FAKTOR DETERMINAN ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) MEMULAI TERAPI ARV PADA PROGRAM TEST AND TREAT
DI KLINIK AMERTHA DENPASAR BALI 2015
Naskah Publikasi
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2
Field Epidemiology Training Program (FETP) Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Diajukan Oleh:
PUTU CINTYA DENNY YULIYATNI 13/354636/PKU/13951
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA 2015
ii
iii
FAKTOR DETERMINAN ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) MEMULAI TERAPI ARV PADA PROGRAM TEST AND TREAT
DI KLINIK AMERTHA DENPASAR BALI 2015
Putu Cintya Denny Yuliyatni1, Riris Andono Ahmad2, Citra Indriani3
1. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, email: [email protected] 2. Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
email: [email protected]
3. Field Epidemiology Training Program, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, email: [email protected]
ABSTRAK
Latar Belakang: Indonesia adalah salah satu negara dengan perkembangan epidemi HIV tercepat di Asia. Untuk menghadapi epidemi tersebut, salah satu upaya yang dilakukan adalah program Test and Treat sejak tahun 2013. Masih banyaknya ODHA yang belum memulai terapi ARV menjadi sumber penularan HIV di komunitas.
Untuk itu perlu digali faktor determinan ODHA untuk memulai terapi ARV yang diharapkan akan menjadi masukan bagi perbaikan program ke depan.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan crossectional. Dari semua ODHA yang mengikuti program Test and Treat di Klinik Amertha terpilih 226 sampel secara consecutive sampling. Variabel bebas adalah karakteristik demografi ODHA, pengetahuan, persepsi, konseling pasca tes, dukungan sosial dan memulai terapi ARV sebagai variabel tergantung. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur dan dianalisis menggunakan poisson regression with a robust variance estimator.
Hasil: Dari 226 responden, 169 (74,78%) mulai terapi ARV. Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan hubungan bermakna memulai terapi ARV dengan jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, kepemilikan asuransi, pengetahuan, perceived barrier, konseling sesuai pedoman, tempat tes dan dukungan sosial. Pada analisis multivariat, pengetahuan (aPR=1,53; 95%CI=1,17-2,00) dan konseling sesuai pedoman (aPR=1,40; 95%CI=1,17-1,68).
Simpulan: Konseling pasca tes perlu lebih menekankan pada komunikasi yang baik sesuai pedoman, menyesuaikan kondisi ODHA dan menggali hambatan dalam memulai terapi ARV agar dapat memotivasi ODHA untuk memulai terapi ARV.
Masih perlu untuk meningkatkan pengetahuan dan mempertahankan dukungan sosial pada ODHA yang selama ini telah dilakukan oleh Klinik Amertha.
Kata Kunci: Memulai terapi ARV, ODHA, Test and Treat, Klinik Amertha, Bali
iv
DETERMINANTS OF ARV INITIATION
AMONG PEOPLE LIVING WITH HIV/AIDS (PLWHA) FOR TEST AND TREAT PROGRAM AT AMERTHA CLINIC
DENPASAR BALI, 2015
Putu Cintya Denny Yuliyatni1, Riris Andono Ahmad2, Citra Indriani3
1. Faculty of Medicine Udayana University, email: [email protected] 2. Tropical Medicine Center Faculty of Medicine Gadjah Mada University,
email: [email protected]
3. Field Epidemiology Training Program, Faculty of Medicine Gadjah Mada University, email: [email protected]
ABSTRACT
Background: Indonesia has been reported to be the fastest growing HIV epidemic in Asia. The test and treat (T&T) program were introduced in 2013 to avert this growing epidemic. However, only a small proportion of people living with HIV/AIDS (PLWHA) are willing to start antiretroviral therapy (ART) according to the T&T protocol, for which can increase the risk for HIV transmission within the community.
This study aims at exploring determinants of the early initiation of ART among PLWHA. Findings from this study can be utilised for T&T program improvements.
Method: This study used a cross-sectional design. From all PLWHA who participate in the T&T program in Amertha Clinic, 226 samples were selected using a consecutive sampling technique. Independent variables were demographic characteristics, knowledge, perception, post-test counselling, and social support.
Dependent variable in this study was ART initiation. Data were collected by interviews using a structured questionnaire. Data were analysed using the Poisson regression with robust variance estimators.
