• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF INSIDER DAN OUTSIDER DALAM STUDI AGAMA DAN STUDI ISLAM (Telaah Pemikiran Kim Knott) Ahmad Suyuthi 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERSPEKTIF INSIDER DAN OUTSIDER DALAM STUDI AGAMA DAN STUDI ISLAM (Telaah Pemikiran Kim Knott) Ahmad Suyuthi 1"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

PERSPEKTIF INSIDER DAN OUTSIDER DALAM STUDI AGAMA DAN STUDI ISLAM (Telaah Pemikiran Kim Knott)

Ahmad Suyuthi1

Abstract: There are two issues into academic anxiety Kim Knott in the approach to religious studies. First, how difficult it is to make a clear demarcation line between the religion and who do not. Secondly, there is a very complicated issue when there is an understanding of religion, between it as a tradition (tradition) and the belief (faith).

Kim Knott gave a new offer, because some universities (both in West and East) still have a number of issues surrounding Islam by using a scientific approach. In addition, the occurrence of stagnation metadologis and approaches among academicians and practitioners when studying religious studies. On the one hand, they are required in order to understand religion in academic orientation, and on the other hand, they must preserve the value of religious transdensi. Kim Knott in this study makes two formulations of the approach in the study of religion, that is emic approach that emerged from the study of the (insider) and ethics that emerge from outsiders (outsider). Furthermore Kim Knott insider and outsider researchers divide into four groups: (1) Complete participant, (2) complete observer. (3) Observer as participant, (4) Participant as Observer.

Keywords: Insider and Outsider

Pendahuluan

Islamic studies atau pengkajian Islam adalah sebuah disiplin yang sangat tua seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Dalam cacatan Qadry Azizy, pengkajian Islam dalam sejarah panjangnya mewujud dalam berbagai tipe dan menyediakan lahan yang sangat kaya bagi kegelisahan akademik dari kalangan insider maupun outsider. Jika outsider terwadahi dalam bentuk oreintalisme atau Islamologi, maka kajian insider memunculkan ngaji yang berorientasi pengamalan, apologis yang memberi couter terhadap orientalisme, Islamisasi ilmu yang berupaya memberikan landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu sekuler atau studi Islam klasik yang bersifat kritis namun masih berorientasi pada pengamalan.2

Islamic studies harus bersikap dan menghadapi pilihan, apakah mempertahankan pandangan single entity yang berarti pengertian yang tunggal yang berdiri secara angkuh sehingga merasa tidak memerlukan bantuan metodologi lain, isolated entity yang berdiri sendiri secara terpisah dan menarik diri dari kerjasama dengan pengetahuan lain atau interconected entity yang memberi ruang bagi tegur sapa dalam bentuk pemanfaatan pendekatan atau metode dalam pengetahuan lain.3

Masih sering muncul pernyataan bahwa kajian Islam (Islamic Studies), sebagai bagian dari orientalisme. Padahal, sebagai bidang kajian dan penelitian ilmiah, Islamic Studies bekerja dengan data yang mengandung makna-makna keagamaan dalam masyarakat atau komunitas, kelompok atau individu muslim. Karena itu, ia menggunakan bantuan metodologis dari sudut pandang religionswisenschaft yang mengharuskan para pengkaji

1 Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Dpk pada Universitas Islam Lamongan.

2 A. Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Depag RI, 2003), 31-37

3 Amin Abdullah, Desain Pengembangan Akademik IAIN menjadi UIN: dari Pendekatan Dikotomis- Atomistik ke Arah Integratif-Interkonektif, dalam Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (sebuah Antologi), (Yogyakarta: Suka Press, 2007), 37-38

(2)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

untuk memperhatikan secara penuh apa yang dimaksud dengan beragama dan agama dalam masyarakat Muslim.4

Dalam diskursus keagamaan kontemporer dinyatakan, bahwa “agama” ternyata mempunyai banyak wajah (multiface) dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi belaka.5

Terdapat dua persoalan yang menjadi kegelisahan akademik Kim Knott, berdasar pada persoalan di atas sehingga ia membuat pemetaan pendekatan studi agama. Pertama, betapa sulitnya membuat garis demarkasi yang jelas antara wilayah agama dan yang tidak.

Kedua, adanya persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama, antara ia sebagai tradisi (tradition) dan sebagai keimanan (faith).

