10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Pustaka Pidana Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri Berbasis Keadilan Bermartabat
Mengacu pada judul skripsi maupun judul Bab II di atas bagian yang pertama dari Bab ini berisi kajian pustaka tentang konsep-konsep yang terdapat di dalam pidana menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi di panti rehabilitasi narkoba berbasis keadilan bermartabat. Berikut di bawah ini konsep- konsep dan pengertian dari konsep-konsep tersebut diuraikan satu demi satu. Uraian akan dimulai dengan konsep pengaturan. Selanjutnya digambarkan konsep tindak pidana. Berikutnya uraian tentang penyalahgunaan Narkotika. Berikutnya uraian tentang penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri. Kemudian diikuti dengan uraian tentang Teori Keadilan Bermartabat.
1. Teori Keadilan Bermartabat
Teori Keadilan Bermartabat merupakan suatu teori hukum baru. Dalam teori Keadilan Bermartabat, suatu hukum dapat ditemukan didalam jiwa bangsa (volkgeist). Wujud nyata dari volkgeist sendiri adalah peraturang perundang- undangan serta putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Fungsi dari teori Keadilan Bermartabat adalah untuk menjelaskan dan menjustifikasi suatu sistem hukum. Dengan teori Keadilan Bermartabat, kita dapat mencari dan mengembangkan suatu sistem hukum orisinil dari bangsa Indonesia.
Teori Keadilan Bermartabat tidak bersifat menandingi teori-teori yang selama ini menjelaskan tentang sistem hukum di Indonesia. Dalam teori tersebut,
tidak menghendaki adanya konflik dalam lapisan-lapisan ilmu hukum.16 Teori Keadilan Bermartabat hadir sebagai teladan untuk berhukum. Dengan teori Keadilan Bermartabat, hukum dapat dicari dan dibangun melalui falsafah yang digali dari dalam bumi Indonesia. Tidak harus bergantung dengan teori serta konsep yang dikembangkan oleh sistem hukum lain.
Teori Keadilan Bermatabat dikemukakan oleh Teguh Prasetyo. Teori keadilan bermartabat, disebut bermartabat karena teori yang dimaksud adalah suatu bentuk pemahaman dan penjelasan yang memadai (ilmiah) mengenai koherensi dari konsep-konsep hukum di dalam kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku serta doktrin-doktrin yang sejatinya merupakan wajah, struktur atau susunan dan isi serta ruh atau roh (the spirit) dari masyarakat dan bangsa yang ada di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila, yang dijelaskan oleh teori keadilan bermartabat itu sendiri.17 Pada dasarnya, keadilan merupakan tujuan terpenting dalam hukum.
Membicarakan masalah keadilan sama saja membicarakan mengenai hukum itu sendiri. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan merupakan prasyarat tegaknya martabat dan integritas Negara.18
Teori Keadilan Bermartabat bekerja dengan tujuan keadilan yang bermartabat, atau keadilan yang memanusiakan manusia. Teori keadilan bermartabat menjadikan menemukan hukum melalui peraturan perundang- undangan dan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap berdasarkan dengan
16 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Prespektif Teori Hukum, Cet., 1, Peneribit Nusa Media, Bandung, 2015, hal., 3-4.
17 Muhammad Khambali, Perlindungan Hukum Masyarakat terhadap Cybercrimes Berbasis Keadilan Bermartabat, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol., XIII No., 2, 2017, hal., 35.
18 Adriana Pakendek, Cerminan Keadilan Bermartabat Dalam Putusan Pengadilan Berdasarkan Pancasila, Jurnal Yustitia, Vol., 18 No., 1, Mei, 2017, hal., 24.
sistem hukum Pancasila. Dalam teori Keadilan Beramartabat, fokus keadilan bukan saja secara material melainkan juga secara spiritual. Kerangka berfikir tersebut menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME yang dijamin hak- haknya.
2. Jenis Pidana dalam KUHP dan di Luar KUHP
Menurut Kenedi, pengaturan artinya perundang-undangan yang berbentuk tertulis. Peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis. Tujuan diciptakannya pengaturan adalah untuk menciptakan kedamaian hidup antar pribadi. Kaidah hukum adalah suatu patokan yang dianggap pantas dan seharusnya.
Patokan tersebut bermanfaat menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.19 Menurut Thomas Hobes, tanpa adanya kehadiran hukum di tengah-tengah manusia, seorang manusia akan menjadi serigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus).20
Permasalahan hukum merupakan permasalahan yang tetap aktuil karena perkembangan hukum selaras dengan perkembangan peradaban yang menuntut adanya suatu peraturan yang berfungsi untuk menata berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Pengaturan atau kaidah hukum tersebut hendaknya memenuhi 3 landasan dasar, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis. Hal ini disebabkan, apabila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan hukum hanya merupakan kaidah yang mati dan formalistik saja. Jika kaidah hukum hanya berlaku
19 John Kenedi, Urgensi Penegakan Hukum dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara, Jurnal El-Afkar, Vol., 5 No., II, Juli-Desember, 2016, hal., 51.
20 J. J. Von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta, 1958, hal., 136.
secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka hukum tersebut akan menjadi aturan pemaksa saja. Sementara itu, apabila hukum hanya bersifat filosofis, maka hukum tersebut hanya boleh disebut sebagai kaidah huukm yang diharapkan dan dicita-citakan saja.21 Pada dasarnya, kaidah hukum mempunyai tujuan untuk menciptakan kedamaian hidup antar pribadi, kaidah hukum tersebut menjadi pedoman atau patokkan bagi prilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau seharusnya guna untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian dalam masyarakat oleh sebab itu hukum sangat diperlukan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.22
Secara umum, pengertian mengenai mengenai hukum pidana sendiri terbagi menjadi 2, yaitu ius poenale dan ius puniend. Ius poenale sendiri diartikan sebagai hukum yang berlaku, atau yang disebut sebagai hukum positif.23 Hukum pidana dalam arti ius puniendi dapat didefinisikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas, ius puniendi merupakan hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu, sedangkan dalam arti sempit, ius puniendi merupakan hak untuk menuntut perkara- perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan peradilan. Ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.24
21 John Kenedi, Loc. Cit.
22 Ibid. hal., 53.
23 P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal., 3.
24 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal., 9.
