• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN TEORI A. Autism Spektrum Disorder (ASD)

1. Definisi

Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri” dan pada umumnya penderita autis mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian di lingkungannya yang melibatkan diri mereka. ( Sari, 2011 ). Autism Spektrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autis (GSA) adalah suatu gangguan perkembangan saraf (neurodevelopmental disorder) yang ditandai dengan hambatan komunikasi sosial dan interaksi sosial pada berbagai situasi (termasuk hambatan dalam timbal balik sosial, perilaku komunikatif non-verbal yang digunakan untuk interaksi sosial, dan keterampilan dalam mengembangkan, mempertahankan dan memahami hubungan) dan juga adanya pola perilaku, ketertarikan yang terbatas maupun aktivitas yang berulang. (American Psychiatric Association, 2013).

ASD adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Seringkali gejala tampak sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Gangguan perkembangan ini mempengaruhi kemampuan berkomunikasi (berbicara dan berbahasa), kemampuan berinteraksi

(2)

sosial (tidak tertarik untuk berinteraksi), perilaku (hidup di dalam dunianya sendiri). Umumnya, anak-anak ASD sebelum berusia 3 tahun sudah menunjukkan ketidaknormalan atau keterlambatan perkembangan dalam berinteraksi sosial, berbicara dan bermain menggunakan daya imajinasi (Pamoedji, 2010).

Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa autism adalah gangguan perkembangan syaraf yang dapat mengakibatkan keterlambatan pada tumbuh kembang dan menganggu kemampuan dalam berinteraksi sosial.

2. Prevalensi

Perkiraan penyandang autis di dunia adalah 1 dari 160 anak- anak (World Health Organization, 2016). Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Data dari UNESCO pada tahun 2011, melaporkan tercatat 35 juta orang penyandang autisme diseluruh dunia. Ini berarti rata-rata 6 dari 1.000 orang di dunia mengidap autism (Hasnita dan Hidayati, 2015). Data dari Centre of Disease Control (CDC) dalam “Comunity Report on Autism 2016” prevalensi autisme di Amerika adalah 1 dari 68 anak atau 1,5% dari anak usia 8 tahun (Centers for Disease Control and Prevention United States, 2016).

Prevalensi autisme di indonesia taun 2010, anak berusia 5-19 tahun yang menyandang gangguan spectrum autisme sebanyak

(3)

66.000.805 dan berdasarkan data badan pusat statistic di perkiraan terdapat 112.000 anak yang menyandang spectrum autisme (Nurvita, 2016). Jumlah penduduk indonesia lebih dari 237,5 juta dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,14% sehingga jumlah penyandang autisme mencapai 2,4 juta orang (Hardani, 2012).

3. Etiologi

Kelainan autis dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya atau sikap orangtua yang cuek dan dingin terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pengaruh pola asuh atau sikap orangtua yang dingin dan cuek (teori the frigid mother atau the refrigerator mom) sudah tidak diyakini lagi sebagai penyebab dari gangguan spektrum autis (Yapko, 2004). Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan karena multifaktorial, tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tunggal namun hasil interaksi antara beberapa faktor yang saling terkait. Faktor-faktor yang lebih diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik (keturunan), factor biologis, faktor lingkungan, dan faktor pemicu lainnya.

Faktor-faktor tersebut akan dijelaskan pada materi berikut ini.

a. Faktor Genetik

(4)

Secara genetik, penyebab autisme kemungkinan disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kompleks. Secara genetik juga telah ditemukan bahwa autisme disebabkan oleh interaksi beberapa gen (Winarno, 2013). Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga

b. Faktor Biologis

Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesa mengenai penyebab autisme.

1) Faktor Prenatal & perinatal

Pendarahan pada kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi yang terlambat, gangguan pernapasan dan anemia merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya autisme (Azwandi, 2005). Kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak mencukupi dikarenakan nutrisi tidak dapat diserap oleh tubuh juga dapat menjadi pemicu terjadinya autisme.

