• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN STRATEGIK PENINGKATAN ANGKA MELANJUTKAN SEKOLAH LULUSAN SD/MI KE SLTP/MTs DALAM RANGKA PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN : Studi Kasus pada Program Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di Kabupaten Daerah Tingkat I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERENCANAAN STRATEGIK PENINGKATAN ANGKA MELANJUTKAN SEKOLAH LULUSAN SD/MI KE SLTP/MTs DALAM RANGKA PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN : Studi Kasus pada Program Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di Kabupaten Daerah Tingkat I"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN STRATEGIK

PENINGKATAN ANGKA MELANJUTKAN SEKOLAH LULUSAN SD/MI KE SLTP/MTs DALAM RANGKA

PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN

(Studi Kasus pada Program Penuntasan Wajib Belajar

Pendidikan Dasar 9 Tahun di Kabupaten

Daerah Tingkat II Indramayu)

TESIS

Diajukan kepada Panitia Ujian Thesis Program Pascasarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung

untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bidang Studi Administrasi Pendidikan

Oleh:

NUNUNG SANUHRI

NIM. 9696026

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BANDUNG

(2)

Pembimbing I,

PROF. DR. H. ktrFAKRY GAFFAR, M.ED

Pemoimbing II,

PROF. DR H. TB. ABINJSYAMSUDDIN MAKMUN, MA.

PROGRAM MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BANDUNG

(3)

D A F T A R I S I

Halaman

ABSTRAK

1

KATA PENGANTAR

±±.

PENGHARGAAN

DAFTAR ISI

vii ^

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR ..

DAFTAR LAMPIRAN

BAB

I. PENDAHULUAN

1

A. Latar Belakang Masalah

1

B. Fokus Penelitian

16

C. Rumusan Masalah

25

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

27

1. Tujuan Penelitian 27

2. Manfaat Penelitian

28

E. Asumsi

29

F. Pendekatan dan Paradigma Penelitian

29

1. Pendekatan Penelitian 29

2. Paradigma Penelitian

30

BAB

11 . TINJAUAN PUSTAKA

34

A. Model Perencanaan Strategik dalam Pendidikan 34

1. Konsep Perencanaan Strategik dalam

Manajemen 34

2. Perencanaan Strategik dan Perencanaan

Mikro 39

3. Kerangka Konsep Perencanaan Tingkat

Kabupaten (Mikro) 42

a. Kondisi Objektif Perencanaan

Pendidikan Indonesia 42

b. Pentingnya Perencanaan Mikro 48

c. Wujud Perencanaan Mikro 50

4. Metoda dan Teknik Perencanaan Mikro 53

(4)

c. Pemetaan Sekolah (School Mapping)

57

B. Makna Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

dalam Pembangunan Nasional

58

1. Pengapa dan Apa Pendidikan Dasar 9 Tahun.,,

61

2. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun...

<•

66

3. Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan

Dasar 9 Tahun

69

4. Sasaran Wajib Belajar Pendidikan Dasar

9 Tahun

72

5. Peta Kemiskinan dan Angka Partisipasi

<

Pendidikan

74

6. Pendidikan Dasar 9 Tahun dalam

Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia ._

78

7. Pendidikan Dasar 9 Tahun dalam

Peningkatan Kesejahteraan Rakyat

83

C. Perencanaan Strategik Peningkatan Angka

Melanjutkan Sekolah dalam Kerangka Wajib

Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

85

1. Bidang Garapan

85

2. Proses Perencanaan

87

3. Data dan Informasi

92

4. Parameter

g4

D. Relevansi Studi yang Dilakukan

98

BAB III . PROSEDUR PENELITIAN

101

A. Metode Penelitian

XOi

B. Populasi dan Subyek Penelitian

103

1. Populasi Penelitian

104

2. Subyek Penelitian

105

C. Teknik dan Alat Pengumpul Data

110

1. Teknik Pengumpul Data

HO

2. Alat Pengumpul Data

112

D. Teknik Pengolahan Data

114

(5)

BAB IV. HASIL PENELITIAN ...

lib

A. Hasil Penelitian

116

B. Pembahasan Hasil Penelitian

139

BAB

V. PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN MODEL

158 150

A. Landasan Filosofis

B. Visi, Misi, Tujuan, Target dan Sasaran

Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten

Indramayu

.fin

C. Identifikasi Kebutuhan (Need Assesment)

162

D. Alternatif Strategi

166

E. Prioritas Program

167

F. Program Operasional

{Planop)

171

G. Sistem Pembiayaan

17c-H. Sistem Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan...

176

BAB

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

B.

Implikasi

C. Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

i x

181

181

183

185

(6)

Tabel

Halaman

1

Keadaan Umum Pendidikan SD dan MI di Kabupaten

Indramayu Tahun 1998/1999 18

2 Keadaan Umum Pendidikan SLTP dan MTS di

Kabupaten Indramayu Tahun 1998/1999 21

3

Sebaran Angka Partisipasi Sekolah (APS)

Jenjang Pendidikan Dasar di Kabupaten

Indramayu Tahun Pelajaran 1998/1999 22

4 Indikator-Indikator Pemerataan SD/MI Tahun

1998/1999 di Kabupaten Indramayu 117

5

Indikator-Indikator Pemerataan

SLTP/MTs Tahun

1998/1999 di Kabupaten Indramayu 118

6

Indikator Mutu Pendidikan SD/MI di Kabupaten

Indramayu Tahun 1998/1999 121

7 Indikator Mutu Pendidikan SLTP/MTs

di Kabupaten Indramayu Tahun 1998/1999 123

8

Indikator Tingkat Kesesuaian SD di Kabupaten

Indramayu Tahun 1998/1999 126

9

Indikator Tingkat Pencapaian Tujuan

Pengelola-an SLTP/MTs di Kabupaten Indramayu

Tahun 1998/1999 127

10

Sebaran PDRB dan APK, APM, APS dan AM Jenjang

Pendidikan Dasar di Kabupaten Indramayu

Tahun 1998/1999 129

11 Klasifikasi PDRB, APK, APM, APS dan AM Tiap

Kecamatan di Kabupaten Indramayu 1998/1999.... 130

12 Proyeksi Angka Melanjutkan Pendidikan Dasar

di Kabupaten Indramayu Sampai Tahun 2004 164

13 Target Garapan Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun

di Kabupaten Indramayu 166

14 Bagan Jadwal Kegiatan Tahun 1999-2004 176

(7)

D A F T A R G A M B A R

Gambar Halaman

1 Paradigma Penelitian 31

2 Gambaran Nyata Pemerataan Pendidikan Dasar

Kabupaten Indramayu 1998/1999 151

3

Model Perencanaan Stratejik Peningkatan Angka

Melanjutkan Sekolah Lulusan SD/MI ke SLTP/MTs

Kabupaten Indramayu Tahun 1999/2000-2003/2004 156

(8)

