• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIMBINGAN BAGI GELANDANGAN DAN PENGEMIS DALAM MENUMBUHKAN SELF-DETERMINATION DI PANTI SOSIAL BINA KARYA (PSBK) YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BIMBINGAN BAGI GELANDANGAN DAN PENGEMIS DALAM MENUMBUHKAN SELF-DETERMINATION DI PANTI SOSIAL BINA KARYA (PSBK) YOGYAKARTA"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam Strata I

Disusun Oleh:

Fauzi Zeen Alkaf NIM. 11220001

Pembimbing:

A. Said Hasan Basri, S.Psi.,M.Si NIP : 19750427 200801 1 008

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2015

(2)

:

Fauzi ZeenAlkaf

:

1t220001

:

3 Juni 2015

-11

dan dinyatakan diterima oleh Fakultas Dakr.valr dan Komunikasi {JIN Suna.n Kah3aga,

Penguii

Drs. Abror Sodik. M,Si"

NtP 19580213 198903 I 001

Yogvakarta, i5 iuni 2015 Dekan,

PEIJG ESA

HAi\

SKRIPSI/T" U GAS AKH I R Nomor: UIN.02/DD1PP.00.q I

/lCIT

DAt S

Skripsi;'Tugas Akhir dengan

judul

:

BISTBINGAN BAG I GELANDAI\GAIi DAI{ PEI'iGf, MIS DAI,AM S'tEl\ TJMBUI{KAh:

SELIi.DETER}III{ATIOI{ DI PAIiITI SOSLTL BII{A

Ii{RYA

(PSBK) YOGYAKARTA

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Nama

Nomor induk Mahasistva Telah din:unaqasvahkan pada Nilai Munaqasyah

TI

Dr. Casmini

MP. 19711005

198703 2001

(3)

SURAT PERSETU,ruAI{ SKRIPSI Kepada:

Yth. Dekan Fakultas Dakrvah dan Konrunikasi UIN Sunan Kallaga Yogyakarta

Di Yogyakarta

Ass0 I antu' ulatkutn v, r. w b.

Setelah membaca, rneneliti, memberikan petunjuk dan mengoreksi serta nrengadakan perbaikan seperlunya, maka karni selaku pernbimbing berpendapat bahrva skripsi Saudara.

Nama :

Fauzt Zserr Alkaf

NIM

:11220001

.Iudul

Skripsi

: Progam Ketrampilan Bagi Gelandangan dan Pengemis Untuk Menumbuhkan Self-Determinatiozz Di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta

Sudah dapat diajukan kernbali kepada Fakultas Dakrvah dan Komunikasi JurusanProgram Studi Bimbingan dan Konspling Islam LIIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat untutri memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam Bimbingan dan Konseling Islam.

Dengan

ini

kami mengharap agar skripsi tersebut

di

atas dapat segera dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya karni ucapkan terima kasih.

l|/as sal umu' al a ikum Wr. lVb

Mengetahui:

a.n. Dekan,

Yogyakarta, 10 Juni 2015

Pernbimbing,

ilt

Ketua Jurusan Bimbingan

t9700403 200312

I

001

//"t-

R t4 zVlr

,c\r--.'1-*I.,))ic

"S r/o$'.=+.,r" 'Ft\ 7

u, /st' Xifiit'i l?*\ 4

r< lsi r{i:i;:,:i..i \ ti P

A.

(4)

Nama

NIM

Jurusan Fakultas

FatziZeenAlkaf

t1220001

Bimbingan dan Konseling Islam Dakwah dan Komunikasi

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa skripsi saya yang berjudul:

Progam Ketrampilan Bagi Gelandangan dan Pengemis Unhtk Menumbuhkan Self- Determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogiakarta aclalah hasil karya pribadi dan sepanjang pengetahuan penulis tidak berisi materi yang dipublikasikan atau ditulis orang lain, kecuali bagian-bagian tetentu yang penulis arnbil sebagai acuan.

Apabila terbukti pernyataan tanggungjawab penulis.

tidak benar, maka sepemrhnya rnenjadi

Yogyakarta, 10 Juni 2015

FatziZeen Alkaf NIM. 11220001

iv

l:*

(5)

v

tercinta Ibu Ngatinem Rahayu atas semua doa dan dukungan yang tak henti-hentinya mengalir kepada saya.

(6)

vi

“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui

orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS. An Nahl : 125)1

1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Hasta 1998), hlm.281

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil’alamin, segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat dan ridho-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga dan sahabatnya.

Penulis mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT, karena telah memberikan banyak kekuatan, kemudahan dan kelancaran dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selama proses penyusunan skripsi ini tentunya banyak pihak yang bekerjasama membantu baik dalam bentuk informasi, saran, kritik, dan dukungan. Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik walaupun belum sempurna. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini:

1. Bapak Prof. Drs. H. Akh Minhaji, M.A., Ph.D, selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Ibu Dr. Nurjannah, M.Si., selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

3. Bapak Muhsin Kalida, S.Ag, M.A., selaku Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

(8)

viii

4. Bapak A. Said Hasan Basri, S.Psi. Msi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan dorongan dalam penelitian skripsi ini.

5. Bapak Moch. Nur Ichwan, S.Ag. MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan motivasi yang positif selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

6. Segenap dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, khususnya jurusan Bimbingan dan Konseling Islam yang telah membagikan ilmu, motivasi dan pelayanan selama penulis menuntut ilmu di jurusan.

7. Seluruh staff bagian akademik yang telah mengakomodir segala keperluan penulis dalam urusan akademik dan penelitian skripsi ini.

8. Pimpinan dan staff UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atas perhatian dan pelayanan yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabatku tersayang Siti Yulaikha dan Abdullah Salam, terima kasih atas dukungan kalian yang selama ini suka, duka, berjuang bersama dan tetap akan bersama.

10. Saudara-saudaraku angakatan BKI 2011, terima kasih atas dukungan dan semangat kalian untukku, semoga kita menjadi orang-orang yang sukses dunia dan akhirat.

Atas semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan kepada penyusun semoga menjadi amal baik dan ilmu dalam skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat

(9)

ix

bagi semuanya. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempuranaan. Semoga Rahmat dan Hidayah-Nya terus mangalir kepada setiap hamba-hamba-Nya. Amin Ya Robbal Alamin.

Yogyakarta, 15 juni 2015 Penulis,

Fauzi Zeen Alkaf NIM: 11220001

(10)

xi ABSTRAK

FAUZI ZEEN ALKAF, 11220001, PROGRAM KETERAMPILAN BAGI GELANDANGAN DAN PENGEMIS UNTUK MENUMBUHKAN SELF-DETERMINATION DI PANTI SOSIAL BINA KARYA (PSBK) YOGYAKARTA.

Penelitian ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin maraknya Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi ini menyebabkan kerusakan tatanan keindahan kota akibat banyaknya orang yang menggelandang.

