PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN
HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN
CEKAMAN KEKERINGAN
MUZDALIFAH ISNAINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Nilai Daya Gabung dan Heterosis Jagung Hibrida Toleran Cekaman Kekeringan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2008
Muzdalifah Isnaini
ii ABSTRACT
MUZDALIFAH ISNAINI. Estimation of Combining Ability and Heterosis in Hybrid Maize Tolerant to Drought. Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI and FIRDAUS KASIM.
The objective of this research was to estimate General Combining Ability (GCA), Spesific Combining Ability (SCA) effect and heterosis. The F1 of 7 x 7 diallel crosses were evaluated for combining ability under normal and drought conditions in Muneng experiment farm East Java during July-October 2007. This experiment used randomized complete block design with three replications. The means squares due to genotype, GCA, SCA were found highly significantly different in grain yield under both conditions, however Anthesis Silking Interval (ASI) and ear number were not significantly different under normal condition. Based on GCA/SCA variance ratio showed that all traits were controlled by non additive genes. Inbred MR14 was found as the best general combiner for grain yield and ear number under drought condition, however CML 165 for ASI and ear number character. The most promising specific combiners for grain yield and ear number per plants were P1/P4 and P1/P5 under drought condition, while P3/P6, P4/P7, and P6/P7 for ASI character. Highly midparent heterosis showed by P1/P5 for grain yield, ASI characters and P3/P5 for ear number. Hybrid P2/P4 had highly heterobeltiosis for grain yield, while PI/P2 and P2/P6 had highly value for ASI and ear number, respectivelly. Hybrids P1/P4, P2/P4, P4/P2, and P7/P4 were significantly different from Pioneer 21 for yield potential. The yield reduction of the four hybrids ranged from 66.5 to 72%. The grain yields of the two best hybrids (P4/P2 and P7/P4) were higher than Pioneer 21 and their respective yield reduction due to drought stress were 54.5 and 64.3%, less than both check varieties. Tolerance index of both of hybrid was 0.8 indicating moderately tolerance varieties. The cross combination of P1/P4, P7/P4, P1/P5, P6/P7, and P2/P4 were potential to develop for hybrid with drought tolerance.
ABSTRACT
MUZDALIFAH ISNAINI. Estimation of Combining Ability and Heterosis in Hybrid
Maize Tolerant to Drought. Under direction of SRIANI SUJIPRIHATI and FIRDAUS
KASIM.
The objective of this research was to estimate General Combining Ability (GCA),
Spesific Combining ability (SCA) effect and heterosis. The F1 of 7 x 7 diallel crosses
were evaluated for combining ability under normal and drought conditions in Muneng
experiment farm East Java during July-October 2007. This experiment used randomized
complete block design with three replications. The Means squares due to genotype, GCA,
SCA were found highly significantly different in grain yield under both conditions,
however Anthesis Silk Interval (ASI) and ear number were not significantly different
under normal condition. Based on GCA/SCA variance ratio showed that all traits were
controlled by non additive genes. Inbred MR14 was found as the best general combiner
for grain yield and ear number under drought condition, however CML 165 for ASI and
ear number character. The most promising specific combiners for grain yield and ear
number per plants were P1/P4, P1/P5 and P2/P6 under drought condition, while P3/P6,
P4/P7 and P6/P7 for ASI character. Highly midparent heterosis showed by P1/P5 for
grain yield, ASI characters and P3/P5 for ear number. P2/P4 had highly heterobeltiosis
for grain yield, while PI/P2 and P2/P6 had highly value for ASI and number ear,
respectivelly. P1/P4, P2/P4, P4/P2 dan P7/P4 hybrid were shows significant difference to
Pioneer 21 for yield potential, with yield decreasing from 66.5 to 72%. P4/P2 and P7/P4
had grain yield higher than Pioneer 21with decreasing about 54.5 and 64.3%, less than
both of check varieties. Tolerance index of both of hybrid was 0.8. Based on the results,
combination of P1/P4, P1/P5, P6/P7 and P2/P4 were potential to develop for hybrid with
drought tolerance.
RINGKASAN
MUZDALIFAH ISNAINI. Pendugaan Nilai Daya Gabung dan Heterosis Jagung Hibrida
Toleran Cekaman Kekeringan. Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI DAN FIRDAUS
KASIM.
Lahan pertanian di Indonesia didominasi oleh lahan kering dan berpotensi
mengalami cekaman kekeringan terutama pada wilayah seperti Papua, Jawa, Sulawesi,
Nusa Tenggara, Sumatera dan Kalimantan yang akan berdampak pada penurunan
produktivitas tanaman jagung. Pertanaman Jagung hibrida umumnya dilaksanakan di
lingkungan optimum sehingga target pengembangannya pada lahan-lahan subur. Oleh
karena itu perlu perakitan varietas hibrida toleran kekeringan sehingga masalah lahan
kering dapat diatasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah persilangan dialel untuk
melihat daya gabungnya.
97.3%. Varietas pembanding mempunyai potensi hasil 9.91 t/ha (Bisi-2) dan 11.29 t/ha
(Pioneer 21) di kondisi normal sedangkan pada kondisi cekaman kekeringan potensi hasil
menurun berturut-turut 0.86 dan 1.71 t/ha dengan persentase penurunan sebesar 91.3 dan
84.9%. Hibrida P1/P4, P2/P4, P4/P2 dan P7/P4 menunjukkan potensi hasil yang berbeda
nyata terhadap varietas pembanding Pioneer 21. Penurunan hasil dari hibrida tersebut
berkisar antara 66.5 – 72%, sedangkan pioneer 21 penurunan hasil mencapai 84.9%.
Rata-rata bobot biji pertanaman berkisar antara 51.5-156.8 g di kondisi normal dan
3.8-60.5 gram di kondisi cekaman kekeringan dengan persentase penurunan bobot biji
berkisar 54.5-94.5%. Hibrida P4/P2 dan P4/P7 menunjukkan bobot biji per tanaman yang
berbeda nyata dengan varietas pembanding Pioneer 21. Persilangan P7/P4 dan P4/P2
mengalami persentase penurunan lebih kecil (54.5 dan 64.3%) dibanding kedua varietas
pembanding. Indeks toleransi kedua persilangan tersebut 0.8. Kombinasi persilangan
P1/P4, P1/P5, P6/P7 dan P2/P4 baik digunakan sebagai pembentuk hibrida yang memiliki
toleransi terhadap kekeringan.
iii RINGKASAN
MUZDALIFAH ISNAINI. Pendugaan Nilai Daya Gabung dan Heterosis Jagung Hibrida Toleran Cekaman Kekeringan. Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI DAN FIRDAUS KASIM.
iv masing-masing 9.91 t/ha dan 11.29 t/ha di kondisi normal, dan 0.86 dan 1.71 t/ha di kondisi cekaman kekeringan dengan persentase penurunan sebesar 91.3 dan 84.9%. Hibrida P1/P4, P2/P4, P4/P2, dan P7/P4 menunjukkan potensi hasil yang berbeda dibandingkan varietas pembanding Pioneer 21. Pada kondisi cekaman kekeringan, penurunan hasil hibrida tersebut berkisar antara 66.5–72.0%, sedangkan Pioneer 21 menunjukkan penurunan hasil 84.9%. Rata-rata bobot biji per tanaman berkisar antara 51.5–156.8 g di kondisi normal dan 3.8–60.5 g di kondisi cekaman kekeringan dengan persentase penurunan bobot biji berkisar 54.5–94.5%. Penurunan bobot biji per tanaman lebih kecil apabila dalam persilangan tersebut menggunakan tetua betina yang toleran (P4, P5, P6, dan P7) dibandingkan tetua betina peka (P1, P2, P3). Hibrida P4/P2 dan P7/P4 menunjukkan bobot biji per tanaman yang berbeda nyata dengan varietas pembanding Pioneer 21, dengan persentase penurunan lebih kecil (54.5 dan 64.3%) dibanding varietas pembanding Bisi 2 dan Pioneer 21 (84,80 dan 71.30%). Indeks toleransi kedua persilangan tersebut 0.8, mengindikasikan kedua hibrida tersebut agak tahan cekaman kekeringan. Kombinasi persilangan P1/P4, P7/P4, P1/P5, P6/P7, dan P2/P4 diarahkan untuk dijadikan varietas hibrida yang memiliki toleransi cekaman kekeringan.
v
@
Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau meyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB
vi
PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN
HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN
CEKAMAN KEKERINGAN
MUZDALIFAH ISNAINI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
vii Judul Tesis
Nama NRP
: : :
Pendugaan Nilai Daya Gabung dan Heterosis Jagung Hibrida Toleran Cekaman Kekeringan
Muzdalifah Isnaini A151060251
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. Dr. Ir. Firdaus Kasim, MS.c. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
viii PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul Pendugaan Nilai Daya Gabung dan Heterosis Jagung Hibrida Toleran Cekaman Kekeringan ini merupakan kelengkapan tugas akhir pada Program Magíster Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Sriani Sujiprihati, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Firdaus Kasim, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing atas dorongan moril, motivasi, pengarahan, masukan dan diskusi sejak penyusunan dan perencanaan penelitian hingga penyelesaian tulisan.
2. Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa untuk melaksanakan tugas belajar pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
3. Kepala Pusat Litbang Tanaman Pangan dan Kepala Balai Penelitian Serealia Lain (Balitsereal) Maros yang telah memberikan izin belajar.
4. Ir. Andi Takdir Makkulawu, M.Si., R. Neni Iriany, SSi., M.Si. dan Dr. Muh. Azrai, M.Si. atas bimbingan, arahan, diskusi, dan berbagi pengalaman yang berharga.
5. Rekan-rekan di Balitsereal yang telah banyak membantu.
6. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Roy Effendi, Indrastuti, Sutardi, Rd. Hartati, Amin Nur, Susilawati, Muh. Thamrin yang telah berbagi ilmu dan kerjasamanya.
ix 8. Suami dan anak tercinta, Wahyudin dan Muh. Ainun Najib atas dukungan,
doa, kasih sayang, pengorbanan dan pengertiannya.
9. Sahabat dan semua pihak yang telah membantu dan berdoa.
Akhir kalam, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2008
x RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 22 Januari 1973 sebagai putri ketiga dari pasangan H. Muh. Tahir Salim dan Hj. Naisah BJ. Penulis menikah dengan Wahyudin pada tanggal 3 November 2002 dan dikaruniai seorang putra Muh. Ainun Najib.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan studi di Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai staf di Balitsereal Maros sejak tahun 2001. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Badan Litbang Departemen Pertanian Republik
xi DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR LAMPIRAN ………... PENDAHULUAN ...
Latar Belakang ... Tujuan dan Manfaat Penelitian ... Kerangka Pemikiran dan Pengajuan Hipotesis ... Ruang Lingkup Penelitian ... TINJAUAN PUSTAKA ...
Pemuliaan jagung Hibrida ... 1. Pembentukan Galur Inbred ... 2. Persilangan Dialel dan Daya Gabung (Combining Ability) ... 3. Heterosis ... Cekaman Kekeringan pada Tanaman Jagung ... Seleksi Genotipe Toleran Cekaman Kekeringan ... BAHAN DAN METODE PEMULIAAN ... Tempat dan Waktu Penelitian ... Bahan Penelitian ... Metode Penelitian ... Pengamatan ... Analisis Data ... HASIL DAN PEMBAHASAN ...
Analisis Daya Gabung Umum ………... Analisis Daya Gabung Khusus ………... Heterosis ………... 1. Kondisi Normal ………... 2. Kondisi Cekaman Kekeringan ………...…... 2.a. Bobot Biji per Tanaman ………...….. 2.b. Anthesis Silking Interval (ASI) ………... 2.c. Jumlah Tongkol per Tanaman ………...……. Indeks Toleransi Kekeringan ………...…..
xii SIMPULAN DAN SARAN ………...
Simpulan ... ... Saran ... ... DAFTAR PUSTAKA ... ... LAMPIRAN ... ...
xiii DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Daftar genotipe, asal dan kriteria tetua yang digunakan dalam
persilangan dialel ... Kombinasi persilangan dialel tujuh genotipe tetua ... Analisis varians perbedaan genotipe ... Analisis varians daya gabung metode I Griffing ... Kuadrat tengah genotipe, DGU, DGK, dan resiprokal pada persilangan dialel (7 x 7) genotipe jagung pada kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Estimasi varian komponen genetik persilangan dialel 7 x 7 tanaman jagung pada kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Nilai daya gabung umum 7 genotipe tetua jagung pada kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Nilai daya gabung khusus persilangan dialel 7 x 7 genotipe jagung pada kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Penampilan tetua, F1, dan nilai heterosis serta heterobeltiosis karakter bobot biji per tanaman persilangan dialel (7 x 7) genotipe jagung pada kondisi normal ...
Penampilan tetua, F1, dan nilai heterosis serta heterobeltiosis karakter bobot biji per tanaman persilangan dialel (7 x 7) genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan ... Penampilan tetua, F1, dan nilai heterosis serta heterobeltiosis karakter ASI persilangan dialel (7 x 7) genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan ...
xiv 12
13
Penampilan tetua, F1, dan nilai heterosis serta heterobeltiosis karakter jumlah tongkol per tanaman persilangan dialel (7 x 7) genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan ... Rata-rata bobot biji per tanaman, potensi hasil, penurunan hasil, dan indeks toleransi cekaman kekeringan persilangan dialel 7 x 7 pada tanaman jagung di kondisi normal dan cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ...
37
xv DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
2 3
Teknik persilangan dua tetua ... Kondisi tanaman setelah dilakukan persilangan...
Rata-rata bobot biji per tanaman di kondisi normal dan cekaman kekeringan ...
16 16
xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Bagan alir penelitian ………... ………... Nilai varians genotipe karakter bobot biji per tanaman jagung pada kondisi normal, Kebun Percobaan Muneng ………... Nilai varians genotipe karakter bobot biji per tanaman jagung pada kondisi cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ………. Nilai varians genotipe karakter ASI tanaman jagung pada kondisi normal, Kebun Percobaan Muneng ……… Nilai varians genotipe karakter ASI tanaman jagung pada kondisi cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ……….. Nilai varians genotipe karakter jumlah tongkol per tanaman jagung pada kondisi normal, Kebun Percobaan Muneng ………. Nilai varians genotipe karakter jumlah tongkol per tanaman jagung pada kondisi cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ……….. Nilai varians daya gabung karakter bobot biji per tanaman jagung pada kondisi normal, Kebun Percobaan Muneng ………... Nilai varians daya gabung karakter bobot biji per tanaman jagung pada kondisi cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ………. Nilai varians daya gabung karakter ASI tanaman jagung pada kondisi cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ………... Nilai varians daya gabung karakter jumlah tongkol per tanaman jagung pada kondisi cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ……… Nilai resiprokal karakter jumlah tongkol per tanaman jagung pada kondisi cekaman kekeringan ……….. Rata-rata bobot biji per tanaman, ASI, jumlah tongkol per tanaman persilangan dialel 7 x 7 pada kondisi normal dan cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ………. Karakteristik genotipe peka kekeringan ...
xvii 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Karakteristik genotipe toleran kekeringan ... Data pengukuran lengas tanah pada kondisi normal dan cekaman kekeringan, Kebun Percobaan Muneng ………... Rata-rata penguapan, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin selama penelitian berlangsung, Kebun Percobaan Muneng ………... Penampilan hasil persilangan CML 165 dan MR 14 di kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Penampilan hasil persilangan CML 161 dan DTPY 1 di kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Penampilan hasil persilangan DTPY 2 dan G18Seq di kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Penampilan hasil persilangan CML 161 dan MR 14 di kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Penampilan hasil persilangan DTPY 1 dan DTPY 2 di kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Penampilan varietas Pioneer 21 di kondisi normal dan cekaman
kekeringan ... Penampilan varietas Bisi 2 di kondisi normal dan cekaman kekeringan Penampilan CML 161 (P1) di kondisi normal dan cekaman kekeringan Penampilan CML 165 (P2) di kondisi normal dan cekaman kekeringan Penampilan MR 4 (P3) di kondisi normal dan cekaman kekeringan ... Penampilan MR 14 (P4) di kondisi normal dan cekaman kekeringan .... Penampilan DTPY 1 (P5) di kondisi normal dan cekaman kekeringan .. Penampilan DTPY 2 (P6) di kondisi normal dan cekaman kekeringan .. Penampilan G18Seq (P7) di kondisi normal dan cekaman kekeringan ..
PENDAHULUAN Latar Belakang
Swasembada jagung tahun 2007 yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan suatu tantangan untuk menjawab permasalahan pangan dan kemiskinan yang saat ini masih melanda bangsa kita. Jagung, sebagai bahan pangan kedua setelah padi, juga merupakan bahan baku industri, terutama pakan ternak sehingga kebutuhan jagung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, peningkatan produksi jagung mutlak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani jagung.
Selama periode 2001–2006, rata-rata luas areal pertanaman jagung di Indonesia sekitar 3.35 juta ha/tahun dengan laju peningkatan 0.95% per tahun. Luas areal pertanaman jagung menduduki urutan kedua setelah padi sawah. Jika dibandingkan dengan komoditas lain, luas pertanaman jagung hanya 0.32 kali dari luas pertanaman padi (Makkulawu et al. 2007).
Tantangan dalam pengembangan tanaman pangan khususnya tanaman jagung adalah semakin terbatasnya kapasitas produksi akibat berlanjutnya konversi lahan pertanian terutama lahan sawah irigasi ke penggunaan non pertanian. Menurunnya kesuburan tanah akibat meningkatnya intensitas usahatani dan degradasi lahan, serta semakin terbatas dan ketidakpastian pasokan air untuk produksi pangan karena bersaing dengan sektor industri dan pemukiman. Disamping itu, perilaku iklim yang semakin tidak pasti akibat pemanasan global (global warming).