Lampiran

Halaman

1

Analisis Pemerataan SD/MI Kabupaten Indramayu

Tahun 1998/1999

194

2

Analisis Pemerataan SLTP/MTs Kabupaten

Indramayu Tahun 1998/1999

195

3

Analisis Mutu SD/MI di Kabupaten Indramayu

Tahun 1998/1999

196

4

Analisis Mutu SLTP/MTs di Kabupaten Indramayu

Tahun 1998/1999

197

5

Analisis Relevansi SD di Kabupaten Indramayu

Tahun 1998/1999

198

6

Analisis Efisiensi dan Efektivitas SLTP/MTS

di Kabupaten Indramayu Tahun 1998/1999

199

7

Pedoman Alat Pengumpul dan Analisis Data

200

8

Riwayat Hidup Penulis

205

(9)

A B S T R A K

Penelitian ini bermaksud menemukan model perencanaan

strategik yang dapat meningkatkan angka melanjutkan sekolah

dari SD/MI ke SLTP/MTs dalam rangka penuntasan Wajar Dikdas 9

Tahun di Kabupaten Indramayu. Maksud tersebut didorong oleh

kenyataan menurunnya angka melanjutkan lulusan SD/MI pada

Tahun 1997/1998 mencapai 57%, dan Tahun 1998/1999 hanya menca

pai 54,46% dari target secara nasional 85%.

Empat problematik yang diajukan dalam penelitian ini

ialah: (1) gambaran nyata pendidikan dasar di Kabupaten In

dramayu, (2) gambaran nyata angka partisipasi kasar, angka

partisipasi murni, dan angka melanjutkan sekolah berdasarkan

tingkat penghasilan penduduk, (3) faktor-faktor yang

mengham-bat peningkatan angka melanjutkan sekolah lulusan SD/MI ke

SLTM/MTs dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten

Indramayu, dan (4) strategi peningkatan angka melanjutkan

lulusan SD/MI ke SLTP/MTs dalam penuntasan Wajar Dikdas 9

Tahun sampai Tahun 2004 untuk Kabupaten Indramayu.

Melalui pendekatan penelitian deskriptif

naturalistik-kualitatif dengan teknik pendalaman materi, diperoleh

kesimpulan berikut:

Pertama. Gambaran nyata pendidikan dasar di Kabupaten

Indramayu sampai Tahun 1998/1999 menunjukkan bahwa: Pada aspek

pemerataan: (1) Masih terdapat 3.849 anak 7-12 tahun belum tertampung di SD/MI dan 53.517 anak usia 13-15 tahun belum tertampung di SLTP/MTs; (2) Kekurangan ruang kelas sebanyak 1.656 ruang; (3) Kekurangan guru sebanyak 1.197 orang; Aspek

mutu: (1) Kualifikasi guru yang belum sarjana sebanyak 8.638 orang; (2) Guru yang tidak layak mengajar sebanyak 1.560 orang; (3) Masih terdapat 2.142 ruang kelas yang memerlukan rehab berat, dan 2.995 ruang kelas yang memerlukan rehab rin-gan; (4) Masih 37,07% sekolah yang belum memiliki

perpusta-kaan; (5) Mutu PBM masih rendah dengan kecilnya NEM rata-rata

bidang studi pada kelulusan: pada SD 6,63%; MI 6,21%; Begitu

pula mutu PBM pada SLTP/MTs masih rendah yang ditandai dengan penurunan rata-rata Bidang Studi pada NEM siswa baru Kelas I dibandingkan dengan rata-rata bidang studi pada NEM kelulusan: pada SLTP dari 30,14 menjadi 27,01, pada MTs dari 28,27 menja-di 27,58; (6) Penyediaan buku pokok, pada SD baru mencapai rasio: 1:1, dan pada MI baru mencapai rasio 1:1,15. Sedangkan pada SLTP mencapai rasio 1:1, dan MTs 1:1,5. Aspek kesesuaian

(10)

kotor masyarakat setempat, menunjukkan bahwa masyarakat Kabu paten Indramayu terbagi dalam 5 (lima) kelompok, yaitu: (1) Masyarakat berpenghasilan tinggi dengan APK, APM dan APS rendah, terjadi di Kecamatan Indramayu dan Kandanghaur; (2) Masyarakat berpenghasilan rendah dengan APK dan APM rendah tetapi APS tinggi, terjadi di Kecamatan Kroya dan Balongan; (3) Masyarakat berpenghasilan rendah dengan APK, APM dan APS tinggi, terjadi di Kecamatan Widasari; (4) Masyarakat ber penghasilan tinggi dengan APK, APM dan AM tinggi, terjadi di Kecamatan Jatibarang dan Juntinyuat; (5) Masyarakat berpengha silan rendah dengan APK, APM dan AM rendah, terjadi di Keca matan Bangodua, Kroya, Krangkeng dan Kecamatan Bongas.

Ketiga. Faktor utama yang menghambat peningkatan Angka Melanjutkan dari SD/MI ke SLTP/MTs di Indramayu berkenaan dengan: (1) Keadaan ekonomi masyarakat lemah; (2) Fasilitas sekolah yang kurang memadai; (3) Rendahnya partisipasi orang tua dalam menyekolahkan anaknya; Dan (4) Kurang opti-malnya Tim Koordinasi Wajar Dikdas baik tingkat kabupaten, kecamatan maupun desa dalam sosialisasi program wajib belajar.

Keempat. Untuk menuntaskan Program Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Indramayu perlu: (1) Membentuk satuan tugas Tim Pengendali beasiswa yang berkualitas; (2) Membuka SLTP terbu-ka didaerah-daerah rawan drop-out (DO) khususnya daerah IDT; Dan (3) Melaksanakan Penyuluhan Terpadu. Namun, khusus dalam upaya meningkatkan angka melanjutkan sekolah lulusan SD/MI ke SLTP/MTs di Kabupaten Indramayu, diperlukan suatu rencana

strategik yang memprioritaskan pada upaya penyuluhan terpadu terhadap segenap lapisan masyarakat melalui optimalisasi peran dan fungsi Tim Koordinasi Wajar Dikdas dari tingkat

kabupaten sampai tingkat desa.

Rekomendasi yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Mengusulkan agar adanya perubahan ruraus perhitungan APK dan APM yang bisa digunakan baik untuk tingkat wilayah maupun nasional; (2) Upayakan secara konkrit tentang peningkatan fungsi dan peran guru dan pengelola pendidikan dalam memmoti-vasi peserta didik untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi; (3) Perlu ada penelitian mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan kinerja para pengelola pendidikan, baik yang menyangkut persepsi, sikap, kemampuan, maupun motivasi dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya; (4) Tim Koordi nasi Wajar Dikdas tingkat kabupaten, khususnya Bupati Kepala Daerah Tingkat II Indramayu sebagai penanggungjawab program, seyogyanya segera menentukan kebijakan-kebijakan strategik yang dapat dijadikan rujukan dalam melaksanakan langkah-langkah koordinatif anggota tim pada tingkat bawah.

(11)

/ r ^

'%t* 1

BAB

I

^SK^J^.

