• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Harga Diri

2.1.1 Definisi Harga Diri

Menurut Coopersmith, harga diri merupakan evaluasi individu dan bagaimana individu memandang dirinya sendiri, dan mengarah pada penerimaan atau penolakan, serta keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya, dan kesuksesan yang telah diraihnya. Sementara itu, Coopersmith (dalam Victoria dan Muryantinah, 2015), mendefinisikan harga diri sebagai penilaian seseorang terhadap dirinya, apa yang diyakini, baik penilaian yang positif maupun negatif tentang diri mereka.

Menurut James (dalam Baron, 2003), harga diri ialah evaluasi terhadap diri sendiri. Frey dan Carlock (1984), mengungkapkan apabila penilaiaan diri positif, yang mana individu menerima dirinya atau mempunyai penghargaan yang baik terhadap diri sendiri. Hingga individu tersebut di katakan mempunyai harga diri yang tinggi. Harga diri menunjukan ketetapan yang diambil oleh seorang individu untuk menilai dirinya secara positif, negatif atau netral dalam suatu wadah konsep diri.

Menurut Ghufron, (2016) harga diri merupakan hasil evaluasi dirinya dan perlakuan terhadap dirinya oleh orang lain, serta menunjukkan sejauh mana seseorang memiliki kepercayaan diri, keberhasilan dan kegunaan. Dalam ilmu sosial dan kehidupan sehari-hari, harga diri merupakan konsep yang penting dan populer. Braden (2007), menjelaskan bahwa jika tidak ada harga diri yang sehat maka akan sulit bagi seseorang untuk mengatasi tantangan dalam hidup dan mengalami segala

(2)

macam kebahagiaan dalam hidup. Hal ini memungkinkan harga diri untuk memberikan kontribusi yang berarti untuk proses selanjutnya dari kehidupan pribadi dan perkembangan pribadi yang normal dan sehat.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu dan biasanya berkaitan dengan diri sendiri. Penilaian mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan, dan menunjukkan sejauh mana individu menganggap dirinya mampu, penting, sukses dan berharga.

2.1.2 Proses Terbentuknya Harga Diri

Ketika seseorang menghadapi dunia luar dan berhubungan dengan orang- orang di lingkungan sosialnya, harga diri mulai terbentuk setelah individu tersebut lahir.

Interaksi membutuhkan setidaknya pengakuan, penerimaan, dan peran yang saling bergantung dalam berbicara dengan orang yang dapat bicara dan bisa diajak bicara.

Interaksi meningkatkan pemahaman diri, identitas dan kesadaran diri, yang akan mempengaruhi penilaian pribadi. Menjadi orang yang bermakna, berharga dan menerima terhadap diri sendiri adalah membuat individu memiliki rasa harga diri (Burn, 1998).

Mukhlis (dalam Ghufron, 2016) mengatakan bahwa pembentukan harga diri pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial, yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Olok-olok, hukuman, perintah, dan larangan yang berlebihan akan membuat individu merasa tidak dihargai. Perkembangan harga diri dibentuk oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, penerimaan dan pemahaman banyak orang lainnya. Beberapa factor yang dapat mempengaruhi harga diri, yaitu: lingkungan social, kondisi fisik, kecerdasan, jenis

(3)

kelamin, dan lingkungan keluarga. Keadaan keluarga dan lingkungan interpersonal memiliki pengaruh yang sangat kuat pada penilaian diri yang menjadi dasar harga diri.

Proses ini dipengaruhi oleh perilaku dan anggapan kalangan, kemudian direfleksikan dalam penilaian diri. Harga diri termasuk memahami siapa saya dan apa diri saya.

2.1.3 Aspek- Aspek Harga Diri

Coopersmith (1967) mengemukakan aspek harga diri yang lebih rinci, yaitu:

a. Keberartian (Signifinance)

Keberartian merupakan sikap yang menunjukkan kepedulian, perhatian, afeksi dan ekspresi cinta yang diterima oleh individu dari lingkungan atau orang lain. Adanya penerimaan dari lingkungan yang ditandai dengan kehangatan, ketertarikan lingkungan terhadap individu, dan penerimaan dari lingkungan dengan apa adanya terhadap individu.

b. Kekuatan (Power)

Kekuatan di sini memiliki arti bahwa selain dapat mengontrol diri sendiri, seorang individu juga mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, mengontrol atau mengendalikan orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Messina (dalam Gunarsa, Singgih D. 2009) bahwa kemampuan mengontrol diri ialah seperangkat tingkahlaku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, menangkal pengrusakan diri, perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri, atau bebas dari orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab atas diri sendiri.