2 0.4 juta ha di Sulawesi, 9.9 juta ha di Maluku dan Papua, serta 0.06 juta ha di Bali dan Nusa Tenggara (Zubactirodin et al. 2008).
Produktivitas jagung di Indonesia masih sangat rendah, yaitu 3.47 t/ha pada tahun 2006. Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih sangat terbuka baik melalui peningkatan produktivitas maupun pemanfaatan potensi lahan yang masih luas khususnya di luar Jawa. Produktivitas yang rendah tidak hanya disebabkan oleh penerapan teknologi produksi jagung yang belum optimum, namun juga adanya cekaman biotik dan abiotik (Zubactirodin et al. 2008).
Cekaman kekeringan merupakan salah satu cekaman abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi pada areal pertanian. Lahan yang mengalami cekaman kekeringan mencakup luasan sekitar 26%, kemudian diikuti cekaman mineral 20%, cekaman suhu rendah 15%, sedangkan sisanya adalah cekaman biotik yaitu 39% (Blum 1986 dalam Kalefetoglu, Ekmekci 2005). Menurut Monneveux et al. (2006), di daerah tropis kondisi cekaman kekeringan mengakibatkan penurunan hasil jagung sekitar 17–60%.
Sekitar 57% produksi jagung di Indonesia dihasilkan dari pertanaman pada musim hujan (MH), 24% pada musim kemarau (MK I), dan 19% pada MK II (Kasryno 2002). Pertanaman jagung pada MH umumnya diusahakan pada lahan kering sehingga di awal pertumbuhan mendapat cukup air dan di akhir pertumbuhan mengalami kekurangan air. Pada MK diusahakan pada sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Lahan pertanian tadah hujan terutama di wilayah beriklim kering seperti di Indonesia bagian timur, selalu terancam oleh resiko kekurangan air yang mengakibatkan penurunan dan kehilangan hasil produksi.
3 kekeringan sampai sekarang belum ada karena pemuliaan jagung hibrida umumnya dilaksanakan di lingkungan dengan kondisi optimum sehingga target pengembangannya di lahan-lahan subur. Oleh karena itu, perlu perakitan varietas hibrida toleran lingkungan tercekam kekeringan yang dapat mengatasi permasalahan lahan-lahan kering.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menduga nilai daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus (DGK), dan heterosis yang diperoleh pada kondisi pengairan normal dan lingkungan tercekam kekeringan. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk mengidentifikasi kombinasi persilangan yang memiliki nilai DGU dan DGK yang baik dengan nilai heterosis tinggi untuk karakter toleran lingkungan tercekam kekeringan.
Kerangka Pemikiran dan Pengajuan Hipotesis
Perluasan areal pertanaman jagung pada lahan subur di Indonesia sudah sangat terbatas, karena areal yang tersisa dan tersebar luas adalah lahan-lahan yang memiliki kendala kekeringan. Daerah-daerah yang curah hujannya rendah (zone iklim D dan E) tersebar di setiap propinsi di Indonesia, khususnya Sumatera, Sulawesi sampai Papua. Areal jagung di daerah ini sering mengalami cekaman kekeringan sehingga menurunkan hasil. Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas produktivitas tanaman jagung.
4 hasil fotosintesis (Westgate, Bassetti 1990; Schussler, Westgate 1995; Zinselmeier et al. 1995).
Merakit varietas yang toleran cekaman kekeringan merupakan salah satu cara mengatasi permasalahan lahan-lahan kering yang tidak dimanfaatkan. Perakitan varietas yang toleran cekaman kekeringan dapat diarahkan ke pembentukan varietas bersari bebas dan varietas hibrida.
Persilangan merupakan salah satu upaya untuk menambah variabilitas genetik dan memperoleh genotipe baru yang lebih unggul. Salah satu tipe persilangan yang sering dilakukan adalah persilangan dialel (diallel crosses). Inbred yang berpotensi sebagai tetua dalam pembentukan hibrida melalui seleksi terhadap penampilan dan kemampuan daya gabung dalam kombinasi hibrida sangat diperlukan. Analisis daya gabung dilakukan untuk mengidentifikasi genotipe-genotipe yang mampu memberikan turunan yang unggul, dalam hal ini memiliki karakter toleransi cekaman kekeringan.
Penelitian mengenai daya gabung sudah banyak dilakukan untuk lingkungan bercekaman, daya hasil, dan ketahanan penyakit. Betran et al. (2003), mengevaluasi 17 galur murni jagung dengan persilangan dialel pada lingkungan bercekaman dan normal menghasilkan nilai GCA dan GCA x lingkungan yang signifikan untuk karakter hasil. Morello et al. (2002), melakukan penelitian mengenai daya gabung pada tanaman jagung di lingkungan bercekaman almunium melalui persilangan dialel. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa varietas yang memiliki daya gabung umum potensial digunakan untuk membentuk jagung komposit baru.
Sujiprihati (1996), meneliti daya gabung 12 kombinasi F1 hasil persilangan dialel pada hasil tanaman jagung. Hasil analisis dialel mengungkapkan bahwa daya gabung umum dan daya gabung khusus memberikan hasil yang nyata terhadap hasil biji jagung dan beberapa karakter lain yang menunjukkan adanya aksi gen aditif dan non aditif.
5 Fenomena heterosis banyak dimanfaatkan secara intensif pada pemuliaan jagung dalam membentuk varietas hibrida. Hasil penelitian terhadap tanaman jagung di lingkungan masam yang dilakukan oleh Morello et al. (2002) menunjukkan bahwa varietas yang memiliki heterosis tinggi potensial digunakan dalam pembuatan hibrida toleran tanah masam.
Berdasarkan serangkaian tahap penelitian yang dilakukan, hipotesis yang diajukan adalah :
1. Terdapat satu atau beberapa genotipe yang mempunyai nilai daya gabung umum dan daya gabung khusus tinggi untuk karakter toleransi cekaman kekeringan.
2. Terdapat genotipe jagung hasil persilangan full diallel dengan nilai heterosis terbaik.
3. Terdapat satu atau beberapa kombinasi pasangan yang memiliki toleransi cekaman kekeringan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, tahap pertama adalah pembentukan benih F1 dengan metode persilangan dialel lengkap, tahap kedua yaitu evaluasi tetua, F1, dan F1 resiprokal.
TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida
Kegiatan pemuliaan diawali dengan ketersediaan sumberdaya genetik yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung merupakan aset penting sebagai sumber gen bagi para pemulia untuk lebih berpeluang dalam menghasilkan varietas jagung yang lebih unggul (Mejaya, Moejiono 1995).
Jagung merupakan tanaman yang menyerbuk silang, yaitu penyerbukannya terjadi secara acak. Pemuliaan tanaman menyerbuk silang bertujuan untuk memperoleh populasi yang terdiri dari tanaman heterozigot. Pada dasarnya populasi tanaman menyerbuk silang adalah heterosigous heterogenus dan variasi fenotipenya sangat beragam.
Peningkatan hasil tanaman dapat dicapai dengan penggunaan varietas hibrida. Varietas hibrida merupakan generasi pertama hasil persilangan antara tetua berupa galur inbred yang homozigot sehingga menghasilkan F1 yang sangat vigor (Hallauer, Miranda 1981). Dalam pembentukan hibrida, langkah penting yang perlu dilakukan diantaranya : pembentukan galur inbred, dengan melakukan beberapa generasi silang dalam (selfing); penilaian galur inbred berdasarkan uji daya gabung umum dan uji daya gabung khusus untuk menentukan kombinasi persilangan terbaik dengan metode persilangan dialel; pembentukan benih hibrida dengan persilangan di antara galur inbred yang terpilih.
1. Pembentukan Galur Inbred
Inbred sebagai tetua hibrida memiliki tingkat homozigositas yang tinggi dan diperoleh melalui penyerbukan sendiri (selfing) atau melalui persilangan antar saudara selama 5 – 6 generasi. Fiksasi gen-gen homozigot akan berakibat depresi
inbreeding yang menghasilkan tanaman kerdil dan daya hasilnya rendah.
7 genetik berbeda sedangkan keragaman dalam galur itu sendiri lebih kecil (Bari et al. 1974).
2. Persilangan Dialel dan Daya Gabung (Combining Ability)
Metode persilangan dialel (diallel cross) adalah cara analisis keturunan untuk daya gabung, baik daya gabung umum maupun daya gabung khusus (Hallauer, Miranda 1981). Analisis dialel membantu para pemulia menentukan pola heterosis antar populasinya serta memilih bahan dan metode yang akan digunakan dalam program pemuliaan. Persilangan dialel yakni persilangan yang melibatkan sejumlah genotipe (varietas, galur, klon) dalam semua kombinasi. Masing-masing genotipe mempunyai kesempatan untuk disilangkan dengan genotipe lain, dan dapat juga dilakukan persilangan sendiri genotipe itu. Melalui analisis dialel dapat diketahui kombinasi mana yang sesuai dipasangkan sehingga dapat menghasilkan suatu varietas yang lebih baik. Penggunaan metode dialel harus memenuhi asumsi yaitu segregasi diploid, tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokal, tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel, tidak ada multialelisme, tetua homozigot, gen-gen menyebar secara bebas diantara tetua (Singh, Chaudary 1979).