Untuk itu, pemerintah melalui Dinas Sosial UPTD Panti Sosial Bina Karya melakukan penjaringan yang kemudian mereka dibina dengan berbagai program bimbingan dan keterampilan. Atas dasar asumsi tersebut maka perlu kiranya mengkaji kembali tentang dampak program terhadap selft-determination bagi Gepeng.

Berdasarkan kenyataan di atas, penelitian ini menjawab 3 rumusan, yaitu (i) apa saja bentuk-bentuk bimbingan dalam menumbuhkan self-determination bagi Gepeng di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta? (ii) bagaimana tahapan bantuan bagi gepeng dalam menumbuhkan self-determination di PSBK Yogyakarta?

(iii) bagaimana implementasi bantuan terhadap Gepeng untuk menumbuhkan self- determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta? Untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis studi kasus. Adapun narasumber penelitian ini terdiri dari enam orang, yaitu 2 Pekerja Sosial, 2 Guru Program Keterampilan, dan 2 Gepeng.

Hasil dari penelitian ini, bentuk-bentuk bimbingan bagi gepeng untuk menumbuhkan self-determination di PSBK Yogyakarta terdiri dari keterampilan pertanian, pertukangan bangunan atau batu, pertukangan las, pertukangan kayu, keterampilan menjahit, keterampilan olahan pangan, dan keterampilan kerajinan tangan. Kemudian, pada tahap pelaksanaan bimbingan tersebut terdiri dari rekruitmen, bimbingan individu, dan transmigrasi. Sedangkan, untuk yang ketiga adalah implementasi bimbingan keterampilan sedikitnya ada dua, yaitu lahirnya motivasi diri untuk hidup mandiri dan menumbuhkan kesadaran dalam mengembangkan potensi diri. Selanjutnya, bimbingan yang dilaksanakan oleh Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta sedikitnya dapat memotivasi para Gepeng sehingga mereka dapat tumbuh menata kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Oleh karenanya, dalam konteks ini self-determination bagi Gepeng sedikitnya memiliki dampak pribadi dengan baik.

Kata Kunci: Program Keterampilan dan Self-Determination

(11)

xii

SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI ... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul ... 1

B. Latar Belakang Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

E. Kajian Pustaka ... 11

F. Kerangka Teori ... 15

G. Metode Penelitian ... 47

BAB II GAMBARAN UMUM PSBK YOGYAKARTA A. Sekilas Tentang Panti Sosial Bina Karya ... 55

B. Visi Misi Lembaga ... 58

C. Sumber daya manusia dan sarana lembaga ... 59

D. Data Demografis Warga Binaan ... 62

E. Metode Penanganan Gelandangan, Pengemis dan Eks Psikotik ... 63

BAB III BENTUK-BENTUK BANTUAN, TAHAPAN DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP GEPENG DALAM MENUMBUHKA SELF-DETERMINATION DI PSBK YOGYAKARTA A. Bentuk-bentuk program keterampilan ... 79

B. Tahapan bimbingan keterampilan bagi gepeng ... 86

C. Implementasi bimbingan keterampilan ... 90

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 97

(12)

xiii

(13)

1 A. Penegasan Judul

Agar penelitian ini terstruktur dan sistematis serta tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan istilah-istilah yang terdapat pada judul penelitian ‗Bimbingan Bagi Gelandangan dan Pengemis Untuk Menumbuhkan Self-Determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta‘, maka peneliti perlu menjelaskan makna tersebut ke dalam penegasan judul sebagaimana yang dapat dijelaskan berikut:

1. Bimbingan

Secara etimologis, kata bimbingan terjemahan dari bahasa Inggris guidance yang artinya menunjukan, membimbing, menuntun, dan membantu.1 Menurut Arifin, bimbingan adalah menunjukan, memberikan jalan atau menuntun orang lain ke arah tujuan yang bermanfaat bagi kehidupan masa kini dan masa mendatang.2 Sedangkan menurut Samsul, bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang secara sistematis untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam upaya mengatasi berbagai persoalan sehingga

1 Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1967), hlm.

36.

2Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Penyuluhan Agama, (Jakarta: Golden Terayn Press, 1998), hlm. 1.

(14)

ia dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggung jawab.3

Berdasarkan pengertian istilah di atas, maka bimbingan yang dimaksud dalam kajian ini adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang tentang program keterampilan bagi gelandanga, pengemis, dan pemulung, yang kemudian diarahkan serta diberikan solusi bagi merkasecara lebih komprehensif mengeni keterampilan yang dimilikinya.

2. Gelandangan dan Pengemis

Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia tahun 2012, gelandangan didefinisikan sebagai orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.

Seseorang disebut gelandangan apabila mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap, tanpa penghasilan yang tetap, tanpa rencana hari depan anak-anaknya maupun dirinya.4

Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta ditempat umum dengan berbagai

3Samsul Munir Amin, Bimbingan Konseling Islam: Pengertian Bimbingan, (Jakarta:

Amzah, 2010), hlm. 7.

4Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial.

(15)

cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.

Pengemis memiliki kriteria; mata pencariannya tergantung pada belas kasihan orang lain, berpakaian kumuh dan compang camping,berada ditempat-tempat ramai/strategis dan memperalat sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain.5

Jadi, yang dimaksud dengan Gelandangan dan Pengemis (selanjutnya disingkat Gepeng) dalam penelitian ini adalah orang- orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang langka dalam masyarakat, yang mendapatkan penghasilan dengan minta-minta, dan atau tidak memiliki mata pencaharian tetap, tempat tinggal yang layak, dan umumnya menggelandang di tengah pelataran kota.

3. Menumbuhkan Self-Determination

Menumbuhkan berasal dari kata kerja dasar ‗tumbuh‘ , yang memiliki arti timbul (hidup) dan bertambah besar atau sempurna.6Self- determination, berasal dua kata yang berbeda, self artinya sendiri; diri7, dan determination adalah faktor yang menentukan atau memutuskan.8Maka self-determination menurut Tageson ialah rasa

5Ibid., hal 69.

6Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer UI, 2008), dalam, www.bahasa.cs.ui-ac.id, akses tanggal 15 Maret 2015, Pukul 12.00 WIB.

7S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris dengan EYD yang disempurnakan, (Bandung: Hasta, 1987), hlm. 191.

8Ibid., hlm. 42.

(16)

percaya bahwa individu itu bisa atau dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Penentuan nasib sendiri merupakan kombinasi dari sikap dan kemampuan yang memimpin orang–orang untuk menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri, dan untuk mengambil inisiatif untuk mencapai tujuan tersebut.9

Jadi yang dimaksud dengan self-determination adalahproses pelatihan yang diberikan melalui program keterampilan dengan membuat pilihan untuk diri sendiri bagi Gepeng. Kemudian belajar untuk secara efektif memecahkan masalah, dan mengambil kendali dan tanggung jawab untuk kehidupan seseorang (diri sendiri).