(4)

Hal tersebut menunjukkan bahwa, individu yang memiliki kemampuan mengontrol diri yang baik tidak akan mudah dipengaruhi oleh stimulus negatif yang datang dari dalam dirinya dan dari luar dirinya, sehingga individu tidak akan mudah mengubah sesuatu hal yang sudah melekat dalam fisiknya, meski lingkungan sekitarnya mempengaruhinya.

c. Kemampuan (Competence)

Merupakan sebagai upaya untuk mencapai kinerja yang baik. Setiap individu memiliki kemampuan atau competence yang berbeda dalam menunjukkan performasi. Permormasi yang tinggi dibutuhkan untuk mencapai sebuah prestasi (need ofachievement). Terjadi peningkatan self esteem yang lebih tinggi pada masa remaja ketika mencapai tujuan. Remaja yang menghadapi masalah dan mampu mengatasi masalah mengalami peningkatan self esteem.

d. Kebajikan (Virtue)

Kebajikan merupakan suatu ketaatan individu pada aturan sosial dan tidak melaksanakan tindakan yang bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat, moral, etika, dan agama. Individu menghindari hal-hal yang buruk dan melakukan perilaku yang baik menutur aturan, moral, etika, dan agama yang berlaku. Individu yang memiliki sikap positif cenderung dapat membuat evaluasi positif terhadap diri, yang berarti individu dapat mengembangkan self esteem positif terhadap diri sendiri.

Sedangkan menurut Felker (1974) aspek-aspek harga diri terdiri dari:

a. Perasaan Diterima (Falling of Belonging)

Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga kelompok teman

(5)

sebaya, atau kelompok apapun. Individu akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya apabila individu tersebut merasa diterima dan menjadi bagian dalam kelompoknya. Namun individu akan memiliki penilaian negatif tentang dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima, misalnya perasaan seseorang pada saat menjadi anggota kelompok suatu kelompok tertentu.

b. Perasaan Mampu (Feeling of Competence)

Perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan.

c. Perasaan Berharga (Felling Of Worth)

Perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu.

Perasaan yang dimiliki individu yang sering kali ditampilkan dan berasal dari pernyataan- pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik, dll. (Churaisin dalam Sari, 2012).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek harga diri merupakan unsur pembentuk terciptanya harga diri pada individu, hal ini dapat terwujud dalam sikap, pikiran maupun perilaku.

2.1.4 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

Ghufron (2016), mengungkapkan bahwa pengembangan harga diri dibentuk oleh hasil intetraksi pribadi dengan lingkungan, dan banyak penghormatan, penerimaan dan pemahaman orang lain tentang diri mereka sendiri. Faktor yang berpengaruh terhadap harga diri, yaitu:

(6)

a. Faktor Jenis Kelamin

Perempuan senantiasa merasa bahwa harga dirinya lebih rendah dibandingkan laki-laki, seperti merasa tidak cukup, tidak cukup percaya diri, atau merasa harus dilindungi (Ancok, 1988). Hal ini mungkin disebabkan oleh peran orang tua yang berbeda dan ekspetasi yang berbeda antara pria dan wanita dalam masyarakat. Pandangan ini sejalan dengan penelitian Coopersmith (1967), yang membuktikan bahwasanya perempuan memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

b. Faktor Intelegensi

Kecerdasan sebagai gambaran lengkap dari kemampuan fungsional pribadi sangat erat kaitannya dengan prestasi, karena penilaian kecerdasan selalu didasarkan pada kemampuan akademik. Menurut Coopersmith (1967), orang yang memiliki harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang lebih baik daripada orang yang memiliki harga diri yang rendah. Selain itu, dikatakan bahwa orang yang memiliki harga diri tinggi memiliki skor kecerdasan/ intelegensi yang lebih baik, memiliki aspirasi yang lebih baik, dan selalu bekerja keras.