Menurut Griffing (1956), terdapat empat metode dialel yakni :
1. Metode I : kombinasi lengkap p², terdiri dari tetuanya, F1, dan persilangan resiprokalnya
2. Metode 2 : 1/2p(p+1) kombinasi, terdiri dari tetuanya dan F1 3. Metode 3 : p(p-1) kombinasi, terdiri dari F1 dan resiprokalnya
4. Metode 4: 1/2p(p-1) kombinasi, terdiri dari F1 saja tanpa tetua dan resiprokalnya
8 Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya. Nilai masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur-galur lain (Allard 1960).
Daya gabung meliputi daya gabung umum (General Combining Ability) dan daya gabung khusus (Specific Combining Ability). Daya gabung umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Poehlman, Sleeper 1990).
Nilai daya gabung umum adalah simpangan dari rata-rata seluruh persilangan, sehingga nilai daya gabung umum dapat positif atau negatif. Jadi nilai DGU merupakan angka yang relatif terhadap nilai daya gabung umum yang lain. Daya gabung umum yang besar menunjukkan tetua atau galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan bergabung dengan semua tetua, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan bergabung yang kurang baik terhadap semua tetua yang lain. Nilai positif atau negatif dari DGU tergantung pada karakter yang diamati dan bagaimana cara menilainya.
Daya gabung khusus yang diperoleh dari suatu persilangan antar kedua tetua, dapat memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi. Galur yang mempunyai efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitonga et al. 1993).
9 Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang nyata untuk karakter yang dievaluasi berindikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen aditif dan non aditif (Mahmood et al. 2002). Kemampuan bergabung umum (DGU) yang terdapat pada galur inbred yang disilangkan dengan berbagai galur inbred lain merupakan hasil dari aksi gen aditif. Kemampuan bergabung spesifik (DGK) merupakan penampilan ekspresi antara dua galur inbred dan merupakan hasil aksi gen dominan, epistasis dan aditif (Welsh 1981). Menurut Tabassum
et al. (2007), mengemukakan bahwa estimasi rasio varian DGU/DGK berguna untuk mengevaluasi variabilitas aditif dan non aditif atau aksi gen keduanya.
Kombinasi persilangan antara tetua dengan nilai DGU tinggi dan rendah atau sedang dan rendah menunjukkan aksi gen aditif dan dominan. Persilangan dengan nilai DGU rendah dan rendah menunjukkan aksi gen epistasis (Pradhan et al. 2006).
4. Heterosis
Gejala heterosis dan daya hasil tinggi pada F1 mempunyai arti yang sangat penting dalam pembentukan varietas hibrida. Heterosis adalah peningkatan nilai suatu karakter dari hibrida F1 dibandingkan dengan nilai rata-rata kedua tetuanya (Hallauer, Miranda 1981; Crowder 1986; Fehr 1987).
Menurut Virmani et al. (1981), informasi mengenai heterosis dalam persilangan galur inbred menentukan dalam pemilihan galur sebagai tetua yang potensial untuk memperoleh hibrida berdaya hasil tinggi. Heterosis yang tinggi diduga diperoleh dari kedua tetua yang memiliki kekerabatan jauh.
10 Hipotesis over dominan diajukan oleh Shull (1908) dalam You et al. (2006), yang menyatakan bahwa heterosigositas pada lokus tunggal lebih superior dibanding yang homosigos. Menurut Allard (1960), mengemukakan bahwa teori over dominan didasarkan pada heterozigot (a1a2) lebih vigor dan produktif dibandingkan homozigot (a1a1 atau a2a2). Alel a1 dan a2 memiliki fungsi yang berbeda dan penggabungan a1 dan a2 lebih superior jika dibandingkan homozigotnya (a1a1 atau a2a2). Semakin berbeda fungsi alel penyusun heterozigot, semakin tinggi efisien pembentukan superioritasnya (a1a1< a1a3< a1a4).
Hipotesis ketiga menduga bahwa heterosis mungkin ditimbulkan dari epistasis antara alel-alel pada lokus yang berbeda (Goodnight 1999). Menurut Allard (1960), teori epistasis yaitu interaksi antara alel yang berbeda lokus memberi nilai lebih karena hasil penambahan dari gen dominan pendukung keunggulan sifat.
Menurut Nuruzzaman et al. (2002), terdapat tiga istilah heterosis berdasarkan genotipe pembanding yang digunakan. Ketiga tipe heterosis tersebut adalah Mid-Parent Heterosis (heterosis), yaitu peningkatan atau penurunan
penampilan hibrida dibandingkan dengan nilai rata-rata kedua tetua;
High-Parent Heterosis (heterobeltiosis), yaitu peningkatan atau penurunan penampilan hibrida dibandingkan dengan tetua terbaik yang digunakan dalam kombinasi persilangan; Standard heterosis, yaitu peningkatan atau penurunan penampilan hibrida dibandingkan dengan varietas pembanding.
Cekaman Kekeringan pada Tanaman Jagung
11 Kekeringan merupakan salah satu kendala produksi tanaman jagung. Kekeringan pada setiap stadia pertumbuhan tanaman jagung sangat mempengaruhi produktivitas tanaman (Boger, Therson 1975; Herrero Johnson 1981; Baneti, Wesgate 1992).
Kekeringan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air dalam tanah dan tanaman, dalam periode yang berpengaruh negatif pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kebutuhan air untuk tanaman jagung bergantung pada keadaan iklim, metode pengairan, dan varietas yang ditanam. Menurut Dahlan (2001), agar dapat tumbuh baik, tanaman jagung memerlukan curah hujan rata-rata 25 mm/minggu. Petani umumnya menanam jagung pada awal musim hujan, sehingga tanaman sering mengalami kekurangan air pada fase pertumbuhan awal. Sebaliknya pertanaman jagung diakhir musim hujan mengalami kekurangan air pada fase berbunga atau fase pengisian biji.
Tanaman jagung memerlukan pengaturan pemberian air secara terencana, khususnya pada kondisi kekurangan air. Kekeringan dapat terjadi pada awal pertumbuhan, fase pengisian biji, dan fase berbunga sampai panen. Frekuensi pemberian air untuk tanaman jagung dalam satu musim tanam berkisar antara 2-5 kali. Dalam kondisi tidak ada hujan dan ketersediaan air irigasi sangat terbatas maka pemberian air untuk tanaman jagung selama fase vegetatif dapat dikurangi dan difokuskan pada periode pembungaan (fase 2) dan pembentukan biji (fase 3). Dengan irigasi yang tepat waktu dan tepat jumlah maka diharapkan diperoleh hasil jagung 6-9 t/ha (Aqil et al. 2007). Kekeringan pada masa vegetatif tidak berakibat langsung pada hasil, sedangkan kekeringan menjelang, saat, dan setelah pembungaan menurunkan hasil masing-masing 25, 50, dan 21% (Denmead, Shaw 1960). Menurut Fischer et al. (1983), masa kritis tanaman jagung terhadap kekurangan air adalah pada waktu berbunga dan hasilnya berkurang sampai 22%.
12 sehingga dapat diatur pengairannya. Seleksi dengan menggunakan indeks untuk mempertahankan umur berbunga dapat meningkatkan hasil pada kondisi tercekam kekeringan maupun tanpa cekaman kekeringan, menurunkan Anthesis Silking Interval (ASI), tingkat senescense (daun kering), jumlah tanaman mandul dan daun menggulung.
Seleksi Genotipe Toleran Cekaman Kekeringan
Varietas jagung toleran kekeringan yaitu tanaman masih mampu memberikan hasil dengan memanfaatkan kondisi lengas tanah yang sangat kurang, dibandingkan varietas lain yang tidak menghasilkan. Selanjutnya Fisher
et al. (1981) dalam Dahlan (1995) menyatakan bahwa varietas toleran kering adalah tanaman yang masih mampu untuk bertahan hidup dan memberikan hasil dalam kondisi air terbatas.
Pemuliaan tanaman untuk toleransi cekaman dilakukan dengan menyesuaikan pada kondisi keadaan cekaman dengan metode adaptasi pada lingkungan spesifik (Herawati, Setiamihardja 2000). Seleksi di lingkungan bercekaman cenderung menghasilkan genotipe yang beradaptasi baik pada lingkungan bercekaman saja, stabilitas rendah dan tidak responsif pada perbaikan input. Hasil seleksi ini dapat digunakan sebagai sumber keragaman untuk pemuliaan lingkungan spesifik (Chozin 2006).
Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan pemuliaan untuk mendapatkan varietas yang sesuai dengan lingkungan yang menjadi target. Seleksi sering dilakukan pada kondisi tanpa cekaman atau dalam lingkungan yang optimum, karena banyak pendapat yang menyatakan pada kondisi optimum umumnya memiliki heritabilitas bobot biji yang lebih tinggi daripada heritabilitas di lingkungan tanpa cekaman (Ceccareli 1994 dalam Sutoro et al. 2006). Seleksi pada lingkungan yang mirip dengan lingkungan target akan menghasilkan kemajuan seleksi yang lebih besar daripada seleksi tak langsung atau seleksi pada lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan target (Banziger et al. 1997).
Kekeringan merupakan cekaman lingkungan yang sulit diduga, karena tidak terjadi sepanjang tahun, berbeda dengan cekaman lingkungan edafik. Reynolds
13 pola cekaman, yaitu : (1) cekaman yang terjadi pasca anthesis, (2) cekaman kekeringan yang terjadi sebelum anthesis, (3) cekaman yang terjadi secara terus menerus.
Tanaman mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi cekaman. Cristiansen dan Lewis (1982), menyatakan bahwa tanaman mempunyai xeromorphic trait yang muncul jika mendapat cekaman. Karakter ini dapat berbeda untuk setiap tanaman dan untuk setiap tingkat cekaman. Disarankan agar efektif, seleksi sebaiknya dilakukan dalam keadaan tercekam. Pandey (1998), mengemukakan bahwa varietas baru dapat dibentuk dengan perbaikan dalam populasi maupun antar populasi atau dengan persilangan varietas yang telah adaptif pada lingkungan tertentu.
Beberapa cara telah dilakukan untuk menilai toleransi pada cekaman kekeringan diantaranya dengan mengukur perbedaan hasil antara kondisi pengairan normal dengan kondisi cekaman kekeringan, menilai produktivitas rata-rata pada kondisi normal dan kering dengan menggunakan indeks kepekaan terhadap cekaman kekeringan (Blum 1980).
Banziger et al. (1997), merekomendasikan karakter seleksi dalam program pemuliaan untuk cekaman kekeringan yaitu bobot biji, jumlah tongkol per tanaman, ASI, leaf senescence, ukuran tassel dan penggulungan daun. Anthesis Silking Interval merupakan kriteria seleksi dalam merakit varietas untuk sifat toleran kekeringan, nilai -1.0 sampai +3.0 hari merupakan nilai terbaik untuk varietas unggul (Bolanos, Edmeades 1993 dalam Dahlan 1995). Semakin tinggi nilai ASI semakin rendah hasil karena tidak terjadi sinkronisasi berbunga. Beck et al. (1996), mengemukakan bahwa nilai ASI -1.0 sampai +3.0 hari memberikan hasil maksimal pada jagung. Anthesis Silking Interval negatif diartikan bahwa rambut terlebih dahulu siap diserbuki sebelum tersedia bunga jantan.
14 jantan dan betina. Pada kondisi tersebut nilai ASI berkisar 4–8 hari, jumlah tongkol per tanaman 0.3–0.7 dan hasil berkisar 1–2 t/ha. Apabila pemberian cekaman kekeringan tidak optimal maka pengukuran ASI menjadi kurang akurat. Pada fase pengisian biji karakter yang diamati adalah penurunan bobot biji, karena pada fase ini fotosintat menurun akibat cekaman, sehingga dapat menyebabkan hasil menurun sampai 50% (Banziger et al. 1997).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan benih
F1 dengan metode persilangan dialel lengkap. Kegiatan dilaksanakan di Instalasi
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian di Bogor
(Kebun Penelitian Cikeumeuh) Jawa Barat. Lokasi penelitian terletak pada
ketinggian 240 m dari permukaan laut, dengan jenis tanah inseptisol. Pertanaman
sebelumnya adalah jagung. Pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Maret
sampai Juni 2007. Kegiatan tahap kedua adalah evaluasi tetua, F1, dan F1
resiprokal, dilaksanakan di Instalasi Kebun Percobaan Muneng Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi Malang). Lokasi ini
dipilih karena merupakan daerah yang mempunyai musim kemarau (bulan Juni
sampai November) dan musim hujan (Desember sampai Mei) yang dapat
dibedakan dengan jelas. Disamping itu, lahan percobaannya memiliki plot serta
sistem pengairan yang dapat diatur sehingga sesuai untuk percobaan cekaman
kekeringan. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2007.
Bahan Penelitian
Tetua yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat genotipe jagung
toleran cekaman kekeringan dan tiga genotipe mempunyai potensi hasil tinggi,
[image:37.612.133.505.546.673.2]tetapi peka terhadap cekaman kekeringan koleksi Balitsereal Maros (Tabel 1).
Tabel 1 Daftar genotipe, asal dan kriteria tetua yang digunakan dalam persilangan dialel
Tetua Genotipe Asal Kriteria
P1 CML 161 CIMMYT Peka kekeringan
P2 CML 165 CIMMYT Peka kekeringan
P3 MR 4 Balitsereal Peka kekeringan
P4 MR 14 Balitsereal Toleran kekeringan
P5 DTPY 1 CIMMYT Toleran kekeringan
P6 DTPY 2 CIMMYT Toleran kekeringan
P7 G18Seq CIMMYT Toleran kekeringan
16 Selain itu digunakan dua varietas pembanding yaitu Bisi 2 dan Pioneer 21.
Pupuk (Urea, KCl, SP 36), Ridomil, Carbofuran 30% dan Gandasil B. Peralatan
yang digunakan adalah kantong penutup, moisture tester, timbangan elektrik,
oven, dan buku lapangan.
Metode Penelitian
Kegiatan tahap pertama adalah pembentukan benih F1 dengan persilangan
dialel lengkap. Teknik persilangan dua tetua misalnya (A x B) serta resiprokalnya
[image:38.612.133.508.249.427.2](B x A) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Teknik persilangan dua tetua
Setiap genotipe ditanam sebanyak 7 baris dalam plot sepanjang 5 m.
Persilangan dilakukan antar tanaman (plant to plant) dari masing-masing
kombinasi (Gambar 2).
Gambar 2 Kondisi tanaman setelah dilakukan persilangan B
A resiprokal (B x A) Hasil persilangan
[image:38.612.132.507.529.689.2]17 Kombinasi persilangan dialel dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil persilangan
[image:39.612.135.507.148.327.2]kemudian dievaluasi pada kegiatan tahap kedua.
Tabel 2 Kombinasi persilangan dialel tujuh genotipe tetua
♀
♂ P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
P1 P1/P1 P1/P2 P1/P3 P1/P4 P1/P5 P1/P6 P1/P7
P2 P2/P1 P2/P2 P2/P3 P2/P4 P2/P5 P2/P6 P2/P7
P3 P3/P1 P3/P2 P3/P3 P3/P4 P3/P5 P3/P6 P3/P7
P4 P4/P1 P4/P2 P4/P3 P4/P4 P4/P5 P4/P6 P4/P7
P5 P5/P1 P5/P2 P5/P3 P5/P4 P5/P5 P5/P6 P5/P7
P6 P6/P1 P6/P2 P6/P3 P6/P4 P6/P5 P6/P6 P6/P7
P7 P7/P1 P7/P2 P7/P3 P7/P4 P7/P5 P7/P6 P7/P7
Tahap kedua, evaluasi terhadap 49 genotipe yaitu terdiri atas 7 tetua, 21 F1,
21 F1 resiprokal, dan 2 varietas pembanding. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Satu plot
percobaan berupa barisan tunggal dengan panjang 5 m, dan jarak tanam
70 cm x 20 cm
Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor, sisa-sisa gulma
dan tanaman pengganggu lainnya dibersihkan, kemudian diratakan. Sebelum
benih ditanam diberi perlakuan Ridomil, sedangkan lubang tanam yang telah
ditugal diberi Carbofuran 30% dosis 15 kg/ha masing-masing untuk mencegah
serangan bulai dan lalat bibit. Sekitar 5–8 cm di samping lubang tanam diberi
pupuk 150 kg/ha urea, 100 kg/ha SP 36, dan 50 kg/ha KCl.
Perlakuan terdiri dari 2 kondisi yakni kondisi normal dan cekaman
kekeringan. Pemberian air pada kondisi normal dilakukan tiap 2 minggu sekali,
sedangkan perlakuan pada kondisi cekaman kekeringan mengikuti prosedur
CIMMYT (Banziger et al. 2000) dalam seleksi untuk kekeringan yang
mengevaluasi galur dengan cekaman kekeringan saat berbunga hingga panen
18 Pengamatan
Pengamatan sesuai dengan prosedur CIMMYT untuk seleksi terhadap
cekaman kekeringan, meliputi :
1. Umur berbunga (hari)
a. Berbunga jantan (anthesis), dihitung pada saat 50% anthesis atau ketika
telah diproduksinya serbuk sari (pollen).
b. Berbunga betina (silking), dihitung pada saat 50% rambut telah keluar
dengan panjang >2 cm.
c. Anthesis Silking Interval (ASI) dihitung berdasarkan selisih umur
berbunga jantan dan betina
2. Jumlah tanaman panen per baris
3. Jumlah tongkol panen per baris
4. Bobot tongkol kupasan (kg). Data ini akan digunakan untuk menghitung hasil
per petak, selanjutnya dikonversi ke satuan bobot per satuan luas .