4. Panti Sosial Bina Karya (PSBK)

Menurut Departemen Sosial yang dimaksud dengan panti sosial adalah suatu lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggungjawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).10 Sedangkan, Panti Sosial Bina Karya itu sendiri merupakan lembaga teknis (UPT) dari Dinas Sosial D.I. Yogyakarta yang memiliki fungsi kerja sebagai

9Tageson, Humanistic Psychology: A Synthesis, (Homewood: The Dorsey Press, 1982), hlm. 71.

10Departemen Sosial RI, ‗Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis‘, (Jakarta: Departemen Sosial RI, 2005), hlm. 4.

(17)

lembaga yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi Gelandangan dan Pengemis selanjutnya di sebut Gepeng.11

Untuk itu, yang dimaksud dengan Panti Sosial Bina Karya (PSBK) adalah lembaga kesejahteraan sosial milik pemerintah yang memiliki fungsi sebagai lembaga penyelenggarakan layanan sosial masalah Gepeng yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam konteks ini, status dari PSBK itu sendiri sebagai lembaga milik pemerintah yang bertanggungjawab penuh menangani persoalan Gepeng dari setiap kluster yang ada.

Berdasarkan penjelasan istilah-istilah judul tersebut, maka yang dimaksut dengan Bimbingan Bagi Gelandangan dan Pengemis Dalam Menumbuhkan Self-Determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta‘, adalah pelaksanaan bantuan yang di berikan kepada orang-orang yang hidup di jalanan, tidak memiliki tempat tinggal, tidak memiliki penghasilan yang tetap dan umumnya mengelandang di kota dalam menumbuhkan motivasi diri untuk bekerja seperti layaknya manusia normal yang di lakukan di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta.

11Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Pedoman Pelaksanaan dan Rehabilitasi Sosial Bagi Gelandangan, Pengemis, Pengamen, Pemulung dan Eks Penderita Sakit Jiwa Terlantar, (Yogyakarta: Dinas Sosial UPT Panti Sosial Bina Karya, 2006), hlm. 25.

(18)

B. Latar Belakang

Sejauh ini, Indonesia masih tergolong pada negara yang belum maju karena belum mampu menyelesaikan masalah ekonomi, sosial, maupun budaya. Kemiskinan sebagai salah satu masalah serius bangsa ini membawa dampak semakin maraknya Gelandangan dan Pengemis, (selanjutnya disebut Gepeng), di tengah masyarakat urban. Untuk itu, Gepeng masih menjadi persoalan klasik yang perlu diperhatikan lebih oleh pemerintah. Karena masalah ini sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota besar, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Keberadaan Gepeng di Yogyakarta saat ini semakin banyak dan sulit di atur, mereka dapat ditemui di berbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat.

Berdasarkan data statistik pemerintahan Propinsi DIY menunjukkan bahwa sekitar lebih dari 13,5% KK penduduk Yogyakarta, hidup dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), berdasarkan rekapitulasi Dinas Sosial Propinsi terlihat bahwa jumlah populasi gelandangan pada tahun 2014 adalah 161 orang, sementara total jumlah pengemis adalah 199 orang.12

Tingginya jumlah Gepeng tersebut, diakibatkan oleh jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan

12Data di ambil dari Buku Tahunan, Dinas Sosial DIY, 2014.

(19)

yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak selalu sama. Di samping itu menyempitnya lahan pertanian di desa karena banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau pabrik. Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan menambah tenaga yang tidak produktif di kota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya pengeluaran, mereka memanfaatkan kolong jembatan, stasiun kereta api, emperan toko, pemukiman kumuh dan lain sebagainya untuk beristirahat atau biasa disebut sebagai hidup menggelandang.

Gepeng merupakan bagian dari penyandang masalah kesejahteraan sosial yang khususnya berada di wilayah perkotaan maupun sub urban.

Muncul dan berkembangnya masalah sosial tersebut sangat terkait dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat serta sebagai akibat dari pembangunan. Tekanan kehidupan di wilayah pedesaan, menyempitnya lahan pertanian, sulitnya mendapat pekerjaan non pertanian membawa gelombang arus migrasi yang sangat pesat, baik dalam bentuk urbanisasi ke kota-kota maupun migrasi ke negara lain dengan menjadi TKI/TKW.13

Hidup bergelandangan tidak memungkinkan orang hidup berkeluarga, tidak memiliki kebebasan pribadi, tidak memberi

13Tim Dinas Sosial DIY, ‗Naskah Akademik Peraturan Dearah Tentang Gelandangan dan Pengemis‘, (Yogyakarta: Dinas Sosial DIY Bidang Rehabilitasi Sosial, 2014), hlm. 2.

(20)

perlindungan terhadap hawa panas ataupun hujan dan hawa dingin, hidup bergelandangan akan dianggap hidup yang paling hina di perkotaan.14 Keberadaan Gepeng di perkotaan sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahan kota. Dan tidak sedikit kasus kriminal yang dilakukan oleh mereka, seperti mencopet bahkan mencuri dan lain-lain. Karena mereka cenderung tidak mengindahkan norma sosial. Apabila masalah Gepeng tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya.

Melihat fakta demikian langkah untuk menanggulangi Gepeng yang ada di pelataran kota, dapat ditanggulangi dengan program-program produktif melalui rehabilitasi sosial pelayanan di panti kesejahteraan sosial.15 Sisi kebijakan memberikan pelayanan di panti sosial adalah salah satu instrumen penting untuk mengembangkan Gepeng agar lebih produktif dan dapat merubah nasib mereka sendiri.

Untuk mengatasi masalah Gepeng, pemerintah mengutus Polisi Pamong Praja Satpol PP untuk merazia yang ada di seluruh sudut kota Yogyakarta, untuk kemudian dijaring dan ditampung di Lembaga Kesejahteraan Sosial Panti Sosial Bina Karya (PSKB) UPT Dinas Sosial D.I. Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk membersihkan kota dari

14Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 63.

15Departemen Sosial RI, ‗Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis‘, (Jakarta: Departemen Sosial RI, 2005), hlm. 84.

(21)

Gelandangan dan Pengemis, serta berupaya untuk memberikan penyadaran kepada mereka.

Berdasarkan kondisi empiris di atas, maka peneliti merasa terpanggil untuk melakukan kajian lebih jauh mengenai bimbingan yang merupakan bagian dari program pemerintah bidang rehabilitasi sosial bagi Gepeng. Maka dari itu, penelitian ini berjudul ‗Bimbingan Bagi Gelandangan dan Pengemis Dalam Menumbuhkan Self-Determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta‘.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Apa saja bentuk-bentuk bantuan bagi Gepeng dalam menumbuhkan self-determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta?

2. Bagaimana tahapan bimbingan bagi Gepeng dalam menumbuhkan self- determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta?

3. Bagaimana implementasi bantuan bagi Gepeng dalam menumbuhkan self-determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta?

D. Tujuan Penelitian

Dengan melihat perumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut:

(22)

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk bimbingan bagi gepeng dalam menumbuhkan self-determination bagi Gepeng di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui tahapan bimbingan bagi Gepeng dalam menumbuhkan self-determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta.