c. Faktor Kondisi Fisik

Coopersmith (1967), menemukan hubungan yang konsistensi antra daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Orang dengan daya tarik fisik yang lebih baik cenderung memperoleh harga diri dibandingkan orang dengan kondisi daya tarik fisik yang buruk.

d. Faktor Lingkungan Keluarga

(7)

Keluarga sangat berperan dalam menentukan perkembangan harga diri individu. Dalam lingkungan keluarga, individu pertama kalinya mengenal anggota keluarganya yang mendidik dan mengasuh, serta semacam dasar untuk melakukan sosialisasi dalam lingkup yang lebih luas. Coopersmith (1967), berpendapat bahwa perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif, dan mendidik yang demokratis akan membuat individu memiliki harga diri yang tinggi. Savary (1994), sependapat bahwa keluarga mempunyai peran dalam menentukan perkembangan harga diri individu. Sedangkan, pengabaian dan penolakan akan membuat individu merasa tidak berharga secara otomatis. Karena, individu akan merasa tidak berharga, merasa diacuhkan dan tidak dihargai, sehingga mereka akan mengalami perasaan negatif terhadap dirinya sendiri.

e. Faktor Lingkungan Sosial

Pembentukan harga diri diawali dengan seseorang yang mengetahui apakah dirinya berharga (Klass & Hodge, 1978; Ghufron, 2010). Ini adalah hasil dari penerimaan dan perlakuan orang lain, proses lingkungan, serta rasa hormat. Sementara itu, Coopersmith (1967), berpendapat bahwa terdapat beberapa perubahan harga diri, yang dapat dijelaskan melalui konsep- konsep nilai, kesuksesan, ambisi, dan mekanisme pertahanan diri.

Keberhasilan ini dapat diraih melalui pengalaman lingkungan, sukses dibidang tertentu, persaingan dan niali kebajikan.

Hal tersebut merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepadanya. Termasuk penerimaan teman dekat (peer), mereka bahkan bersedia untuk melepaskan prinsip diri mereka dan melakukan perbuatan yang sama (conform) dengan teman dekat

(8)

mereka agar bisa dianggap “sehati” meskipun perbuatan yang mereka lakukan adalah perbuatan negatif.

2.1.5 Ciri- Ciri Individu yang Memiliki Harga Diri Adapun ciri-ciri menurut Coopersmith (1967), yaitu:

1. Individu dengan Self Esteem (Harga Diri) Tinggi a. Menyesuaikan diri dengan mudah pada lingkungan

b. Tidak terpaku pada diri sendiri atau memikirkan diri sendiri c. Aktif dan dapat mengekspresiakn diri

d. Dapat menerima kritik

e. Percaya terhadap persepsi dan dirinya sendiri atau tidak hanya memikirkan kesulitannya sendiri

f. Berhasil di bidang akademik, terlebih dalam hubungan sosial.

2. Individu dengan Self Esteem (Harga Diri) Rendah a. Cenderung putus asa dan depresi

b. Tidak konsisten dan tidak percaya diri c. Memiliki perasaan yang rendah d. Takut dalam mengadakan hubungan

e. Pasif dan selalu mengikuti apa yang ada dilingkungan

2.2 Konsep Gagal Ginjal Kronik

2.2.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik atau End Stage Renal Desease (ESRD) adalah disfungsi ginjal progresif dan ireversibel dimana tubuh tidak dapat menjaga keseimbangan metabolisme, cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia (retensi urea dan produk limbah nitrogen lainnya dalam darah) (Smeltzer dan Bare, 2008). Menurut perjalanan

(9)

penyakitnya, gagal ginjal dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Ketika penyakit berkembang pesat, terjadi dalam beberapa jam atau hari, itu dianggap akut. Pada saat yang sama, itu kronik, penyakit terjadi dan berkembang perlahan, selama beberapa tahun (Baradero, Dayrit, & Siswandi, 2009).