Kim Knott memberi tawaran baru, karena beberapa universitas (baik di Barat maupun di Timur) masih menyimpan sejumlah masalah seputar Islam dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Selain itu, terjadinya stagnasi metadologis dan pendekatan di kalangan akademisi maupun praktisi ketika mempelajari studi agama. Di satu pihak, mereka dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, dan di pihak lain, mereka harus menjaga nilai transdensi agama.

Knott telah menelaah sejumlah karya peneliti sebelumnya, diantaranya Kristensen, Van der Leeuw, Rudolf Oto, Mircea Eliade, Wilfred C. Smith, Cornelius Teile, Kenneth Pike, Ninian Smart dan lainnya. Dari karya-karya itu, Knott membuat pemetaan terhadap pendekatan studi agama. Konstribusi akademi dari penelitian Knott ini, memiliki nilai kegunaan yang signifikan dalam memecahkan problem studi agama di institusi akademik (universitas), terutama dalam hal pendekatan dan metodologi yang akan dipakai. Selain itu, membantu mereka untuk memahami agama, baik dalam konteks historis-empiris maupun normatif-teologis.

Knott membuat dua formulasi pendekatan dalam studi agama, yaitu pendekatan emik dan etik.6 Meski demikian, pembacaan yang ditawarkan oleh Knott tersebut tetap saja memantik respon yang beragam, apalagi kajian religious studies ini bersifat multi-tafsir dan debatable.

Perspektif Insider dan Outsider dalam Studi Agama

4 M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Richard Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (terj.) Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2001), iii-ix.

5 M. Amin Abdullah, Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 1. Lihat juga M.

Amin Abdullah, Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milenium ketiga, dalam Amin Abdullah dkk, Mencari Islam (Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 12.

6 Emik merupakan deskripsi tentang perilaku atau keyakinan, sedangkan etik adalah gambaran tentang perilaku atau kepercayaan pengamat, dalam istilah yang dapat diterapkan pada kebudayaan lain, yaitu sebuah ikon etik yang merupakan wujud dari ‘budaya luar’. Istilah emik-etik ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1954 oleh ahli bahasa Kenneth L. Pike, yang berpendapat bahwa alat yang dikembangkan untuk menggambarkan perilaku linguistik dapat disesuaikan dengan uraian tentang perilaku sosial manusia. Emik dan etik berasal dari istilah linguistik fenomik dan fonetik, yang pada gilirannya berasal dari bahasa Yunani. Pike mengusulkan dikotomi emik-etik dalam antropologi sebagai cara mengurai seputar isu-isu filosofis objektivitas. Lihat Kenneth L.Pike, Etic and Emic Standpoins for the Description of Behavior, dalam Russel T.McCutcheon, The Insider- Outsider Problem in the Study of Relegion, (London: Cassel, 1999), 29. Namun demikian, secara umum beberapa peneliti menggunakan “etik” untuk merujuk pada tataran objektif atau luar, dan “emik”

untuk merujuk pada tataran subjektif, dari dalam komunikasi keberagamaan.

(3)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

Kim Knott menyatakan, bahwa pengalaman keagamaan yang ada dalam diri insider ditampilkan kemudian direspon oleh outsider, dengan mempertimbangkan batas-batas objektivitas dan subjektivitas, yang terpancar dalam pengalaman keagamaan, yang didasari oleh sikap empati dan analisis kritis. Pada titik ini, insider-outsider saling berbagi keseimbangan perspektif dalam sejarah studi agama.

Darshan Singh menegaskan bahwa upaya peneliti Barat untuk menafsirkan dan memahamai agama sebagai outsider, memandang bahwa konsep dan ajaran agama tidak mudah diakses oleh orang luar atau non-pemeluknya. Maka substansi dari agama terungkap hanya melalui partisipasi secara intensif, dengan mengikuti ajaran pengamalan keagamannya.

Max Muller mempertegas bahwa, sebagai objek studi, agama harus ditampilkan secara proporsional, meski ia juga harus dikritisi. Dua puluh tahun kemudian, Cornelius Tiele menekankan kepada para ilmuwan untuk melakukan penelitian dengan mengedepankan objektivitas tanpa menjadi skeptis, melalui studi dan investigasi yang tidak memihak.7 Ia juga membedakan antara subjektivitas keagamaan pribadi individu dan objektivitas cara pandang terhadap agama orang lain.

