• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapat perlindungan khusus terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana anak.1Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak sudah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi, bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminalisasi.2

Anak yang berkonflik dengan hukum setiap tahun selalu meningkat.

Berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak, jumlah anak yang melakukan kekerasan seksual (pemerkosaan, pencabulan, sodomi dan lain-lain) pada tahun 2013 sebanyak 247 anak, kemudian pada tahun 2014 melonjak naik menjadi 561 anak. Peningkatan yang sama juga terjadi terhadap anak yang melakukan kejahatan seksual online. Pada tahun 2013 anak yang melakukan kejahatan seksual online sebanyak 16 anak, kemudian pada tahun 2014 melonjak naik menjadi 42 anak. Pada tahun 2015 dari bulan Januari sampai dengan bulan Juli jumlah anak yang melakukan kejahatan seksual online sebanyak 28 anak.3 Melihat realita tersebut maka berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap

1 Muhammad Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.52.

2 Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.

3 Ardiansyah, “Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak”, Kompas, hlm.1. 28 Oktober 2015.

(2)

anak yang berkonflik dengan hukum perlu segera dilakukan. Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan anak yang berkonflik dengan hukum (politik kriminal anak) saat ini yaitu melalui sistem peradilan pidana anak. Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak (juvenile justice) tidak semata- mata bertujuan menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang berkonflik dengan hukum, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak yang berkonflik dengan hukum.4

Sistem peradilan pidana anak berbeda dengan sistem peradilan pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan pidana anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak, pusat perhatiannya yaitu menekankan atau memusatkan pada kepentingan dan kesejahteraan anak. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan pidana anak, hak-hak anak merupakan dasar pembentukan peraturan tersebut. Hal ini berarti bahwa peradilan pidana anak yang adil memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap pemeriksaan sidang, sebab perlindungan terhadap hak-hak anak ini merupakan tonggak utama dalam peradilan pidana anak dalam negara hukum.5

4 Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,Genta Publishing, Yogyakarta, hlm.1.

5 Maldin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.6.

(3)

Berdasarkan instrumen hukum internasional pelaksanaan peradilan pidana anak berpedoman pada standard minimum rules for the administration of juvenile justice (The Beijing Rules), yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:6

1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan remaja secara maksimal memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.

2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana.

3. Penentuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak.

4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terakhir.

5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang tua/wali.

6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana.

7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana

8. Peraturan peradilan pidana tidak boleh bertentangan dengan peraturan ini.

Selanjutnya, dengan berpedoman pada instrumen hukum internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak yaitu mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan pidana anak (Aims of juvenile Justice), sebagai berikut:“ the juvenile justice system shall emphasize well-being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offenders and offence”. Dengan demikian tujuan sistem peradilan pidana anak yaitu memajukan kesejahteraan anak dan memperhatikan prinsip proporsionalitas.7

Berdasarkan instrumen hukum nasional dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, pemerintah pada

6 United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Adopted by General Assembly resolution 40/33 tanggal 29 November 1985.

7 Setya Wahyudi, op.cit, hlm.2.

(4)

tanggal 30 Juli 2012 telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Urgensi lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini karena dinilai Undang-Undang Nomor 3 Tahun1997 tentang Pengadilan Anak belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini terbukti dengan banyaknya penjatuhan hukuman pidana penjara kepada anak dibandingkan dengan tindakan, mengembalikan kepada orang tua atau wali, pembinaan oleh yayasan atau departemen sosial dan pengasuhan yang dilakukan oleh negara sebagaimana yang di amanatkan oleh Pasal 24 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum dengan adanya pemberlakuan diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan restorative justice.

Restorative justice disini diartikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak yang lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.8

Perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum juga termuat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pertama, setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,

8 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(5)

penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Kedua, hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku pidana yang masih anak. Ketiga, setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. Keempat, penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Kelima, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusia dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. Keenam, setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. Ketujuh, setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Selanjutnya, dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan dengan perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, pemisahan dari orang dewasa, pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif, pemberlakuan kegiatan rekreasional, pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya, penghindaran dari penjatuhan pidana mati

(6)

dan/atau pidana seumur hidup, penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat, pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang obyektif, tidak memihak dan dalam sidang yang tertutup untuk umum, penghindaran dari publikasi atas identitasnya, pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak, pemberian advokasi sosial, pemberian kehidupan pribadi, pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas, pemberian pendidikan, pemberian pelayanan kesehatan dan pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum ini membuktikan bahwa perhatian pemerintah terhadap perlindugan kepentingan anak sangat besar.