PENDAHULUAN

N&k*

^

A. Latar Belakang Masalah

1. Makna Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dalam Pembangunan Pendidikan

Hakekat pembangunan sebenarnya adalah membangun

kesejahteraan manusia. Pembangunan sosial, pada

heke-katnya merekonstruksi struktur dan proses pengaruh

timbal balik antara berbagai segi kehidupan masyarakat

secara kuantitatif maupun kualitatif. Pembangunan sosial

seperti itu, dapat diupayakan melalui pendidikan yang

relevan. Pendidikan yang relevan artinya bila

upaya-upaya pendidikan dapat membantu individu atau masyara

kat dalam memecahkan problema-problema masyarakat yang

lebih besar dan menyeluruh. Karena itu pembangunan

pendidikan seyogyanya dalam rangka penyesuaian diri

terhadap perubahan sosial masyarakat pada umumnya.

Di penghujung abad ke-20 yang sedang kita alami,

kita dihadapkan pada berbagai tantangan yang sangat

besar. Tantangan utama yang paling nyata adalah bukan saja globalisasi yang ditandai oleh tingkat persaingan yang semakin tinggi, terutama karena kamajuan iptek disertai proses pembauran budaya yang berdampak langsung

(12)

Pengaruh-pengaruh yang amat berbahaya dari krisis

tersebut dapat mengakibatkan ketidakseimbangan hubungan

antara manusia dengan lingkungannya, struktur masyarakat

dengan alamnya, dan bahkan antara manusia dengan

kepri-badiannya sendiri. Dengan kata lain perubahan-perubahan

itu dapat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat

termasuk struktur sosial ekonomi masyarakat.

Kewajiban berat yang dibebankan kepada pendidikan

yaitu harus turut serta menanggulangi akibat krisis

tanpa meninggalkan perannya dalam menciptakan ilmu dan

teknologi. Akibatnya, semakin banyak tugas dan peran

yang dibebankan kepada pendidikan, menjadi pendidikan

itu sendiri tidak tahu apa yang harus dikerjakanya. Di

satu sisi upaya pendidikan harus berfungsi sebagai

pengawet kebudayaan negara, membuat warga negara yang

produktif, membuat warga negara yang baik, taat dan

rasional, warga dunia yang dihormati, merupakan jenis

tujuan yang wajib dilaksanakan oleh pendidikan. Sehingga

pendidikan harus dikelola secara populis, artinya

pendidikan harus disediakan untuk orang banyak yang

memenuhi hasrat orang banyak dan responsif terhadap apa yang menjadi aspirasi masyarakat.

(13)

selain memerlukan biaya ia juga akan mendatangkan

keun-tungan. Jadi upaya pendidikan sama pentingnya dengan

upaya pengamanan negara yang keduanya memberikan

keamanan lahir batin warganya.

Diakui

bahwa menghitung

berapa biaya yang dikeluarkan untuk sektor pendidikan

dalam arti yang luas sukar dihitung sebab setiap

pendidikan yang didapat oleh seseorang dibiayai oleh

orang yang mendapat pendidikan, masyarakat dan negara.

Demikian pula dengan laba yang diperoleh karena seseor

ang mendapat pendidikan, sukar dihitung tetapi dapat

dirasakan oleh individu yang mendapat pendidikan,

masyarakat dan negara.

Laju pertumbuhan ekonomi berpengaruh timbal balik

dengan pendidikan sebagai upaya investasi yang berupa

peningkatan kemampuan tenaga kerja yang juga berlaku

sebagai sarana pendukung laju pertumbuhan ekonomi. Upaya

pendidikan mampu bertahan sebagai barang ekonomi apabila upaya pendidikan dapat memuaskan kebutuhan dan memberi

kegunaan tersendiri. Dia menghindar dari produksi masal, murah dan terdapat dimana-mana, tetapi sukar karena kedudukan upaya pendidikan berada sejajar dengan pengadaan sandang, pangan, papan dan kesehatan.

Tugas berat dunia pendidikan yang dihadapi dewasa

(14)

masih relevan dengan apa yang disinyalir Coomb?

Sinyalemen Coomb menganggap bahwa krisis pendidikan

disebabkan oleh empat faktor: Pertama, 'the increase in

popular aspirations for education', yang ditandai oleh

tumbuh kembangnya sekolah-sekolah dan universitas di mana-mana; Kedua, 'the acute scarsity of the resources',

yang ditandai oleh kurang responsifnya sistem pendidikan

terhadap kebutuhan masyarakat secara menyeluruh; Ketiga,

'the inherent innertia of educational system', yang

ditandai oleh terlambatnya dunia pendidikan dalam

men-gantisipasi untuk menyesuaikan diri terhadap hal-hal di luar dunia pendidikan; Keempat, 'the innertia of

socia-ties themselves', yang ditandai dengan munculnya hal-hal

seperti sikap tradisional, 'prestige and incentive pattern' menghalangi optimasi upaya pendidikan dalam

meningkatkan tenaga kerja yang mendukung pembangunan.

Upaya menjawab tantangan-tantangan tersebut, kita perlu mereformasi basis pendidikan dan kebudayaan mela lui peningkatan sumber daya manusia. Meningkatnya kemam-puan sumber daya manusia tidak terlepas dari kebijakan di bidang pendidikan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pendidikanlah yang dapat mengembangkan potensi,

(15)

Pendidikan dan kebudayaan dalam kehidupan masyara

kat modern merupakan kebutuhan dasar manusia.

Dengan

demikian pelayanan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

dalam rangka melaksanakan

tugas

pokoknya sudah

semes-tinya meliputi

seluruh bangsa dan menyentuh langsung

sendi-sendi kehidupan masyarakat. Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan

(Depdikbud)

yang

tugas

pokoknya

menye-lenggarakan

sebagian

tugas

umum pemerintah dan pem

bangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan,

sangat

berperan besar.

Salah satu upaya pengembangan sumber daya manusia

melalui pendidikan telah dan sedang direalisasikan

melalui

Program Wajib

Belajar

Pendidikan

Dasar

(Wajar

Dikdas)

9 Tahun yang

dicanangkan sejak Tanggal

2 Mei

1994 yang harus tuntas dalam kurun waktu 15 tahun selama tiga Pelita. Namun dengan perkembangan globalisasi,

pemerintah melakukan percepatan penuntasan program ini

menjadi 10 (sepuluh) tahun (2 Pelita), yaitu dari Tahun

1994/1995 sampai dengan Tahun 2003/2004.

Pendidikan dasar di Indonesia diartikan sebagai

pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun,

diseleng-garakan enara tahun di Sekolah Dasar dan tiga tahun di

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau satuan pendidikan

yang sederajat. Pendidikan dasar bertujuan untuk mem

berikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk

(16)

pendidikan menengah (PP No. 28 Tahun 1990).

Apabila konsep pendidikan dasar tersebut disimak,

maka dapat dikatakan

bahwa salah satu pemikiran yang

tergantung di dalamnya yaitu pendidikan dasar merupakan

"modal

dasar"

bagi

pembentukan manusia

Indonesia yang

dicita-citakan. Modal dasar ini memiliki dua dimensi,

yaitu dimensi konsumtif dan investatif. Dilihat dari segi konsumtif, modal dasar tersebut harus memungkinkan

manusia Indonesia yang dapat memenuhi kehidupan.