Result: Of 226 respondents, 169 (74.78%) had started ART. The bivariate analysis showed that there is a significant relationship between ART initiation with gender, education, employment, marital status, insurance, knowledge, perceived barriers, counselling based on guidelines, test place and social support. The multivariate analysis revealed that only knowledge (aPR=1.53; 95%CI=1.17-2.00) and counselling based on guidance (aPR=1.40; 95%CI=1.17-1.68).
Conclusion: The post-test counselling needs to be performed in accordance with the guidelines, adjusted to the need of PLWHA conditions and explored the barriers faced by PLWHA so that solutions can be discussed in order to motivate PLWHA to start ART as early as possible. The knowledge of PLWHA regarding benefits of the early ART initiation needs to be improved. The Amertha Clinic should continue its efforts to maintain social supports for PLWHA.
Key Words: ARV initiation, PLWHA, Test and Treat, Amertha Clinic, Bali
1 PENDAHULUAN
Berdasarkan data estimasi United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), hingga akhir tahun 2013 jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh dunia mencapai 34 juta. Namun dari tingginya jumlah kasus ini, telah terjadi penurunan kasus baru dimana dari 3,4 juta kasus baru pada tahun 2001 menurun 38% yaitu 2,1 juta kasus baru pada tahun 2013 (1). Berbeda dengan Indonesia, hingga Juni 2014, jumlah kumulatif HIV sebanyak 142.961 kasus dengan angka prevalensi nasional 19,0 per 100.000 penduduk (2). Pada tahun 2013, kasus baru HIV di Indonesia meningkat hingga 48% dan dari tahun 2005 ke 2013, kematian akibat AIDS di Indonesia naik sekitar 427% (1).
Laporan KPAN (2009) menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan perkembangan epidemi HIV tercepat di Asia. Untuk menghadapi epidemi HIV tersebut, berbagai upaya telah dilakukan salah satunya melalui kebijakan baru berupa Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, nomor 21 tahun 2013, tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Kemudian diperkuat dengan adanya surat edaran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia nomor 1154 pada bulan Mei 2013 tentang pemberitahuan akselerasi tes HIV dan inisiasi dini pengobatan ARV (Test and Treat Program) (3,4).
Untuk Bali sendiri, jumlah ODHA secara kumulatif dari tahun 1987 hingga Desember 2014 ada sebanyak 10.881 orang dengan prevalensi HIV/AIDS di Bali sebesar 100,2 per 100.000 orang (2). Sebanyak 9.799 ODHA tercatat dalam layanan Program Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP). Sekitar 69%
(6.783 ODHA) diantaranya layak secara kondisi klinis mendapatkan terapi ARV dengan 6.590 ODHA (97%) telah mendapat terapi dan 3% belum di terapi.
Sedangkan tercatat sebanyak 3.016 ODHA (31%) secara klinis tercatat belum layak menerima terapi ARV. Angka ini cukup besar dan berpotensi sebagai sumber penularan HIV pada populasi kunci maupun masyarakat (5).
Kebijakan Test and Treat mulai diterapkan di beberapa layanan PDP di Bali sejak tahun 2013. Salah satu layanan PDP yang menerapkan program ini adalah Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja (YKP) yang merupakan satelit PDP dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Akses ARV therapy (ART) merupakan kunci
2
untuk menurunkan angka kematian terkait AIDS (6). Dengan menggunakan ARV, dapat memperpanjang harapan hidup, perbaikan kualitas hidup dan merupakan kunci penurunan penularan kasus baru HIV (7). Dengan masih banyaknya jumlah ODHA yang belum memulai terapi ARV baik secara Nasional, Bali dan khususnya di Klinik Amertha, menjadi peluang besar sebagai sumber penularan HIV di komunitas. Keputusan pemerintah untuk mempersempit gap dengan menetapkan program Test and Treat merupakan peluang untuk memberikan kesempatan bagi ODHA agar dapat mengakses layanan ARV secara dini. Dengan demikian penting untuk melihat determinan dari ODHA untuk mulai terapi ARV dini, sebagai bentuk upaya penanggulangan dan pencegahan penularan dari ODHA ke populasi kunci dan masyarakat umum.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Klinik Amertha Denpasar dengan pertimbangan memiliki layanan komprehensif pada PSP dan populasi kunci lainnya; memiliki komitmen yang baik dalam pelaksanaan program Test and Treat pada populasi kunci. Penelitian ini menggunakan rancangan crossectional dan dilaksanakan sejak April 2015 hingga Januari 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien di Klinik Amertha yang memiliki status HIV positif dan mendapat tawaran program Test and Treat sejak tahun 2013 hingga penelitian ini dilakukan.
Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
menggunakan kuesioner terstruktur yang telah diuji coba sebelumnya. Variabel yang diteliti meliputi variabel bebas (karakteristik demografi ODHA, pengetahuan, konseling pasca tes dan dukungan sosial) dan variabel memulai terapi ARV sebagai variabel tergantung. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan poisson regression with a robust variance estimator.
HASIL
Dari 226 responden, 169 (74,78%) mulai terapi ARV sedangkan sisanya (25,22%) masih belum mulai terapi ARV. Berdasarkan karakteristik demografi
3
ODHA, mereka rata-rata berusia 32 tahun, sebagian besar perempuan (56,19%), memiliki faktor risiko heteroseksual (60,62%), berpendidikan rendah (53,98%), berstatus pisah atau cerai (43,81%) dan tidak memiliki jaminan kesehatan (66,37%). Dari seluruh responden, sebagian besar memiliki pengetahuan yang cukup (78,76%), konseling pasca tes sesuai pedoman (61,95%) dan kurang mendapatkan dukungan sosial (78,01%).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh hubungan yang bermakna (p- value<0,05) antara memulai terapi ARV dengan jenis kelamin, pendidikan, status
pernikahan, kepemilikan asuransi, pengetahuan, perceived barrier, konseling sesuai pedoman dan dukungan sosial. Pada tabel berikut ini disajikan hasil analisis bivariat dari variabel bebas berdasarkan variabel tergantung.
Tabel 1. Hasil Analisis Bivariat ODHA untuk Memulai Terapi ARV di Klinik Amertha, 2015
No Variabel
Memulai Terapi ARV
PR (95% CI)
p- value
Minum Tidak
Minum
1 Umur 32.25 ± 7,83 32,82 ± 8.41 0.99 (0.99-1.00) 0.65 2 Jenis Kelamin
Laki-laki 82 (82,83) 17 (17,17) 1.21 (1.04-1.40) 0.01
Perempuan 87 (68,50) 40 (31,50) ref
3 Faktor risiko penularan
Homoseksual 72 (84.71) 13 (15.29) 3.39 (0.62-18.61) 0.16 Heteroseksual 96 (70.07) 41 (29.93) 2.80 (0.51-15.41) 0.24
Biseksual 1 (25.0) 3 (75.0) ref
4 Pendidikan
Tinggi 86 (82.69) 18 (17.31) 1.22 (1.04-1.41) 0.01
Rendah 83 (68.03) 39 (31,97) ref
5 Status pernikahan
Menikah 32 (84.21) 6 (15.79) 1.23 (1.03-1.47) 0.02 Belum Menikah 72 (80.90) 17 (19.10) 1.28 (1.05-1.56) 0.01
Pisah atau Cerai 65 (65.66) 34 (34.34) ref
6 Kepemilikan Asuransi
Punya 63(82.89) 13 (17.11) 1.17 (1.01-1.36) 0.03
Tidak punya 106 (70.67) 44 (29.33) ref
7 Pengetahuan
Cukup 144 (80.90) 34 (19.10) 1.55 (1.17-2.06) 0.002
Kurang 25 (52.08) 23 (47.92) ref
8 Perceived susceptibility
merasa tidak rentan 167 (74,89) 56 (25,11) 1,12 (0,50-2,51) 0,78
merasa rentan 2 (66,67) 1 (33,33) ref
4
No Variabel
Memulai Terapi ARV
PR (95% CI)
p- value
Minum Tidak
Minum 9 Perceived severity
merasa tidak parah 166 (75,45) 54 (24,55) 1,51 (0,68-3,37) 0,32
merasa parah 3 (50,0) 3 (50,0) ref
10 Perceived benefit
merasa ada manfaat 129 (75,44) 42 (24,56) 1,04 (0,86-1,25) 0,69 merasa tidak ada manfaat 40 (72,73) 15 (27,27) ref
11 Perceived barrier merasa tidak ada hambatan
138 (79,31) 36 (20,69) 1,33 (1,05-1,69) 0,02
merasa ada hambatan 31 (59,62) 21 (40,38) ref
12 Konseling sesuai Pedoman
Sesuai 118 (84.29) 22 (15.71) 1.42 (1.18-1.72) 0.0001
Tidak 51 (59.30) 35 (40.70) ref
13 Dukungan sosial
Cukup 53 (86.89) 8 (13.11) 1.24 (1.08-1.42) 0.003
Kurang 116 (70.30) 49 (29.70) ref
Analisis multivariat dalam penelitian ini menggunakan multipel regresi poisson dan variabel yang telah memenuhi nilai p<0,25 diikutsertakan dalam seleksi multivariat. Variabel yang memiliki p<0,25 yaitu variabel jenis kelamin, faktor risiko penularan, pendidikan, status pernikahan, kepemilikan asuransi, pengetahuan, perceived barrier, konseling sesuai pedoman dan dukungan sosial.
Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan beberapa variabel bebas secara bersama-sama dengan variabel terikat. Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan teknik enter dan terpilih 3 model utama dengan kombinasi variabel yaitu variabel pengetahuan, perceived barrier, konseling sesuai pedoman dan dukungan sosial. Pemilihan model final didasarkan pada konsep, nilai p-value dan nilai BIC yang terkecil.
Dari ke-3 model yang ada, terpilih kombinasi variabel pengetahuan dan konseling sesuai pedoman (model 1) sebagai model final. Model 1 memiliki nilai BIC yang terkecil dan memiliki nilai pseudo R2 dimana dengan 2 variabel mampu menerangkan sebesar 2% memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap mulai terapi ARV. Sedangkan pada model lain, dengan penambahan variabel penambahan nilai pseudo R2 hanya 0,1-0,3%. Pada model final, variabel pengetahuan meningkatkan risiko memulai ARV sebesar 53% (aPR=1,53;
5
95%CI=1,17-2,00) pada kondisi konseling yang terkontrol dan konseling memberikan peningkatan risiko sebesar 40% (aPR=1,40; 95%CI=1,17-1,68) pada ODHA untuk memulai terapi ARV pada tingkat pengetahuan yang sama.
Meskipun pada model ini terlihat konseling sesuai pedoman (p-value=0,0001) memiliki hubungan yang dominan terhadap memulai terapi ARV dibandingkan dengan variabel pengetahuan (p-value=0,002), namun pengetahuan memiliki efek biologis yang lebih besar untuk ODHA memulai terapi ARV.
Tabel 2. Hasil Analisis Multivariat Faktor Determinan untuk ODHA Memulai Terapi ARV di Klinik Amertha, 2015
No Variabel
Model 1* Model 2 Model 3
aPR (95% CI)
p- value
aPR
(95% CI) p-value aPR
(95% CI) p-value 1 Pengetahuan Cukup 1,53
(1,17-2,00)
0,002 1,48 (1,14-1,92)
0,003 1,52 (1,16-1,98)
0,02
2 Tidak Merasa Ada Hambatan
1,24 (0,99-1,54)
0,052
3 Konseling Sesuai Pedoman
1,40 (1,17-1,68)
0,0001 1,39 (1,16-1,67)
0,0001 1,37 (1,14-1,65)
0,001
4 Dukungan Sosial Cukup
1,13 (0,99-1,29)
0,06
BIC 443,66 447,86 448,52
Pseudo R2 0,0203 0,0231 0,0215
*model final
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mngetahui faktor determinan ODHA untuk memulai terapi ARV pada program Test and Treat di Klinik Amertha. Dari hasil penelitian pada 226 ODHA, 169 (74,8%) responden mulai terapi ARV setelah mendapat konseling pasca tes. Gardner (2011) pun menemukan bahwa dari 40%
ODHA yang dapat menjangkau layanan PDP, 75% diantaranya menerima terapi ARV (8). Hasil capaian Klinik dalam 2 tahun program Test and Treat berlangsung cenderung cukup baik jika dibandingkan data Dinkes Provinsi Bali tahun 2014 bahwa dari 9.799 ODHA yang tercatat dalam PDP, 6.590 (67,3%) ODHA telah mendapatkan terapi ARV. Berdasarkan target UNAIDS pada tahun 2020, diharapkan 90% orang yang terdiagnosis HIV positif mendapatkan terapi ARV
6
yang berkelanjutan. Dari target ini, Klinik Amertha masih perlu bekerja ekstra untuk mencapai target 90% dari 74% yang saat ini telah dicapai (5,9).