Dalam suatu sistem peradilan untuk menciptakan rasa keadilan, selain perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, disisi lain kita tidak dapat melepaskan diri atau mengenyampingkan kepentingan dari korban yang memang secara nyata mengalami kerugian baik secara fisik maupun psikis.

Khawatirnya jangan sampai besarnya perhatian yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum justru mengenyampingkan perhatian kepada kepentingan korban itu sendiri, apalagi dalam peradilan umum pelayanan keadilan terhadap para pencari keadilan di peradilan pidana, khususnya pihak korban tindak pidana hingga saat ini masih belum memuaskan. Pihak korban tidak dapat menuntut ganti rugi atas penderitaan atau kerugian yang dialami.9Sanksi-sanksi

9Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.112.

(7)

yang dikenakan kerap kali jelas ditujukan kepada penggantian kerugian pihak korban, kemudian secara berangsur-angsur negara mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan hukum pidana dari pihak korban, negara bertindak sebagai

“wakil perdamaian” dalam masyarakat dan pihak korban.10 Dengan dijatuhkannya sanksi kepada pelaku tindak pidana seakan-akan telah memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana, padahal kerugian yang dialami oleh korban tidak dapat dipulihkan sehingga kepentingan pihak korban dalam sistem peradilan pidana tidak diberikan pelayanan secara maksimal.

Pada dasarnya mengenai perlindungan terhadap kepentingan korban telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan namun belum memberikan perlindungan secara maksimal terhadap kepentingan korban. Perlindungan kepentingan korban di dalam KUHAP diatur dalam Bab XIII tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada Pasal 98-101 KUHAP. Antara lain mengatur: “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”.

Menyimak rumusan diatas, yang dimaksud kerugian adalah kerugian materiil atau nyata (rill) bukan bersifat immateriil. Untuk kerugian immateriil dapat diajukan tersendiri melalui gugatan perdata. Tentu saja hal ini tidak memuaskan korban, dan apabila melalui gugatan perdata akan memakan waktu lama dan belum tentu gugatan dikabulkan seluruhnya. Untuk itu, proses/prosedur dan

10Ibid., hlm.118.

(8)

substansi pengaturan dianggap mengandung kelemahan-kelemahan. Pada prakteknya juga jarang dan hampir tidak pernah dilakukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini.11

Perlindungan terhadap kepentingan korban juga diatur dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban dalam undang-undang tersebut korban memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan menjerat, mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan, mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, dirahasiakan identitasnya, mendapatkan identitas baru, mendapatkan tempat kediaman baru, memperoleh pergantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, mendapat nasihat hukum, memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir dan mendapat pendampingan.12 Namun, dari beberapa hak yang diperoleh oleh korban tersebut belum bisa mengembalikan kerugian/derita yang dialami oleh pihak korban.

11Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.58.

12 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

(9)

Dalam sistem peradilan pidana anak juga mengatur perlindungan terhadap korban tetapi lebih difokuskan kepada korban yang masih dalam kategori anak.

Untuk memberikan perlindungan terhadap anak korban, maka dalam sistem peradilan pidana anak, anak korban berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga, jaminan keselamatan, baik fisik, mental maupun sosial, dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.13

Sehubungan dengan upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini banyak ditelantarkan. Masalah kejahatan senantiasa difokuskan pada apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat dan kurang dipertanyakan apa yang dapat dilakukan kepada korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap si pelaku tindak pidana, seakan-akan pelaku tindak pidana merupakan satu-satunya sumber kesulitan bagi korban.

Hal ini terlihat jelas dari pendapat Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Maya Indah mengenai social defence, Konsep modern social defence menurutnya diinterpretasikan sebagai “The prevention of crime and treatment of offenders.

Dikemukakan oleh Marc Ancel lebih lanjut, bahwa kosekuensi dari konsep modern „social defence’ tersebut berarti tujuan dari politik hukum pidana adalah

„sistematic resocialization of offender. Konsep ini berusaha menjaga hak-hak sebagai manusia dari pelaku kejahatan, meskipun ia harus membayar kejahatan