Sedang-kan aspek investatif harus memungkinkan dimilikinya

kemampuan untuk mengembangkan kemandirian berlanjut.

Perspektif tersebut hendaknya perlu memperhatikan

fak-tor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi

kecenderungan kehidupan masyarakat Indonesia.

Untuk menikmati hidup dan kehidupan, pendidikan

dasar hendaknya mampu membangun kesadaran dan perwujudan

sikap dan perilaku individu dalam konteks jaringan

sosial kepentingan umum, seperti pelayanan dan kepastian

hukum, penghargaan terhadap nilai waktu, peka terhadap

hal yang menyangkut hak orang lain dalam situasi massa, terbentuknya perilaku spontan untuk menghindari konflik

yang berkenaan dengan unsur-unsur SARA, kebersihan dan

kesehatan lingkungan, mematuhi tatanan kehidupan

(17)

tersebut

kiranya kita sependapat

bahwa keadaanya masih

memprihatinkan. Aspek-aspek kehidupan manusia beradab

yang dicontohkan di atas

harus

dibentuk

dan

pengem-bangannya perlu dikondisikan.

Untuk

pengembangan

kemandirian

berlanjut,

pendi

dikan dasar harus mengarahkan siswa untuk belajar

bagai-mana belajar. Hal ini tidak didapatkan sekedar dari isi

kurikulum yang diterapkan, tetapi dari pola belajar yang

digunakan.

Jadi

membangun sikap dan

etos kerja dan

belajar

yang dijiwai kemandirian yang berkelanjutan

perlu dilakukan melalui proses belajar dan mengajar,

dimana para siswa (1) dilatih dan diberi kebebasan

untuk selalu bertanya dan mempertanyakan semua hal yang

mapan sekalipun,

(2) selalu diberi peluang untuk

mengka-ji hal-hal baru,

(3)

selalu

belajar untuk mendengar

(listen)

dari semua pihak tanpa memandang asal-usul dari

sumber bertanya,

(4)

peka terhadap apa yang terjadi

di

sekitar mereka,

(5) menghargai

perbedaan

pendapat,

inovasi, dan kreativitas, dan (6) dilatih untuk mem

bangun sesuatu yang baru dari pendapat-pendapat yang

berbeda. Cara belajar seperti ini disebut "learn how to

learn" (Toffler,1981) atau "inovative learning" (Botkin,

Elmandjra, dan Malitza, 1979 dikutif oleh Frans Mardi Hartanto, 1991).

Gambaran tersebut membawa pemikiran bahwa upaya

(18)

krisis ekonomi yang berkepanjangan,

penuntasan Wajar

Dikdas 9 Tahun merupakan salah satu pilihan yang lahir

berdasarkan kondisi objektif dan perlu diimplementasikan

dalam bentuk manajemen strategik yang terencana,

teroga-nisir dan terkendali.

Apabila dikaitkan dengan empat (4) strategi pokok

kebijakan

Depdikbud

yang

terdiri

dari

peningkatan

kesempatan dan perluasan pendidikan, peningkatan kuali

tas,

relevansi,

serta efektivitas dan efisiensi

penge-lolaan pendidikan,

maka yang berkenaan dengan kebijakan

peningkatan kesempatan dan perluasan

pendidikan,

upaya

peningkatan Angka Melanjutkan lulusan SD/MI ke SLTP/MTs

merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam rangka

penuntasan Program Wajar Dikdas 9 Tahun, dan sudah sepantasnya dilakukan dengan efektif dan efisien.

2. Perlunya Perencanaan Strategik dalam Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

Ditinjau dari bentuk keorganisasian manajemen

sistem pendidikan nasional mempunyai ruang lingkup

substansi perencanaan, dan kewilayahan. Perencanaan

pendidikan dapat dibagi pula ke dalam tingkat-tingkat

perencanaan seperti: tingkat perencanaan makro, meso dan

tingkat perencanaan mikro. Dengan istilah yang lebih

populer, perencanaan makro adalah perencanaan pada

tingkat pusat (nasional), perencanaan meso adalah peren

canaan pada tingkat propinsi, sedangkan perencanaan

(19)

kecamatan.

Demarkasi dari pembagian tersebut sebenarnya

lebih bersifat konstektual daripada bersifat

konseptual

dan teknikal (Soenarya, 1988:1-2).

Apakah perencanaan tingkat makro lebih strategik

dibanding

perencanaan meso atau mikro? Jawabannya bisa

"ya" dan bisa "tidak". Dalam kontek wilayah dari sub

stansi yang direncanakan, pada tingkatan makro mencakup

seluruh substansi tentunya menjadi bidang garapan, dan

bersifat strategik karena memberi arah dan panduan bagi

proses perencanaan bagi tingkatan di bawahnya, sehingga

perencanaan meso dan mikro akan lebih bersifat teknis

operasional. Perencanaan mikro akan bersifat strategik

apabila urgensi dari substansi yang direncanakan lebih

memberikan prioritas (stratum) terhadap proses-proses

perencanaan pada tingkatan kelembagaan. "Persoalan

stratejik lebih ditekankan pada urgensi dari substansi

persoalan yang menjadi bidang garapan perencanaan di

banding tingkatan wilayah perencanaan" (Yoyon Bahtiar

Irianto, 1997:19).

BerdaSarkan pada pandangan tersebut, penulis

ber-pendapat bahwa sekalipun perencanaan berada pada ting

katan wilayah kabupaten berada pada tingkatan mikro, namun apabila urgensi substansi yang digarap dalam proses perencanaan itu bersifat menentukan langkah-langkah perencanaan berikutnya, maka perencanaan mikro

(20)

Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989,

yang

selanjutnya diikuti

oleh peraturan pelaksanaannya mulai

PP Nomor 27 sampai PP Nomor 30 Tahun 1990, merupakan

langkah strategik dalam

sejarah pembaharuan

pendidikan

di Indoensia. Namun apakah langkah strategik ini sudah

ditunjang oleh sub sistem

perencanaan

yang mantap dan

terintegrasi, sistem informasi yang akurat untuk

mendu-kung pelaksanaan undang-undang dan peraturan pemerintah

tersebut? Seandainya sudah memiliki, apakah sistem

perencanaan tersebut masih relevan dengan tuntutan

undang-undang dan peraturan pemerintah itu? Pendekatan

mana yang mesti kita ambil yang sesuai dengan kondisi

objektif Indonesia yang beranekaragam?

Pengamatan penulis tentang perencanaan pendidikan

di Indonesia paling tidak dapat diungkapkan dari tiga

tinjauan, yaitu:

Pertama, bahwa perencanaan pendidikan di Indonesia

memerlukan pendekatan yang sesuai dengan kehendak pasal

5, 6, dan 7 UUSPN No.2 Tahun 1989. Dilihat dari segi

kuantitatif, usia SD, SLP, SLA, dan PT, desakannya

sangat kuat hingga seringkali aspek kualitatif hampir

dinomorduakan. Pada lulusan yang siap masuk lapangan

kerja, timbul gejala pengangguran orang-orang terdidik

karena ketidakcocokan dari tuntutan lapangan kerja,

sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari golongan pemakai

(21)

11

dan industri. Maka, pendidikan pun tidak sekedar memenu

hi

tuntutan masyarakat dalam bentuk wajib belajar

9

tahun,

namun

harus

mampu

menyiapkan

tenaga

terampil

untuk

sektor

ekonomi

dan

industri.