3. Untuk mengetahui implementasi bimbingan bagi Gepeng dalam menumbuhkan self-determination di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian

Secara umum kegunaan penelitian ini dibagi ke dalam dua, yaitu manfaat secara teoritis dan praktis, penjelasannya sebagaimana berikut:

1. Secara Teoritis

Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih kelimuan dalam bidang bimbingan dan konseling Islam masyarakat khususnya penanganan Gepeng melalui bimbingan untuk menumbuhkan self-determination.

2. Secara Praktis

Secara praktis diharapkan menjadi sebuah pedoman, baik bagi konselor maupun lembaga PSBK itu sendiri, khususnya dalam menumbuhkan self-determination Gepeng melalui bimbingan yang diberikan.

(23)

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah kajian yang membahas bagian penting dalam penelitian untuk membedakan penelitian yang terdahulu dengan penelitian yang sedang dilakukan. Maka hal ini selalu dijadikan sebagai bahan rujukan akademik untuk mengembangkan teori, hasil penemuan dalam penelitian maupun rekomendasi bagi pemegang kebijakan. Dalam karya ilmiah populer, tinjauan pustaka disebut pula sebagai pondasi seorang peneliti agar tidak terjebak dalam plagiarisme.16

Untuk itu, berangkat dari penelusuran literatur yang penulis lakukan di berbagai media mulai dari Unit Pelayanan Terpadu-Strata-1 (UPT-S1) Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan beberapa media informasi online, menunjukkan bahwa kajian untuk tulisan skripsi yang terkait dengan penelitian ini adalah:

Pertama, karya Saptono Iqbali tentang Studi Kasus Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem.17 Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan maksud untuk mendapatkan gambaran tentang karateristik demografi dan sosial ekonomi dan pola perilaku Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) terutama berasal dari Muntigunung dan Pedahan, Sub Kabupaten Karangasem. Hal

16Henry Soelistyo, Plagiarisme Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, (Yogyakarta:

Kanisius, 2011), hlm. 15.

17Saptono Iqbali, ―Studi Kasus Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem‖, Jurnal Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UNUD, 2011.

(24)

ini ditujukan untuk mengkompilasi solusi program Gepeng efektif dan efesien dengan memperhatikan potensi dan solusi kendala Gepeng.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku Gelandangan dan Pengemis untuk tumbuh secara alami dan melalui ide rasional.

Pengembangan perilaku Gepeng dibagi untuk menjadi tiga periode, yaitu sebelum Gunung Agung meletus tahun 1963-an, setelah gunung Agung meletus di tahun 1963-1970, dan setelah tahun 1980-an. Awalnya publik apakah aktivitas barter, kemudian masuk ke pengemis akibat masyarakat perkotaan tidak mau menerima barang membawa dan lebih baik memberikan uang sebagai kasihan rasa.18 Mengaca pada hasil penelitian tersebut seyogyanya ada satu perbedaan masa waktu dengan penelitian yang sedang dilakukan. Dimana karya Iqbali ini, lebih fokus melakukan riset pada saat gunung Agung meletus tahun 1963-1970, program keterampilan bagi Gepeng di saat itu pula dengan pendekatan sejarah.

Maka secara umum konsep dan hasil penelitian dari karya Saptono Iqbali tidak ada kesamaan dengan penelitian yang sedang dikaji saat ini.

Tapi, tidak menutup kemungkinan ada bagian-bagian yang diambil di dalamnya sesuai dengan kaidah acuan akademik untuk menjadi referensi ilmiah. Agar terpenuhi sebuah kualitas penelitian yang lebih baik bagi penelitian yang sedang dilakukan.

Kedua, karya Ahmad Nursahri, tentang Pembedayaan Gelandangan dan Pengemis Melalui Program Keterampilan Montir Motor di Panti

18Ibid., hlm. 73.

(25)

Sosial Bina Karya (PSBK) ‗Pangudi Luhur‘ Bekasi.19 Penelitian merupakan penelitian kualitatif-deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pemberdayaan dan capaian dari program tersebut pada Gelandangan dan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya (PSBK)

‗Pangudi Luhur‘ Bekasi. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini secara umum implementasi dari pemberdayaan Gepeng tersebut tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah karena Gepeng memandang program keterampilan yang diadakan oleh PSBK ‗Pangudi Luhur‘ itu tidak memberikan kontribusi bagi mereka.

Sehingga pandangan stereotipe ini kemudian yang menjadi alasan tidak efektifnya program tersebut.

Secara latar penelitian dan konteks kajian yang diteliti terhadap karya ini secara konsep sama, tetapi yang menjadi pembeda dengan penelitian ini adalah obyek dan partisipan yang berbeda. Ini yang akan menjadi lebih menarik untuk diteliti, sebab beda subjek akan beda pula terhadap interpretasi dari hasil penelitian yang akan didapatkan.20

Ketiga, karya Tri Muryani dengan judul penelitian mengenai

―Rehabilitasi Sosial Bagi Gelandangan di Panti Sosial Bina Karya Sidomulyo Yogyakarta‖.21 Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk

19Ahmad Nursahri, ―Pembedayaan Gelandangan dan Pengemis Melalui Program Keterampilan Montir Motor di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) ‗Pangudi Luhur‘ Bekasi‖, Skripsi tidak diterbitkan, (Jakarta: Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, 2011).

20Ibid., hlm. 13.

21Tri Muryani, ―Rehabilitasi Sosial Bagi Gelandangan di Panti Sosial Bina Karya Sidomulyo Yogyakarta‖, Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, 2008).

(26)

mendeskripsikan proses rekruitmen bagi Gelandangan dan mendeskripsikan proses rehabilitasi yang dilakukan oleh PSBK Sidomulyo. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sedang dilakukan karena kontens kajian yang lebih spesifik yaitu pada sisi konseling (self-determination) pada Gepeng untuk menumbuhkan minat dan prestasi kerja bagi mereka. Tri Muryani menekankan penelitiannya lebih kepada proses konseling bagi Gepeng dengan mengeksplorasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh konselor. Jadi, secara definisi ilmiah jelas berbeda dengan penelitian yang sedang dilakukan.

Berdasarkan pada tinjauan pustaka di atas, ada beberapa hal yang menjadi kajian literatur dalam penelitian ini yakni persamaan yang diambil dalam konteks ini adalah sama-sama tentang Gepeng. Namun, sejauh peneliti membandingkan, mengkompilasi, menelaah, dan menghayati dari beberapa hasil penelitian yang muncul secara substansi isi dan acuan kajian akademik tidak ada yang mirip dengan penelitian yang sedang dilakukan. Akan tetapi, secara kaidah ilmiah ada beberapa bagian yang diambil sebagai kebutuhan akademik sesuai dengan prosedur yang belaku.

Sehingga kontens penelitian, peneliti klaim dengan judul yang tertera di atas, masih bersifat original dan bebas dari plagiarisme.

G. Landasan Teori

Berbicara persoalan Gepeng memang tidak akan ada habisnya.