13 Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(10)

atau hukumannya.14Jelaslah terlihat dari pendapat Marc Ancel tersebut, bahwa konsep perlindungan sosial diasumsikan sebagai pencegahan kejahatan dan pembinaan pelaku kejahatan, mengindikasikan korban kurang mendapat perhatian dari konsep tersebut. Perlindungan terhadap korban hanya diartikan secara tidak langsung dengan pencegahan terjadinya kejahatan, yang seolah sudah tercapai bila pelakunya dipidana. Perlindungan korban menjadi teranulir dan limitatif dalam konsep ini, dan tidak memberikan wawasan bagi upaya pencarian “acces to justice and fair treatment to the victim” maupun pemikiran terhadap compensation, restitution, dan assistance.15

Dalam praktek penegakan hukum sering kali mengabaikan kepentingan korban, korban merasakan terabaikan hak-haknya antara lain disebabkan karena dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui perkembangan penanganan perkara, tidak menerima kompensasi dan tidak terpenuhinya hak-hak lainnya.

Padahal, seharusnya dalam suatu sistem peradilan pidana dengan adanya asas persamaan di depan hukum (equality before the law) sudah seharusya, terhadap perlindungan kepentingan korban harus mendapatkan pelayanan, bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang dilindungi hak-haknya, tetapi kepentingan korban juga wajib dilindungi. Kiranya wajar jika ada keseimbangan (balance) perlindungan terhadap tersangka/terdakwa dengan perlindungan terhadap korban.16

14 Maya Indah S, 2014, Perlindungan Korban (Suatu Perspektif Viktimologi dan Krimonologi),Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta, hlm.114.

15 Ibid.

16Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.34.

(11)

Dalam membangun atau melakukan pembaharuan hukum pidana, pada hakikatnya adalah membangun atau memperbaharui pokok-pokok pemikiran/konsep/ide dasarnya, bukan hanya memperbaharui perumusan pasal- pasalnya secara tekstual. Pokok pemikiran yang coba dikembangkan dalam pembaharuan hukum kedepan adalah pokok pemikiran yang secara garis besar dapat disebut ide keseimbangan. Salah satu ide keseimbangan yang dibangun adalah keseimbangan antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu. Dimana, dalam ide keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu itu tercakup juga ide keseimbagan antara individualisasi pidana 17 dan perlindungan kepentingan korban. 18 Keseimbangan antara perlindungan kepentingan korban dan ide individualisasi pidana itu dapat tercermin di dalam pengaturan mengenai pidana dan pemidanaan. Pengaturan pidana dan pemidanaan selama ini lebih memfokuskan kepada kepentingan pelaku tindak pidana sementara rasa keadilan korban tindak pidana sering diabaikan oleh sistem peradilan pidana.19

Ide keseimbangan antara perlindungan kepentingan korban dan individualisasi pidana dimaksudkan agar dalam suatu sistem peradilan pidana kepentingan korban kejahatan (vivtim of crime) dapat diberikan perlindungan disamping itu juga ada usaha untuk memperlakukan lebih manusiawi pelaku

17Individualisasi pidana adalah pemidanaan yang berorientasi pada faktor “orang” (pelaku tindak pidana).

18Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.38-39.

19Marcus Priyo Gunarto, 2012, Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Mimbar Hukum Vol.24, Yogyakarta, hlm.91.

(12)

tindak pidana.20 Dengan adanya individualisasi pidana diharapkan pidana yang dijatuhkan dapat mendukung proses pemasyarakatan, serta mencega stigma terpidana sebagai korban dari sistem peradilan pidana yang tidak adil. 21 Berdasarkan hal tersebut maka seharusnya dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan untuk memberikan rasa keadilan, kepentingan korban dan pelaku tindak pidana tetap harus mendapatkan perhatian agar kepentingan mereka dapat terlindungi.

Berkaitan dengan ide individualisasi pidana, maka dalam sistem peradilan pidana anak ide tersebut diwujudkan dengan adanya pemberlakuan diversi.

Melalui pemberlakuan diversi ini diharapkan stigma negatif yang ditimbulkan oleh sistem peradilan pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dihindarkan.

Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang salah satunya yaitu melalui upaya diversi dalam sistem peradilan pidana anak dan sering diabaikannya kepentingan korban dalam suatu sistem peradilan, maka penulis tertarik untuk mengkaji atau melakukan penelitian dengan judul “Konsep Keseimbangan Dalam Pemberlakuan Diversi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”.

20Muladi, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana Materill Indonesia (Makalah Disamapaikan Pada Seminar dan Kongres ASPEHUPIKI), Bandung, hlm.11.

21Marcus Priyo Gunarto, Op.Cit, hlm.92.

(13)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep keseimbangan dalam kebijakan formulasi pemberlakuan

diversi dalam sistem peradilan pidana anak?