Kemudian,

sejumlah

biaya yang dihabiskan dalam memperoleh pendidikan harus

kembali dalam bentuk penghasilan yang lebih dari jumlah

modal yang dikeluarkan, baik bagi kesejahteraan individu

maupun pembangunan ekonomi negara. Dan juga, mahalnya

biaya pengelolaan pendidikan dan keterbatasan sumber

dana menyebabkan biaya itu harus dikelola dengan

secer-mat dan seefisien mungkin. Seperti adanya PPBS atau SP4,

ini merupakan perujudan dari penggunaan pendekatan

cost-effectiveness di dunia pendidikan kita. Dengan melihat

kenyataan-kenyataan itu, tampaknya memerlukan suatu

pendekatan secara integratif yang sesuai dengan tujuan,

jenjang, jenis dan jalur pendidikan sebagaimana kehendak

UUSPN No.2 Tahun 1989.

Kedua, dalam masalah proses dikenal dalam bentuk

pendekatan perencanaan administratif dan pendekatan

perencanaan "grass-roots". Pendekatan proses perencanaan

pendidikan dewasa ini masih tergolong pendekatan

administratif, karena hampir semua perencaaan pendidikan

dirumuskan dan ditetapkan oleh administrator pada jen

jang tertinggi seperti Dirjen. Pendekatan ini sering

menimbulkan masalah seperti kekurangcocokan dengan

(22)

Dalam pada

itu

Yoyon Bahtiar

Irianto

(1997:24)

secara

tegas mengatakan

sudah saatnya perlu pengembangan peren

canaan yang bersifat "grass-roots approach" yang memberi

hak kepada

para

pengelola

program

pendidikan

untuk

mengembangkan sistem perencanaan yang dinilai paling

cocok

dengan

lembaganya.

Bila model

yang

dikembangkan

dinilai

baik,

maka

melalui

proses

"bottom-up"

bisa

disebarkan sebagai model yang pantas untuk diterapkan.

Ketiga, dalam struktur organisasi sistem pendidikan

nasional,

lebih

banyak

menunjukkan

karakteristik

yang

mencerminkan pola yang bersifat sentralistis dan

berkem-bang ke arah

dekonsentrasi

dalam bidang tertentu.

Pengembangan pola perencanaan yang bersifat

desen-tralistis nampak belum terbina secara efektif

kebera-daannya dalam pembinaan pendidikan.

Penerapan pola pengembangan fungsi perencanaan

pendidikan yang bersifat sentralistis memang memiliki

keunggulan seperti adanya keseragaman dalam menjalankan

kegiatan pendidikan, kesatuan dan persatuan bangsa,

merupakan hasil para ahli yang memang berkumpul di

tingkat pusat. Namun yang sangat memprihatinkan adalah

kesanggupan lembaga untuk tanggap dan inovatif menjadi

lemah, di samping ketidakcocokan dengan kondisi daerah,

sering terjadi salah tafsir, sehingga sering menimbulkan

penyimpangan-penyimpangan.

(23)

13

kelemahan sentralisasi, dilakukan dengan menunjuk aparat

pusat yang ditempatkan di wilayah, seperti adanya Kantor

Wilayah. Namun masukan dari daerah pun masih belum

tergambarkan dengan akurat bagi kepentingan perencanaan

yang masih di tangan orang pusat. Jadi dekonsentrasi

juga belum dapat mengatasi kelemahan perencanaan sentra

lisasi.

Pemberian

peluang

untuk

mengembangkan

bobot

lokal

dalam

perencanaan

pendidikan,

juga belum

banyak

membantu menyelamatkan kebutuhan atau tuntutan regional.

Penerapan desentralisasi wewenang untuk mengemban

fungsi perencanaan nampaknya merupakan alternatif lain

yang perlu segera dilaksanakan. Pola ini diharapkan

akan memiliki kesanggupan yang lebih baik dalam

mengan-tisipasi berbagai tantangan setempat dan lebih fleksibel

dalam menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.

Namun

keraguan

pun

muncul,

apakah

pihak

daerah

sudah

siap

dengan berbagai resikonya, seperti otonomi daerah,

kemampuan manusianya, dan sumber dananya?

Desentralisasi dalam manajemen pembangunan yang

diwujudkan dengan Otonomi Daerah dengan titikberat pada

Daerah Tingkat II membawa implikasi pada manajemen

pendidikan dewasa ini. Semua urusan pendidikan akan

dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dati II.

Fungsi dan peran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Tingkat Kabupaten/Kotamadya hanya bertanggungjawab

(24)

Sector Unit East Asia and Pacific

Regional

Office,

Education in Indonesia: From Crisis ti Recovery,

Septem

ber 23, 1998, p.79). Karena itu, penggunaan atau

aplika-si konsep perencanaan mikro sangat relevan di dalam

sektor-sektor pelayanan sosial,

khususnya dalam

bidang

pendidikan.

Soenarya (1988:2) memandang bahwa, perencanaan

mikro pada dasarnya merupakan lanjutan dari suatu konsep

perencanaan pada semua tingkat perencanaan, namun peren

canaan mikro

lebih berakar pada tingkat yang

paling

hawah

(grassroot

level).

Perencanaan

pada

tingkatan

makro biasanya hanya memperhatikan berbagai sasaran dan

prioritas

pada tingkat

nasional

dan

atau

propinsi.

Sebaliknya perencanaan pendidikan pada tingkatan mikro,

memodifikasi sasaran dan prioritas tersebut kemudian

disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural dan dinamika

kehidupan pada tingkat lokal. Perincian sasaran dan

prioritas pada tingkat mikro dapat menyajikan suatu

latar belakang yang lebih realistik daripada norma-norma

yang bersifat abstrak yang dikembangkan pada tingkat

nasional.

Laporan Regional Development Workshop on Micro

Level

Educational

Planing

and

Management

(Soenarya,

1988:3) dikemukakan:

Pertama,

micro-level planing may be

viewed as an activity within multi level planing;

Kedua

(25)

15

development.

Pernyataan tersebut menunjukan bahwa seba

gai

aktivitas

dalam kerangka mutli-level

planing,

perencanaan makro bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

perencanaan pada tingkat meso dan mikro.

Dihubungkan

dengan

persoalan

penuntasan Wajar

Dikdas 9 Tahun pada tingkat kabupaten/kotamadya, minimal

terdapat dua alasan mengapa perencanaan mikro yang

bersifat

strategik.

Pertama,

perencanaan

makro

kurang

memperhitungkan situasi dan kondisi yang ada di lapangan

secara terinci seperti,

faktor-faktor lingkungan,

fasil-itas infrastruktur yang ada dan aspirasi masyarakat yang

tumbuh dan berkembang.