Pelbagai isu seputar studi agama diberi penguatan metodologis, terutama yang berkaitan dengan fenomologi agama, sebagaimana yang dilakukan oleh Kritensen, Van der Leeuw dan Rudolf Otto di Jerman, kemudian Mircea Eliade dan Wilfred Cantwell Smith di Amerika serta Ninian Smart di Inggris. Mereka menyatakan, bahwa semua agama sebagai fenomena yang unik yang dapat dilihat dari pelbagai sisi (multi faces), otonom dan tak ada bandingnya, namun mampu memberikan pemahaman secara empatik. Tujuan yang mendasari pendekatan fenomenologis adalah untuk mengerti dengan penuh empati berdasarkan pada pengalaman insider, disamping itu kemampuan menahan diri dari penilaian negatif prejudice yang muncul dari outsider.8

Dua pendekatan yang berbeda untuk mempelajari agama-agama telah muncul di Barat dalam beberapa dekade terakhir. Salah satunya adalah seculer dan scientific. Pendekatan kedua refleksivitas. ini mengambil sikap refleksif yang mensyaratkan bahwa, sebagai ilmuwan, mereka meneliti dan menulis secara sadar dari dalam konteks mereka dan dari sudut pandang apakah sebagai insider atau outsider. 9

McCutcheon mencoba memberi penguatan guna mengkategorisasikan tanggapan insider ke outsider dalam tiga dimensi; (i) otonomi pengalaman religius, yang terkait dengan pendekatan fenomenologi, (ii) reduksionisme, yang dicontohkan oleh komunitas akademisi yang mengambil suatu sikap ilmiah, (iii) netralitas dan metode agnostisisme, seperti yang diadopsi oleh Ninian Smart yang mengandalkan ikon outsider dengan mengidentifikasi kebenaran dari perspektif orang lain. Pendekatan yang ditawarkannya ini, menyiratkan pergeseran dari ranah teologi ke filsafat.

Dalam wilayah studi agama, usaha yang ditempuh pendekatan sosial ialah memahami agama secara objektif dan signifikansinya dalam kehidupan masyarakat. Tujuan dari pendekatan ini guna menemukan aspek empirik sebagaimana berdasarkan keyakinan, bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu, akan membawa seseorang kepada agama yang lebih sesuai dengan realitasnya. Dan itu menurut Knott, sebagaimana dikutip dari Charles J. Adams, diperlukan pendekatan fenomenologi,10 yakni metode untuk

7 Nourouzzaman Shidiqi, Sejarah Pisau Bedah Ilmu Keislaman, dalam Taufiq Abdullah (ed), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1991), 58.

8 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives, dalam The Routledge Companion to the Study of Relegion, Edited by John R. Hinnells (London: Routledge Taylor and Fancis Group, 2005), 244-245

9 Ibid, 245.

10 Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 12.

(4)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

memahami agama seseorang dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara netral sebagai persiapan untuk melakukan rekontruksi pengalaman orang lain. Selain itu, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasikan fenomena dihadapkan dengan batas-batas budaya dan pengalaman keagamaan. Secara umum pendekatan ini hanya menangkap isi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan manusia, tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.

Setidaknya ada 3 (tiga) bentuk tren dalam studi agama mulai yang bersifat fideistic subjectivism, scientific objectivism atau intersubjective. Agenda baru bagi studi agama adalah dapat menggeser studi agama yang terkungkung dalam fideistic subjectivism melewati scientific objectivism menuju intersubjective. Jika fideistic subjectivism masih bersifat teologi- normatif-dogmatis sehingga memutlakan kenyakinan sendiri dan tidak membuka ruang bagi dialog, sementara scientific objectivism lebih bersifat deskriptif-empiris namun masih bersifat reduksionis, maka agenda berikutnya adalah studi agama dengan warna intersubjective. Intersubjective akan mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang agama melalui pembedaan atas pola umum (common pattern) serta pola unik (unique pattern) serta penghargaan atas persamaan adanya seuatu yang esensial disetiap agama yaitu interaksi terhadap realitas mutlak yang dinyakini kebenarannya. (non-fasiable alternate realitis).11

Penelitian Perspektif Insider dan outsider

Kim Knott membagi konsepsi peran pengembangan interkoneksi sosial keagamaan dalam empat pola seorang peneliti yaitu; 1) Compate participant (partisipan murni), 2) Complate obderver (peneliti murni). 3) Observer as participant (peneliti sebagai partisipan), 4) Participant as Observer (partisipan sebagai peneliti).12