Mezger memberikan penjelasan berkaitan dengan hukum pidana. Menurut Mezger, hukum pidana merupakan suatu aturan hukum yang membatasi suatu perbuatan tertentu sehingga memenuhi suatu syarat yang dapat mengakibatkan pidana.25 Soedarto juga memberikan penjelasan mengenai hukum pidana. Menurut Sudarto, hukum pidana merupakan hukum yang berisikan aturan dengan sifat mengikatkan kepada setiap perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan dari perbuatan tersebut memberikan akibat yakni berupa pidana.26
Di dalam sistem hukum Indonesia, terdapat pengaturan pidana yang dirumuskan di dalam KUHP dan di luar KUHP. Untuk jenis hukuman atau macam ancaman hukuman di dalam KUHP sendiri diatur di dalam Pasal 10 KUHP yang membedakan menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok sendiri terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Selanjutnya, Aziz Syamsuddin menjelaskan pengertian dari tindak pidana diluar KUHP atau tindak pidana khusus adalah suatu aturan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur di dalam undang-undang khusus, di luar KUHP, baik perundang- undangan pidana maupun bukan pidana, tetapi memiliki sanksi pidana.27 Jenis dari tindak pidana khusus sendiri begitu banyak dan tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Tindak pidana khusus tidak terbatas pada penyebutan secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan, suatu
25 Ida Bagus Surya Darma Jaya, Hukum Pidana Materil & Formil: Pengantar Hukum Pidana, USAID-The Asia Foundation-Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015, hal., 2.
26 Sifian Sastrawidjaja, Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1990, hal., 9.
27 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal., 8.
peraturan perundang-undangan yang tidak disebutkan secara khusus namun memiliki sanksi pidana juga dapat dikatakan sebagai tindak pidana khusus.
Contohnya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut disebutkan secara khusus tindak pidananya yaitu tindak pidana korupsi. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara tidak disebutkan secara khusus judul undang-undang yang berkaitan dengan pidana, namun di dalam undang-undang tersebut memuat sanksi pidana.28 Contoh dari pidana khusus atau pidana di luar KUHP adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana pembalakan hutan secara liar, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak pidana di bidang perikanan, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di bidang pasar modal, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, dan masih banyak lainnya.
3. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana adalah salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang hadir dalam kehidupan masyarakat.29 Perilaku menyimpang tersebut dapat menyebabkan rusaknya keseimbangan keteraturan sosial dalam masyarakat, menyebabkan permasalahan antar individu maupun kelompok, serta menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan ketertiban sosial.30 Marc Ancel menyatakan
28 Rodliyah & Salim HS, Hukum Pidana Khusus: Unsur dan Sanksi Pidananya, Raja Grafindo Persada, Depok, 2017, hal., 5.
29 Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana Khusus, Mimbar Hukum, Vol., 27 No., 3, 2015, hal., 390.
30 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal., 11.
bahwa tindak pidana merupakan “a human and social problem”. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa tindak pidana tidak hanya menjadi permasalahan sosial namun juga menjadi permasalahan kemanusiaan.31
Istilah tindak pidana dalam Bahasa Indonesia memiliki persamaan makna dengan “strafbaarfeit” dalam Bahasa Belanda. Pada dasarnya definisi resmi dari strafbaarfeit belum ditemukan. Maka dari itu, para ahli hukum mencoba untuk
memberikan pengertian dari istilah tersebut, namun sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat mengenai definisi dari strafbaarfeit.32 Strafbaarfeit sendiri berasal dari kata “strafbaar” yang artinya dapat dihukum. Kata “feit” sendiri berarti sebagian dari kenyataan atau “eengedeelte van werkwlijkheid” sehingga secara harafiah strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.33 Sedangkan menurut Simons, strafbaafeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana dan bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan serta dilakukan oleh subyek yang dinyatakan dapat bertanggung jawab oleh hukum.34 Menurut Hermien Hadiati Koeswadji yang dikutip oleh A. Fuad Usfa dan Tongat, dalam ranah hukum pidana, kata tindak pudana merupakan istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit.35
31 Marc Ancel, Social Defence: A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge &
Paul Kegan, London, 1965, hal., 99.
32 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal., 67.
33 P. A. F. Lamintang, Op. Cit., hal., 181.
34 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, 2011, hal., 61.
35 Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM-Press, Malang, 2004, hal., 31.
Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum.36 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.”
Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni : 1. Suatu perbuatan manusia, 2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, 3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.37 Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.38
4. Pidana Tindakan Menjalani Pengobatan dan atau Perawatan Melalui Rehabilitasi
Pidana dituntut untuk menimbulkan kesadaran pelaku terhadap nilai-nilai kemanusiaan serta kedamaian yang tercipta di masyarakat yang bertitik tolak bahwa perbuatan pidana dapat mengakibatkan kerusakan dalam masyarakat dan pelaku itu sendiri.39 Dalam menjalankan sistem hukumnya, Indonesia menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan atau yang dikenal dengan double track system. Double track system adalah suatu sistem dimana seorang terdakwa dapat dikenakan sanksi pidana dan sanksi tindakan.40 Yang menjadi perbedaan dalam sanksi pidana dan
36 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cetakan 8, Raja Grafindo Persada, Depok, 2017, hal., 47.
37 Ibid. hal., 48.
38 Ibid. hal., 49.
39 Hendar Sutarno, Penerapan Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Korupsi, Disertasi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2004, hal., 125.
40 Dwi Wiharyangti, Implementasi Sanksi Pidana dan Saknsi Tindakan dalam Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Padecta, Vol., 6 No., 1, 2011, hal., 81.
sanksi tindakan adalah tujuan dari sanksi-sanksi tersebut. Sanksi sendiri diartikan sebagai suatu tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa seseorang menaati ketentuan yang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.41 Sanksi pidana berawal dari gagasan mengapa seseorang dipidana, sedangkan sanksi tindakan berawal dari gagasan untuk apa diadakan pemidanaan dengan melihat masa depan pelaku. Menurut Muladi, hukum pidana modern tidak hanya berisikan sanksi pidana yang bersifat penderitaan, namun juga tindakan tata tertib yang bertujuan untuk mendidik.42 Seseorang yang melakukan tindak pidana dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis, dan banyak lainnya. Maka dari itu, seseorang yang melakukan tindak pidana atau perilaku jahat hendaknya diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku dengan dasar keadilan dan dengan tujuan untuk memperbaiki sikap dan pola perilaku orang tersebut karena setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi pelaku.43
Sanksi tindakan dalam pengaturan mengenai rehabilitasi sendiri diatur di dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 56, Pasal 103, dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Selain itu ketentuan rehabilitasi juga diatur dalam SEMA No. 4 Tahun 2010. Tujuan dari sanksi tindakan adalah untuk merubah sikap dan pola perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam hal ini, hukum berperan untuk melakukan penanggulangan kejahatan melalui kebijkan hukum
41 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hal., 202.
42 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Dasar Double Track System dan Implementasinya, Cetakan Pertama, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hal., 3.
43 Zainal Abidin, Pemidanaan Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Elasm, Jakarta, 2005, hal., 10.
pidana dan merupakan salah satu upaya penegakan hukum. Dengan adanya hukum, hak seorang pecandu dapat dilindungi sehingga seorang pecandu narkotika tidak dilihat secara sebelah mata pada bagian pelaku penyalahgunaan narkotika, namun juga sebagai korban yang berhak mendapat penanganan kesehatan mengingat dampak penyalahgunaan narkotika yang dapat mengganggu kesehatan. Salah satu cara untuk melakukan penanganan terhadap pecandu adalah pelayanan rehabilitasi.