10000 100–KA
Hasil (kg/ha) = --- x --- x B x 0.80
LP 100–15
KA = Kadar air biji waktu panen
LP = Luas panen (m2)
B = Bobot tongkol kupasan (kg)
0.80 = Rata-rata ‘shelling percentage/rendemen’
5. Kadar air panen (%). Setelah ditimbang bobot kupasan tongkol, diambil 5–10
tongkol sampel per petak lalu setiap tongkol dipipil bijinya 2 baris, biji yang
dipipil dicampur dan diukur kadar air dengan Seed Moisture Tester. Angka
kadar air panen digunakan untuk menghitung hasil pipilan kering pada kadar
air standar (15%). Pengamatan KA air biji waktu panen dilakukan pada hari
yang sama dengan pengamatan bobot tongkol kupasan.
6. Bobot biji pipilan (g), dihitung bobot biji yang diambil dari tongkol per
tanaman terhadap 5 sampel tanaman yang dipilih secara acak
7. Lengas tanah (%), dilakukan sebelum dan setelah perlakuan. Masing-masing
perlakuan diambil contoh tanah pada kedalaman sampai 20 cm. Contoh tanah
19 tanah. Tanah kemudian ditimbang dan dikeringkan dalam oven yang bersuhu
105oC sampai mencapai bobot konstan.
Analisis Data
1. Analisis daya gabung meliputi analisis varians (Tabel 3), untuk mengetahui
perbedaan respon antar genotipe. Jika pada analisis varians diperoleh respon
genotipe yang berbeda nyata maka dilanjutkan analisis daya gabung. Data
dianalisis menggunakan program IRRISTAT.
a. Analisis Perbedaan Genotipe
Model statistik untuk analisis perbedaan genotipe adalah sebagai berikut :
Yijk = m + tij + rk + {(rt)ijk + eijk }
dimana :
Yijk : genotipe i x j dalam ulangan ke k
m : rata-rata umum
tij : efek genotipe i x j
rk : efek ulangan ke k
rtijk : interaksi ulangan dengan perlakuan
[image:41.612.133.503.465.621.2]eijk : galat
Tabel 3 Analisis varians perbedaan genotipe
Sumber keragaman
Derajat
bebas Jumlah Kuadrat
Kuadrat tengah
F0.05
Ulangan (r) r - 1
Perlakuan (t) t - 1
Galat (r-1)(t-1) JK total-JK perlakuan-JK replikasi
Total rt - 1
Keterangan : p : jumlah tetua, t : jumlah perlakuan, r : jumlah ulangan rt
) x ( t
x ij2
2 j ∑ ∑
−
rt 2 ) x ( t 2xj ∑ ij
20 b. Analisis Daya Gabung
Analisis daya gabung terdiri atas analisis Daya Gabung Umum (DGU) dan
Daya Gabung Khusus (DGK) dengan menggunakan metode I (tetua, F1, dan
resiprokalnya) dari Griffing. Analisis daya gabung dapat dilihat pada Tabel 4.
Model statistika untuk analisis daya gabung menurut Griffing (1956) adalah
sebagai berikut : Yij = m + gi + gj + sij + rij +
∑∑
eijk b1
dimana :
Yij : rata-rata genotipe ke i x j
m : nilai rata-rata umum
gi : efek daya gabung umum tetua ke-i
gj : efek daya gabung umum tetua ke-j
sij : efek DGK untuk persilangan antara tetua ke-i dan tetua ke-j,
sedemikian sehingga sij = sji
rij : pengaruh resiprokal untuk persilangan antara tetua ke-i dan tetua
ke-j, sedemikian sehingga rij = rji
∑∑
eijkb 1
: pengaruh galat percobaan pada pengamatan ke ijk
i = j = 1,2,3, ………, n (galur)
[image:42.612.135.511.502.684.2]k = 1,2,3,………., r (ulangan)
Tabel 4 Analisis varians daya gabung metode I Griffing
Sumber variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat
tengah Fhitung
DGU p – 1 Sg p 1
Sg
− KTGalat KTDGU
DGK p(p–1)/2 Ss p(p 1)/2
Ss
− KTGalat
KTDGK
Resiprokal p(p–1)/2 Sr KTGalat
sip Re KT
Galat (t–1)(r–1) Se r
Se
21
Bila dalam analisis daya gabung ternyata ketiga kuadrat tengah berbeda
nyata terhadap galat maka dapat dihitung secara tersendiri ketiga pengaruh
sumber variasi tersebut. Perhitungannya mengacu pada Singh dan Chaudhary
(1979) sebagai berikut :
1. Efek daya gabung umum
2. Efek daya gabung khusus :
3. Efek resiprokal :
Perbedaan efek daya gabung umum diuji dengan uji-t dan nilainya
dibandingkan dengan besarnya nilai beda krisis (BK). Nilai BK ini digunakan
untuk melihat perbedaan efek DGU dari dua galur yang dibandingkan.
Nilai BK dihitung dengan formula dari Singh dan Chaudhary (1979) sebagai
berikut :
BK = S.E. x t (tabulated)
Dimana : SE = a
a = varians beda efek DGU
2. Nilai Heterosis
Nilai heterosis dapat dihitung sebagai berikut (Hallauer, Miranda 1981) :
a. Heterosis rata-rata tetua (Heterosis)
b. Heterosis nilai tertinggi (Heterobeltiosis)
∑
+ − = i 2 2 2 j ig Y ..
p 2 ) Y Y ( p 2 1 S .. Y p 1 ) Y Y ( p 2 1 ) Y Y ( Y 2 1 S i 2 i 2 2 i i i j j i j ij
s =
∑
∑
+ −∑
+ +∑∑
− = i j 2 ji ij r (Y Y )2 1 S Y n 1 ) Y Y ( n 2 1
: i+ j − 2
.. Y n 1 ) Y Y Y Y ( n 2 1 ) Y Y ( 2 1 2 j j i i ji
ij + − + + + +
) Y Y ( 2 1 ji ij − 100 x HP HP F h 1 ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − =
(
)
(
)
x10022 Keterangan :
1
F = rata-rata penampilan hibrida
1
P = rata-rata penampilan tetua pertama
2
P = rata-rata penampilan tetua kedua
HP = rata-rata penampilan tetua terbaik
Pengaruh efek heterosis yang nyata dapat diestimasi dengan menggunakan uji t-Student (α = 0.05). Uji beda nyata rata-rata F1 dengan tetua rata-rata dan tetua terbaik dilakukan dengan uji t, dengan rumus sebagai berikut
(Baihaki 1989): 2 2 2 1 2 1 d n S n S
S = +
d 2 1 S x x
t= −
db t-tabel = (n1 + n2) - 2
Keterangan:
d
S = ragam gabungan
2 1
S = ragam F1
2 2
S = ragam kedua tetua atau tetua terbaik
n1 = jumlah data kedua tetua atau tetua terbaik
n2 = jumlah data pada x
1
x = rata-rata F1
2
x = rata-rata kedua tetua atau tetua terbaik
t = t-hitung
dengan ketentuan bahwa jika:
t-hitung > t-tabel, maka nilai heterosisnya nyata
23 3. Indeks Toleransi Kekeringan
Toleransi terhadap cekaman kekeringan dinilai dengan mengukur
perbedaan hasil antara kondisi pengairan normal dengan kondisi kekeringan,
menilai produktivitas rata-rata pada kondisi normal dan kering dengan
menggunakan indeks kepekaan terhadap kekeringan (Blum 1980). Indeks
toleransi untuk mengukur indeks kepekaan/sensitivitas kekeringan (S) dihitung
dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Fischer dan Maurer (1978)
dalam Banzinger (2000) :
Keterangan:
S : Indeks toleransi kekeringan
Yp : Rata-rata suatu genotipe yang mendapatkan cekaman kekeringan
Y : Rata-rata suatu genotipe yang tidak mendapatkan cekaman kekeringan
Xp : Rata-rata dari seluruh genotipe yang mendapatkan cekaman kekeringan
X : Rata-rata dari seluruh genotipe yang tidak mendapatkan cekaman
kekeringan
Kriteria untuk menentukan tingkat toleransi terhadap cekaman kekeringan
adalah jika nilai S≤0.5 maka genotipe tersebut toleran, jika 0.5<S≤1.0 maka genotipe tersebut agak toleran, dan jika S>1.0 maka genotipe tersebut peka.