Selama kemiskinan itu masih ada maka selama itu pula term Gepeng

(27)

berlaku. Gepeng dalam konteks kajian ilmiah di pandang sebagai kajian yang menarik untuk diteliti dengan berbagai perspektif. Dalam pada itu, kajian ini memandang Gepeng pada 4 (empat) posisi utama, yaitu Gepeng;

(i) tinjauan tentang program keterampilan, (ii) tinjauan tentang Gepeng, (iii) tinjauan tentang self-determination, dan (iv) Gepeng dalam perspektif bimbingan dan konseling Islam.

1. Tinjauan Tentang Program Keterampilan a. Pengertian Program Keterampilan

Keterampilan berasal dari kata ‗terampil‘, digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar, dari tidak terampil menjadi terampil. Menurut Merrel, memberikan pengertian keterampilan (skill) sebagai perilaku spesifik, inisiatif, mengarahkan pada hasil sosial yang diharapkan sebagai bentuk perilaku seseorang.22

Pengertian program dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rancangan mengenai asas serta usaha (dalam ketatanegaraan, perekonomian, sosial, politik, dan sebagainya) yang akan dijalankan. Pada kajian ini, program yang dimaksud adalah rancangan sebuah rencana kerja berdasarkan pada kegiatan yang akan dijalankan.23

22Kenneth Merrell, Social Skills of Children and Adolescents, (New Jersey: Lawrence Erlbaum, 1998), hlm. 12.

23Dalam www.kbbi.web.id, akses tanggal 5 Mei 2015.

(28)

Oleh sebab itu, program keterampilan adalah sebuah rancangan kerja dalam kegiatan yang akan dijalankan di dalamnya terkandung proses belajar, dari tidak terampil mejadi terampil.

Dengan demikian,program ketrampilan maksudnya adalah program yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal.24

Dari definisi tersebut, program keterampilan ini dikhususkan bagi Gepeng yang merupakan salah satu bentuk pelayanan dalam pembinaan untuk mengarahkan seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk menambah dan meningkatkan keterampilan dalam bidang sosial dan enterpreneurship.25

Program keterampilan bagi Gepeng merupakan salah satu program keterampilan yang berasal dari pemerintah, yang dalam hal ini adalah Dinas Sosial DIY yang mempunyai tanggung jawab dan UPT Panti Sosial Bina Karya sebagai pelaksana teknis program keterampilan tersebut. Dalam program keterampilan bagi Gepeng ini selain harus mampu menguasai bagaimana cara bekerja

24Lutfi Fauzan, Assertive Training: Pengembangan Probadi Asertif dan Transaksi Sosial, (Depdiknas: UPT BK UM, 2007), hlm. 25.

25Ibid., hlm. 100.

(29)

menjadi manusia mandiri, diharapkan juga para warga binaan sosial dapat mengikuti perkembangan perdagangan saat ini.26

Program Keterampilan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah pengetahuan sikap dan keterampilan dalam bidang usaha terampil yang sasarannya adalah segenap warga binaan sosial yang ada di UPT Panti Sosial Bina Karya.27 Maka dari itu, program keterampilan ini adalah belajar sambil bekerja dan mengajarkan pada warga binaan sosial untuk lebih giat dalam mempelajari dan menguasai keterampilan usaha. Sedangkan pola komunikasi yang dikembangkan adalah komunikasi dua arah, yaitu melalui teori yang disampaikan secara lisan dan praktik secara langsung dilapangan serta dalam bentuk kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.

Menurut Dirjen Tuna Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia, program keterampilan ini harus mampu menumbuhkan cita-cita yang dilandasi untuk selalu berpikir kreatif dan dinamis yang mengacu pada kegiatan-kegiatan yang ada dan dapat ditemui di lapangan atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi oleh para warga binaan sosial.28

26Ibid., hlm. 101.

27Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Pedoman Pelaksanaan dan Rehabilitasi Sosial Bagi Gelandangan, Pengemis, Pengamen, Pemulung dan Eks Penderita Sakit Jiwa Terlantar, (Yogyakarta: Dinas Sosial UPT Panti Sosial Bina Karya, 2006), hlm. 54.

28Dirkes Tuna Sosial, Pedoman Rehabilitasi Sosial Gelandagan, (Jakarta: Depsos RI, 2008), hlm. 98.

(30)

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa program keterampilan adalah salah satu program keterampilan yang menjadi program sasaran kemandirian sosial yang ditujukan bagi para gelandangan dan pengemis serta orang- orang yang rentan terhadap masalah kemiskinan, yang akan menjadi warga binaan sosial di UPT Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta. Program ini langsung didampingi oleh pekerja sosial yang ada di UPT PSBK.

b. Bentuk-Bentuk Program Keterampilan

Menurut Sulistiyani, proses pola penyadaran dalam rangka melakukan program keterampilan berlangsung secara bertahap, yaitu:(1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilakusadar dan peduli sehingga yang bersangkutan merasamembutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasikemampuan berupa wawasan berpikir atau pengetahuan,kecakapan-keterampilan agar dapat mengambil peran di dalampembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual,kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dankemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.29

Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilakumerupakan tahap persiapan dalam proses program

29Amabar Teguh Sulistiyani, Pembangunan Masyarakat Desa Melalui Institusi Lokal, (Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm. 68.

(31)

keterampilan. Pada tahap inipelaku program berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapatmemfasilitasi berlangsungnya program keterampilan yang efektif. Apayang diintervensi bagi Gepeng sesungguhnya lebih pada kemampuanafektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan agar Gepeng semakin terbuka dan merasa membutuhkan pengetahuan danketerampilan untuk memperbaiki kondisinya.

Tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan, pengalamandan keterampilan dapat berlangsung baik, demokratis, efektif dan efisien,jika tahap pertama telah terkondisi. Gepeng akan menjalani prosesbelajar tentang pengetahuan dan kecakapan keterampilan yang memilikirelevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan jika telahmenyadari akan pentingnya peningkatan kapasitas. Keadaan ini akanmenstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan penguasaanketerampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini Gepeng hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadipengikut/objek pembangunan saja, belum menjadi subjek pembangunan.

Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatanintelektualitas dan kecakapan keterampilan yang diperlukan, supayamereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebutditandai oleh kemampuan

(32)

Gepeng di dalam membentuk inisiatif,melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalamlingkungannya. Apabila Gepeng telah mencapai tahap ketiga ini maka mereka dapat secara mandiri melakukan pembangunan.

Dari beberapa tahap proses penyadaran bagi Gepeng, maka pada umumnya bentuk-bentuk keterampilan yang dilakukan di UPT Panti khusus Gepeng sedikitnya ada empat program, yaitu (i) keterampilan di bidang pertanian, (ii) keterampilan tukang bangunan, (iii) keterampilan bengkel las, dan (iv) keterampilan menjahit.30

1) Program Keterampilan Pertanian

Program keterampilan pertanian bagi Gepeng bertujuan sebagai bekal bagi warga binaan apabila mengikuti program transmigrasi atau bekerja pada suatu perusahaan di sektor pertanian, seperti perusahaan kelapa sawit. Pelatihan keterampilan ini dilakukan dimana pihak Panti sudah menyediakan lahan untuk program pertanian tersebut.