OUTSIDER INSIDER

complete Observer-as- Participant- complete observer---participat---as-observer---participant

Knott mengutip pendapat sosiolog Junker dan Raymond l Gold, dengan landasan perspektif insider dan outsider, diplot dalam sebuah kontinum sebagai berikut : jika dibuat diagram untuk menggambarkan peran mereka yang terlibat dalam penelitian keagamaan, maka akan dapat dilihat sejumlah hasil yang mungkin timbul, diantaranya adalah kutub berlawananan yang diikuti oleh dua posisi di pertengahan, di salah satu sisinya ia terlibat dalam kegiatan keagamaan sebagai partisipan dan sisi lainnya ia mampu berinteraksi dengan penganut agama lain. Meski terkadang memunculkan sikap kritis, namun tak jarang masih terkooptasi oleh posisi insidernya.

a. Complate Partisipant

Fatimah Mernisi adalah gambaran sosok partisipan murni, terutama gagasannya ketika menulis An Historical and Theological Enquiry (1991) tentang perempuan dalam Islam. Sebagai seorang sosiolog feminis muslim, ia hampir tidak punya pilihan yang jelas.

Mernissi sendiri mengutip sebuah kasus di mana ia dikecam oleh editor jurnal Islam, sebagai pendusta dan sosok yang tidak merepresentasikan tradisi Islam. Dia tentu bukan pemimpin Islam ataupun seorang teolog yang mempunyai otoritas, tetapi sebagai salah satu penulis muslim yang bermaksud mendeskripsikan esensi ajaran Islam, dengan mengeksplorasi khazanah keislaman untuk memahami hak-hak perempuan.13

11 Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi..., 38

12 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives..., 246.

13 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives..., 247-248

(5)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

Mernissi adalah prototipe sebuah emik, meski dinilai oleh banyak kalangan sebagai sosok yang kurang kritis. Jangankan menggunakan parameter pendekatan studi agama atau sosiologi, ia hanya menggunakan pengalaman pribadi dengan bahasa Islam, khususnya sentralitas konsep jilbab untuk memahami kebudayaan Islam yang ekslusif dan menyoroti posisi wanita dalam kunkungan tradisi domestik. Walaupun bukunya tidak diarahkan secara eksplisit untuk komunitas non-Muslim, Mernisi jelas menyadari adanya kritik Barat yang dominan, dan cenderung melihat Islam sebagai tidak demokratis dan menindas perempuan.

b. Complate Observer

Dari tataran emik yang berlandaskan konsep pengalaman dekat menuju tataran etik, dimana bahasa ilmu sosial digunakan untuk menjelaskan aspek psikologis dan perilaku keyakinan agama. Pada saat mereka melakukan studi agama, maka yang dimunculkan adalah prinsip-prinsip kunci penelitian ilmiah sosial; objektivitas, netralitas, dan mutual konsultasi untuk membuktikan kebenaran hasil dari generalisasi mereka.

Banyak sosilog dan psikolog yang menggunakan pendekatan kuantitatif, misalnya, dengan mengembangkan dan mengelola sebuah kuesioner. Fetinger memutuskan bahwa pendekatan semacam itu tidak dapat digunakan untuk mengkaji keberagamaan seseorang.14

Pada kenyatannya, apa yang mereka lakukan adalah menunggu tanda-tanda dari kegiatan kelompok keberagamaan, dan kemudian mengamati perilaku komunitasnya dari dalam. Mereka mengadopsi peran insider, untuk observasi sebagai pencari realitas tak langsung, sehingga akan didapat hasil yang lebih akurat. Dengan demikian, mereka menyadari adanya kebutuhan untuk memenuhi kondisi sosial, meskipun mereka menemukan diri mereka berangkat dari ortodoksi ilmu sosial dalam beberapa hal, khususnya ketika tidak mampu tampil sebagai subjek anggota kelompok dengan menggunakan alat ukur yang standar.