Pengertian dari rehabilitasi menurut Pasal 1 angka 23 KUHAP adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Rehabilitasi sendiri merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang bertujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Salah satu tindak pidana yang memungkinkan seseorang untuk dijatuhkan hukuman pidana tindakan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi adalah tindak pidana narkotika. Tujuan dilakukannya pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi dalam penyalahgunaan narkotika adalah supaya orang tersebut terlepas dari ketergantungan narkotika dan psikotropika. Untuk mencapai tujuan dari rehabilitasi tersebut, diperlukan program rehabilitasi yang meliputi rehabilitasi medis, psikiatrik, psikososial, dan psikoreligius sesuai dengan definisi sehat dari WHO dan American Association.44
44 Dadang Hawari, Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alcohol, & Zat Adiktif), Gaya Baru, Jakarta, 2006, hal., 134.
Di Indonesia sendiri, angka narapidana dengan permasalahan narkotika mendominasi total keseluruhan narapidana yang ada. Per desember 2019 sebanyak 269.775 orang, sebanyak 129.820 orang diantaranya adalah narapidana kasus narkotika. Tentu saja data tersebut menunjukkan sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur jera dan penggunaan titik tolak pandangannya terhadap narapidana sebagai individu, semata-mata dipandang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.45 Hal ini dinilai relevan dengan pemikiran-pemikiran inovatif tentang fungsi pemidanaan yang tidak hanya fokus pada rasa jera yang dirasakan narapidana sehingga tidak akan mengulang perbuatannya kembali, tetapi telah berkembang menjadi suatu upaya yang rehabilitatif dan reintegratif yang bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya sehingga tidak mengulan kembali tindak pidana lagi dan dapat kembali diterima di tengah-tengah masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga, dan orang lain serta berguna bagi nusa dan bangsa. Untuk penyalahguna narkotika bagi sendiri sudah sepantasnya dijatuhkan pidana tindakan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi karena pada kasus penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri atau pencandu, pelaku dan korban merupakan subyek hukum yang sama. Maka dari itu tindakan perawatan dan pengobatan melalui rehabilitasi diperlukan karena pelaku juga merupakan korban dimana dirinya dianggap sakit.46 Upaya rehabilitasi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika merupakan hal yang
45 Adi Sujatno, Pencerahan Dibalik Penjara dari Sangkar Menuju Sanggar Untuk Menjadi Manusia Mandiri, Teraju, Jakarta, 2008, hal., 123.
46 Yuliana Yuli W & Atik Winanti, Upaya Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika dalam Perspektif Hukum Pidana, ADIL: Jurnal Hukum Vol., 10 No., 1, 2019, hal., 145.
wajib dan seharusnya diutamakan.47 Dalam sistem hukum di Indonesia, seorang hakim diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tindakan kepada terdakwa sehingga dirinya diwajibkan untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial.48
5. Pengaturan Rehabilitasi Narkoba
Proses dalam pemenuhan hak rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dibedakan menjadi dua. Cara pertama adalah laporan mandiri dengan melaporkan diri ke instansi yang telah ditunjuk sebagai instansi pelaporan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Yang kedua adalah melalui proses hukum.
Narkotika adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan ketidaksadaran, atau pembiusan, menghilangkan rasa nyeri dan sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan, dan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan seabagai Narkotika.49 Narkotika memliki persamaan arti dengan narcosis yang artinya membius. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani yaitu narke yang berarti terbius sehingga tidak dapat merasakan apapun.50
Penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan termasuk pada kategori pidana khusus. Sesuai dengan sistem hukum di Indonesia yang mana menggunakan double track system, pelaku penyalahgunaan
47 Andri Winjaya Laksana, Tinjauan Hukum Pemidanaan Terhadap Pelaku Penyalahguna Narkotika Dengan Sistem Rehabilitasi, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol., II No., 1, 2015, hal., 83.
48 Siswanto S, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal., 245.
49 H. Mardani, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal., 18.
50 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet., 4, Alumni, Bandung, 2010, hal., 36.
narkotika dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi tindakan berupa rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis. Untuk hak rehabilitasi sendiri diwajibkan bagi mereka yang menjadi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Rehabilitasi sosial merupakan proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental, maupun sosial yang bertujuan supaya pecandu narkotika dapat melakukan fungsi sosial sebagaimana mestinya di dalam masyarakat sesuai yang tertuang dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Rehabilitasi medis yaitu proses pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika sesuai yang tertulis dalam Pasal 1 angka 16 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.51 Secara umum, rehabilitasi merupakan upaya pemulihan sikap dan pola perilaku menyimpang yang bertujuan supaya menjadi manusia sebagai makhluk sosial yang berguna dan diterima di lingkungan masyarakat.52 Rehabilitasi juga dinilai dapat melepaskan ketergantungan narkotika sehingga seseorang yang merupakan pecandu narkotika dapat menikmati kehidupan bebas tanpa narkotika.53
Menurut tipologi korban, pecandu Narkotika termasuk self victimizing victims karena seorang pecandu Narkotika merupakan korban sekaligus pelaku dari tindak pidana penyalahgunaan narkotika tersebut.54 Pasal 56 ayat (1) dan (2)
51 AR. Sujono, Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal., 74.
52 J.P. Caplin, Kamus Lengkap Psikologi (terjemahan Kartini Kartono), Raja Grafindo Persada, Ed., 1 Cet., 10, Jakarta, hal., 425.
53 Martono, Lydia dan Satya Joewana, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan Menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika, Balai Pustaka, Jakarta, 2006, hal., 87.
54 Yuliana Yuli W & Atik Winanti, Op. Cit., hal., 139.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa rehabilitasi narkotika akan dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri atau lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan dari Menteri. Mengacu pada Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, pada dasarnya seorang pecandu atau korban penyalagunaan narkotika tidak lagi diarahkan untuk dijatuhi hukuman pidana dan telah disepakati melalui peraturan bersama tersebut untuk memberikan sanksi tindakan berupa rehabilitasi bagi seorang pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Penempatan penyalahguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi juga didukung dengan adanya SEMA No.
4 Tahun 2010.
Dalam sebuah persidangan perkara narkotika, seorang hakim diwajibkan untuk memperhatikan ketentuan mengenai rehabilitasi medis dan sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.55 Dalam Undang-Undang yang, dalam Pasal 103 disebutkan dimana seorang hakim diberi hak untuk dapat menjatuhkan putusan atau penetapan untuk menjalani rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika. Pecandu dan korban penyalagunaan narkotika pada dasarnya mendapatkan hak untuk mendapatkan rehabilitasi. Dalam proses rehabilitasi tersebut, di dalamnya terdapat proses penilaian untuk mengetahui kondisi residen akibat penyalahgunaan narkoba.