(
1 Xp/X)
) Y / Yp 1 ( S
30 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis varians (Tabel 3) menunjukkan bahwa penampilan karakter
hasil, bobot biji per tanaman dan tinggi tanaman pada kondisi cekaman air dan
Anthesis Silking Interval (ASI) di kondisi cekaman kekeringan antar genotipe
berbeda nyata pada taraf 1%, sehingga ketiga karakter tersebut dapat dilanjutkan
ke analisis daya gabung. Menurut Gomez dan Gomez (1995) karakter dikatakan
berbeda nyata apabila keragaman cukup besar dibandingkan dengan galat
[image:46.612.133.507.292.399.2]percobaan.
Tabel 3 Kuadrat tengah genotipe, DGU, DGK dan resiprokal pada persilangan dialel (7 x 7) genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan
Sumber
Keragaman db
Bobot biji per
tanaman ASI Tinggi tanaman
Genotipe 48 586.70** 5.86** 1196.31**
DGU 6 290.34** 2.16* 989.64**
DGK 21 340.90** 3.23** 539.32**
Resiprokal
21 23.15tn 0.62tn 89.39**
Galat 96 19.18 0.77 40.72
Keterangan : ASI = Anthesis Silking Interval ** = berbeda nyata pada taraf 1% * = berbeda nyata pada taraf 5%
Hasil analisis daya gabung untuk semua karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan menunjukkan bahwa nilai daya gabung umum (DGU) berbeda nyata pada taraf 5 dan 1% pada kondisi normal maupun cekaman kekeringan. Hal ini berarti bahwa terdapat satu atau lebih genotipe atau tetua jagung penggabung yang baik berdasarkan karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan. Nilai kuadrat tengah DGU yang berbeda nyata mengindikasikan bahwa karakter toleransi kekeringan dikendalikan oleh aksi gen aditif. Menurut Baker (1978), adanya efek nyata menunjukkan bahwa komponen ragam genetik yang berpengaruh terhadap penampilan karakter-karakter tersebut adalah ragam aditif. Lebih lanjut Bari et al. (1974) menyatakan bahwa ragam daya gabung umum disusun oleh ragam genetik aditif sehingga bila DGU menunjukkan hasil tidak nyata, maka diasumsikan pengaruh ragam genetik aditif kecil.
31 Efek resiprokal pada semua kondisi untuk karakter bobot biji per tanaman dan ASI tidak berbeda nyata kecuali pada karakter tinggi tanaman di kondisi cekaman. Pengaruh resiprokal yang tidak berbeda nyata mengindikasikan tidak adanya pengaruh tetua betina (maternal effect).
Hasil yang tinggi pada hibrida F1 sangat dipengaruhi oleh tingginya nilai
Daya Gabung Umum dan atau Daya Gabung Khususnya. Menurut Setiyono dan
Subandi (1996), hasil pipilan suatu hibrida F1 akan tinggi apabila kedua tetua
komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK yang tinggi.
Analisis dialel tujuh galur untuk karakter toleransi terhadap kekeringan (Tabel 5)
menunjukkan bahwa daya gabung umum (DGU) berbeda pada taraf 5% dan 1%
pada kondisi normal dan cekaman air. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat satu
atau lebih galur/tetua jagung penggabung yang baik berdasarkan karakter toleransi
terhadap kekeringan. DGU tidak nyata menunjukkan bahwa semua tetua
mempunyai keampuan yang sama untuk bergabung dengan tetua lain. Adanya
efek nyata menunjukkan bahwa komponen ragam genetic yang berpengaruh
terhadap penampilan karakter-karakter tersebut adalah ragam aditif (Baker 1978).
Tetua-tetua yang memiliki DGU nyata bila digunakan sebagai tetua persilangan
akan menghasilkan turunan yang vigornya baik untuk karakter-karakter yang
bersangkutan (Suhendi et al. 2004). Ragam daya gabung umum disusun oleh
ragam genetic adiif (Bari et al. 1974) sehingga bila DGU menunjukkan hasil tidak
nyata. Maka diasumsikan pengaruh ragam genetic aditif kecil. Daya gabung
khusus semua karakter toleransi terhadap kekeringan berbeda nyata pada taraf 1%
dimana dari seluruh genotype yang diuji paling sedikit terdapat sepasang genotipe
yang memiliki daya gabung khusus yang baik. Nilai DGK nyata menunjukan
bahwa ekspresi karakter pada F1 suatu kombinasi persilangan adalah hasil
interaksi tetua penyusun kombinasi persilangan tersebut. Sedangkan efek
resiprokal pada semua kondisi untuk karakter bobot biji per tanaman dan ASI
tidak nyata kecuali pada karakter tinggi tanaman di kondisi normal. Pengaruh
resiprokal yang tidak nyata menunjukkan tidak adanya pengaruh maternal.
Nilai kuadrat tengah DGU dan DGK yang berbeda nyata mengindikasikan
bahwa karakter ketahanan kekeringan dikendalikan efek gen aditif dan dominan.
32 khusus yang tinggi menunjukkan adanya pengaruh aksi gen non aditif yang tinggi
[image:48.612.129.499.158.260.2]pada sifat tersebut.
Tabel 6. Estimasi varian komponen genetik persilangan dialel 7 x 7 tanaman jagung pada kondisi cekaman air kekeringan
Sumber keragaman Bobot biji per tanaman ASI Tinggi tanaman
DGU (σ2g) -3.08 -0.07 32.99
DGK (σ2
s) 183.31 1.40 284.09
Resiprokal (σ2r) 1.99 -0.07 24.34
Galat (σ2
e) 19.17 0.77 40.74
DGU (σ2g)/ DGK (σ2s) -0.02 -0.05 0.12
Rasio varian DGU/DGK menunjukkan bahwa karakter bobot biji per
tanaman, ASI dan tinggi tanaman dikontrol oleh gen non aditif (dominan) di
kondisi cekaman kekeringan dimana varian DGK untuk semua karakter lebih
besar dari varian DGU, sehingga rasio varian DGU/DGK lebih kecil. Hal serupa
dikemukakan oleh Tabassum et. al. (2007) bahwa ratio varian DGU/DGK
terhadap jumlah biji per tongkol, berat 1000 biji dan bobot biji per tanaman di
kontrol oleh gen non aditif di kondisi cekaman kekringan.
Analisis Daya Gabung Umum
Nilai duga efek DGU setiap galur pada persilangan dialel disajikan pada
Tabel 7. Galur MR 14 mempunyai nilai DGU yang tinggi terhadap karakter bobot
biji per tanaman dan tinggi tanaman untuk kondisi pengairan normal dan cekaman
air. Galur toleran MR 14 dan G18 Seq C2F119-2-1-1-#-1-1-BBBBBBBB
memiliki nilai DGU tertinggi terhadap karakter bobot biji pertanaman di kondisi
cekaman air. Hal ini berarti galur tersebut mempunyai kemampuan berdaya
gabung terhadap karakter tersebut dan menunjukkan kemampuan untuk
memindahkan karakter toleransi atau memudahkan pemunculan gen toleransi
terhadap kekeringan.
Pada kondisi normal hal serupa terlihat dimana MR 14 yang memiliki nilai
DGU tinggi, sehingga pada kondisi air yang berbeda galur ini mempunyai
kemampuan berdaya gabung umum yang baik. Selain itu CML 165 yang
33 cekaman galur ini memiliki kemampuan berdaya gabung umum yang lebih rendah
[image:49.612.131.530.149.345.2]dibanding kondisi normal.
Tabel 4 Nilai daya gabung umum 7 genotipe tetua jagung pada kondisi normal dan cekaman kekeringan
Tetua Genotipe
Bobot biji per
tanaman ASI Tinggi tanaman
normal cekaman
Pada kondisi :
cekaman normal cekaman
P1 CML 161 1.12 -5.96 0.69 -0.11 -5.29
P2 CML 165 4.78 0.48 -0.43 -3.80 -5.74
P3 MR 4 0.75 -4.52 0.19 10.97 6.00
P4 MR 14 4.44 7.79 -0.19 4.85 14.57
P5 DTPY 1 -5.23 -1.18 -0.14 -4.72 -4.31
P6 DTPY 2 -3.90 1.18 0.22 -11.46 -9.05
P7 G18 Seq -1.95 2.20 -0.35 4.28 3.81
SE(gi-gj) 2.68 1.66 0.33 2.08 2.41
BK 5.33 3.29 0.66 4.13 4.8
Tujuh galur yang dievaluasi menunjukkan galur CML 165 dan G18 Seq
C2F119-2-1-1-#-1-1-BBBBBBBB mempunyai daya gabung umum baik untuk
karakter ASI di kondisi cekaman air, dimana cekaman kekeringan tidak
menyebabkan selisih pembungaan antara jantan dan betina terlalu jauh sehingga
terjadi sinkronisasi pembungaan dan hasil masih dapat diperoleh.Nilai DGU yang
besar menunjukkan tetua atau galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan
berkombinasi dengan baik, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan
bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan berkombinasi yang lebih jelek
dibanding tetua lain. Nilai DGU bisa positif atau negatif, tergantung pada karakter
yang diamati dan bagaimana cara menilainya.