2. Bagaimana konsep keseimbangan dalam pelaksanaan pemberlakuan diversi dalam sistem peradilan pidana anak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang serta mengacu pada perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

Penelitian ini secara obyektif bertujuan :

a. Untuk menganalisis dan menjelaskan konsep keseimbangan dalam kebijakan formulasi pemberlakuan diversi dalam sistem peradilan pidana anak.

b. Untuk menganalisis dan menjelaskan implementasi konsep keseimbangan dalam pelaksanaan pemberlakuan diversi dalam sistem peradilam pidana anak.

2. Tujuan Subyektif

Penelitian ini secara subyektif bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Ilmu

(14)

Hukum, di Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari sisi akademis dan sisi praktis sebagai berikut:

1. Dari sisi akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya serta memberikan masukan bagi perkembangan pengetahuan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak.

2. Dari sisi praktis a. Bagi peneliti

Penelitian ini bermanfaat sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak dan juga sebagai sarana untuk menuangkan pikiran secara ilmiah baik dari segi teori maupun praktek.

b. Bagi pemerintah

Penelitian ini bermanfaat sebagai masukan bagi pemerintah, khususnya bagi penyusun undang-undang, agar dapat merumuskan suatu kebijakan yang lebih baik yang dapat menjamin perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dan perlindungan bagi korbannya.

Penelitian ini juga bermanfaat bagi aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan pemberlakuan diversi dalam sistem peradilan pidana anak,

(15)

kepentingan anak yang berkonflik dengan hukum dan kepentingan korban harus mendapat perhatian.

c. Bagi masyarakat

Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan referensi bagi masyarakat khususnya orang tua, anak yang berkonflik dengan hukum, korban dan masyarakat yang mengalami keguncangan akibat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak, agar dapat mengambil suatu solusi penyelesaian masalah demi pemulihan kekeadaan semula dan agar semua kepentingan mereka dapat terlindungi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, baik terhadap tesis maupun karya ilmiah lainnya, maka ditemukan ada beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dengan obyek, topik, maupun tema penelitian yang dilakukan oleh penulis.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yang belum pernah diteliti dan ditulis oleh penulis sebelumnya, apabila telah terdapat penelitian dan/atau karya ilmiah lainnya tentang sistem peradilan pidana anak adalah umum sifatnya, sedangkan penelitian ini bersifat khusus yaitu mengkaji mengenai konsep keseimbangan dalam pemberlakuan diversi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Adapun beberapa penulisan karya ilmiah yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan:

(16)

1. Tesis yang ditulis oleh Farida Triyugo Astuti, dengan judul “Penerapan Konsep Restorative Justice Dalam Perkara Pidana Anak Di Wilayah Hukum Pengadilan Purwokerto.22 Walaupun secara umum tesis yang ditulis oleh Farida Triyugo Astuti memiliki kesamaan dengan penelitian yang penulis teliti yaitu mengenai sistem peradilan pidana anak, namun penelitian yang dilakukan oleh Farida Triyugo Astuti hanya difokuskan pada penerapan konsep restorative justice dalam perkara pidana anak, dengan rumusan masalah: pertama, bagaimana penerapan konsep restorative justice dalam perkara pidana anak di wilayah hukum pengadilan negeri Porwokerto. Kedua, apa saja kendala yang dihadapi dalam penerapan konsep restorative justice pada perkara pidana anak di wilayah hukum pengadilan negeri Purwokerto.

Sedangkan penelitian yang penulis lakukan lebih difokuskan kepada konsep keseimbangan dalam pemberlakuan diversi dalam sistem peradilan pidana anak baik itu dalam kebijakan formulasinya maupun pelaksanaannya.

2. Tesis yang ditulis oleh I Made Wahyu Chandra Satrina, dengan judul

“Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”.23 Walaupun secara umum tesis yang ditulis oleh I Made Wahyu Chandra Satrina memiliki kesamaan dengan penelitian yang penulis teliti yaitu mengenai sistem peradilan pidana anak, namun penelitian yang dilakukan oleh I Made Chandra Satrina hanya difokuskan kepada kebijakan formulasi keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak sedangkan

22 Farida Triyugo Astuti, 2012, “Penerapan Konsep Restorative Justice Dalam Perkara Pidana Anak Di Wilayah Hukum Pengadilan Purwokerto” Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

23I Made Wahyu Chandra Satrina, 2013, “Kebijakan Formulasi Keadilan Restorative Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak” Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Denpasar.