Proses penilaian tersebut disebut dengan asesmen. Analisis dalam asesmen tersebut akan memilah-milah peran tersangka/terdakwa sebagai pecandu, korban penyalahguna, ataupun pengedar.56 Berdasarkan Peraturan Besama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. No. : 01/PB/MA/III/2014, No. : 03 Tahun 2014, No. : 11 Tahun 2014, No. : 03 Tahun 2014, No.: PER-005/A/JA/03/2014, No. : 1 Tahun 2014, No.:
PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi (selanjutnya disebut dengan Peraturan Bersama), proses asesmen harus dijalankan terlebih dahulu untuk menentukan dapat atau tidaknya tersangka atau terdakwa menjalani rehabilitasi.57
55 Riki Afrizal, Upita Anggunsuri, Optimalisasi Proses Asesmen Terhadap Penyalahguna Narkotika dalam Rangka Efektivitas Rehabilitasi Medis dan Sosial Bagi Pecandu Narkotika, Jurnal Penetian Hukum De Jure No., 10/E/EPT/2019, hal., 261.
56 Wahyu Hariyadi, Teguh Anindito, Pelaksanaan Asesmen Terhadap Pelaku Penyalagunaan Narkotika Ditinjau dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol., 9 No., 2, 2021, hal., 379.
57 Ibid.
Tim asesmen terpadu terdiri dari tim dokter yang meliputi dokter dan psikolog dan tim hukum yang terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan dan Kemenkumham.
Dasar hukum pengaturan asesmen sendiri terdapat dalam Pasal 4 huruf d, Pasal 54- 58, Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan menempatkan penyalahguna narkotika ke dalam panti rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinilai menjadi Undang-Undang yang up to date, komprehensif, mengikuti perkembangan zaman, dengan bersifat humanis
terhadap penyalahguna narkotika.58
6. Fungsi Panti Rehabilitasi Narkoba Menurut Hukum
Rehabilitasi berfungsi memulihkan serta mengembalikan kondisi pecandu narkotika supaya dapat kembali sehat secara fisik, psikis, sosial, dan spiritual.
Dengan pulihnya kesehatan dari pecandu narkotika tersebut, diharapkan dirinya dapat berfungsi secara normal dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.59 Adapun yang menjadi tahap-tahap pada rehabilitasi adalah sebagai berikut.60 Tahap pertama adalah tahap penerimaan awal. Dalam tahap ini dilakukan pemeriksaan untuk menentukan diagnose dan rencana perawatan. Tahap berikutnya adalah tahap detoksifikasi. Pada tahapan ini terapi medis lebih dominan. Tujuan dari tahap detoksifikasi adalah untuk menghilangkan racun efek dari narkoba yang berada dalam tubuh. Selanjutnya dilakukan tahap pra-rehabilitasi. Tahap ini merupakan tahap persiapan bagi pecandu narkotika untuk memasuki program selanjutnya.
58 Anang Iskandar, Penegakan Hukum Narkotika Rehabilitatif Terhadap Penyalahguna dan Pecandu, Gramedia, Jakarta, 2019, hal., ix.
59 Dadang Hawari, Op. Cit., hal., 132.
60 BNN, Panduan Pelaksanaan Terapi dan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Pusat Laboratorium Terapi dan Rehabilitasi, Jakarta, 2008, hal., 15-16.
Dalam tahap ini dilakukan pengujian berupa psikotes, anamnesa, dan konseling individual yang dapat menunjang diagnosa, prognosa, dan rencana tindakan.
Tahapan yang keempat adalah tahap pembinaan dan bimbingan. Tujuan dari tahap ini adalah merubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif. Setelah itu pecandu narkotika masuk ke dalam tahap reintegrasi. Tahap reintegrasi adalah tahap persiapan dimana seorang pecandu narkotika yang direhabilitasi dikembalikan kepada keluarga dan masyarakat. Setelah tahap reintegrasi, terdapat tahap bimbingan lanjut. Dalam tahap ini pecandu narkotika yang direhabilitasi sudah kembali ke rumah namun diharuskan untuk tetap melakukan kontak dengan pembimbing. Yang terakhir adalah tahap intergrasi ke masyarakat atau tahapan akhir setelah dianggap mampu terlepas dari narkotika sehingga dapat menjalankan fungsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara umum, narkotika adalah sejenis zat yang dimasukan ke dalam tubuh, yang dapat menimbulkan pengaruh bagi orang yang menggunakannya.61 Fungsi dari rehabilitasi narkoba sendiri adalah sebagai upaya pemulihan dan pengembalian kondisi penyalahguna narkotika. Tidak hanya berimbas pada kesehatan fisik seseorang, narkotika juga dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan. Dadang Hawari berpendapat bahwa pelaksanaan rehabilitasi narkotika harus melibatkan dokter dan psikiater.62 Maka dari itu kehadiran panti rehabilitasi sangat diperlukan bagi pecandu narkotika. Apabila seorang yang telah candu terhadap narkotika dan tidak segera mendapat pengobatan, pecandu tersebut akan selalu menambah dosis
61 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal., 2013.
62 Dadang Hawari, Terapi Detiksifikasi dan Rehabilitasi Pesantren Mutakhir Sistem Terpadu Pasien NAZA, UI-Press, Jakarta, 1999, hal., 20.
penggunaan sehingga akan memperparah keadaan.63 Pelaksanaan dari rehabilitasi medis sendiri difasilitasi oleh pemerintah maupun swasta yang ditunjuk oleh menteri kesehatan.64
Kasus narkotika di Indonesia sendiri terbilang cukup tinggi. Penyebaran narkotika dilakukan melalui perdagangan gelap. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan yang dilakukan tanpa hak dan melawan hukum sebagaimana ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.65 Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai upaya penanggulangan kejahatan. Sejauh ini upaya penanggulangan kejahatan hanya berfokus kepada penyebab timbulnya kejahatan.
Pemikiran mengenai metode yang efektif dalam penanggulangan kejahatan narkotika perlu dikembangkan.66 Rehabilitasi bagi pecandu narkotika merupakan salah satu upaya untuk menekan penggunaan terhadap narkotika dan obat-obatan terlarang. Hal ini dikarenakan fokus rehabilitasi adalah untuk membantu pecandu terlepas dari hal tersebut. Menempatkan pecandu narkotika ke dalam penjara dikhawatirkan berpotensi memperburuk keadaan karena di dalam penjara seorang pecandu tidak terjamin upaya pemulihannya agar terlepas dari narkotika.67 Upaya untuk menyembuhkan pecandu dapat dilakukan melalui rehabilitasi. Implementasi rehabilitasi merupakan wujud nyata dari suatu aturan. Hal tersebut menjadi sangat
63 Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Remaja, Alumni, Bandung, 2010, hal., 24.
64 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, hal., 192.
65 I Danny Yatim, Kepribadian Keluarga dan Narkotika Tinjauan Sosial-Psikologis, Arcan, Jakarta, 2011, hal., 5.
66 A. R. Sujono, Bony Daniel, Op. Cit., hal., 33.
67 Yuliana Yuli W & Atik Winanti, Op. Cit., hal., 146.
penting karena dari suatu implementasi dapat diketahui melalui penerapan dari suatu peraturan.68
7.