Berdasarkan analisis bivariat, terlihat adanya hubungan bermakna pada variabel jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, kepemilikan asuransi, pengetahuan dan perceived barrier terhadap variabel memulai terapi pada ODHA.
Jenis kelamin memiliki hubungan untuk memulai terapi ARV dimana laki-laki memiliki risiko 1,2 kali memulai terapi ARV dibandingkan perempuan. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa laki-laki menjadi faktor prediktor dalam mengoptimalkan perilaku minum ARV (10). Namun pada penelitian untuk melihat tren enrolment treatment ARV di Kamboja dalam 10 tahun, dari tahun 2003 hingga 2013, laki-laki cenderung terlambat untuk melakukan terapi dalam 6 bulan setelah terdiagnosa HIV positif (11).
Variabel pendidikan juga terlihat memiliki hubungan dimana mereka yang berpendidikan tinggi memiliki risiko 1,2 kali untuk memulai terapi ARV dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan hasil analisis variabel pengetahuan dimana pengetahuan yang cukup berisiko 1,5 kali untuk memulai terapi ARV pada ODHA. Secara teori, tingkat pendidikan memiliki pengaruh dalam pengetahuan dan perilaku seseorang. Mereka yang berpendidikan tinggi, cenderung memiliki daya tangkap yang baik untuk berbagai informasi sehingga memiliki pengetahuan yang lebih baik dan cenderung akan berperilaku yang baik pula (12).
Status pernikahan terlihat memiliki hubungan bermakna untuk memulai terapi ARV. Tidak banyak penelitian tentang memulai terapi dihubungkan dengan status pernikahan. Namun status pernikahan dapat dikaitkan dengan dukungan sosial yang didapatkan oleh ODHA dari keluarga terdekat. Sebuah studi menemukan bahwa yang menjadi faktor prediktif untuk mengoptimalkan perilaku minum ARV adalah self efficacy yang tinggi (faktor dukungan sosial dan tidak tinggal sendiri) (10). Ahmed et al., (2013) menunjukkan secara independen bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi lost to follow up pre ART pada ODHA di Etiopia yaitu status pernikahan. Mereka yang menikah memiliki peluang untuk tidak lost to follow up (13).
7
Pada penelitian ini, mereka yang memiliki asuransi, baik pemerintah maupun swasta memiliki risiko 1,17 kali untuk memulai ARV dibandingkan dengan mereka yang tidak dan hubungan ini bermakna secara statistik. Hubungan kepemilikan asuransi kesehatan dan keterlambatan mencari layanan kesehatan masih terlihat tidak konsisten. Memiliki asuransi dikatakan dapat menurunkan keterlambatan seseorang datang ke layanan kesehatan. Namun ada temuan yang menunjukkan bahwa kepemilikan asuransi tidak berhubungan dengan keterlambatan ke layanan kesehatan (14).
Variabel persepsi dibagi menjadi 4 sub variabel yaitu perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefit, perceived barrier. Hanya perceived barrier
yang menunjukkan hubungan yang bermakna dengan variabel memulai terapi ARV pada ODHA. Mereka yang merasa tidak memiliki hambatan berisiko 1,3 kali memulai terapi ARV dibandingkan mereka yang merasa ada hambatan dalam terapi ARV. Hambatan yang dimaksud adalah hambatan mematuhi anjuran dokter, minum obat tanpa putus seumur hidup, meluangkan waktu ke klinik setiap bulan, minum obat sesuai jadwal dan menghambat kegiatan sehari-hari.
Awal dari terapi bagi sebagian orang adalah memulai proses seumur hidup dengan tergantung dan komitmen, yang memerlukan perubahan rutinitas sehari- hari. Ketakutan juga berhubungan dengan bagaimana pengobatan mempengaruhi tubuh dan kesehatan secara umum (15,16). Pilihan terapi yang ditawarkan pada program Test and Treat ini adalah FDC telah menjadi prediktor penting mengurangi persepsi hambatan pada responden untuk memulai terapi ARV. Hal ini seperti yang telah dibuktikan pada penelitian diatas bahwa FDC merupakan jawaban untuk mengurangi kesulitan minum obat secara rutin dan perubahan rutinitas sehari-hari.