Penggunaan beberapa istilah internal, semisal persoalan yang bersifat rahasia, stigmatisasi, anasir detektif peneliti, justru mempertajam distingsi antara pengamat outsider (dalam kontrol, tak terlihat, menyelidiki), dan insider sebagai objek yang diamati (pasif, sangat terlihat, terkena penyelidikan secara rinci). Hal ini, akan menaikkan suhu pembeda dan isu superioritas dalam penelitian ilmiah dan presentasi komunitas suatu agama. Dapat dikatakan, kasus ini gagal untuk melakukan penelitian secara berimbang dan objektif, karena peran peneliti dan tuntutan penelitian yang diperlukan untuk mengkompromikan posisi mereka sebagai outsider demikian kuat. Meski, terbukti betapa sulitnya bagi peneliti untuk tidak terlibat dan tidak memihak ketika melakukan penelitian pada subjek agama apapun.15

c. Observer as Participant

Sejak awal, Eileen Barker menolak melakukan penelitian tentang gereja Unifikasi baik secara praktis maupun etis, disebabkan dia bukan seorang Moonie (non sektarian).

Dan tidak mau berpura-pura sebagai penganut salah satu sekte. Menurutnya, dalam menyelidiki Moonies, ia harus mengidentifikasi, membaur dan masuk menjadi penganut Moonie.

Dan untuk kontekstualisasi ilmu-ilmu sosial, ia memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan empati yang sering dipakai oleh peneliti fenomenologi agama sebelumnya semacam Kristensen, van er Leeuw dan Ninian Smart. Bahkan, Smart menggunakan metode agnostisisme, yang mengisyaratkan perlunya netralitas dan keluar dari truth claim dalam penelitian agama. Metode tersebut diidentifikasi oleh Smart dan dilanjutkan oleh

14 Kim Knott, The Routledge Companion to the Study of Relegion, Edited by John R. Hinnells (London:

Routledge Taylor and Fancis Group, 2005), 249

15 Ibid, 250

(6)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

Barker ini mendominasi studi agama pada era 1970-an dan 1980-an. Menurutnya, cara tersebut untuk mendekatkan adanya gap dikotomi antara insder dan outsider, menjadi dua sisi yang integral dalam perspektif sehingga menjadi netral. Netralisasi yang diinginkan, dalam arti tidak mudah terkooptasi untuk mendukung kepentingan tertentu yang bersifat empiris pragmatis.16

Senada dengan Smart, Cornelius Tiele memberikan polarisasi, meski masih rancu dan cenderung debatable dalam Elements of the Science of Religion (1897). Ia membedakan antara privatereligious subjectivity of individual (keberagaman individu yang subjektif) dengan outward impartiality as a scholar of religion (peneliti kajian agama yang netral), sebagai instrumen mendasar untuk studi agama menuju pada hasil yang objektif. Meski dua tipologi itu memberi penegasan karakter, namun justifikasi dari keduanya yang masih memicu kontroversi, seakan ia telah menjustifikasikan bahwa insider cenderung melihat persoalan keberagaman secara subjektif, sedangkan peneliti outsider memandangnya secara objektif impartial.

d. Participant as Observer

Knott memberi ilustrasi, bagaimana seorang peneliti yang mencoba membedakan antara proses kompartementalisasi dan elaborasi nilai. Adalah seorang Sammuel Hielman yang merasa tidak dapat mengatasi jarak; tidak dapat melarikan diri dari penghalang biografi, yang tercermin dalam penggunaan pengalamannya baik yang dekat maupun yang jauh. Ia juga tidak dapat menghindar untuk menggunakan isilah Ibrani, tetapi dia juga sering menggunakan bahasa studi agama dan ilmu-ilmu sosial guna menggeser perspektifnya. Berulang kali, ia menggunakan istilah-istilah seperti tradisi, budaya, liturgi dan teks suci, dari pada istilah dari Yunani Ortodoks.17

Pengalaman keberagamaan Heilman memang subjektif. Namun, melampaui deskripsi pengalaman partisipan yang menggambarkan perannya sebagai sosiolog modernis Yahudi Ortodoks. Dia menyarankan bahwa proses observasi orang lain dan diri sendiri mampu membuat pemisahan. Ia juga berulang kali mencoba mengurai adanya perbatasan, hambatan, sekat-sekat primordial yang menjadi persoalan krusial dalam dirinya. Dan itu bisa dibaca dalam otobiografinya, The Gate Behind the Wall.

Dalam buku tersebut, ia menggambarkan kondisi dirinya sebagai seorang yang menghadapi ambiguitas dalam keberagamaan, yang harus tereloborasi dari integeritas dalam satu entitas yang sama, sehingga ia sulit untuk keluar dari tarikan kooptasi kedua sisi tersebut. Heilman menegaskan, bahwa ia telah berulang kali berusaha menutup batas antara dua dunia tersebut dan menemukan cara untuk membuat dirinya utuh dan terbatas dari religious split personality.

Ia meneliti keberagaman masyarakatnya di dalam bidang sinagog. Namun, ia tetap berambisi untuk terlibat dalam lernen istilah Yiddish untuk praktik Ortodoks Yahudi yang menafsirkan teks suci. Dari posisinya sebagai peneliti ini ia menggunakan metode spasial dengan memasuki wilayah tradisi keagamaan esoteris. Itu sebabnya, mengapa ia sering menggunakan istilah-istilah non Yahudi

Heilman menulis tentang ketegangan yang belum terselesaikan antara dua dunianya baik sebagai seorang Yahudi dan kapasitasnya sebagai sosiolog peneliti.

Sedangkan Pearson menegsakan bahwa, apapun kesulitannya, kedua posisi tersebut, harus disikapi secara reflektif rasional.18 Collins juga menekankan, bahwa perbedaan antara insider dan outsider menjadi tidak relevan ketika kita mengakui bahwa semua orang yang berpartisipasi, apakah beriman atau tidak, memberikan kontribusi pada

16 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives..., 251

17 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives..., 252-353

18 Robbert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Terj. Agus M. Hardjana, (Yogyakarta:

Kanisius, 1994)

(7)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

pembangunan kemitraan secara sama. Sedangkan adanya dikotomi antara insider dan outsider merupakan konsekuensi yang tidak kondusif untuk berpikir progresif.

Pandangan ini serupa dengan diungkapkan oleh Mandair.19

Mandair sendiri tidak sekedar mendiskripsikan, namun mengurai persoalan krusial ini berdasarkan pada klausa kasuistik. Dalam penjelasannya, seorang peneliti perlu mengusung jargon netralitas, imparsialitas, objektivitas, dan reduksionisme. Menurutnya, baik insider ataupun outsider dalam melakukan kajian ilmiah selalu mengartikulasikan posisi mereka dalam istilah-istilah tersebut.

Baik Collins dan Mandair, keduanya mengundang kita untuk menggunakan pendekatan negosiatif, dengan sedikit penekanan yang berbeda. Collins menawarkan modernis dengan meninggalkan pandangan dikotomis insider-outsider untuk meraih hasil yang lebih dinamis, di mana setiap orang adalah partisipan aktif dalam merumuskan narasi tentang agama. Mandair lebih menikmati studi agama tentang bentuk penemuan diri. Pada umumnya, memang ilmuwan menyoroti persoalan subyektifitas dan objektivitas, perspektif emik dan etik, serta implikasi epistemologis dan metodologis tentang studi agama. Mereka mencoba mengkomparasikan antara iman dan dunia, sakral dan profan, faith dan tradition atau antara trancsendentally oriented dan historical aspect, antara teologi dan studi agama.20

Banyak kiat dan pelbagai upaya untuk merekonstruksi arah religious studis.

Pendekatan fenomenologis misalnya, ternyata masih belum mampu menemukan hakikat keberagamaan manusia yang sesungguhnya, sehingga perlu ditindaklanjuti melalui pendekatan alternatif filosofis kritis terhadap realitas keberagamaan yang berpijak pada aspek historis kultural secara menyeluruh.

Sebagai perbandingan: Perspektif Fazlur Rahman dan Muhammad Abdul-Rauf

Persoalan yang sangat krusial yang dilematis dalam studi agama, adalah bagaimana seorang peneliti mampu menjaga objektivitas dan netralitas dalam melakukan kajian agama, baik sebagai insider maupun outsider.

Sebagaimana dapat disimak dalam pandangan Muhammad Abdul Rauf, bahwa cara pandang subjektif sering membawa seseorang untuk memilih cara beragama dengan truth- claim, sebagi konsekuensi adanya keimanan. Muhammad Abdul Rauf mencoba untuk mengelaborasi batasan outsider dalam bingkai metodologi kritisme objektif.21 Dalam konteks Islam, kajian outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam. Insider adalah para pengkaji Islam dari kalangan muslim. Sementara outsider adalah sebutan untuk pengkaji non-Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya dalam pelbagi analisis dan pembacaan dengan metologi tertentu.