Tujuan Panti Rehabilitasi Narkoba Menurut Hukum
Menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Pecandu merupakan pelaku tindak pidana yang pada mana pada waktu yang sama dirinya juga sebagai korban.69 Suatu ketergantungan merupakan penyakit yang harus disembuhkan dan bukan dihukum. Melalui pola pikir tersebut, penerapan pidana penjara bagi pecandu narkotika dinilai tidak efektif.70 Sistem pidana penjara yang menekankan pada unsur rasa jera dan penggunaan titik tolak pandangannya terhadap narapidana sebagai individu dipandang tidak relevan dengan kepribadian jiwa bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.71 Program rehabilitasi narkotika merupakan serangkaian upaya yang terdiri atas upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan, dan pelatihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian, dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang
68 Siti Hidayatun, Yeni Widowaty, Konsep Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkotika yang Berkeadilan, Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan Vol., 2 No., 2, 2020, hal.,167.
69 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak, UMM-Press, Malang, 2009, hal., 3.
70 Deni Saputro, Efektivitas Hukuman Penjara Bagi Penyalahgunaan Narkotika Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jurnal Ilmu Hukum Vol., 1 No., 1, 2020, hal., 26.
71 Adi Sujatno, Op. Cit., hal., 123.
dimiliki.72 Tujuan rehabilitasi narkotika adalah sebagai tahap pemulihan bagi pecandu narkotika dengan bimbingan dari tenaga ahli.73
Sistem hukum Indonesia mengenal adanya sanksi pidana dan sanksi tindakan.74 Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberikan pertolongan pada pelaku agar pelaku tersebut berubah.75 Melihat pecandu dan korban penyalahguna narkotika merupakan korban sekaligus pelaku tindak pidana narkotika, pemberian sanksi tindakan dinilai lebih efektif karena pecandu narkotika merupakan orang yang sakit dan berhak untuk sehat. Pecandu narkotika dianggap sebagai korban, oleh karena itu perbuatan pecandu tersebut sudah masuk ke ranah kesehatan.76
Melihat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, upaya pemulihan dan pencegahan pemakain kembali terhadap narkotika dilakukan melalui proses rehabilitasi, baik secara medik maupun sosial.77 Tujuan dari rehabilitasi medis adalah menghilangkan efek ketergantungan fisik melalui pengobatan terpadu.78 Sedangkan tujuan dari rehabilitasi sosial adalah untuk
72 Dwi Afrimetty Timoera & Agus Martono, Efektivitas Rehabilitasi dan Pola Pembinaan Terhadap Pecandu Narkotika di Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Indonesia Lido Bogor, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi Vol., 16 No., 1, 2016, hal., 88.
73 I Made Subantara, A. A. Sagung Laksmi Dewi, Luh Putu Suryani, Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika di Badan Narkotika Provinsi Bali, Jurnal Preferensi Hukum Vol., 1 No., 1, 2020, hal., 247.
74 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal., 249.
75 Syaiful Bakhri, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika Suatu Pendekatan Melalui Kebijakan Hukum Pidana, Gramata Publishing, Jakarta, 2012, hal., 249.
76 Intan Permata Sari, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Sujana, Penegakan Hukum terhadap Pecandu Narkotika, Jurnal Analogi Hukum Vol., 1 No., 1, 2019, hal., 106.
77 Irfan Ardani dan Heti Sri Hari Cahyan, Efektivitas Metode Therapeutic Community dalam Pencegahan Relapse Korban Penyalahguna Napza di Panti Sosial Pamardi Putra Galih Pakuan Bogor Tahun 2017, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan Vol., 22 No., 3, 2019, hal., 185.
78 Ibid.
mengembalikan fungsi sosial dari korban penyalahguna narkotika secara optimal.
79Tujuan akhir yang hendak dicapai dari proses rehabilitasi sendiri ada beberapa.
Yang pertama adalah bebas dari ketergantungan fisik dan berhenti memakai. Selain itu rehabilitasi juga diharapkan dapat mengatasi gejala putus zat yang timbul.
Selanjutnya tujuan rehabilitasi adalah supaya terbebas dari ketergantungan psikologik untuk mencegah pemakaian ulang.80 Penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi narkotika adalah suatu tahap dimana pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika mendapat penyuluhan dan pendidikan dari pihak yang berwenang. Tujuan dari rehabilitasi narkotika adalah supaya mengerti bahaya narkotika sehingga menimbulkan rasa jera. Selain itu rehabilitasi narkotika juga bertujuan agar supaya seseorang yang terdampak bahaya narkotika dapat melaksanakan fungsi sosial di dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
B. Temuan Pidana Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri Berbasis Keadilan Bermartabat
Sesuai dengan judul sub bab ini, dibawah ini digambarkan Pidana Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri berbasis keadilan Keadilan Bermartabat. Gambaran tindak pidana tersebut dikemukakan dalam rangka menjawab pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah penelitian di bab terdahulu. Gambaran dimaksud sesuai dengan ilmu penemuan hukum adalah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yaitu pada
79 E. Suharto, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Jakarta, 2004, hal., 54.
80 Lydia Herlina, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal., 92.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2281 K/Pid.Sus/2016. Gambaran dari putusan atau temuan tersebut adalah gambaran mengenai Pidana Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri berbasis Keadilan Bermartabat.
Putusan pengadilan yang digambarkan dibawah ini telah berkekuatan hukum tetap maka dalam ilmu hukum (Keadilan Bermartabat) disebut temuan.
Menurut teori Keadilan Bermartabat, apabila seseorang akan menemukan hukumnya maka hukumnya tersebut dapat ditemukan di dalam jiwa bangsa (volkgeist). Wujud konkrit dari volkgeist tersebut adalah peraturan perundang- undangan yang berlaku dan putusan-putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Hukum yang dicari dan dijelaskan di bawah ini adalah pengaturan tentang Pidana Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri berbasis Keadilan Bermartabat. Berikut ini temuan Pidana Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri berbasis Keadilan Bermartabat.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2281 K/Pid.Sus/201681 sebagai temuan telah memenuhi syarat sebagai suatu kaidah hukum. Dikatakan memenuhi syarat sebagai kaidah hukum karena didasarkan atas prinsip dalam hukum acara pidana.
Putusan ini adalah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di tingkat kasasi yang dibuat pada tahun 2016.
81 NKRI (PU) v Abdul Azis [2016] MARI.
1. Subyek Hukum Pidana Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri Berbasis Keadilan Bermartabat
Perkara di dalam Putusan ini melibatkan terdakwa, yaitu Abdul Azis alias Andi bin H. Sulaiman (untuk selanjutnya disingkat dengan Abdul). Terdakwa adalah seorang yang beragama. Terdakwa bekerja sebagai wiraswasta. Abdul adalah seorang laki-laki berkebangsaan Indonesia lahir di Sarmi pada tanggal 18 Februari 1978. Pada saat putusan kasasi ini dibuat terdakwa berusia 37 tahun.