(17)

penelitian yang penulis teliti lebih menitik beratkan kepada konsep keseimbangan pemberlakuan diversi dalam sistem peradilan pidana anak.

3. Tesis yang ditulis oleh Rama Putra, dengan judul “Ide Keseimbangan Dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan Di Indonesia”.24 Walaupun secara umum tesis yang ditulis oleh Rama Putra memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis teliti yaitu berbicara mengenai konsep keseimbangan. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Rama Putra berbicara konsep keseimbangan secara umum dalam sistem pemidanaan di Indonesia dengan rumusan masalah sebagai berikut. Pertama, ide dasar keseimbangan apa sajakah yang terdapat dalam sistem pemidanaan khususnya dalam rangka pembaharuan konsep KUHP baru. Kedua, bagaimana ide keseimbangan itu sebaiknya diwujudkan atau diimplementasikan (diformulasikan) dalam pembaharuan sistem hukum pidana (pemidanaan) nasional. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan lebih difokuskan kepada konsep keseimbangan dalam pemberlakuan diversi dalam sistem peradilan pidana anak baik itu dalam kebijakan formulasinya maupun pelaksanaannya.

4. Skripsi yang ditulis oleh Kharizha Krishnandya, dengan judul “Kesesuaian Mengenai Diversi Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dengan Asas di Convention On The Rights of the Child”. 25 Secara umum penelitian yang dilakukan oleh Kharizha Krishnandya memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis teliti yaitu

24 Rama Putra, 2009, “Ide Keseimbangan Dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan Di Indonesia”

Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.

25 Kharizha Krishnandya, 2013, “Kesesuaian Mengenai Diversi Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dengan Asas di Convention On The Rights of the child” Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(18)

mengenai diversi dalam sistem peradilan pidana anak. Tetapi, dalam penelitian yang dilakukan oleh Kharizha Krisnandya lebih difokuskan kepada kesesuaian antara konsep diversi dengan asas di Convention On The Rights of the Child dengan rumusan masalah: pertama, mengapa dikenal adanya pembatasan mengenai diversi dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradian Pidana Anak. Kedua, apa implikasi yuridis yang ditimbulkan atas pembatasan mengenai diversi dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan asas di Convention On The Rights of the Child. Ketiga, bagaimana kesesuaian mengenai diversi dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan asas di Convention On The Rights of the Child. Sedangkan penelitian yang penulis teliti lebih menitik beratkan kepada konsep keseimbangan pemberlakuan diversi dalam sistem peradilan pidana anak baik dalam kebijakan formulasinya maupun pada tataran pelaksanaannya.

5. Skripsi yang dibuat oleh Zusana Cicilia Kemala Humau dengan judul,

“Implementasi Diversi Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Sebelum Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”.26 Secara umum penelitian yang diteliti oleh Zusana Cicilia memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu mengenai diversi dalam sistem

26 Zusana Cicilia Kemala Humau, 2013, “Implementasi Diversi Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Sebelum Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

(19)

peradilan pidana anak, namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Zusana Cicilia lebih difokuskan pada implementasi diversi sebelum berlakunya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru sedangkan penelitian yang penulis lakukan mengkaji mengenai konsep keseimbangan dalam pemberlakuan diversi dalam sistem peradilan pidana anak setelah undang-undang sistem peradilan pidana anak yang baru dinyatakan berlaku.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini diduga disebabkan karena curah hujan terlalu tinggi juga akan berpengaruh kurang baik karena pertumbuhan vegetatif lebih dominan dari pada pertumbuhan generatif

Berdasarkan penjabaran diatas jadi dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran RAFT (Role, Audience, Format, Topic) ini merupakan strategi yang cocok

Gasifier merupakan salah satu teknologi yang dapat mengkonversi berbagai bahan padat maupun cair seperti tandan kosong sawit menjadi bahan bakar gas, sehingga perlu dilakukan uji

Berdasarkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian, dan hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai hubungan tingkat kebugaran jasmani siswa dengan hasil

Konvensi Internasional yang mengatur warisan budaya dan sudah diratifikasi oleh Indonesia adalah Konvensi 1972 tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam, Konvensi

Mendarab dan membahagi unit ukuran dengan nombor satu digit melibatkan unit yang sama dan berbeza.

Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan dalam pengajian al-Qur’an ba’da maghrib di gampong Lamleubok yaitu metode Iqra’

Pengalokasian belanja modal dalam anggaran keuangan daerah terutama pada pemba- ngunan infrastruktur sangat penting karena daerah yang memiliki mobilitas penduduk