2) Program Keterampilan Pertukangan Bangunan

Pelatihan pertukangan bangunan ini adalah jenis keterampilandengan tujuan sebagai ilmu tambahan dan dapat menambah ilmu baru tentang membuat bangunan. Pada umumnya, keterampilan ini menggunakan tempat sendiri maka

30Ariyan Akbarin, ―Program Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills) di Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta‖, Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, 2015), hlm. 80-96.

(33)

proses pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar dan maksimal dan dapat dengan mudah memantau kegiatan pelaksanaan.

3) Program Keterampilan Bengkel Las

Pelatihan pertukangan las ini bertujuan sebagai ilmu tambahan dan dapat menambah ilmu baru. Selain itu, dengan adanya pelatihan ini Gepeng bisa bekerja pada usaha las lebih dalamnya membuka usaha sendiri. Pelatihan pertukangan las dilakukan oleh pengelola panti dimana pihak panti sudah menyediakan ruangan ketrampilan khusus las.

4) Program Keterampilan Menjahit

Pelatihan menjahit ini adalah jenis keterampilan dengan tujuan sebagai ilmu tambahan dan dapat menambah ilmu baru.

Selain itu, harapan dengan diadakannya program keterampilan ini kedepannya bisa bekerja pada pengusaha modiste ataupun mendirikan usaha sendiri.

c. Metode Pendekatan Program Keterampilan

Dalam pandangan Abdullah Syarwani, metode program keterampilan adalah hal penting sebagai arus utama dalam pendekatan kegiatan yang akan dilakukan dari keterampilan sosial31, yaitu:

1) Mengembangkan kepribadian dan identitas diri adalah perkembangan kepribadian dan identitas karena kebanyakan dari

31Abdullah Syarwani, LSM, Partisipasi Rakyat dan Usaha Menumbuhkan Keswasembadaan, (Jakarta: LP3ES, 1992), hlm. 69.

(34)

identitas warga binaan dibentuk dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan orang lain, individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.

Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandangan yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.

2) Mengembangkan kemampuan kerja, produktivitas, dan kesuksesan karir keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja, produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi, mengajak orang lain untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang berhubungan dengan dunia kerja.

3) Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari keterampilan sosial karena setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim dengan individu lainnya.

4) Meningkatkan kesehatan fisik. Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan

(35)

dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit.

5) Meningkatkan kesehatan psikologis bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian.

Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.

Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan sosial adalah kemampuan mengatasi stress.

Hubungan yang saling mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan mengurangi kecemasan.

Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback.

d. Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Program Keterampilan

(36)

Hasil studi Keith, terdapat 3 aspek yang mempengaruhi keterampilan sosial bagi warga binaan pada lembaga kesejahteraan sosial32, yaitu:

1) Lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga).

Lingkungan juga meliputi lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), dan lingkungan masyarakat luas. Dengan pengenalan lingkungan ini maka warga binaan akan memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari gelandangan, pengemis, dan kaum marginal lainnya.

2) Kepribadian. Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu menggambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi gelandangan dan pengemis untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata. Di sinilah pentingnya memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan.

3) Kemampuan Penyesuaian Diri Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri bagi gelandangan dan pengemis,

32Keith Hart, ―Informal Income Opputunities and Urban Employment in Ghana‖, Journal of Modern Africana Studies, 973, hlm. 163.

(37)

maka sejak awal Gepeng harus lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat bereaksi secara wajar dan normatif

Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial dipengaruhi berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan, serta kemamapuan dalam penyesuaian diri.

2. Tinjauan Tentang Gepeng a. Pengertian Gepeng

Gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak layak, tempat tinggal berpindah-pindah dan tidak mempunyai mata pencaharian tetap. Gelandangan adalah orang-orang yang relatif tidak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal tertentu menurut ketentuan- ketentuan umum.33 Pengertian gelandangan menurut Dinas Sosial adalah orang yang hidup tidak sesuai norma masyarakat, tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Ciri-cirinya antara lain:

1) Hidup menggelandang ditempat-tempat umum terutama di kota¬kota.

2) Tempat tinggalnya tidak tetap, digubug liar, emperan toko, di bawah jembatan dan sejenisnya.

3) Tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.

33Suparlan, Kemiskinan di Kota,... hlm. 37.

(38)

4) Miskin.34

Pengemis adalah seseorang yang meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain dengan mendapatkan uang ataupun barang.

Pengemis adalah orang-orang yang hidupnya tergantung kepada pemberian atau belas kasihan orang lain.35 Sedangkan menurut Dinas Sosial, pengemis adalah orang yang mendapat penghasilan dengan cara meminta-minta di tempat umum dan mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Ciri-cirinya antara lain :

1) Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah, dan tempat umum lainnya.

2) Pada umumnya bertingkah laku agar mendapatkan belas kasihan, berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan ayat-ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.

3) Anak sampai usia dewasa (laki-laki atau perempuan) yang berusia 18-59 tahun.36

34Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila, Standar Pelayanan Mininal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, (Jakarta: Kementerian Sosial, 2007), hlm. 13.

35Parsuadi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, ... hlm. 105.

36Kementerian Sosial RI (2011), ‗Petunjuk Teknis Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat bagi Gelandangan, Pengemis dan Pemulung oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial‘.

(39)

b. Faktor yang Menyebabkan Individu Menjadi Gepeng

Sejarah pertumbuhan perkotaan banyak ditopang oleh komunitas urban yang menjadi penyangga kehidupan warga kota.

Dalam proses interaksi yang terus berlangsung di tempat yang baru, warga dari pedesaan banyak yang kalah dan terpinggirkan dan akhirnya menjadi kembali menjadi warga miskin dan marginal di wilayah perkotaan. Menurut Jan Bremen, peluang kerja baru mensyaratkan adanya pendidikan dan ketrampilan, sementara banyak kaum urban yang belum mempunyai pendidikan dan ketrampilan yang memadai sehingga kalah berkompetisi dalam mencari peluang kerja.

Apabila pelayanan publik di perkotaan tidak mampu menjangkau para kaum urban maka pada akhirnya mereka akan menjadi warga miskin perkotaan, bahkan menjadi gelandangan dan pengemis. Komunitas ini lahir sebagai residu dari perkembangan kota.37

Perspektif yang lebih kritis akan mengatakan bahwa keberadaan warga miskin perkotaan merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya. Dalam pandangan ini, Pemerintah dinilai belum mampu mewujudkan kesejahteraan bagi warganya, bahkan sebaliknya justru menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan, bahkan lebih parah lagi pemerintah dinilai memihak kepada golongan masyarakat yang lebih mampu dan mengabaikan atau bahkan mengorbankan warga miskin. Aliran kitis seperti ini sering

37Jan Bremann, ―Kerja dan Kehidupan Buruh Tani di Pesisir Jawa‖, dalam Majalah Prisma edisi 3, Maret 1992, hlm. 3-4.