Alamat tempat tinggal terdakwa terletak di Tanah Hitam RT.01/RW.01 Dusun Asano Kecamatan Abepura Kota Jayapura atau Wisma Garuda Kamar No. 106 Jl.
Garuda No. 78 Manukan, Condongcatur, Depok, Sleman.
Tidak berhenti di pengadilan tingkat pertama, perkara narkotika yang melibatkan Abdul sebagai terdakwa telah dilakukan upaya hukum pada tingkat banding dan kasasi. Dalam perkara ini, di tingkat Pengadilan Negeri, terdakwa didampingi penasihat hukum Ronald H. Pandjaitan, S.H., M.H dan Edwin Edwos.
Keduanya adalah advokat (associates) pada Kantor Advokat Ronald Pandjaitan &
Rekan. Kantor tersebut beralamat di Equity Tower Building, 49 Floor, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 (SCBD) Jakarta Selatan. Keduanya bertindak atas Kuasa Khusus tertanggal 25 Februari 2016 nomor 024/RPP-SKK/II/2016. Kuasa tersebut telah didaftarkan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Sleman. Hakim yang mengadili terdakwa pada pengadilan tingkat pertama adalah Ninik Hendras Susiowati, S.H., M.H. sebagai Hakim Ketua, Zulfikar Siregar, S.H., M.H. dan Wisnu Kristiyanto, S.H., M.H. masing-masing sebagai Hakim Anggota. Panitera dalam perkara ini adalah Titik Hariyanti sebagai Panitera Pengganti pada
Pengadilan Negeri Sleman. Bertindak sebagai penuntut umum adalah Yogie Raharjo, S.H., M.H.
Ketua Majelis di tingkat banding adalah Djoko Sediono, S.H., M.H. dengan H. Budi Setiyono, S.H., M.H dan Sutjahjo Padmo Wasono, S.H., M.H. sebagai hakim tinggi yang menjabat sebagai Hakim Anggota. Panitera Pengganti dalam perkara ini adalah Hj. Sri Nawang Susetiawati. Di tingkat Kasasi bertindak sebagai Ketua Majelis adalah Sri Murwahyuni, S.H., M.H. Maruap Dohmatiga Pasaribu, S.H., M. Hum. dan H. Eddy Army, S.H., M.H. Hakim-Hakim Agung yang menjabat sebagai Anggota serta R. Heru Wibowo Sukaten, S.H., M.H. sebagai Panitera Pengganti.
2. Kasus Posisi menurut Dakwaan Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Sleman menuntut terdakwa dengan dakwaan alternatif. Dalam dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum memberikan tiga dakwaan. Yang pertama, Terdakwa didakwa melakukan percobaan atau permufakatan jahat. Perbuatan Terdakwa tersebut dilakukan pada tanggal 24 September 2015. Abdul didakwa telah melakukan percobaan atau permufakatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I. Perbuatan Abdul tersebut diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Cara atau epistimologi, modus operandi Terdakwa melakukan tindak pidananya dapat diuraikan sebagai berikut. Pada mulanya Terdakwa bermufakat
untuk membeli Narkotika Golongan I tanpa ada ijin dari pihak yang berwenang.
Abdul bersama-sama dengan Sandi Permata Sinubu alias Sandi bin Alm. Johan Sinubu (untuk selanjutnya disebut Sandi) bersepakat membeli shabu. Narkotika tersebut termasuk golongan I. Mereka membeli shabu tersebut dengan cara patungan dengan nilai patungan sejumlah 700.000 Rupiah. Jumlah tersebut dibagi antara Terdakwa sebesar 400.000 Rupiah dan Sandi sebesar 300.000 Rupiah.
Terdakwa dan Sandi memesan shabu tersebut dengan cara mengirim SMS ke nomor 082218805739. Nomor tersebut milik dari Ronald yang tinggal di Jayapura. Setelah Ronald menerima SMS tersebut, Ronald membalas SMS tersebut yang isinya memerintahkan Terdakwa untuk mentransfer uang ke nomor rekening BCA dengan nomor 0373861914 atas nama Adi Susilo. Kemudian Abdul mengirim uang tersebut sesuai permintaan dari Ronald. Satu jam setelahnya Ronald mengirim SMS yang berisi alamat pengambilan shabu. Alamat tersebut terletak di Dsn. Bogem, Tamanmartani, Kalasan, Sleman. Setelah Terdakwa dan temannya selesai mengambil shabu tersebut, mereka menuju Hotel Rumput yang terletak di Jl.
Cempaka Baru No. 28 Gempol Condongcatur Depok Sleman. Sekitar jam 10 mereka mengkonsumsi shabu tersebut. Setelah Terdakwa dan temannya diamankan, berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Penguji Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta d No. Lab 440/2449/C.3 tanggal 24 Oktober 2015 diperoleh kesimpulan bahwa barang bukti No. 024308/T/10/2015.
024309/T/2015, dan 024310/T/2015 mengadung Metamfetamin yang terdaftar dalam Golongan I Nomor urut 61 lampiran UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Yang kedua, Terdakwa didakwa melakukan percobaan atau permufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. Perbuatan Terdakwa tersebut terancam pidana yang diatur di dalam Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Cara atau epistimologi, modus operandi Terdakwa melakukan tindak pidananya dapat diuraikan sebagai berikut.
Bahwa Terdakwa dan temannya didakwa melakukan percobaan atau permufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. Perbuatan tersebut dilakukan dengan Sandi pada hari Rabu tanggal 14 Oktober 2015 sekitar jam 13.00 WIB. Abdul dan Sandi membeli shabu seharga 700.000 Rupiah dengan berat 0,5 gram. Awalnya Sandi mengajak Terdakwa untuk mengkonsumsi shabu tersebut di kost Sandi. Kost sandi terletak di Kost Pondok Naraya Jalan Raya Tajem Maguwoharjo Depok Sleman. Terdakwa dan Sandi mengkonsumsi shabu sekitar jam 13.00 WIB. Sandi bertugas untuk menyiapkan alat-alat seperti botol bekas obat batuk Woods, sedotan, korek api gas dan pipet. Alat-alat tersebut sebelumnya telah dirakit oleh Sandi sehingga membentuk sebuah bong. Alat atau bong tersebut diisi air, kemudian shabu dimasukkan ke dalam pipet kaca menggunakan potongan sedotan dan disambungkan ke alat bong. Setelah itu pipet kaca yang telah diisi shabu dibakar menggunakan korek api gas sehingga mengeluarkan asap. Asap tersebut dihisap seperti orang merokok secara bergantian antara Abdul dan Sandi.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Urine Nomor R/376/X/2015/Biddokkes tanggal 19 Oktober 2015 atas nama Abdul Azis alias Andi bin H. Sulaiman menunjukkan hasil Metamphetamine/Narkotika Positif (+), Amphetamine Positif (+). Selain itu, berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Penguji Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta Nomor Lab.