Bahkan, ia menegaskan, bahwa term outsider tak hanya sebatas orang luar, namun termasuk insider yang melakukan kontrol sosial atau otokritik terhadap agamanya (ijtihadi-naqdi).

Yang menjadi persoalan adalah apakah para pengkaji Islam dari outsider benar-benar objektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik insider?. Jika mereka mengkaji Islam atas dorongan kepentingan kolonial guna melestarikan hegemoni politik dan ekonomi atas daerah takluknya, ia menolak hasil kajian outsider. Itu sebabnya Rauf menegaskan, bahwa studi Islam dalam optik outsider sering bias, dan dipenuhi oleh pelbagai motif dan kepentingan. Bahkan, ia mengingatkan, dalam membaca karya para outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hati-hati. Apalagi

19 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives..., 253-254

20 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives..., 255

21 Muhammad Abdul Rauf, Outsiders Interpretation of Islam, dalam Aprroaches to Islam in Religious Studies, edited by Richad C.Martin, (Oxford: Onerworld Publications, 2001), 185.

(8)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat memahaminya diperlukan keyakinan, karena hal ini tidak dimiliki oleh para outsider.22

Fazlur Rahman menganalisis beberapa isu yang dikemukakan Abdul-Rauf dan lainnya, khususnya batasan-batasan yang muncul ketika dikotomi insider/outsider terbuka. Rahman berpendapat bahwa laporan outsider tentang pernyataan insider mengenai pengalaman agamanya sendiri sebenar laporan insider sendiri. Apakah pendekatan Rahman itu dapat diterapkan atau tidak pada problem penafsiran terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan insider masih perlu diuji.

Fazlur Rahman mengemukakan keberatannya terhadap orientalis (outsider), dengan mengajukan telaah atas motif di balik metodologi yang digunakan oleh beberapa outsider.

Menurutnya ada beberapa outsider yang mempunyai motif tertentu dengan mengatas-namakan pandangannya pada metodologi keilmuwan. Fazlur Rahman mencontohkan analisis literal (analisis santra) oleh Wansbrough. Waansbrough mendapatkan kritik pedas dari Fazlur Rahman bukan karena temuannya bertentangan secara diametral dengan kepercayaan kaum muslimin, namun juga digugat dari basis filosofisnya. bagi Rahman Wansbrough gagal memahami repetisi dalam al Qur’an. Wansbrough dinilai kurang memiliki data historis tentang asal-usul, sifat, evaluasi dan personalities dalam apa yang disebut tradisi-tradisi23. Andrew Rippin seorang pengikut Wansbrough mendukung pendapatnya (tesisnya Wansbrough), dengan penjelasannya bahwa, metode historis tidak dapat berlaku untuk Islam, karena Islam bukanlah agama historis.

Eksistensi Islam tidak didukung oleh fakta-fakta arkiologis, maupun bukti-bukti ektra-literer.19 Pendapat sarjana (outsider) lain yang patut untuk kita perhatikan dalam studi Islam adalah pendapatnya WC. Smith, seorang ahli sejarah agama-agama dengan spesialis sejarah Islam.

Smith mengatakan bahwa, sebuah studi mengenai pihak lain, baru dapat dianggap valid atau memadai, jika pihak lain yang dikaji itu menyatakan “ya” atas kajian kita. Ungkapan yang simpatik dari outsider, meski tetap perlu dikritisi.

Karel A. Steenbrink memberikan pandangannya terhadap studi Islam, jauh lebih toleran dengan ungkapannya; “syarat pertama dalam pergaulan antar agama, (the first rule) adalah keseimbangan dalam penghargaan. Jangan kita mengukur diri sendiri dengan cita-cita mulia dan ide-ide indah saja, sedangkan pihak lain diukur dengan yang penuh kelemahan manusiawi”.21

Sejatinya, kajian Islam dari para outsider memberi kontribusi gagasan-gagasan besar ilmiah yang memicu gerakan intelektual dalam peradaban Islam. Lahirnya daya kritis Islam terkadang lahir berkat kajian-kajian para outsider. dengan cara berfikir kritis, intelektual Muslim mengetahui problem yang sedang dihadapi, sembari mengusulkan pelbagi pemecahan yang harus segera dilakukan.

Penutup

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kim Knott memberi tawaran baru dalam studi agama, karena banyaknya universitas baik di Barat maupun di Timur yang menyimpan sejumlah kendala seputar studi agama. Selain itu, terjadinya stagnasi metodologis dan pendekatan di kalangan mahasiswa dalam melakukan kajian eksploratif tentang agama. Dalam kajian ini, Knott mencoba meretas antara perspektif emik yang muncul dari kajian orang dalam (insider), dan perspektif etik yang muncul dari orang luar (outsider). Selanjutnya Kim Knott membagi peneliti insider dan outsider dalam empat

22 Muhammad Abdul Rauf, dalam Richad C. Martin, Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, terjemahan Zakyuddin Baidhowy, (Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2001). 198.

23 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al Qur’an (Bandung: Pustaka, 1996), xii-xiv.

19 Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Relegious Studies, Review Essay”, dalam Ricard Martin, (ed.), Approaches to Islam in Relegiuos Studies, (Tucson: The University of Arizona Press,1985, 199.

21 Karel A. Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia, (Bandung:Mizan, 1995), xvi.

(9)

AKADEMIKA, Volume 5, Nomor 2, Desember 2011

kelompok yaitu: 1) Compate participant (partisipan murni), 2) Complate obderver (peneliti murni). 3) Observer as participant (peneliti sebagai partisipan), 4) Participant as Observer (partisipan sebagai peneliti).

Wallahu’alam bi al Shawab

Daftar Rujukan :

Azizy, A. Qadri. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Depag RI, 2003) Abdullah, M. Amin. Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

_____, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2006).

_____, Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam (Studi Islam dengan Bebagai Pendekatan), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000).

_____, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

_____, Desain Pengembangan Akademik IAIN menjadi UIN: dari Pendekatan Dikotomis- Atomistik ke Arah Integratif-Interkonektif, dalam Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (sebuah Antologi), (Yogyakarta: Suka Press, 2007)

Crapps, Robbert W. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Terj. Agus M. Hardjana, (Yogyakarta: Kanisius, 1994)

Knott, Kim. Insider/Outsider Perpectives, dalam The Routledge Companion to the Study of Religion, Edited by John R. Hinnells (London, Routledge Taylor and Francis Group, 2005)

_____, The Location of Religion, a Spatial Analysis, (UK London: Equinox Publishing, 2005) , First Edition.

Martin, Richard C., Aprroaches to Islam in Religious Studies, edited by Richad C.Martin, (Oxford: Onerworld Publications, 2001)

_____, Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, terjemahan Zakyuddin Baidhowy, (Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2001).

Mudzhar, M. Atho’, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Preaktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2004).

Rahman, Fazlur. Tema Pokok Al Qur’an (Bandung: Pustaka, 1996), xii-xiv

Steenbrink, Karel A. Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia, (Bandung:Mizan, 1995)

Shiddiqi, Nourouzzaman, “Sejarah : pisau Bedah Ilmu Keislaman” dalam Taufik Abdullah (Ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam unsur ini, pemasar dituntut untuk menyediakan produk/jasa yang handal. Produk/jasa jangan sampai mengalami kerusakan/kegagalan. Dengan kata lain, produk/jasa tersebut

Pendekatan mensyaratkan pada dua langkah, pertama mengumpulkan hadis-hadis yang setema, kemudian digeneralisir untuk menemukan makna spesifik dari teks (hadis) dan melihat

Sedangkan dalam pengamatan aktivitas peserta didik, Pengamat 1 memberikan skor rata-rata 2,4 dan Pengamat 2 memberikan skor rata- rata 2,5 , sehingga diperoleh hasil

DAFTAR KARTU ANGGOTA YANG DAPAT DIAMBIL DPD PORMIKI JAWA BARAT.. Sekretariat:

Menurut Fadhila, “Kita harus merancang secara baik dalam pengembangan komoditas padi yang berkelanjutan, dengan program penelitian pengembangan teknologi padi seperti ini

Meskipun demikian AKI untuk tingkat Provinsi tetap dapat diketahui dengan membandingkan 86 orang ibu yang meninggal dengan 19.146 kelahiran hidup pada tahun 2011

Untuk interpretasi foto digital, karena adanya lubang bekas tali di tengah contoh uji untuk merangkai kayu, maka perhitungan persentase kerusakan dilakukan dengan dua cara:

Hasil analisis forecasting menunjukkan bahwa ketersediaan jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan daging sapi pada tahun 2015 mengalami trend kenaikan sedangkan ketersediaan