Selanjutnya, konseling sesuai pedoman memiliki hubungan yang bermakna dengan variabel memulai terapi ARV. Mereka yang mendapatkan konseling sesuai pedoman berisiko 1,4 kali untuk memulai terapi ARV. Pedoman konseling pasca tes yang dimaksud adalah sesuai dengan modul pelatihan konseling dan tes sukarela HIV (VCT) untuk konselor profesional panduan peserta (2012) oleh Komisi Penanggulangan AIDS Kota Denpasar. Dengan memberikan konseling
8
yang sesuai dengan pedoman, maka akan meningkatkan risiko 40% bagi ODHA untuk mulai minum ARV. Dengan demikian maka penting kiranya memberikan penekanan bagi para konselor agar memberikan konseling pasca tes yang sesuai dengan pedoman yang dijadikan acuan.
Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa konseling pasca tes yang baik akan mampu menjamin individu yang melakukan tes HIV secara rutin terpantau di klinik tersebut. Konseling dan testing HIV yang kurang baik diindentifikasi sebagai hambatan yang potensial untuk memulai ART, khususnya pada mereka yang memang perlu ART namun tidak mengetahui status HIV mereka (17).
Sebuah studi juga mengungkapkan bahwa membangun hubungan dan komunikasi dengan pasien sangat penting untuk inisiasi terapi dan kepatuhan, termasuk memberikan informasi dengan bahasa pasien jika memungkinkan (18). Selain itu, dalam sebuah penelitian dalam jalur pencarian terapi ARV, seorang tenaga kesehatan tidak hanya perlu mengetahui tentang ARV saja tetapi juga cara berkomunikasi yang baik, budaya pasien, dan tentang konteks kehidupan bermasyarakat. Seringkali tenaga kesehatan hanya terfokus pada kemampuan keilmuan namun mengabaikan keterampilan berkomunikasi yang menjadi dasar dalam proses konseling (19). Dalam sebuah penelitian kualitatif pada wanita ODHA dalam PPIA, respon jawaban dari responden terkait pertanyaan mengapa wanita tidak memulai minum ARV salah satunya adalah kurangnya informasi tentang ARV. Dalam konseling, keakuratan informasi sangat diperlukan oleh pasien (20).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, dukungan sosial memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan variabel memulai terapi ARV pada ODHA.
Mereka yang mendapatkan dukungan sosial yang cukup berisiko 1,2 kali untuk memulai terapi ARV dibandingkan mereka yang kurang mendapatkan dukungan sosial. Dukungan sosial memiliki peran penting dalam penerimaan dan kesiapan menerima status HIV yang dapat diterjemahkan sebagai pencarian layanan kesehatan. Dikatakan bahwa dukungan sosial dapat menurunkan perilaku berisiko dan meningkatkan hubungan emosional melalui informasi yang didapat. Akses informasi dan dukungan dari sekitar dapat meningkatkan peluang untuk memulai
9
terapi ARV. Bagi mereka yang merupakan kelompok marginal seperti ODHA, dukungan sosial terbaik didapatkan tidak hanya dari keluarga tetapi juga dari jaringan pertemanan seperti pada kelompok LSL (14,21). Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa kesiapan memulai terapi dan kepatuhan dapat ditingkatkan dengan memberikan motivasi dan dukungan oleh tenaga kesehatan dan petugas lapangan dengan bantuan telepon seluler (22).
Dalam pemilihan model final analisis multivariat, terpilih model dengan faktor prediktor memulai terapi ARV adalah pengetahuan dan konseling sesuai pedoman. Hal ini didasarkan pada nilai BIC terendah dari semua model yang terbentuk. Dari model final, pengetahuan memiliki peran biologis (effect size) yang lebih tinggi (aPR=1,53) meningkatkan risiko memulai terapi ARV diikuti dengan konseling sesuai pedoman (aPR=1,40). Meskipun konseling sesuai pedoman memiliki nilai kemaknaan yang lebih kuat.