440/2449/C.3 tanggal 24 Oktober 2015 diperoleh kesimpulan bahwa barang bukti Nomor 024308/T/10/2015, 024309/T/2015 dan 024310/T/2015 mengandung Metamfetamin. Zat tersebut terdaftar dalam Golongan I Nomor urut 61 lampiran Undang- Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Abdul terbukti memiliki Narkotika Golongan I bukan tanaman tersebut tanpa ada ijin dari pihak yang berwenang.
Yang terakhir, jaksa mendakwa bahwa Abdul telah melakukan perbuatan pidana yang diatur di dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Abdul bersama dengan Sandi didakwa melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Perbuatan tersebut dilakukan pada hari Rabu tanggal 14 Oktober 2015 sekitar jam 13.00 WIB.
Abdul dan Sandi melakukan perbuatan tersebut di Kost Pondok Naraya Jalan Raya Tajem Maguwoharjo Depok Sleman. Cara atau epistimologi, modus operandi Terdakwa melakukan tindak pidananya dapat diuraikan sebagai berikut.
Pada awalnya hari Rabu tanggal 14 Oktober 2015 sekira jam 10.00 WIB Sandi membeli shabu seharga 700.000 Rupiah. Shabu tersebut terhitung memiliki berat 0,5 gram. Sandi kemudian mengajak Terdakwa untuk mengkonsumsi shabu tersebut di kostnya. Kost Sandi terletak di Kost Pondok Naraya Jalan Raya Tajem
Maguwoharjo Depok Sleman. Sekitar pukul 13.00 WIB, Abdul dan Sandi memulai mengkonsumsi shabu tersebut. Sandi bertugas untuk menyiapkan alat-alat seperti botol bekas obat batuk Woods, sedotan, korek api gas dan pipet. Alat-alat tersebut sebelumnya telah dirakit oleh Sandi sehingga membentuk sebuah bong. Alat atau bong tersebut diisi air, kemudian shabu dimasukkan ke dalam pipet kaca menggunakan potongan sedotan dan disambungkan ke alat bong. Setelah itu pipet kaca yang telah diisi shabu dibakar menggunakan korek api gas sehingga mengeluarkan asap. Asap tersebut dihisap seperti orang merokok secara bergantian antara Abdul dan Sandi.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Urine Nomor R/376/X/2015/Biddokkes tanggal 19 Oktober 2015 atas nama Abdul Azis alias Andi bin H. Sulaiman menunjukkan hasil Metamphetamine/Narkotika Positif (+), Amphetamine Positif (+). Selain itu, berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Penguji Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta Nomor Lab.
440/2449/C.3 tanggal 24 Oktober 2015 diperoleh kesimpulan bahwa barang bukti Nomor 024308/T/10/2015, 024309/T/2015 dan 024310/T/2015 mengandung Metamfetamin. Zat tersebut terdaftar dalam Golongan I Nomor urut 61 lampiran Undang- Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan hasil test tersebut, Abdul telah turut menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri tersebut tanpa ada ijin dari pihak yang berwenang.
Dengan adanya dakwaan alternative yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sleman, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan secara langsung dakwaan yang paling relevan dengan fakta-
fakta yang ditemukan di persidangan. Akhirnya Majelis Hakim memutuskan untuk menggunakan dakwaan ketiga bahwa perbuatan Terdakwa diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Pengadilan Tingkat Pertama Banding dan Kasasi
Dalam perkara narkotika yang melibatkan terdakwa bernama Abdul Azis alias Andi bin H. Sulaiman (untuk selanjutnya disebut Abdul), telah dilakukan upaya hukum hingga tingkat Kasasi. Yang pertama terdakwa diadili di Pengadilan Negeri Sleman dengan nomor perkara 6/Pid.Sus/2016/PN.SMN. Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sehingga perkara tersebut diadili di Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Nomor perkara di tingat Banding tersebut adalah 30/Pid.Sus/2016/PT.YYK. Tidak berhenti sampai di tingkat Banding, Jaksa Penutut Umum mengajukan perkara tersebut sampai ke tingkat Kasasi yang diadili di Mahkamah Agung dengan nomor perkara 2281 K/Pid.Sus/2016. Berikut adalah penjelasan dari setiap tingkat pengadilan.
a. Tingkat Pertama
Pertimbangan Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama mengenai unsur-unsur Pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah sebagai berikut.
Unsur pertama adalah adalah setiap penyalah guna bagi diri sendiri. Yang dimaksud penyalah guna bagi diri sendiri dalam Pasal ini menurut Ketentuan Umum Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah setiap orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Yang dimaksud dari
“tanpa hak” adalah tidak adanya kewenangan untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan Narkotika hanya dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan dan tehnologi setelah mendapat persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Unsur yang kedua adalah “melawan hukum”. Melawan hukum dalam ini adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku dan melanggar norma-norma yang dibernarkan oleh hukum. Kemudian kepada Abdul telah dilakukan test urine dengan Berita Acara Pemeriksaan Urine Nomor:
R/376/X/2015/Biddokkes tanggal 19 Oktober 2015. Hasil pemeriksaan urine tersangka atas nama Abdul Azis als Andi bin H. Sulaiman menunjukkan hasil METAMPHETAMINE / NARKOTIKA POSITIF (+), AMPHETAMINE POSITIF (+). Oleh karena Terdakwa menggunakan narkotika jenis shabu tersebut ternyata tanpa ada ijin dari pihak yang berwenang. Menurut pendapat majelis perbuatan terdakwa tersebut merupakan suatu bentuk penyalah gunaan maka unsur melawan hukum telah terpenuhi.
Unsur yang ketiga adalah unsur Narkotika golongan I. Dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ketentuan mengenai berat ringannya ancaman pidana bergantung pada jenis narkoba yang digunakan.
Berdasarkan test urine dengan hasil menunjukkan AMPHETAMINE POSITIF (+) positif sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan Urine Nomor:
R/376/X/2015/Biddokkes tanggal 19 Oktober 2015, maka unsur narkotika golongan I terpenuhi.
Unsur selanjutnya adalah unsur sebagai yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan. Dalam pasal ini menunjukkan bahwa dalam melakukan perbuatan tersebut sedikitnya ada dua orang. Orang tersebut adalah yang melakukan, turut serta melakukan atau menyuruh melakukan. Kedua orang tersebut melakukan perbuatan pelaksanaan sehingga di lakukannya secara bersama-sama. Berdasarkan modus operandi yang sudah dijelaskan diatas, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa unsur melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan telah terpenuhi.