Hal tersebut dapat terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya atau nutrisi yang tidak terpenuhi karena faktor ekonomi.

2) Faktor Biokimia Otak

(5)

Faktor biokimia otak ditunjukkan dengan adanya kondisi berupa hiperserotoninemia, hiperdopaminergik, ketidak seimbangan jumlah serotonin dan dopamine di otak, serta peningkatan peptide otak yang berlebihan. Selain itu, ketidakseimbangan jumlah serotonin dan dopamine di otak menyebabkan kacau balaunya impuls saraf di otak, sementara peningkatan peptide otak yang berlebihan menyebabkan terjadinya gangguan perilaku pada anak autis karena jumlahnya yang berlebihan mengganggu pengaturan saraf di otak (Sari, 2011).

3) Faktor Neuroanatomi

Sebagian besar ahli sepakat bahwa gangguan spektrum autis berhubungan dengan perkembangan otak abnormal yang muncul akibat interaksi faktor genetik dan lingkungan.

Dengan kata lain, otak anak autis tidak berkembang dan bekerja seperti seharusnya. Berikut adalah kemungkinan gangguan otak yang dialami anak autis:

a). Kelainan anatomi dan fungsi otak

Kelainan anatomi dan fungsiotak terjadi pada bagian lobus parientalis, cerebellum, dan system limbic (amygdala danh ippocampus). Pada anak autis, lekukan otak cenderung lebih lebar dan jumlah sel otak di lobus

(6)

parientalis cenderung berkurang sehingga berakibat tidak peduli/perhatian terhadap lingkungan. Cerrebelum atau otak kecil bertanggung jawab terhadap proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar bahasa, atensi/perhatian sehingga kelainan yang ada dapat menyebabkan anak kurang perhatian atau jika memiliki perhatian yang terpusat padahal tertentu maka sulit beralih (Azwandi, 2005).

b). Gangguan neurotansmiter.

Neurotransmeitter adalah senyawa kimia dalam otak yang berfungsi meneruskan sinyal dalam otak. Gangguan pada neurotransmitter menyebabkan sinyal dalam otak kurang dapat diteruskan dengan baik sehingga proses yang terjadi pada otak menjadi terganggu (Yapko, 2004).

c). Gangguan pada mirror neuron.

Gangguan pada neuron ini menyebabkan anak dengan gangguan spektrum autis kesulitan untuk memahami emosi orang lain dan kesulitan untuk berempati.

4) Faktor Metabolisme

Beberapa penelitian anak autis menunjukkan adanya gangguan metabolisme sehingga sistem metabolisme tubuh

(7)

pada anak autis cenderung tidak berfungsi secara optimal, salah satunya pada sistem pencernaannya (Sari, 2011).

5) Faktor Autoimun Tubuh

Autoimun pada anak dapat merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat-zat yang bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit, sedangkan autoimun adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh sendiri yang justru kebal terhadap zat-zat penting dalam tubuh dan menghancurkannya (Winarno, 2013).

6) Faktor Lingkungan

Keracunan logam berat dapat terjadi pada anak yang tinggal dekat tambang batu bara, emas, dan sebagainya.

Keracunan logam berat juga dapat terjadi melalui makanan yang dikonsumsi ibu yang sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang tinggi. Dari penelitian, diketahui dalam tubuh anak-anak autis terkandung timah hitam dan merkuri dalam kadar yang relatif tinggi, akan tetapi interaksi antara factor genetic dan lingkungan lebih diyakini oleh para ahli. Sebagai contoh, seseorang yang sering terpapar logam berat belum tentu akan mengalami

(8)

gangguan spektrum autis bila tidak ada faktor genetik sebagai factor pemicu lain (Sari, 2011).