Tidak banyak referensi terkait memulai terapi ARV pada program Test and Treat. Namun dalam sebuah systematic review tentang faktor yang mempengaruhi
kepatuhan terapi ARV, konseling pada pasien dapat meningkatkan pengetahuan dan membantu meningkatkan kepatuhan (23). Pada sebuah systematic review tentang hambatan penerimaan ARV pada program PPIA di Sub-Sahara Afrika, didapatkan bahwa pengetahuan yang rendah pada transmisi HIV dan ARV menjadi alasan pasien drop out dari program PPIA dan gagal untuk mengakses ARV. Pada level individual rendahnya pengetahuan tentang HIV/PPIA/ARV dapat diatasi dengan penguatan konseling yang suportif dan penyuluhan. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar wanita tetap berada dalam program PPIA dalam proses inisiasi ARV (24). Ditemukan juga bahwa pengetahuan tentang terapi ketika komunikasi dilakukan dengan jelas oleh petugas kesehatan, dapat mempengaruhi keinginan pasien untuk memulai dan patuh pada terapi medis yang direkomendasikan (25). Untuk itu, dalam mengoptimalkan penerimaan dan inisiasi terapi ARV pada ODHA, yang perlu menjadi perhatian adalah intervensi pada peningkatan pengetahuan dan proses konseling yang baik.
Meskipun terpilih model 1 sebagai model final, namun dalam konteks program dan agar intervensi tercapai hasil maksimal, perlu untuk
10
mempertimbangkan 2 variabel yang signifikan dalam model lain yaitu perceived barrier dan dukungan sosial. Konseling yang baik, sebaiknya mampu menggali
hambatan pasien dalam memulai terapi ARV dan mengurangi persepsi hambatan pada ODHA tentang terapi ARV yang seumur hidup. Kelompok marginal seperti ODHA baik PSP, LSL dan masyarakat umum, memerlukan pendekatan yang berbeda dalam layanan HIV dan ARV. Oleh karena itu, bentuk dukungan sosial yang bisa diberikan oleh layanan dan petugas kesehatan pada ODHA perlu fleksibel berdasarkan kondisi ODHA sehingga ODHA dapat lebih termotivasi untuk memulai terapi ARV dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Bentuk dukungan sosial yang diberikan oleh layanan dan petugas kesehatan di Klinik Amertha berupa konseling yang baik, reminder, dan transportasi tetap perlu dipertahankan agar dapat lebih memotivasi ODHA untuk memulai terapi ARV dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, proporsi ODHA yang memulai ARV pada program Test and Treat di Klinik Amertha cukup tinggi (74,78%). Variabel pengetahuan dan konseling sesuai pedoman berhubungan dengan memulai terapi ARV, namun variabel konseling sesuai pedoman merupakan variabel yang memiliki hubungan paling kuat dengan variabel memulai terapi ARV pada ODHA pada program Test and Treat.
Untuk meningkatkan proporsi ODHA yang memulai terapi ARV, diperlukan adanya peningkatan pengetahuan bagi ODHA tentang HIV khususnya terapi ARV melalui kegiatan penyuluhan dan konseling oleh petugas kesehatan. Kegiatan konseling oleh petugas sebaiknya tetap sesuai dengan pedoman yang ada, lebih menggali hambatan ODHA untuk memulai terapi ARV, disesuaikan dengan pedoman yang ada dan kondisi ODHA sehingga ODHA termotivasi untuk memulai terapi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dukungan sosial yang selama ini diberikan melalui konseling, reminder dan transportasi oleh petugas lapangan di Klinik Amertha perlu tetap dipertahankan.
11 KEPUSTAKAAN
1. United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). The Gap Report. Geneva;
2014.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan II Tahun 2014. Jakarta; 2014.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tes dan Konseling HIV dan AIDS. Jakarta; 2013.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Indonesia; 2013 p. 1–31.
5. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Data Komulatif Penggunaan ARV Di Provinsi Bali 2014. Denpasar; 2014.
6. Poka-Mayap V, Pefura-Yone EW, Kengne AP, Kuaban C. Mortality and its Determinants among Patients Infected with HIV-1 on Antiretroviral Therapy in a Referral Centre in Yaounde, Cameroon: a Retrospective Cohort Study. BMJ Open.
2013;3:1–7.