Perencanaan yang dituangkan pada

perencanaan makro menjurus pada hal-hal yang bersifat

abstrak dan hanya dipahami oleh beberapa orang tertentu

saja. Kedua, karena sifatnya yang sangat umum dan

menda-sar, perencanaan makro tidak mungkin melibatkan para

pelaksana

atau

para

fungsionaris

pada

tingkat

kabupaten/kotamadya di dalam proses perencanaan. Padahal

keterkaitan dan komitmen

para

pelaksana

ini

sangat

penting dalam pelaksanaan kegiatan.

Berdasarkan gambaran tersebut, maka masalah ini penting untuk dikaji melalui penelitian ilmiah

dida-sarkan pertimbangan bahwa peningkatan kesempatan melan

jutkan pendidikan merupakan penjabaran dari strategi

pembangunan pendidikan yang telah ditetapkan, sehingga

(26)

kebijakan tersebut secara produktif, efektif dan efi-sien. Di samping itu, pengelola program Wajar Dikdas 9

Tahun secara organisatoris merupakan kegiatan yang

terkoordinasi antara instansi, baik secara horizontal maupun vertikal, mulai pengelola tingkat kecamatan sampai tingkat kabupaten/kotamadya. Karena itu adanya rencana strategik yang dihasilkan melalui pemecahan masalah yang akan diteliti ini dapat dijadikan acuan

oleh setiap gugus pengelola program, baik pada intansi vertikal maupun horizontal.

B. Fokus Penelitian

Kasus implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Indramayu, sejak perintisan dan pencanangan Program Wajar Dikdas 9 Tahun pada Tanggal 2 Mei 1994, kemajuan pendidikan di Kabupaten Indramayu belum cukup menggembirakan. Sekalipun pelaksanaan pembangunan di daerah ini telah menyebabkan maraknya suasana belajar di berbagai jenis, jalur dan jenjang pendidikan, namun pengaruh krisis ekonomi yang berkepanjangan sekarang ini, pelayanan pen

didikan untuk daerah terpencil dan penduduk miskin sangat

terganggu.

Pendidikan dasar di Kabupaten Indramayu dapat diung-kapkan sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI)

(27)

17

usia

7-12

tahun

SD+MI

masing-masing

sebanyak

216.076

dan 196.705 orang yang tersebar di 1.075 SD dan 116 MI

di seluruh kelurahan/desa.

Jumlah SD dan MI

seluruhnya

sebanyak 1.191

lembaga.

Untuk menampung siswa sebanyak

tersebut tersedia ruang kelas (RK) sebanyak 6.766 ruang

dengan rincian 6.070 ruang kelas SD atau 89,7% dan 696

ruang kelas

MI

atau 10,3 %,

dengan jumlah rombongan

belajar atau kelas

sebanyak 8.127 kelas dengan rincian

7.431 kelas SD atau 91,4% dan 696 kelas MI atau 8,6%.

Ini berarti terdapat shift 1.361 pada SD dan 0 pada MI.

Dengan demikian

ruang

kelas di MI

belum didayagunakan

secara optimal.

Guru yang mengajar di SD/MI sebanyak 6.930 orang

dengan rincian 6.133 guru SD atau 88,5% dan 797 guru MI

atau 11,5%.

Dari jumlah guru sebanyak itu terdapat guru

SD yang tidak layak mengajar

sebanyak 203 orang (3,3%)

dan guru MI yang tidak layak mengajar sebanyak 506 orang

(63,5%).

Hal

ini perlu mendapat

perhatian agar

jumlah

guru yang tidak layak mengajar dapat ditekan secara

bertahap dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.

Tinggi rendahnya efisiensi internal dipengaruhi

oleh besar-kecilnya angka mengulang, angka putus seko

lah, dan angka lulusan. Angka Mengulang masih cukup

tinggi, yaitu 3,12% pada SD, 2,43% pada MI dan 3,07%

pada SD+MI. Besarnya angka mengulang pada SD berpengaruh

(28)

putus sekolah di SD lebih

tinggi

dibanding MI,

yaitu

1,07% pada SD, 0,94 pada MI dan 1,06% pada SD+MI.

Se-dangkan angka

lulusan

dirasakan

cukup

baik

walaupun

perlu lebih ditingkatkan di masa depan. Angka lulusan itu adalah 99,08% pada SD, 98,12 pada MI dan 99,01% pada

SD dan MI.

T a b e l - 1

KEADAAN UMUM PENDIDIKAN SD DAN MI

DI KABUPATEN INDRAMAYU TAHUN 1998/1999

Variabel SD MI

I

SD + MI

1. Penduduk Usia sekolah X X 200.554

2. Sekolah Negeri dan Swasta 1.075 116 1.191

3. Siswa seluruhnya Negeri+swasta 199.781 16.295 216.076

4. Siswa 7-12 tahun Negeri+Swasta 181.699 15.006 196.705

5. Angka Partisipasi Kasar X X 107,74%

6. Angka Partisipasi murni X X 98,08%

7. Kelas Negeri + Swasta 7.431 696 8.127

8. Ruang Kelas Negeri + Swasta 6.070 696 6.766

9. Rasio Kelas/Ruang Kelas 1,22 1 1,20

10. Guru Negeri + Swasta 6.133 797 6.930

11. Guru: a. Ijasah di bawah SLTA 164 89 253

b. SLTA Non-Keguruan 39 417 456

c. SLTA Keguruan 787 127 914

d. PGSLTP/D-1 43 13 56

e. PGSLTA/D-II 4.781 104 4.885

f. D-III 72 17 89

g. Sarmud Non Keguruan 0 0 0

e. Sarmud Keguruan 0 0 0

f. Sarjana Non-Keguruan 0 0 0

g. Sarjana Keguruan 247 30 277

h. Pasca Sarjana 0 0 0

12. Guru Layak Mengajar 5.100 151 5.351

Semi Layak Mengajar 830 140 970

Tidak layak mengajar 203 506 709

13. Angka Mengulang 3,12% 2,43% 3,07%

Putus Sekolah 1,07% 0,94% 1,06%

Melanjutkan ke SLTP X X 60,18%

ke MTs. X X 21,77%

(29)

19

2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)

Pada Tahun 1998/1999 Angka Partisipasi Kasar (APK)

SLTP/MTs cukup tinggi yaitu 55,05% sedangkan Angka

Partisipasi Murni (APM) 52,28%. Pencapaian angka parti

sipasi itu didukung oleh peranan sekolah swasta sekitar

16,17%.

Jumlah siswa seluruhnya dan siswa usia 13-15 tahun masing-masing sebanyak 63.681 dan 60.954 orang yang

mengikuti pendidikannya di SLTP Negeri 40.132 orang dan

Swasta 10.144 orang serta di MTs Negeri 5.118 orang dan

Swasta 8.287 orang yang tersebar di kecamatan-kecamatan. Jumlah sekolah SLTP dan MTs Negeri dan Swasta seluruhnya

adalah 158 lembaga. Untuk menampung siswa sebanyak itu

telah tersedia Ruang Kelas (RK) sebanyak 1.047 ruang

terdiri atas 751 RK di SLTP (71,73%) dan 296 RK di MTs

(28,27%). Sedangkan jumlah rombongan belajar atau kelas

yang ada sebanyak 1.342 kelas, terdiri atas 1.019 kelas

SLTP (75,93%) dan 323 kelas MTs (20,07%). Perbandingan

kelas dan ruang kelas tersebut menunjukan adanya shift yang cukup, yaitu rasio kelas dengan RK pada SLTP 1,36 dan MTs 1,09 atau pada SLTP+MTs 1,28.