Nilai DGU tinggi tanaman yang bernilai positif diperoleh pada tetua
MR 4, MR 14 dan G18 Seq C2F119-2-1-1-#-1-1-BBBBBBBB pada kondisi
normal maupun cekaman air. MR 14 mempunyai daya gabung umum terbaik di
kondisi cekaman diantara semua galur yang diuji untuk karakter tinggi tanaman.
Oleh karena itu MR 14 dapat dijadikan tetua dalam perakitan varietas sintetik.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Poespodarsono (1988), bahwa nilai DGU
tinggi menunjukkan tetua tersebut memberikan penampilan yang lebih baik
34 Analisis Daya Gabung Khusus
Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan
persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada
nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung
khususnya baik (Poehlman dan Sleeper, 1990).
Daya gabung Khusus (DGK) positif berarti genotie tersebut mempunyai
nilai DGK yang baik dan semakin tinggi nilai DGK maka kemampuan genotipr
untuk bergabung dengan tetua tersebut semakin baik juga. DGK negative artinya
[image:50.612.133.498.298.708.2]genotype tersebut tidak dapat bergabung dengan baik.
Tabel 8. Nilai Efek Daya Gabung Khusus persilangan dialel 7 x 7 tanaman jagung pada kondisi normal dan cekaman air
No. Persilangan Bobot biji per tanaman (g) ASI Tinggi Tanaman (cm) normal cekaman cekaman normal cekaman
1 P1P2 -17.05 -6.57 -0.57 -7.73 -10.45
2 P1P3 26.01 -0.07 -0.69 16.18 1.31
3 P1P4 11.69 11.26 -0.81 17.30 17.07
4 P1P5 24.92 13.69 -1.03 9.53 15.45
5 P1P6 13.58 5.20 -0.05 -2.90 9.36
6 P1P7 -8.06 -4.52 -0.15 -7.47 -11.83
7 P2P3 10.08 4.65 -0.74 -1.97 10.26
8 P2P4 17.92 13.95 -0.19 7.15 14.19
9 P2P5 29.23 8.15 -0.07 24.56 1.41
10 P2P6 15.36 7.43 -0.93 8.80 6.48
11 P2P7 -7.25 -4.33 0.97 -2.61 -0.55
12 P3P4 -1.18 -5.48 1.35 0.23 -6.38
13 P3P5 13.82 8.42 -1.03 4.46 12.83
14 P3P6 11.29 6.73 -1.22 5.03 12.57
15 P3P7 8.54 5.44 0.02 11.80 7.21
16 P4P5 13.80 3.58 -0.65 5.25 10.76
17 P4P6 13.63 2.92 0.00 3.65 -3.17
18 P4P7 7.15 7.33 -0.10 7.58 9.48
19 P5P6 -37.30 -14.78 -0.38 -15.78 -18.62
20 P5P7 28.86 7.63 -0.48 5.32 5.02
21 P6P7 24.72 13.64 -1.00 11.39 18.43
SE (Sij-Skl) 6.00 3.70 0.74 4.64 5.39
35 Tabel 8 menunjukkan bahwa karakter bobot biji persilangan galur peka
dan toleran P1P5, P2P4, P2P5, P2P6, P3P5 mempunyai efek DGK yang tinggi
pada kondisi cekaman air. Hal ini mungkin disebabkan gen-gen yang
menguntungkan pada galur tahan dapat menutupi gen-gen yang merugikan pada
galur peka dan mampu bergabung dengan baik. Daya gabung khusus tinggi
untuk karakter bobot biji mengindikasikan aksi gen dominant dan epistasis jika
berasal dari tetua yang nilai DGUnya tinggi/rendah atau rendah/rendah. Menurut
Sujiprihati (1996), informasi genetik yang diperoleh dari pengujian DGU dan
DGK dan resiprokalnya sangat berguna untuk menentukan tetua dan metode
pemuliaan yang sesuai dalam rangka perbaikan sifat-sifat tanaman. DGK sebagai
indikator adanya efek gen dominan dan epistasis sedangkan DGU
mengindikasikan efek gen aditif
Persilangan antara galur toleran dan toleran seperti P4P5, P4P6, P5P7 dan
P6P7 juga mempunyai nilai daya gabung khusus yang tinggi, bahkan F1 yang
berasal dari persilangan P6P7 (DTPYC9-F46-3-9-1-2-BBBB x G18 Seq
C2F119-2-1-1-#-1-1-BBBBBBBB dan P1P6 (CML 161 x DTPYC9-F46-3-9-1-2-BBBB)
memiliki rata rata nilai DGK yang tinggi disemua karakter. Di kondisi cekaman
untuk karakter bobot biji per tanaman nilai DGK tertinggi terlihat pada
persilangan P2P5 dimana nilai DGU kedua tetuanya sedang/rendah diikuti oleh
P5P7, P1P3 dan P1P5. Persilangan P1P5 masing-masing mempunyai dua tetua
yang nilai DGUnya rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa persilangan ini aksi
gen epistasis yang berperan yang mampu menutupi sifat jelek pada tetuanya
sehingga menghasilkan bobot biji yang tinggi sebagai karakter toleransi terhadap
cekaman. P1dan P5 memiliki nilai DGU rendah untuk karakter bobot biji per
tanaman, tetapi hasil persilangan keduanya memiliki nilai DGK tinggi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Maurya and Singh (1977) bahwa hibrida terbaik
kemungkinan besar dapat diperoleh dari persilangan dua varietas yang DGU
terbesar, tetapi persilangan antara dua penggabung umum yang kurang baik dapat
menunjukkan pengaruh DGK yang baik.
Daya gabung khusus yang tinggi didukung dengan nilai ragam dominant
positif akan memberikan hasil yang lebih baik (Mangoendidjojo, 2003). Ragam
36 kuantitatif, sehingga karakter-karakter tersebut terekspresi sebagai hasil kerja
banyak gen pengendali (Poehlman 1979). Sebagaimana dinyatakan oleh Bari et al
(1974). Bahwa jika contoh acak dari suatu populasi galur memperlihatkan ragam
aditif terbesar, maka sebaliknya tidak diusahakan program seleksi kea rah
pembentukan hibrida.
Persilangan P2P4 juga memiliki nilai DGK yang nyata dimana nilai DGU
kedua tetua sedang-tinggi sehingga persilangan P2P4 baik dijadikan sebagai
calon hibrida yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pradhan et.al. (2006), kombinasi persilangan antara tetua dengan nilai
DGU tinggi dan rendah atau sedang dan rendah menunjukkan aksi gen aditif dan
dominan. Persilangan dengan nilai DGU rendah dan rendah menunjukkan aksi
gen epistasis.
Menurut Maurya and Sigh (1977) bahwa hibrida terbaik kemungkinan
besar dapat diperoleh dari kultivar yang memiliki nilai DGU terbesar, tetapi
persilangan antara 2 penggabung umum yang kurang baik dapat menunjukkan
pengaruh DGK yang baik. Demikian juga halnya dengan persilangan antara P2
dan P5 (CML 165 x F46-1-7-1-1-BBBB), P3P5 (MR 4 x
DTPYC9-F46-1-7-1-1-BBBB). Dengan demikian persilangan antara 2 galur yang memiliki
nilai DGU terbesar belum tentu mempunyai efek DGK yang tinggi. Hal ini
mungkin karena galur tersebut belum tentu cocok berpasangan terhadap semua
galur tetapi mampu memperlihatkan kemampuannya bergabung dengan salah
galur tertentu yang dapat dilihat dari tingginya bobot biji per tanaman.
Galur murni MR 14 memiliki nilai DGU yang tinggi mempunyai nilai
DGK yang tinggi pula. Pemilihan galur-galur atau tetua yang mempunyai daya
penggabung yang baik akan sangat membantu pemulia dalam menyeleksi
tetua-tetua yang layak digunakan dalam program pemuliaan dalam usaha
pengembangan kultivar yang toleran terhadap kekeringan. Persilangan antara
galur-galur yang memiliki nilai DGK yang tinggi diharapkan menghasilkan
genotipe yang toleran terhadap kekeringan dan dapat digunakan sebagai tetua
37 DGK lebih penting dibanding DGU diantara galur murni yang diseleksi dan DGU
relative lebih penting dibanding DGK diantara galur murni yang tidak diseleksi
untuk karakter hasil.
Persilangan P1P5 dan P6P7 yang memiliki nilai DGK yang tinggi pada
karakter bobot biji per tanaman mempunyai nilai DGK yang tinggi pula terhadap
karakter ASI. Persilangan antara galur rentan dan toleran dapat menghasilkan
efek DGK yang tinggi seperti pada persilangan P1P5 dan P3P5 terhadap karakter
ini. Karakter tinggi tanaman di kondisi cekaman nilai resiprokal nyata. Hal ini
menunjukkan ada pengaruh tetua betina terhadap pewarisan karakter toleransi