2.2.2 Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik ialah diabetes dan hipertensi, yang merupakan sekitar dua pertiga dari semua kasus ( National Kidney Foundation, 2016). Penyakit lain yang bisa menimbulkan kerusakan ginjal antara lain penyakit inflamasi, seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polokistik, kelainan perkembangan janin dalam rahim ibu, seperti lupus, obstruksi akibat batu ginjal, kambuhnya infeksi saluran kemih (ISK) serta pembesaran tumor dan prostat (Price & Wilson, 2005).

Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain gangguan klirens ginjal, penurunan laju filtratsi glomerulus, tubuh kelebihan cairan dan natrium, kurang darah, peningkatan kadar asam dalam tubuh, ketidakseimbangan kalsium dan fosfat, serta penyakit tulang uremik (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2.3 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Patofisiologi gagal ginjal kronik awalnya bergantung pada penyakit yang mendasari, namun dalam perkembangan selanjutnya, prosesnya memakan waktu lebih lama. Penurunan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan fungsional dari nefron yang tersisa (Surviving Nephrons), yang merupakan ukuran kompensasi yang dimediasi oleh molekul vasoaktif (seperti sitokin dan Growth Factors). Hal ini menyebabkan hiperfiltrasi dan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, dan pada akhirnya akan menjadi proses maladaptif berupa sklerosis pada nefron yang tersisa. Meskipun penyakit yang

(10)

mendasari tidak lagi aktif, proses ini pada akhirnya akan menyebabkan penurunan fungsi nefron secara bertahap. Peningkatan aktivitas aksi renin-angiotensin-aldosteron di ginjal juga berkontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresi.

Aktivasi jangka panjang efek renin-angiotensin-aldosteron sebagian dimediasi oleh Growth Factors seperti transformasi Growth Factors β (TGF- β). Dipertimbangkan juga

bahwa beberapa faktor yang berperan dalam perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia. Terdapat perbedaan individu dalam terjadinya sklerosis dan fibrosis pada gromeruli dan tubulus interstitial (Suwitra, 2006).

Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal menurun, dan produk akhir metabolisme protein, yang biasanya dikeluarkan melalui urin, menumpuk di dalam darah. Uremia terjadi dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak sampah yang terkumpul, semakin parah gejalanya. Penurunan jumlah glomeruli normal menyebabkan penurunan pengeluaran zat darah yang harus dibersihkan oleh ginjal.

Dengan mengurangi Glomerulo Filtrasi Rate (GFR), ini dapat menyebabkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan metabolisme protein di usus, yang dapat menyebabkan anoreksia, mual dan muntah, sehingga perubahan nutrisi kurang dari yang dibutuhkan tubuh manusia.

Peningkatan uremia kreatinin darah sampai ke otak dapat mempengaruhi fungsi kerja dan menyebabkan penyakit neurologis, terutama kelainan neurosensori. Selain itu, Blood Uremia Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal stadium

akhir, urin tidak dapat terkonsentrasi atau diencerkan dengan benar, sehingga terjadi ketidakseimbangan elektrolit, natrium dan cairan retensi (tertahan) dapat meningkatkan risiko gagal ginjal jantung kongestif (Smeltzer & Bare, 2008).

(11)

2.2.4 Manifestasi klinis Gagal Ginjal Kronik

Pada gagal ginjal kronik, uremia mempengaruhi setiap sistem tubuh, sehingga penderita akan banyak menunjukkan tanda dan gejala. Tingkat keparahan tanda dan gejala tergantung pada derajat kerusakan ginjal. Penyakit lain yang mendasari adalah usia pasien pasien. Berikut ini adalah tanda dan gejala gagal ginjal kronik (Brunner &

Suddarth, 2002)

a. Penyakit kardiovaskular ditandai dengan tekanan darah tinggi , pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, Friction Rub (gesekan) perikardium, dan pembesaran vena jugularis

b. Integumen bercirikan kulit berwarna abu-abu dan berkilau, kulit kering dan bersisik, gatal-gatal, memar, kuku rapuh dan tipis, serta rambut kasar dan tipis.

c. Penyakit paru-paru, ditandai dengan Crackels, sputum kiat dan kental, pernapasan dangkal dan kusmaul

d. Saluran pencernaan ditandai dengan napas bau amonia, sariawan dan perdarahan pada mulut, kehilangan selera makan, mual dan muntah, sembelit dan diare, serta perdarahan gastrointestinal

e. Neurologi ditandai dengan keletihan dan kelemahan, kebingungan, kejang, kelemahan pada tungkai, sensasi terbakar pada telapak kaki, dan perubahan perilaku.