4. Gambaran Klinis / Masalah

Diagnosa ASD terbagi menjadi 2 area yaitu hambatan konunikasi sosial (deficits in social communication) dan minat yang terfiksasi dan perilaku berulang (fixated interest and repetitive behavior) menurut American Psychiatric Associational (2013).

Diagnosa Autisms Spectrum Disorder (ASD) bisa ditegakkan jika anak telah menunjukan gejala sejak masa kanak-kanak. Selain itu gejala juga menunjukan bahwa anak memiliki persoalan dalam hal sosial dan perilaku dibandingkan anak-anak seusianya.

Untuk menegakan diagnosis gangguan ASD ada kriteria diagnostik yang digunakan sebagai pedoman dalam American Psychiatric Associational (2013), sebagai berikut :

a. Masalah dalam komunikasi dan interaksi sosial pada beberapa konteks seperti berikut:

1) Gangguan dalam kemampuan komunikasi sosial dan emosional, misalnya tidak mampu untuk melakukan komunikasi dua arah dan kegagalan untuk memulai atau merespon interaksi sosial.

2) Gangguan dalam komunikasi nonverbal yang digunakan untuk interaksi sosial, ketidakmampuan melakukan kontak

(9)

mata, dan kesulitan memahami gerak tubuh serta ekspresi wajah yang terbatas.

3) Gangguan dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan, misalnya kesulitan menyesuaikan perilaku pada berbagai konteks sosial, kesulitan dalam berbagi permainan imajinatif, serta tidak tertarik bermain dengan teman sebaya.

b. Pola perilaku yang berulang, minat atau aktivitas yang terbatas ditunjukkan setidaknya dua kriteria berikut :

1) Gerakan stereotip dan repetitif dalam penggunaan obyek atau bahasa, misalnya gerakan stereotip sederhana, menyusun atau memutar-mutar mainan, echolalia atau meniru perkataan orang lain.

2) Ketidakpatuhan terhadap rutinitas, dan pola yang menetap pada perilaku verbal atau non-verbal (kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, pola pikir yang kaku, melakukan suatu kegiatan atau makan makanan yang sama setiap hari).

3) Minat yang sangat terbatas, terpaku dan fokus pada satu aktivitas.

4) Hipereaktif atau hiporeaktif terhadap rangsangan sensoris, seperti ketidakpedulian terhadap rasa sakit,

(10)

respon yang negatif terhadap suara atau tekstur tertentu, berlebihan dalam mencium atau menyentuh suatu objek, memiliki ketertarikan visual terhadap cahaya atau gerakan.

c. Gejala harus muncul pada masa perkembangan awal (namun terkadang gejala tidak terlihat karena dapat ditutupi oleh cara belajar pada perkembangan berikutnya).

d. Gejala menyebabkan gangguan klinis secara signifikan pada kemampuan sosial, pekerjaan atau area fungsional penting lainnya.

5. Prognosis

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan salah satu gangguan perkembangan anak. Anak ASD memiliki masalah dalam interaksi sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, serta adanya perilaku berulang. Penanganan di usia dini pada anak ASD akan menghasilkan prognosis yang semakin baik. Pada umumnya anak ASD mengalami hambatan dalam belajar, berkaitan dengan kurangnya kemampuan sosial dan pola perilaku yang tidak sama dengan anak normal. Intervensi dini yang tepat dan program pendidikan terpadu serta pelayanan pendukung yang tersedia dapat mempengaruhi prognosis anak ASD. Anak ASD yang dideteksi dini serta langsung mendapat perawatan dapat hidup mandiri

(11)

tergantung dari jenis gangguan ASD yang diderita (Ballerina, 2016).

Semakin dini anak terdiagnosis dan terintervensi, maka semakin besar kemungkinan anak untuk “sembuh” (Asna, 2018).

