jauh, yaitu AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiomemetr type-2), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar).
AVNIR dan PRISM merupakan sensor optik dimana AVNIR dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi dengan menggunakan cahaya tampak (visible) dan infra merah dekat (near infrared), sedangkan PRISM memiliki kemampuan untuk membangun data 3 dimensi.
PALSAR merupakan sensor radar yang memiliki gelombang mikro aktif dengan frekuensi L band dan memiliki kinerja lebih tinggi dibandingkan sensor SAR (Synthetic Aparature Radar) pada satelit JERS-1. Hal ini yang memungkinkan PALSAR dapat melakukan pengamatan suatu objek menembus awan baik siang maupun malam hari (JAXA 2006).
Dengan menggunakan ScanSAR, sebagai salah satu observasinya,
memungkinkan sensor PALSAR melakukan pengamatan bumi dengan cakupan
areal yang luas, yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR pada PALSAR ini memiliki
kemudi berkas cahaya yang diatur pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk
memperoleh cakupan yang lebih luas dibandingkan SAR konvensional dengan
polarisasi tunggal horisontal (HH) maupun vertikal (HV). Karakteristik PALSAR
dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1 Karakteristik PALSAR
Karakteristik
Mode
Fine ScanSAR Polarimetric
(Experiment Mode)
Frekuensi 1.270 MHz (L-Band)
Lebar Kanal 14 MHz 14,28 MHz 14 MHz
Polarisasi HH/VV/HH+HV
atau VV+VH HH atau HV HH+HV+VH+VV
Resolusi Spasial 10 m (2 look)/20 m
(4 look) 100 m (multi look) 30 m
Lebar Cakupan 70 km 250-350 km 30 km
Incidence Angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 <-23 dB (70 km)
>-25 dB (60 km) <-25 dB <-29 dB Panjang Bit 3 bit atau 5 bit 5 bit 3 bit atau 5 bit
Ukuran Antena AZ:8.9 m x EL:2.9 m
(Sumber : Jaxa 2006)