f. Muskuloskeletal ditandai dengan kram otot, penurunan kekuatan otot, patah tulang, dan kondisi kaki depan sulit atau tidak dapat diangkat (foot drop)

g. Reproduksi, ditandai dengan tidak haid dan pengecilan testis h. Perkemihan, ditandai dengan Oliguria, Anuria dan Proteinuria

(12)

2.2.5 Komplikasi Gagal Ginjal Kronik

Komplikasi gagal ginjal kronik menurut Brunner dan Suddarth (2002), antara lain:

a. Hiperkalemia disebabkan oleh gangguan penyaringan awal pada ginjal yang mengakibatkan tubulus di ginjal tidak dapat menukar kalium dengan natrium sehingga terjadi kelebihan kalium dalam darah.

b. Pembengkakan paru-paru dikaitkan dengan kelebihan limbah uremik dan dialisis yang tidak memadai

c. Ensefalopati akibat zat sisa metabolisme berupa amonia tidak dieksresikan dengan benar menyebabkan penumpukan dan terbawa oleh darah ke otak mengakibatkan perubahan kesadaran bahkan kejang-kejang

d. Karena penurunan Eritropoietin sebagai pembentukan eritrosit, umur eritrosit yang berkurang akibat perdarahan, serta kekurangan zat besi dan vitamin menyebabkan anemia

e. Karena retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D tidak normal dan kadar aluminium meningkat, menyebabkan penyakit tulang.

2.3 Konsep Hemodialisa

2.3.1 Definisi Hemodialisa

Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius, 2006 dalam Hanani, 2015)

(13)

Hemodialisa merupakan salah satu bentuk terapi pengganti pada pasien dengan kegagalan fungsi ginjal, baik yang sifatnya akut maupun kronik atau pada stadium gagal ginjal terminal dengan bantuan mesin hemodialisa. Hemodialisa berasal dari bahasa Yunani, hemo berarti darah dan dialisa berarti pemisahan atau filtrasi. Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi yang sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu di peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat dan zat-zat lain meliputi membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi ( Kusuma &

Nurarif, 2015).

2.3.2 Tujuan Hemodialisa

Terapi hemodialisa memiliki beberapa tujuan. Diantaranya menggantikan fungsi ginjal dalam membuang sisa metabolisme dari tubuh, siperti urea, kireatinin dan produk sisa metabolisme lainnya, menggantikan fungsi ginjal guna mengeluarkan cairan tubuh yung seharusnya diekskresikan sebagai urin saat ginjal sehat, untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan fungsi ginjal yang berkurang, dan untuk mengganti fungsi ginjal sembari menunggu pilihan pengobatan lain (Suharyanto &

Majid, 2009).

Dialisis diartikan sebagai difusi molekul dalam cairan melalui membran semi permeabel menurut gradien konsentrasi elektrokimia. Tujuan utama hemodialisa adalah mengembalikan suasana cairan ekstra dan intrasel, yang sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan mentransfer beberapa zat terlarut (seperti urea) dari darah ke dialisat. Dan dengan membuang zat terlarut lainnya (seperti bikarbonat) dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat terlarut dan berat molekoul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul kecil (seperti urea) berdifusi dengan

(14)

cepat, sedangkan molekul dan makromolekul dengan pengaturan kompleks (seperti fosfat, β2-mikroglobulin, dan albumin) dan zat terlarut yang terakait pada protein (seperti vesikel fenol) berdifusi lebih lambat. Selain difusi, zat terlarut juga dapat melewati lubang-lubang kecil (pori-pori) pada membran dengan bantuan proses konveksi. Proses konveksi ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatis dan tekanan osmotik. Proses ini disebut ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009).

Selama proses ultrafiltrasi, konsentrasi zat terlarut tidak berubah. Tujuan utama dari ultrafiltrasi ini ialah untuk membuang kelebihan cairan tubuh dari dalam tubuh.

Selama setiap proses dialisis, kondisi fisiologis pasien harus diperiksa agar resep dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan setiap tahap. Hal ini dapat dicapai dengan menggabungkan komponen resep dialisis yang terpisah namun terkait untuk mencapai laju yang diinginkan serta jumlah total cairan dan pelepasan zat terlarut. Dialisis bertujuan untuk menghilangkan gejala yang disebut sindrom uremik, walaupun sulit untuk membuktikan bahwa disfungsi sel atau organ tertentu merupakan penyebab penumpukan zat terlarut tertentu pada pasien uremik (Lindley, 2011).

2.3.3 Indikasi Hemodialisa

Hemodialisa cocok untuk pasien dalam situasi akut dimana membutuhkan pengobatan dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang memerlukan pengobatan jangka panjang/

permanen. Secara umum indikasi hemodialisa pada pasien gagal ginjal ialah:

a. Laju filtrasi glomorulus kurang dari 15 ml/menit b. Hiperkalemia

c. Pengobatan konserfativ gagal

d. Kandungan urea lebih dari 200 mg/dL e. Kreatinin lebih besar dari 65 mEq/L

(15)

f. Cairan berlebih

g. Anuria berkepanjangan lebih dari lima kali

(Smeltzer et al., 2008; dalam Mardyaningsih, 2014)

2.3.4 Prinsip Hemodialisa

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi (Brunner & Suddart, 2010). Pada difusi racun dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan, dengan cara bergerak dari darah yang memiliki kosentrasi tinggi ke cairan dialisat yang memiliki konsentrasi rendah. Pada osmosis, air yang berlebihan pada tubuh akan dikeluarkan dari tubuh dengan menciptakan gradien tekanan dimana air bergerak dari tubuh pasien ke cairan dialisat. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis Brunner & Sudarth (dalam Emma, 2016).

2.3.5 Komplikasi Hemodialisa

Komplikasi yang mungkin ditimbulkan akibat pelaksanaan terapi hemodialisa (Hirmawaty, 2014):

a. Ketika cairan dikeluarkan, hipotensi dapat terjadi selama dialisis b. Emboli udara adalah komplikasi yang jarang terjadi, tetapi terjadi saat

udara memasuki sistem vaskuler pasien

c. Nyeri dada dapat terjadi karena tekanan parsial karbon dioksida menurun saat darah bersirkulasi ke luar tubuh

d. Selama produk akhir metabolisme meninggalkan kulit, rasa gatal akan terjadi selama perawatan dialisis

(16)

e. Ketidakseimbangan dialisis terjadi akibat penggantian cairan otak dan muncul dalam bentuk kejang. Jika ada gejala uremia yang parah, komplikasi ini lebih mungkin terjadi

f. Kejang otot yang menyakitkan terjadi ketika cairan dan elektrolit meninggalkan ruang ekstrasel dengan cepat

g. Mual dan muntah sering terjadi.

Referensi

Dokumen terkait

membangun penguatan Matematika dalam kehidupan praktis. Dalam upaya meningkatkan kualitas perkuliahan bisa dilakukan melalui perbaikan sistem perkuliahan. Salah satu bentuk

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun petai cina (Leucaena glauca (L.) Benth.) memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas dengan

Indikator yang harus dikuasai siswa untuk mencapai kompetensi tersebut antara lain (1) siswa dapat menuliskan latar belakang buku dengan tepat, (2) siswa dapat mengklasifikasikan

Pujari dalam Situmorang (2011) mengatakan bahwa pemasaran hijau yang dilakukan oleh perusahaan memiliki dampak positif bagi perusahaan, antara lain ialah meningkatnya penjualan,

Guna meningkatkan kenyamanan dan kemudahan penggunaan ashitaba maka diformulasikan granul effervescent, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi

Logo dapat membedakan perusahaan yang satu dengan yang lain, produk yang satu dengan yang lain...

Fenomena anak jalanan dengan beragam permasalahannya tersebut, tidak bisa menghindarkan dari konflik batin yang kerap kali mereka alami, karena pada dasarnya apa

b. Untuk mencapai struktur atom yang stabil, maka ada atom yang cenderung melepaskan elektron dan ada yang cenderung menangkap elektron.. 3) Unsur gas mulia tdk dpt