(40)

berdiri di belakang gerakan sosial warga miskin kota (urban poor movement).38

Warga miskin kota, baik itu gelandangan, pengemis, pengamen, pemulung dalam perjalanannya kemudian terbentuk menjadi subgroup dan membangun kultur sendiri, dan semakin jauh dari interaksi dengan warga masyarakat lainnya. Pada akhirnya ketika sudah menjadi subkultur (misalnya komunitas waria, komunitas punk, komunitas pengemis, pengamen) akan terjadi relasi dan interaksi sosial dengan warga masyarakat lain yang tidak setara. Kelompok marginal selalu dilhat dalam perspektif warga masyarakat umum, dan standar yang digunakan juga standar yang berlaku pada kelompok mayoritas.

Kultur kehidupan kelompok marginal pada akhirnya dipandang dan dinilai menyimpang, dan diberi istilah anti sosial atau tidak normatif.

Relasi subordinasi-dominasi terjadi dalam berbagai ruang sosial, ekonomi, politik bahkan budaya ini semakin kuat sehingga menjadi represi sosial dan opresi yang pada akhirnya justru semakin menguatkan menguatkan dan menggarisbawahi identitas sub-group pada kelompok-kelompok tersebut.39

Mental, sikap dan perilaku yang oleh kelompok dominan di sebut tidak normatif tersebut antara lain dilihat dari mental yang tidak mempunyai rasa malu, sikap malas dan tidak mau bekerja keras, tidak

38Ibid., hlm. 5.

39Arief Budiman, Sistem Perekonomi Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1989), hlm. 86.

(41)

mempunyai motivasi hidup, sikap kasar, perilaku yang melanggar tata tertib termasuk mencuri, memeras/preman, mabuk, membuat gaduh, dan keributan.

Perspektif psikologi sosial, mental, sikap dan perilaku manusia terbentuk melalui interaksi sosialnya dengan masyarakat. Jadi semua ini bukan bawaan sejak lahir tetapi terbentuk secara sosial. Orang- orang yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dan selalu saja kalah dalam kompetisi, dan dikucilkan dari kehidupan sosial semakin lama akan menggerogoti martabat dan harga dirinya. Mereka akan merasa marah, putus asa, kehilangan harapan dan terpuruk. Apabila kondisi ini diabaikan dan tidak mendapat intervensi dari luar maka mereka akan semakin apatis, putus asa sehingga dalam pandangan mata kelompok mayoritas akan terlihat sebagai orang-orang yang putus asa dan malas.

Adapun perilaku yang dikatakan anti sosial seperti mabuk, membuat keributan, mencuri dan memeras merupakan akibat dari kondisi mental yang terus mengalami erosi, sehingga bisa menjadi agresi atau malah depresi. Orang-orang yang selalu diabaikan, diposisikan sebagai kelompok anti sosial semakin lama justru akan menginternalisasikan identitas tersebut menjadi identitas personal. Pada saatnya nanti hal ini justru akan mempersulit upaya-upaya pemulihan dan pemberdayaan.40

Dalam perkembangan diskursus kontemporer, persoalan gelandangan dan pengemis tidak semata-mata dikaitkan dengan isu-isu

40F.J. Monks (dkk), Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 211.

(42)

kemiskinan, namun lebih dilihat sebagai komponen atau bentuk ekspresi ekslusi social, yakni suatu proses dimana seseorang atau kelompok tertentu tersingkir dari sistem sosial kemasyarakatan.41 c. Masalah yang di hadapi Gepeng

Keberadaan gelandangan dan pengemis sebagai sub-group dalam sistem masyarakat urban merupakan fenomena kompleks yang tidak mudah untuk didefinisikan. Pola hidup menggelandang (being homeless) sendiri tidak bisa secara simplistik didefiniskan sebagai bentuk ketiadaan tempat tinggal (houseless) atau ketidakmampuan seseorang menyewa atau membeli tempat tinggal yang layak. Antara kedua terminologi tersebut, homeless dan houseless, terdapat perbedaan yang cukup mendasar.

Istilah ‗home‘ dari terminologi ‗homeless‘ sendiri mencakup aspek yang sangat luas, termasuk di dalamnya faktor kenyamanan, kepemilikan properti, identitas, keamanan dan lain sebagainya. Istilah gelandangan, dengan merujuk pada terminologi homeless tersebut, mengandung arti lebih dari sekedar tidak memiliki tempat tinggal namun merujuk pada suatu permasalahan sosial yang terkait keberadaan komunitas marginal yang merupakan kelas baru dalam sistem social khususnya di wilayah urban dengan segala kompleksitas masalahnya. Dalam hal ini, istilah gelandangan juga dipakai untuk merujuk beberapa persoalan yang hadapi seseorang terkait pola

41Minnery, J.. Approaches to Homelessness Policy in Europe, the United States, and Australia. Journal of Social Issues,, 63(3), (2007), hlm. 641-655.

(43)

hubungan seseorang dengan keluarga, teman dan kerabat, serta hubungan mereka dengan lingkungan masyarakat. Ada faktor lain yang terkait dengan persoalan gelandangan di luar masalah kemiskinan dan ketiadaan tempat tinggal, seperti masalah kekerasan, diskriminasi, kebebasan berekspresi dan lain sebagainya.42

Dalam perkembangan diskursus kontemporer, persoalan gelandangan dan pengemis tidak semata-mata dikaitkan dengan isu-isu kemiskinan, namun lebih dilihat sebagai komponen atau bentuk ekspresi ekslusi sosial, yakni suatu proses dimana seseorang atau kelompok tertentu tersingkir dari sistem social kemasyarakatan.43

Penggunaan terminologi gelandangan, dalam hal ini, menjadi tidak semata-mata terkait persoalan semantik atau pilihan terminologi yang tepat, namun lebih merupakan keberpihakan secara politis terhadap kelompok marginal terkait sikap dan tindakan yang semestinya dilakukan untuk menjawab persoalan komunitas ini.44 Dalam kaitannya dengan hal ini, gelandangan tidak hanya dilihat dari dimensi ekonomi saja atau dengan pemahaman simplistik bahwa orang hidup menggelandang karena tidak bisa menyewa atau membeli rumah. Dalam hal ini ada dimensi-dimensi lain yang terkait persoalan gelandangan ini, seperti dimensi sosial dan dimensi politik.

42Tim Dinas Sosial DIY, ‗Naskah Akademik Peraturan Dearah Tentang Gelandangan dan Pengemis‘, (Yogyakarta: Dinas Sosial DIY Bidang Rehabilitasi Sosial, 2014), hlm. 61.

43J. Minnery, ―Approaches to Homelessness Policy in Europe, the United States, and Australia‖, Journal of Social Issues, (2007) 63 (3), hlm. 641-642.

44Ibid., hlm. 650.