Mereka yang dinyatakan sembuh bila gejala yang ada pada anak sudah tidak muncul lagi dan anak dapat berbaur dengan masyarakat seperti layaknya anak normal. Intervensi dini secara intensif dan optimal dapat bermanfaat untuk penanganan anak autis yang biasa disebut dengan terapi. Penanganan terapi dapat memungkinkan untuk mengurangi perilaku yang tidak biasa pada anak ASD. Intervensi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara misalnya memberikan stimulasi untuk anak secara intensif sedini mungkin agar mampu keluar dari dunianya sendiri.

B. Aktivitas Makan 1. Definisi Makan

Dalam kamus besar bahasa indonesia menjabarkan aktivitas makan yaitu memasukan makanan pokok ke dalam mulut serta mengunyah dan menelannya. Self feeding adalah kemampuan makan secara mandiri, kemampuan makan meliputi aktivitas:bibir tertutup, menghisap, menelan, mengunyah, mencuci tangan, mengeringkan tangan, makan menggunakan jari-jari tangan, makan menggunakan sendok, memasukan

(12)

makanan ke mulut, makan mandiri, menggunakan serbet minum menggunakan gelas atau cangkir pada umumnya, menggunakan garpu, mencuci peralatan makan, menyimpan peralatan makan, memotong makanan menggunakan sendok dan garpu, mengatur meja makan dan dapat mengetahui peralatan dapur.

Makan merupakaan kemampuan yang dilakukan secara mandiri dengan cara memasukan sendok atau garpu (DPN, 2005). Makan (feeding) merupakan aktivitas kompleks yang memerlukan ketepatan, koordinasi fungsi dari sistem motorik, sensorik dan kognitif mengetahui peralatan (Pratt & Allen, 1989).

2. Definisi Makanan Ringan

Makanan ringan atau lebih dikenal sebagai snack food adalah kata benda yang memiliki arti makanan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama (Kamus Webster ke 9, 1985). Muchtadi et al, (1988) juga mendefinisikan Snack sebagai makanan ringan yang dimakan dalam waktu antara ketiga makanan utama dalam sehari. Booth (1990) menjelaskan produk yang termasuk dalam kategori snack food antara lain:

permen dan produk konfeksioneri: cookies/cracker dan produk asal tepung lainnya: meat snack; snack dengan basis susu; fish

(13)

snacks dan shellfish snacks, extraded snacks, snack berbasis buah ; kacang-kacangan ; potato based textured snacks ; dan health food snacks. Snack food juga sering disebut sebagain savory snack karena sebagai besar snack memiliki rasa asin, berbumbu, maupun gurih.

3. Perkembangan Kemampuan Self-Feeding pada Anak

The National Health Service (NHS) (2011) mengemukakan perkembangan kemampuan self-feeding anak adalah sebagai berikut:

a. Usia 9 bulan

Anak mampu memegang, menggigit dan mengunyah biskuit. Selain itu, anak mampu meletakkan tangannya pada botol atau gelas saat minum.

b. Usia 12 bulan

Anak mampu mengambil remahan roti yang kecil dan kismis menggunakan pincer grasp. Selain itu, anak juga mampu memegang sendok meski belum mampu menggunakannya secara mandiri.

c. Usia 15 bulan

Anak mampu memegang sendok, mengarahkannya ke mulut, dan menjilatnya tetapi tidak dapat mencegah makanan agar tidak tumpah.

(14)

d. Usia 18 bulan

Anak mampu memegang sendok dan mengarahkan makanan ke mulut serta dapat mengunyah dengan baik.

Selain itu, anak dapat memegang gelas dengan kedua tangannya, meminum minuman tanpa banyak tumpah.

Namun, ada kemungkinan anak tidak dapat meletakkan kembali gelas di atas meja.

e. Usia 2 tahun

Pada usia 2 tahun, anak dapat makan menggunakan sendok tanpa tercecer/tumpah serta dapat mengunyah dengan baik. Anak mampu mengangkat gelas dan meletakkan kembali di atas meja dengan mudah. Selain itu, ia juga mampu meminta makanan dan minuman kepada orang tua atau caregiver ketika sedang merasa lapar dan haus.

f. Usia 2,5 tahun

Anak mampu makan dengan baik menggunakan sendok dan mulai menggunakan garpu.

g. Usia 3 tahun

Anak mampu makan secara mandiri dengan sendok dan garpu.

h. Usia 4 tahun

(15)

Anak mampu makan dengan baik menggunakan sendok dan garpu.

i. Usia5 tahun

Anak mampu menggunakan garpu dengan baik dan mulai menggunakan pisau untuk memotong, tetapi masih memerlukan bantuan saat memotong makanan dengan tekstur yang keras seperti daging.

4. Prasayarat Akivitas Makan

Morris & Klein (1987) menjelaskan bahwa dalam melakukan aktivitas makan ketrampilan persyaratan yang diperlukan yaitu:

a. Kontrol Postural

Kontrol postural digunakan dalam menjaga keseimbangan tubuh saat melakukan aktivitas makan b. Positioning

Posisi trunk, hip, dan pelvis harus diperhatikan saat melakukan aktivitas.

c. Koordinasi mata tangan

Koordinasi mata tangan bertujuan mengontrol gerakan mulai dari mengambil makanan sampai mengarahkan ke mulut

d. Kemampuan gross motor

(16)

Berhubungan dengan gerakan yang melibatkan sendi sendi besar pada saat melakukan aktivitas makan.

e. Kemampuan fine motor

Ketrampilan dalam menggenggam,

mempertahankan dan mengarahkan makanan sangat diperlukan agar makanan tidak terjatuh atau tercecer.

f. Kemampuan sensory dan body scame

Ketrampilan penglihatan dan persepsi juga diperlukan pada saat aktivitas makan. Kemampuan penglihatan digunakan dalam memusatkan pandangan saat melakukan aktivitas makan sedangkan persepsi digunakan untuk pemahaman seseorang pada saat aktivitas makan.

C. Kerangka Acuan Perilaku

1. Definisi Kerangka Acuan Perilaku

Bruce & Brog (2002) berpendapat bahwa kerangka acuan perilaku merupakan satu metode untuk membentuk perilaku adaptif. Kerangka acuan perilaku dikembangkan berdasarkan pengalaman inquiry dan prinsip kognitif, sosial, dan teori pembelajaran. Dalam konteks hubungan terapeutik, prinsip- prinsip tersebut secara sistematis diaplikasikan menggunakan teknik perilaku dan prosedur yang dapat merubah perilaku

(17)

individu dan dapat mengembangkan performance skills yang diperlukan agar individu dapat mandiri dalam lingkungannya sekitar.

Performance skills meliputi overt behaviour yang dapat diobservasi dan diukur di okupasi terapi dan pada lingkungan klien. Behaviours dan skills yang mendukung fungsi klien pada lingkungannya disebut adaptive behavior, sedangkan behaviours yang menghalangi fungsi klien dalam lingkungan disebut dengan maladaptive. Maladaptive dilihat sebagai kegagalan dalam belajar, bukan suatu penyakit.

Terapis dan klien berkolaborasi dalam mengidentifikasi skills yang dibutuhkan oleh klien di lingkungannya dan membuat kesempatan untuk mempelajari, mempraktekan, dan menjadikan kemampuan bagi klien.

2. Strategi dan teknik Kerangka Acuan Perilaku

Bruce & Borg (2002) mengemukakan strategi atau teknik yang terdapat pada kerangka acuan perilaku yaitu sebagai berikut:

a. Reduksi Perilaku

Desensitization merupakan bagian dari teknik reduksi perilaku, Desensitization digunakan sebagai strategi untuk mengurangi perilaku kecemasan. Pemberian

(18)

stimulus atau pengalaman yang digradasi, sehingga perasaan cemas dapat berangsur-angsur dan anak menjadi nyaman dengan situasi tersebut (Bruce & Borg, 2002).

b. Eliminasi Perilaku

Bruce & Borg (2002) berpendapat bahwa satu strategi yang bertujuan untuk menghilangkan penguat perilaku yang tidak diinginkan yaitu time out on the spot (TOOTS). Terapis keluar ruangan (20 detik atau lebih), terapis mengabaikan perilaku maladaptif yang ditujukan anak dan mengajaknya berbicara tentang hal lain.

c. Belajar Perilaku 1) Shaping

Shaping dilakukan dengan pemberian reinforcement pada perilaku yang sama atau yang mengarah ke perilaku yang diinginkan, sehingga perilaku yang dihasilkan akan mendekati ke perilaku yang diinginkan (Bruce & Borg, 2002). Dimulai dari tahap yang mampu dilakukan oleh anak lalu diberikan penguatan. Selanjutnya, anak mempelajari tahap berikutnya dan diberikan penguatan sampai terbentuk perilaku yang diinginkan.

2) Building Chains of Behavior

(19)

Perilaku yang paling komplek dapat dipahami sebagai rantai konteks atau respon stimulus. Respon yang dilakukan bertindak sebagai stimulus respon selanjutnya. Building chains of behaviour ada dua cara yaitu: 1) Backward chaining dan forward chaining.

Backward chaining dilakukan dengan cara individu dilatih untuk melakukan prosedur atau aktivitas dari belakang. Forward chaining dilakukan dengan melatih individu untuk menganalisis aktivitas sendiri. Namun, lebih menekankan pada proses melakukan aktivitasnya (Bruce & Borg, 2002).

3) Modeling

Modeling sebagai metode pembelajaran cepat, perilaku baru akan lebih mudah dipelajari dengan cara mengimitasi perilaku dari orang lain yang diamati daripada melalui pengembangan respon stimulus (Bruce & Borg, 2002). Hal ini menjadi penting di bidang pembelajaran sosial ketika seseorang belajar bagaimana untuk bertindak berdasarkan pengamatan seseorang dari berbagai model yang dikagumi.

d. Mengubah Perilaku

(20)

1) Token Economies

Merupakan sistem pengkondisian yang dirancang untuk mengubah perilaku dengan beberapa orang atau lebih, terutama jika internal atau intangible reinforcement (persetujuan sosial atau kepuasan diri) belum terbukti efektif. Token digunakan sebagai reward dan dapat ditukar dalam bentuk makanan, permen, mainan, dan sebagainya.

Keuntungan token economies, yaitu mengurangi penundaan antara perilaku adaptif dengan reward- nya, sebagai ukuran konkret motivasi, dan melibatkan unsur pilihan bahwa orang tersebut memiliki kesempatan untuk memutuskan keinginannya (Bruce & Borg, 2002).

2) Biofeedback

Biofeedback digunakan bersamaan dengan aktivitas fungsional dan terintegrasi melalui aplikasi kerangka acuan utama lainnya, seperti biomechanical neurodevelopmental, rehabilitation psychodynamic atau sensory integration. Selama evaluasi dan intervensi biofeedback digunakan untuk mengidentifikasi efek-efek terapeutik pada individu.

(21)

Selain itu, biofeedback ini digunakan untuk mengajarkan self- control kepada anak serta memfasilitasi penyesuaian strategi intervensi dan sebagai dokumentasi perkembangan anak (Bruce &

Borg, 2002).

3) Reinforcement

Reinforcement atau penguat merupakan segala hal yang mampu meningkatkan atau dapat memberi motivasi pada perilaku yang akan timbul. Terdapat dua tipe reinforcement, yaitu positive reinforcement dan negative reinforcement. Positive reinforcement, merupakan sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebagai penguat, sesuai perilaku yang adaptif. Negative reinforcement merupakan sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk menjauhi reinforcement, dipandang sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan sehingga perilaku tersebut dapat menghilangkan stimulus negatif terhadap lingkungan atau menjaga seseorang dari situasi tersebut.

Kategori pemberian reinforcement terdiri dari 3 macam yaitu: (1) Consumable reinforcement, seperti

(22)

permen, buah, dan makanan ringan (2) Social reinforcement, meliputi: perhatian, pelukan, senyuman, tepukan di punggung, pujian, penghargaan, dan lain-lain, (3) Activity reinforcement, mencakup berbagai aktivitas yang memerlukan ketekunan antara terapis dan anak untuk mengidentifikasi. Termasuk kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas yang disukai anak (misalnya:

bermain mobil-mobilan, bersepeda, membaca buku, menghabiskan waktu sendirian, menonton televisi, bermain video games, bermain dengan seni atau kerajinan dan berbelanja).

Reinforcement dapat dibedakan menjadi 3 macam berdasarkan waktu pemberian, yaitu: (1) Continuous versus fixed reinforcement. Continuous reinforcement adalah penguat yang diberikan

setiap kali klien menunjukan

perilaku yang adaptif. Fixed ratio, yaitu pemberian reinforcement ketika anak melakukan beberapa jumlah respon yang benar, misalnya setiap anak melakukan tiga kali respon yang sesuai, terapis memberikan reinforcement padanya, sedangkan

(23)

penguat yang diberikan dalam jangka waktu tertentu (10 menit sekali) disebut dengan fixed interval muncul, (2) Intermittent reinforcement adalah penguat yang diberikan pada saat-saat tertentu dengan frekuensi lebih jarang. Intermittent reinforcement biasanya dilakukan ketika sesi terapi sudah berlangsung berkali-kali (3) Determining reinforcement adalah tingkat seseorang membutuhkan penguatan eksternal dan predictable reinforcement dari sumber-sumber luar yang berhubungan dengan diri seseorang untuk mengetahui tingkat kepuasan atas perilaku yang ia hasilkan (Bruce & Borg, 2002).

D. Pendapat Ahli

Pendekatan perilaku telah terbukti sangat efektif dan aman untuk berbagai masalah dalam self-feeding (Silverman, 2015).

Tanda-tanda dari ASD bisa diminimalkan ketika seseorang menerima reward yang sering untuk perilaku yang sesuai dibawah pengawasan, ketika berada di setting baru biasanya dilakukan dengan aktivitas menarik dengan stimulasi eksternal yang konsisten (contohnya melalui layar elektronik), atau dengan interaksi one-on-one (contohnya di klinik) (APA, 2013).

(24)

Mitchell (2010) menyatakan walaupun reinforcement sensitivity theory (RST) digunakan untuk menangani gangguan behavioral inhibition, penggunaan RST yang berlebihan akan menghasilkan perilaku hiperaktif dan impulsif. Behavioral approach system (BAS) merespon stimulus dengan mengharapkan reward ataupun terbebas dari punishment.

Behavioral approach system mengaktivasi seseorang untuk merespon reward dan ciri behavioral approach adalah segera memberikan stimulus penguat (reinforcer) terhadap anak.

Permasalahan dengan self-regulation dapat muncul ketika BAS berlebihan dan akan muncul perilaku impulsive. Contohnya behavioral approach diterapkan dengan pemberian reward secara langsung daripada menunda pemberian reward.

Behavioral inhibition system (BIS) merupakan bagian dari RST.

BIS merespon stimulus punishment dan frustative nonreward, serta stimulus rasa takut untuk meningkatkan sikap menghindar secara pasif. Sensitivitas BIS paling besar adalah terhadap punishment dan menyebabkan rasa cemas (anxiety).