Pengadilan Negeri Sleman Nomor menjatuhkan putusan pada tanggal 31 Maret 2016 yang amar lengkapnya sebagai berikut. Pertama, Terdakwa Abdul Azis Als. Andi Bin H. Sulaiman dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Turut Serta Menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri; Kedua, Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Abdul Azis Als. Andi Bin H. Sulaiman. Abdul dijatuhi pidana tindakan menjalani rehabilitasi medis dan sosial selama enam bulan. Terdakwa akan menjalani rehabilitasi medis dan sosial di Balai Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra (BRSPP) Dinas Sosial Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Balai rehabilitasi tersebut terletak di Purwomartani Kalasan Sleman; Ketiga, Hakim menetapkan lamanya masa rehabilitasi yang telah dijalani Terdakwa sebelum putusan ini dijatuhkan diperhitungkan dan dikurangkan seluruhnya dari masa rehabilitasi yang dijatuhkan; Keempat, Hakim menetapkan barang bukti berupa satu buah kartu ATM Paspor BCA Platinum. Kartu ATM tersebut memiliki nomor seri 6019 0045 0993 0846; satu buah handphone merk Nokia 206 warna putih nomor IMEI 1 355902056605080, IMEI 2
355902056605098. Di dalam handphone terdapat kartu perdana Telkomsel dengan nomor 081326636239. Nomor tersebut diduga ada hubungan langsung dengan tindak pidanayang terjadi; satu buah baju batik ukuran M dengan gantungan baju (hanger) warna hitam. Di dalam baju tersebut terdapat satu buah plastik klip kecil transparan yang berisi butiran kristal. Klip tersebut diduga narkotika jenis shabu dengan brutto 0,45 gr. Klip tersebut dibungkus dengan lakban coklat; satu buah plastik klip kecil transparan bekas tempat shabu yang masih terdapat serbuk yang diduga Narkotika jenis shabu; dua buah pipet kaca yang terdapat bercak warna putih yang diduga Narkotika jenis shabu; satu buah alat hisap shabu (bong) yang terbuat dari botol sirup obat batuk merk Woods; satu buah kartu ATM Paspor BCA dengan nomor seri 6019002627064027; satu buah korek api merk Menara; satu buah handphone Blackberry Bold warna putih dengan nomor IMEI 351504051834691.
Di dalam handphone tersebut terdapat simcard Telkomsel dengan nomor 0822427100008; Kelima, Hakim membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesarp 5.000 Rupiah.
Dalam pengadilan tingkat pertama tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan permintaan banding dihadapan Panitera Pengadilan Negeri Sleman.
Banding tersebut diajukan pada tanggal 6 April 2016 sebagaimana dalam Akta permintaan banding Nomor 15/Akta Pid.Sus/2016/PN SMN. Pada permintaan Bandingnya, Jaksa Penutut Umum mengemukakan beberap hal, diantaranya adalah adanya perbedaan pendapat Jaksa Penuntut Umum dengan putusan perkara tersebut untuk dilakukan rehabilitasi medis dan sosial selama 6 (enam) bulan di Balai Rehabilitasi Sosial Permadi Putra (BRSPP) Dinas Sosial Pemerintah DIY di
Purwomartani Kalasan Sleman karena tidak sesuai dengan tuntutan pidana. Yang kedua Jaksa Penuntut Umum berpendapat rehabilitasi medis dan sosial hanya dapat diberikan terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika.
Rekomendasi rehabilitasi terhadap Abdul Aziz alian Andi bin H. Sulaiman Nomor R/53/X/Kb/Rh.00/2015/BNNP.DIY yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 2015, menyatakan tersangka sebagai penyalahguna narkotika, tidak adanya indikasi keterlibatan tersangka dengan jaringan narkotika, dan menyatakan tersangka memerlukan rehabilitasi dan konseling. Dengan adanya surat rekomendasi tersebut yang bersangkutan dapat menjalani perawatan pengobatan melalui rehabilitasi medis dan atau rehabilitasi sosial di lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah sambil megikuti proses hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Jaksa Penuntut Umum berpendapat dari rekomendasi tersebut dinyatakan bahwa terdakwa merupakan penyalahguna narkotika dan bukan merupakan pecandu narkotika ataupun korban penyalahgunaan narkotika. Selain itu rekomendasi tersebut menyatakan bahwa sifatnya dapat mengikuti proses hukum sehingga rekomendasi rehabilitasi tersebut tidak mengikat terhadap tuntutan pidana dan putusan pidana. Maka dari itu hendaknya kepada terdakwa dijatuhi hukuman seperti tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
b. Tingkat Banding
Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 30/PID.SUS/2016/PT YYK tanggal 7 Juni 2016 telah mengeluarkan putusan yang amar lengkapnya sebagai berikut. Pertama, Hakim menerima permintaan banding dari Pembanding Jaksa Penuntut Umum; Kedua, Hakim menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Sleman
tanggal 31 Maret 2016 Nomor 6/PID.SUS/2016/PN SMN yang dimintakan banding tersebut; Ketiga, Hakim membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini dalam kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding sebesar 5.000 Rupiah.
Yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam memutus perkara tersebut adalah bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam dakwaan alternatif ketiga. Hakim Tinggi berpendapat oleh karena itu pertimbangan hukum pengadilan tingkat pertama tersebut diambil alih oleh pengadilan tingkat banding, dengan tambahan pertimbangan hukum sebagai berikut. Bahwa terdakwa tidak terbukti sebagai pengedar maupun tidak ada indikasi terlibat dengan jaringan Narkotika yang lebih berat; bahwa Narkotika jenis sabu yang dibeli Terdakwa secara patungan dengan Sandi dengan berat bruto 0,45 gram untuk dipakai sendiri;
bahwa Terdakwa adalah korban dari peredaran Narkoba, dan hukuman yang dijatuhkan sifatnya mendidik bukan balas dendam. Dengan menempatkan Terdakwa dalam lembaga Pemasyarakatan belum tentu dapat menjamin Terdakwa akan menjadi jera, dapat dimungkinkan menjadi lebih parah. Hakim pada tingakat banding juga memperhatikan rekomendasi dari kepala BNN DIY tersebut kepada Terdakwa dapat menjalani perawatan/pengobatan melalui Rehabilitasi Medis dan atau Rehabilitasi Sosial tersebut. Putusan Pengadilan Tingkat Pertama dirasa sudah adil dan bijak. Jaksa Penuntut Umum merasa bahwa masih ada perbedaan pendapat antara putusan pengadilan tinggi tersebut dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum sehingga diajukannya permohonan Kasasi.
c. Tingkat Kasasi
Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut. Nomor permohonan Kasasi tersebut adalah 15/Akta.Pid.Sus/2016/PN. SMN yang diajukan pada tanggal 28 Juni 2016.
Pemohon Kasasi tersebut diterima di Kepaniteraan Pengadilan Sleman pada tanggal 11 Juli 2016. Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya adalah sebagai berikut. Bahwa Pengadilan Tingi Yogyakarta yang telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan kekeliruan.
Jaksa Penuntut Umum berpendapat Pengadilan Tinggi Yogyakarta tidak menerapkan atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya. Yang pertama, dalam Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan: “Dalam hal Penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Selanjutnya pada Pasal 54 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan, “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang di dalam Pasal 1 terdapat beberapa pengertian mengenai pecandu narkotika, ketergantungan narkotika, penyalahguna narkotika, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagai berikut. Pecandu Narkotika adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Jaksa Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta tidak memperhatikan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor PER- 005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi. Dalam Peraturan Bersama tersebut terdapat beberapa pengertian dan ketentuan sebagai berikut. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan