• Tidak ada hasil yang ditemukan

sumber sumber ajaran islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "sumber sumber ajaran islam"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Sumber-sumber ajaran islam

Pendahuluan

al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.

al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.

Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode ijmali (global), metode muqaran (komparatif), dan metode mawdu'i (tematik).

Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili dan ijmali, mengingat dua metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam karyanya.

Metode Tahlili

Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi'in.

(2)

yang semakna.

Artinya, meyoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.1

Ciri-ciri Metode Tahlili

Ada dua ciri utama dalam metode tahlili:

1. Tafsir bi al ma'thur, yaitu penafsiran ayat al-Qur'an dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadist Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi'in.2 Tafsir bi al ma'thur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma'thur adalah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya Imam Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir Qur'an 'Adim karya Ibn Kathir. Menurut W. Montgomery Watt, tafsir al-Tabari adalah tafsir al-Qur'an yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang kali.3

2. Tafsir bi al ra'yi, yaitu penafsiran al-Qur'an dengan ijtihad, terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi al ra'yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.

Dalam menyikapi tafsir bi al ra'yi, para ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persayaratan, maka penafsirannya ditolak. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra'yi adalah: Madarik Tanzil wa Haqa’iq Ta'wil, karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil karya Al-Khazin.4

Berangkat dari dua ciri metode tahlili di atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir. Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tafsir sufi, yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali

1 Abdul Jalal, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir (Pidato Pengukuhan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Tafsir/Tafsir) Surabaya, IAIN Sunan Ampel, 17.

2 Abdul Hayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu'iy (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 12. 3 W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur'an (Terj.) Taufik Adnan Amal (Jakarta: CV Rajawali,

1991), 265.

4 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press,

(3)

oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: Tafsir Qur'an 'Adim, karya Imam al-Tusturi.

2. Tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur'an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda. Di antara kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al-Qur'an, karya Al-Jassah, dan al-Jami' li Ahkam al-Qur'an karya Imam Al-Qurtubi.

3. Tafsir falsafi, yaitu penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab Mafatih Ghayb karya Fakhr Din al-Razi Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur'an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.5

4. Tafsir 'ilmi, yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur'an, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir 'ilmi adalah kitab al-Islam Yata'adda, karya Wahid al-Din Khan

5. Tafsir adabi ijtima'i, yairu penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan mengungkapkan sisi balaghah al-Qur'an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur'an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi ijtima'i merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada Qur'an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur'an.6 Di antara kitab tafsir adab ijtima'i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida

Keistimewaan dan Kelemahaman Metode Tahlili

Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur'an. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-Qur'an. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.

Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-Qur'an secara parsial, (2) melahirkan penafsiran yang subyektif, dan (3) membuka

5Muhammad Husayn Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun(Maktabah Mush'ab ibnu Umair

al-Islamiyah, 2004), 139.

(4)

peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.7

Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.

Kritik Metodologis

Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem dalam metode tafsir tahlili:

1. Bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al-Qur'an, karena penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.

2. Bagaimana menghentikan kesenjangan antara ajaran al-Qur'an yang berupa pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada dalam al-Qur'an kurang memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.

3. Bagaimana menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak singkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.8

al-Farmawi menambahkan, para penafsir model tahlili ada yang terlalu berbelit dengan mnguraikan secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas.9 Jamal al-Banna (saudara Hasan al-Banna) memberikan komentar terhadap para mufassir yang memiliki kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al-Qur'an bahwa kekeliruan terbesar yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa untuk menunjukkan spirit al-Qur'an itu sendiri, bahwa keseluruhan susunan ayat-ayat al-Qur’an itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang menghidupkan, membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat manusia. Yang lebih mengkhawatirkan

7 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 24-27. 8 Abdul Jalal, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir, 18.

9Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu'i (Terj.) Suryan A. Jamrah (Jakarta:

(5)

lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para ulama di bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format tertentu.

Kemudian Jamal al-Banna memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap mufassir yang dengan keahlian bahasanya menafsirkan Qur'an, seperti al-Zamakhshari. Ia mengatakan:

"cukuplah kita mengamati al-Kashshaf karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli gramatika, morfologi, balaghah, dan ilmu bahasa lainnya. Perhatian pertamanya terhadap al-Qur'an misalnya, tertuju pada pembahasan dan studi mendetil tentang metafora (isti'arah), alegori (majaz), kata-kata asing dalam al-Qur'an (Gharib al-Qur'an), gramatika, morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas karyanya, suatu ketika anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang penting baginya dari al-Qur'an adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan ilmu bahasa yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al-Qur'an menjadi terpisah dari sisi penjelasan dan ulasannya."10

Pengertian

Agama Islam memiliki aturan–aturan sebagai tuntunan hidup kita baik dalam berhubungan sosial dengan manusia (hablu minannas) dan hubungan dengan sang khaliq Allah SWT (hablu minawallah) dan tuntunan itu kita kenal dengan hukum islam atau syariat islam atau hukum Allah SWT. Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai sumber-sumber syariat islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi dari hukum dan hukum islam atau syariat islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntunan Allah SWT (Alquran dan hadist) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf(orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah( kemudahan ) atau azimah.

Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadist) berupa wujub, almandub, hurmah, karahah,dan al-ibahah.Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah. Ulama usul fikih membagi hukum islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy dan hukum wadh’iy dan penjelasannya sebagai berikut :

1. Hukum Taklifiy

Adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklifiy dibagi menjadi lima macam,

10 Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern (Terj). Novriantoni Kahar

(6)

yaitu :

a. Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan dilarang ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman

b. An-nadh, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya mendapatkan pahala, tetapi jika tidak dikerjakan tidak hukuman (dosa)

c. Al-ibahah, yaitu firman Allah yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya

d. Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti sehingga kalau dikerjakan pelakunya tidak dikenai hukuman

e. Al-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan perbuatan itu wajib, dan jika dikerjakan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa).

Menurut ulama fikih pebuatan mukallaf itu jika ditinjau dari syariat islam dibagi menjadi lima macam, yaitu :

a. Fardu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:

 Fardu ain, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti shalat lima waktu

 Fardu kifayah, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, dan jika telah dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka gugur kewajiban anggota masyarakat lainnya, seperti memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan jenazah muslim

b. Sunnah (mandub), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya tidak mendapatkan hukuman (dosa). Perbuatan sunnah dibagi menjadi dua, yaitu:

 Sunnah ain, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu, seperti shalat sunnah rawatib

 Sunnah kifayah, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan dikerjakan oleh salah seorang atau beberapa orang dari golongan masyarakat, seperti memberi salam, mendoakan muslim atau muslimat

c. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya berdosa dan akan dihukum, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan pahala, seperti: bezina, mencuri, membunuh

(7)

Dhuha

e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti: memilih warna pakaian penutup auratnya.

2. Hukum Wa’iy

Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu

(hukum).Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum waid’iy itu terdiri dari tiga macam, yaitu:

a. Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan dalam nas(Alquran dan hadist), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Seperti: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat zhuhur, jika matahari belum tergelincir maka shalat zhuhur belum wajib dilakukan

b. Syarat, yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ tergantung padanya, jika syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada. Seperti: genap satu tahun (haul) adalah syarat wajibnya harta perniagaan, jika tidak haul maka tidak wajib zakat perniagaan

c. Penghalang (mani), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab hukum. Seperti: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang melaksanakan shalat menyebabkan shalatnya tidak sah atau menghalangi sahnya shalat.

(8)

menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist.

Seluruh hukum produk manusia adalah bersifat subjektif, hal ini karena keterbatasan manusia dalam ilmu pengetahuan yang diberikan Allah SWT mengenai kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang, serta menguntungkan penguasa pada saat pembuatan hukum tersebut, sedangkan hukum Allah SWT adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.

Sumber ajaran islam dirumuskan dengan jelas oleh Rasulullah SAW, yakni terdiri dari tiga sumber, yaitu kitabullah (Alquran), as- sunnah (hadist), dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik. Sumber-sumber ajaran islam ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber ajaran islam yang primer (Alquran dan hadist) dan sumber ajaran islam sekunder (ijtihad). Pembahasan mengenai karakteristik masing-masing sumber ajaran islam tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sumber-Sumber Ajaran Islam

1.1. Alqur’an wilayah kajian

Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah

Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:

(9)

berhubungan dengan-Nya

2. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid

3. Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari 4. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat

Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.

Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:

1. Hukum I’tiqadiah,yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.

2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat.Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.

3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:

1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji

2. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:

3. Hukum munakahat (pernikahan). 4. Hukum faraid (waris).

5. Hukum jinayat (pidana). 6. Hukum hudud (hukuman). 7. Hukum jual-beli dan perjanjian. 8. Hukum tata Negara/kepemerintahan 9. Hukum makanan dan penyembelihan. 10. Hukum aqdiyah (pengadilan).

11. Hukum jihad (peperangan). 12. Hukum dauliyah (antarbangsa).

(10)

Sunnah menurut syar’i adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran yang kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Alquran.

Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu:

1. Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah 2. Sunnah fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah

3. Sunnah taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain

4. Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan

2. Sumber-Sumber Ajaran Islam Sekunder

2.1. Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.

Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu

 Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

(11)

sama-sama menyakiti hati orang tua.

 Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.

 Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran.Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.

 Sududz Dzariah, yaitumenurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan

Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilihat mengenai isu-isu pengembangan wisata pesisir di Kabupaten Pekalongan sehingga pengembangan kawasan pesisir tetap

Menurut Poedji Rochyati (2008),deteksi dini faktor resiko kehamilan trimester III dan penanganan serta prinsip rujukan kasus:.. 1) Menilai faktor resiko dengan skor Poedji Rochyati

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor (riwayat keluarga (ibu), status perkawinan, paritas, usia melahirkan, usia menarche, metode kontrasepsi dan asupan fitoestrogen)

pabila tekanan osmotik plasma turun A $&B, akan terjadi edema serebri dan kenaikan !<. +al ini dapat dibuktikan pada binatang percobaan dengan infus air suling, yang

(PK   2 Kategori * % Menalin pengertian  peren1anaan modal dasar  pengem.angan  pariwisata idak dapat Menalin  pengertian  peren1anaan modal dasar

kurangnya kelengkapan sarana dan prasrana yang dimiliki SMA 17 Pagelaran dikarenakan minimnya dana yang dimiliki sekolah untuk memenuhi standar kelengkapan sarana

Pada bab ini penulis hendak memaparkan Kritik Ki Hajar Dewantara terhadap Model pendidikan Barat (konservatif), Pemaknaan: Intepretasi terhadap Pendidikan yang

Menurut Nasution (2001:56) terdapatnya hubungan antara Total Quality Management (TQM) terhadap kepuasan konsumen yaitu dengan meningkatkan penerapan TQM sebagai cara