Kelebihan kerangka acuan perilaku yaitu dapat mendukung proses pembelajaran dalam aktivitas terapi, pasien juga lebih mampu untuk memusatkan perhatian saat melakukan aktivitas dan lebih mampu untuk mengontrol perilakunya. Dengan

(25)

kerangka acuan ini hasil terapi juga dapat diidentifikasi secara terstruktur, mampu melakukan ketrampilan-ketrampilan sederhana yang bermanfaat serta dapat membangun ketrampilan baru lainnya. (Bruce & Borg, 2002).

Kelemahan dari kerangka acuan perilaku yaitu kemampuan kogniitf pasien menjadi kurang berkembang dan tidak dapat digeneralisasi sehingga memerlukan rencana yang bersifat kompleks, tidak fokus pada kognitif dan motivasi serta keterbatasan pada kemampuan dalam berbahasa (Bruce &

Borg, 2002).

E. Kecenderungan Penulis

Permasalahan anak ASD diantaranya maalah pada self-care.

salah satu bagian dari self-care adalah aktivitas makan. Dalam melakukan aktivitas makan diperlukan ketrampilan yang cukup untuk melakukannya. Salah satu perilaku maladaptif yang menjadi masalah pada anak ASD adalah kurangnya ketrampilan (skill deficit) untuk melakukan aktivitas terutama aktivitas makan secara mandiri. Kerangka acuan perilaku digunakan sebagai salah satu alternatif belajar perilaku adaptif yang diwujudkan dalam bentuk belajar ketrampilan yang cukup dalam aktivitas makan.

(26)

Pendekatan perilaku telah terbukti sangat efektif dan aman untuk berbagai masalah dalam self-feeding (Silverman, 2015).

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-5 (APA, 2013) menyatakan bahwa kerangka acuan perilaku merupakan kerangka acuan yang tepat untuk membentuk perilaku adaptif anak, yaitu dengan pemberian reward ketika anak melakukan perilaku adaptif serta pemberian stimulasi eksternal oleh terapis dan lingkungan. Mitchell (2010) mengemukakan pendapat bahwa pemberian reward secara langsung akan meningkatkan perilaku impulsivitas dan pemberian punishment akan meningkatkan kecemasan anak.

Dari pro-kontra pendapat ahli tersebut, maka kerangka acuan yang dipilih adalah kerangka acuan perilaku yang dapat diterapkan pada anak Autisme. Pada kasus ini, perilaku adaptif yang dibentuk adalah perilaku anak mampu melakukan aktivitas makan makanan ringan secara mandiri, maka dapat disimpulkan kerangka acuan perilaku merupakan salah satu kerangka acuan yang dapat digunakan dalam pembelajaran aktivitas makan makanan ringan pada anak Autisme sehingga kemampuan fungsional anak dalam makan makanan ringan akan menjadi lebih baik dan anak dapat melakukan aktivitas makan sesuai dengan usianya.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tiada hentinya mencurahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga dengan segala

Keputusan Bupati Bantul Nomor 576 Tahun 2014 tentang Perhitungan dan Pemberian Honor Bagi Pengelola Keuangan Daerah di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset

Departemen Agama Repub lik Indonesia , selanjutnya di sebut sebagai DEPAG, Dan Yayasan Makkah Almukarramah yang didi rikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan

Menurut Baker (1995: 26-42), strategi yang dapat digunakan dalam penerjemahan istilah- istilah, khususnya istilah budaya khusus adalah sebagai berikut: 1) penerjemahan dengan

Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan dan staf UPBJJ-UT Palangkaraya cenderung cukup berhasil dalam menyosialisasikan salah satu implikasi dari penerapan UKT yaitu “TTM

Media seni batik diharapkan dapat menjadi inspirasi oleh guru-guru di Indonesia sebagai inovasi pendidikan dalam membentuk karakter peserta didik.. Kata Kunci

dalam penelitian ini adalah model permainan untuk mengembangkan berbagai kemampuan anak usia dini, khususnya peserta didik TK, didasarkan pada teori-teori belajar,