7. Cohen MS, Smith MK, Muessig KE, Hallett TB, Powers KA, Kashuba AD.
Antiretroviral Treatment of HIV-1 Prevents Transmission of HIV-1 : Where do We Go from Here ? 2013;382:1515–24.
8. Gardner EM, Mclees MP, Steiner JF, Rio C, Burman WJ. The Spectrum of Engagement in HIV Care and its Relevance to Test-and-Treat Strategies for Prevention of HIV Infection. Clin Infect Dis. 2011;52:793–800.
9. United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). 90-90-90 an Ambitious TreatmentTarget to Help End the AIDS Epidemic. Geneva; 2014.
10. Ramirez-Garcia P, Côté J. An Individualized Intervention to Foster Optimal Antiretroviral Treatment-taking Behavior among Persons Living with HIV: A Pilot Randomized Controlled Trial. J Assoc Nurses AIDS Care. 2012;23(3):220–
32.
11. Pe R, Chim B, Thai S, Lynen L, van Griensven J. Advanced HIV Disease at Enrolment in HIV Care: Trends and Associated Factors over a Ten Year Period in Cambodia. PLoS One. 2015;10:e0143320.
12. Notoadmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.
13. Ahmed I, Gugsa ST, Lemma S, Demissie M. Predictors of Loss to Follow-up before HIV Treatment Initiation in Northwest Ethiopia : a Case Control Study.
BMC Public Health; 2013;13(1):1.
14. McCoy SI. HIV Testing and Linkage to Care in North Carolina: Early Diagnosis, Late Diagnosis, and Delayed Presentation to Care. University of North Carolina;
2008.
12
15. Shedlin MG, Ulises C, Beltran O. Geopolitical and Cultural Factors Affecting ARV Adherence on the US-Mexico Border. J Immigr Minor Heal. 2013;15:969–
74.
16. Astuti N, Maggiolo F. Single-Tablet Regimens in HIV Therapy. Infect Dis Ther.
2014;3:1–17.
17. Tran DA, Shakeshaft A, Ngo AD, Rule J, Wilson DP, Zhang L, et al. Structural Barriers to Timely Initiation of Antiretroviral Treatment in Vietnam : Findings from Six Outpatient Clinics. PLoS One. 2012;7(12).
18. Willard S, Angelino a. The Need for Sociocultural Awareness to Maximize Treatment Acceptance and Adherence in Individuals Initiating HIV Therapy. J Int Assoc Physicians AIDS Care. 2008;7(Supplement 1):S17–21.
19. Penn C, Watermeyer J, Evans M. Why Don’t Patients Take Their Drugs? The Role of Communication, Context and Culture in Patient Adherence and the Work of the Pharmacist in HIV/AIDS. Patient Educ Couns. Elsevier Ireland Ltd;
2011;83(3):310–8.
20. Murray LK, Semrau K, McCurley E, Thea DM, Scott N, Mwiya M, et al. Barriers to Acceptance and Adherence of Antiretroviral Therapy in Urban Zambian Women: a Qualitative Study. AIDS Care. 2009;21(October 2015):78–86.
21. Waddell EN, Messeri P a. Social Support, Disclosure, and Use of Antiretroviral Therapy. AIDS Behav. 2006;10(3):263–72.
22. Bhat VG, Ramburuth M, Singh M, Titi O, Antony a P, Chiya L, et al. Factors Associated with Poor Adherence to Anti-retroviral Therapy in Patients Attending a Rural Health Centre in South Africa. Eur J Clin Microbiol Infect Dis.
2010;29:947–53.
23. Wasti SP, Van Teijlingen E, Simkhada P, Randall J, Baxter S, Kirkpatrick P, et al.
Factors Influencing Adherence to Antiretroviral Treatment in Asian Developing Countries: A Systematic Review. Trop Med Int Heal. 2012;17(1):71–81.
24. Gourlay A, Birdthistle I, Mburu G, Iorpenda K, Wringe A. Barriers and Facilitating Factors to the Uptake of Antiretroviral Drugs for Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV in Sub-Saharan Africa: a Systematic Review. J Int AIDS Soc. 2013;16:18588.
25. Elliott-Scanlon G. How relationship with Healthcare Providers, Social Support, and Drug Use, Shape HIV Medication Adherence Behavior among Men Who Have Sex with Men. New York University; 2006.