(44)

Persoalan gelandangan muncul sebagai akibat dari tidak berfungsinya jaring pengaman sosial (social safety net), di mana orang yang memiliki permasalahan atau kesulitan hidup tidak lagi bisa mengandalkan dukungan dari sistem keluarga, kerabat, tetangga atau lingkungan sosialnya. Dari dimensi politik, fenomena gelandangan merupakan ekspresi kritis atas kegagalan pemerintah dalam menegakkan sistem keadilan sosial terutama bagi kelompok marginal.45

3. Tinjauan Tentang Self-Determination a. Pengertian Self-Determination

Self-determination (deteminasi diri) adalah keyakinan seseorang bahwa orang tersebut mempunyai kebebasan atau otonomi dan kendali tentang bagaimana mengerjakan pekerjaannya sendiri.46Self-determination berkaitan dengan kontrol atas cara kerja yang dilakukan oleh Gepeng. Self-determination adalah perasaan individu yang berkaitan dengan bagaimana seseorang memulai dan mengatur suatu tindakan.47Self-determination merefleksikan otonomi dalam mengawali dan melaksanakan perilaku dan proses kerja,

45Habitat, Strategies to Combat Homelessness: United Nations Centre for Human Settlements, 2000), hlm. 105.

46Spreitzer, G.M. (1997). Toward a common ground in defining empowerment. Research in Organizational Change and Development, 10, hlm. 31-62.

47Deci, E. L., Connell, J. P., & Ryan, R. M. (1989). Self-determination in a work organization. Journal of Applied Psychology, 74, hlm. 580-590.

(45)

misalnya mengenai pembuatan keputusan tentang metode kerja, kecepatan dan usaha yang dilaksanakan.48

Ryan dan Deci dalam Spreitzer menyatakan bahwa self- determination berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar terhadap autonomy, competence dan relatedness. Self-determination mempresentasikan tingkatan di mana seseorang merasakan tanggung jawab yang timbal balik untuk tindakan-tindakan yang berhubungan dengan pekerjaan, pada perasaan memiliki pilihan dalam memulai dan mengatur perilaku.49 Karyawan yang merasa memiliki self- determination tinggi dapat memilih metode terbaik untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam pekerjaannya.

Selain itu, Self-determination memiliki dinamika organisasi psikofisik fungsional manusia yang menjelma dalam pola-pola tingkah laku spesifik dalam menghadapi medan hidupnya. Secara sederhana, manifestasi kepribadian adalah seluruh tingkah laku manusia itu sendiri. Karena setiap orang (individu) mempunyai keunikan fungsional sistem organisasi psikofisifknya dalam lingkungan hidup, dalam arti berinteraksi dengan dan dalam lingkungannya, maka tiap individu mempunyai kepribadian sendiri-

48Spreitzer, G. M. (1995). Psychological empowerment in the workplace: Dimensions, measurement, and validation. Academy of Management Journal, 38(5), hlm. 1442-1466.

49Spreitzer, G.M. (1996). "Social structural characteristics of psychological empowerment." Academy of Management Journal 39(2): pp. 483-504.

(46)

sendiri.50 Maka dari itu, self-determination merupakan proses upaya diri seseorang untuk meningkatkan kemampuan dengan percaya diri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

b. Faktor-Faktor yang Mempengeruhi Terbentuknya Self- Determination

Secara khusus faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya self-determination ada dua yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.

Pertama, faktor genetik mempunyai peranan penting dalam menentukan kepribadian khususnya yang tertarik dengan aspek yang unik dari individu. Pendekatan ini berargumen bahwa keturunan memainkan suatu bagian yang penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Kedua, faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang membentuk seseorang sama dengan orang lain karena berbagai pengalaman yang dialaminya. Faktor lingkungan terdiri dari faktor budaya, kelas sosial, keluarga, teman sebaya, dan stuasi.51

Di antara faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap seseorang adalah pengalaman individu sebagai hasil dari budaya tertentu. Masing-masing budaya mempunyai aturan dan pola sanksi sendiri dari perilaku yang dipelajari, ritual dan kepercayaan. Hal ini berarti masing-masing anggota dari suatu budaya akan mempunyai karakteristik kepribadian tertentu yang umum. Fakor

50Ki Fudyartanta, Psikologi Kepribadian, Paradigma Filosofis, Psikodinamik, dan Organismik-Holistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 41.

51Jess Feist dan Gregory J. Feist, Teori Kepribadian Theories of Personality,...hlm. 211.

(47)

lain yaitu kelas sosial membantu menentukan status individu, peran yang mereka mainkan, tugas yang diemban dan hak istimewa yang dimiliki. Salah satu faktor lingkungan yang paling penting adalah pengaruh keluarga. Tuntutan yang berbeda dari situasi yang berlainan memunculkan aspek-aspek yang berlainan dari kepribadian seseorang.52

Faktor keluarga, selft-determination akan muncul ketika keterasingan dalam diri individu karena konflik keluarga, merasa tidak dihargai, maupun tidak diakui sebagai salah satu anggota keluarga dari mereka.53 Kondisi ini cenderung membuat orang terasing dan terkucilkan, tetapi akibatnya bisa jadi menjadi motivasi tersendiri bagi individu karena ada tekanan dalam diri pribadi.54 c. Karakteristik Individu yang Memiliki Self-Determination

Salah satu karakteristik individu yang mampu menerapkan konsep Self-Determination adalah dengan mengaktualisasikan diri mereka ke dalam hal-hal yang positif. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki motivasi kuat yang cenderung di pandang sebagai suatu keadaan puncak atau keadaan akhir, suatu tujuan jangka panjang, bukan sebagai suatu proses dinamis yang terus aktif sepanjang hidup. Karena orang-orang yang ‗termotivasi‘ demikian ini

52Sri Lestari, Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 41-47.

53Ibid., hlm. 102-103.

54Sondang P. Siagian, Teori Motivasi dan Aplikasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 93.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan atas pemahaman diatas , keluarga yang harmonis ialah dibangun atas hubungan cinta diantara individu yang ada, kemudian saling memahami secara

Dalam Peraturan Rektor tentang Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bagi Mahasiswa Program Kependidikan Universitas Negeri Semarang, pasal 1, yang

a) Faktor 1 dinamakan “Kualitas Kepemimpinan” karena variabel yang mewakili faktor ini dapat memperlihatkan kualitas kepemimpinan dalam hal keteladanan, balas jasa,

Karena kalau Anda tidak bisa membedakan yang mana itu yang masuk sebagai kebutuhan dan yang mana yang sebenarnya masuk sebagai keinginan, bisa-bisa Anda menjadi orang yang boros..

Sehubungan dengan pelelangan paket tersebut diatas dan berdasarkan hasil evaluasi Pokja Pekerjaan Konstruksi terhadap penawaran perusahaan Saudara, diharapkan kehadirannya pada

Setelah rancangan campuran mortar didapatkan, selanjutnya dilakukan percobaan terhadap rancangan (trial mix design) agar diketahui kelayakan benda uji dari sebuah

Sebuah persentasi pengetahuan eksternal yang informal disertai dengan interpretasi yang dapat secara langsung membangun working (tacit) knowledge meskipun penggunaan