Guru yang mengajar di SLTP + MTs berjumlah 3.105 orang terdiri atas 2.099 guru SLTP (67,60%) dan 1.006

(30)

agar di masa yang akan datang

jumlah guru yang

tidak

layak mengajar ini dapat dikurangi secara bertahap.

Dalam pengelolaan SLTP dan MTs perlu diperhatikan

efisiensi internal. Besar kecil efesiensi internal ini

dipengaruhi

oleh besar kecilnya angka mengulang,

angka

putus sekolah, dan angka lulusan. Angka mangulang dan

angka

putus

sekolah

relatif

rendah,

sedangkan

angka

lulusannya cukup tinggi. Pada SLTP angka mengulang dan

putus sekolah masing-masing adalah 97,79%. Pada MTs

angka mengulang dan putus sekolah masing-masing adalah

1,96% dan 1,65%, dengan angka lulusan sebesar 97,44%.

Sementara angka melanjutkan dari SLTP/MTs ke MA

masih relatif rendah yaitu 5,37%, dibanding dengan angka

melanjutkan SLTP/MTs ke SMU dan SMK masing-masing sebe

sar 30,62% dan 14,27% (lihat Tabel-2, di halaman 21).

Persoalan yang muncul berdasarkan data-data pada

Tabel-1 dan Tabel-2 di atas menunjukkan bahwa APM pada

jenjang Sekolah Dasar dihubungkan dengan sasaran utama Wajar Dikdas 9 Tahun adalah pemerataan pendidikan,

sedangkan pada SD/MI baik APK maupun APM telah mencapai

108,29% dan 98,44% sehingga pada tingkatan ini dianggap

tidak menunjukkan masalah yang sangat krusial. Karena itu penelitian difokuskan pada analisis ini

diprioritas-kan tentang masalah yang terjadi pada tingkatan

SLTP/MTs, sehingga yang memerlukan pengkajian lebih

(31)

21

hanya 55,05%? (2) Mengapa Angka Partisipasi Murni (APM)

hanya 52,28%? (3) Mengapa Angka Partisipasi Sekolah

(APS) hanya 54,46%? (4) Bagaimana sebaran perolehan

APK/APM dan APS tiap kecamatan dilihat dari tingkat

penghasilan kotor perkapita masyarakat setempat (Produk

Domestik Regional Bruto disingkat PDRB)'?

Tabel-2

KEADAAN UMUM PENDIDIKAN SLTP DAN MTs

DI KABUPATEN INDRAMAYU TAHUN 1998/1999

VARIABEL SLTP MTs SLTP+MTs

1. Penduduk Usia Sekolah X X 113.976

2. Sekolah Negeri dan Swasta 101 57 158

3. Siswa seluruhnya Negeri+swasta 50.276 13.405 62.739

4. Siswa 13-15 tahun Negeri+Swasta 47.728 12.731 59.591

5. Angka Partisipasi Kasar (APK) X X 55,05%

6. Angka Partisipasi Murni (APM) X X 52,28%

7. Kelas Negeri + Swasta 1.019 323 1.347

8. Ruang Kelas Negeri + Swasta 751 296 1.047

9. Rasio Kelas/Ruang Kelas 1,36 1,09 1,28

10. Guru Negeri + Swasta 2.099 1.006 3.105

11. Guru: a. Ijasah di bawah SLTA 211 396 607

b. PGSLTP/D-1 212 32 244

c. PGSLTA/D-II 331 83 414

d. D-III Non Keguruan 26 7 33

e. D-III Keguruan 421 71 492

f. Sarmud Non Keguruan 30 27 57

g. Sarmud Keguruan 710 65 136

h. Sarjana Non-Keguruan 52 49 101

i. Sarjana Keguruan 745 276 921

j. Pasca Sarjana 0 0 0

12. Guru Layak Mengajar 853 359 1.212

Semi Layak Mengajar 823 219 1.042

Tidak layak mengajar 423 428 851

13. Angka Mengulang 1,96% 1,69% 1,90%

Putus Sekolah 1,88% 1,65% 1,83%

Lulusan 97,79% 97,44 97,73%

Melanjutkan ke SMU X X 30,62%

ke SMK X X 14,27%

ke MA X X 5,37%

ke SM+MA X X 50,26%

(32)

Persoalan

lainnya berkenaan dengan sebaran

angka-angka yang tidak merata pada setiap kecamatan

sebagaima-na dapat dilihat pada Tabel-3 berikut.

Tabel-3

SEBARAN ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH (APS)

JENJANG PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN INDRAMAYU TAHUN PELAJARAN 1998/1999

1

Siswa SLTPMTs + Paket B APK(X) APM (J)

PpnHu- Mh.

Siswa KECAMATAN

1 cuuu

duk Seluruhnya Usia 13-15 Th APS

Usia Ter- Tidak Ter- Tidak Usia (%)

13-15 Masuk Non Masuk Non nasuk tnasuk masuk traasuk 13-15

Thn. Paket B Paket BPaket B Paket BPaket BPaket B Paket BPaket BdiSKLH

1. Indramayu 7.979 3.073 2.913 2.760 2.715 38,51 36,51 34,59 34,03 2050 25,69

2. Sindang 5.910 4.836 4716 519 4.487 81,83 79,80 76,46 75,92 3821 64,64

3. Lohbener 5.170 3.294 3 174 029 3.003 63,71 61,39 58,59 58,09 1693 32,75

4. Karangampel 8.275 4.602 4522 303 4.280 55,61 54,65 52,00 51,72 4291 51,85

5, Krangkeng 5.330 1.829 1749 673 1.660 34,32 32,81 31,39 31,14 3693 69,29

6. Juntinyuat 4.465 3.459 3 339 229 3.205 77,47 74,78 72,32 71,78 2340 52,40

7. Jatibarang 3.943 4.314 4154 000 3.968 109,41 105,35 101,45 100,63 3181 80,67

8. Sliyeg 5.630 3.018 2 898 748 2.727 53,61 51,47 48,81 48,44 3199 56,81

9. Kertaseuaya 5.236 4.179 4019 851 3.824 79,81 76,76 73,55 73,03 3735 71,32

10. Bangodua 4.628 1.656 1576 524 1.510 35,78 34,05 32,93 32,63 1837 39,69

11. Losarang 3.806 2.111 1 991 929 1.903 55,47 52,31 50,68 50,00 1827 48,01

12. Cikedung 4.994 3.304 3 144 980 2.949 66,16 62,96 59,67 59,05 3086 61,78

13. Lelea 3.200 2.046 1886 802 1.766 63,94 58,94 56,31 55,19 649 20,27

14. Kandanghaur 6.242 2.813 2 773 647 2.641 45,07 44,42 42,41 42,31 2613 41,86

15. Gabuswetan 3.855 1.862 1822 679 1.674 48,30 47,26 43,55 43,42 2663 69,08

16. Anjatan 6.174 4.148 4028 833 3.802 67,18 65,24 62,08 61,58 3218 52,13

17. Haurgeulis 7.756 4.576 4 496 328 4.299 59,00 57,97 55,80 55,43 7109 91,66

18. Widasari 2.779 2.050 1930 823 1.800 73,77 69,45 65,60 64,77 2066 74,34 19. Bongas 3.751 1.754 1 714 660 1.654 46,76 45,69 44,25 44,09 612 16,32 20. Sukra 8.870 3.232 3 152 056 3.040 36,44 35,54 34,45 34,27 4531 51,08

21. Kroya 3.740 1.199 1 119 105 1.089 32,06 29,92 29,55 29,12 2612 69,85

22. Balongan 2.243 1.704 1624 608 1.595 75,97 72,40 71,69 71,11 1247 55,60

Kab. Indramayu 113.976 65.059 62.739 60.086 59.591 57,08 55,05 52,72 52,28 62070 54,46

Sumber: Statistik BPS.

Tabel-3 di atas menunjukkan gambaran bahwa masih

ada kesenjangan perolehan angka partisipasi sekolah,

(33)

23

namun di lain pihak ada kecamatan-kecamatan yang APS-nya

di bawah 50% (sangat kecil) seperti Kecamatan Lohbener

(32,75%),

Kecamatan Bangodua (39,69%),

Kecamatan Lelea

(20,27%),

Kecamatan Losarang (48,01%),

Kecamatan

Kan-danghaur (41,86%) dan Kecamatan Bongas (16,32%). Sehing

ga, sekalipun pada kecamatan-kecamatan lainnya menunjuk

kan perolehan APS relatif tinggi, namun secara komulatif

APS pada tingkat kabupaten hanya mencapai 54,46% dan

yang 45,34%-nya kemana? Berdasarkan data-data tersebut,

maka penelitian difokuskan pada analisis mengapa terjadi

perolehan angka demikian minim? Faktor-faktor apa yang

menyebabkan rendahnya APS tersebut?

Selanjutnya,

latar belakang masalah menunjukkan

gambaran bahwa faktor-faktor

lingkungan sering kurang

diperhitungkan dalam perencanan pendidikan,

sehingga

menimbulkan masalah antara

lain:

(1)

input

pendidikan

kurang dikelola secara optimal,

(2)

output

pendidikan

kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam

menun-jang pembangunan nasional.

Padahal,

pendidikan dan

segala permasalahannya tidak berdiri sendiri,

melainkan

terkait

pula dengan

masalah-masalah di luar sektor

pendidikan.

Pendidikan sebagai institusi masyarakat,

tumbuh dan berkembang di

tengah-tengah masyarakat

dan

lingkungannya.

Pendidikan merupakan

bagian yang

tidak

terpisahkan dari masyarakat setempat.

(34)

tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan

pendidikan. Faktor-faktor lingkungan tersebut adalah

administrasi pemerintah daerah, demografi, geografi,

budaya, agama, ekonomi, politik, hankamnas, ilmu

penge-tahuan dan teknologi, serta transportasi dan komunikasi.

Dengan memperhitungkan pengaruh faktor-faktor ling

kungan, maka melalui penelitian ini, perencana dapat:

(1) memahami pengaruh timbal balik antara faktor ling

kungan dan pendidikan, (2) mengaplikasikan pemanfaatan

potensi faktor lingkungan seoptimal mungkin dalam peren

canaan pembangunan pendidikan, dan (3) membantu pengem

bangan lingkungan melalui perencanaan pendidikan.

Belum mampunya Kabupaten Indramayu mencapai target

Nasional sebesar 85% dalam upaya penuntasan Wajar Dikdas

9 Tahun dipengaruhi beberapa faktor, yaitu mungkin

karena faktor kondisi geografis, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelayakan dana, sarana dan prasarana pendi dikan yang tersedia. Namun, sinyalemen tersebut perlu

dipertanyakan: Apakah kondisi Kabupaten Indramayu meru

pakan daerah yang berbeda dari kabupaten lainnya? Kalau berbeda, artinya permasalahan-permasalahan yang mengham-bat program penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun harus berbeda dengan DT II yang lain. Bila sebaliknya,

mengandung arti bahwa masalah tersebut lebih disebabkan

karena faktor manajemen yang dilakukan jajaran pengelo

(35)

25

melalui penelitian ini perlu ditemukan kembali

faktor-faktor penghambat

penuntasan wajar dikdas yang

sesung-guhnya,

sehingga

ditemukan

alternatif

penyelesaiannya

yang lebih efektif dan efisien.

C. Rumusan Masalah

Fokus penelitian menunjukkan bahwa masalah pokok

penelitian ini adalah:

Upaya meningkatkan angka melanjutkan

sekolah dari SD/MI ke SLTP/MTs

sehingga program Wajar

Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Indramayu sampai Tahun

2003/2004 dapat dituntaskan.

Berdasarkan masalah pokok tersebut, maka disusun

pertanyaan penelitian berikut:

1. Bagaimana gambaran nyata pendidikan dasar sampai tahun

pelajaran 1998/1999 di Kabupaten Indramayu?

Pertanyaan penelitian ini, dimaksudkan untuk

mendeskrip-sikan data tentang:

a. Gambaran keadaan pemerataan pendidikan dasar di kabupaten Indramayu;

b. Gambaran keadaan mutu pendidikan dasar di Kabupaten

Indramayu;

c. Gambaran keadaan tingkat kesesuaian pendidikan dasar di Kabupaten Indramayu;

d. Gambaran tingkat pencapaian tujuan pengelolaan pen

didikan dasar di Kabupaten Indramayu.

(36)

Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Sekolah

(APS),

dan

Angka

Melanjutkan

(AM)

berdasarkan

tingkat

penghasilan kotor perkapita masyarakat setempat (Produk

Domestik Regional Bruto) pada pendidikan dasar di Kabu

paten Indramayu?

3.

Apa yang menjadi faktor penyebab yang menghambat penin

gkatan angka melanjutkan

dari SD/MI ke SLTM/MTs dalam

pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Indramayu?

4. Upaya apa yang dapat dijadikan alternatif strategi untuk

meningkatkan peningkatan angka melanjutkan sekolah

lulusan SD/MI ke SLTP/MTs dalam penuntasan Wajar Dikdas

9 Tahun di Kabupaten Indramayu?

Pertanyaan penelitian ini, dimaksudkan untuk

mendeskrip-sikan beberapa alternatif tindakan sebagai bahan masukan

dalam menyusun model perencanaan strategik sesuai dengan

permasalahan pendidikan dasar yang dihadapi Kabupaten

Indramayu. Unsur-unsur yang dikembangkan dalam penerapan

model ini berkenaan dengan:

a. Landasan filosofis penyusunan rencana strategik;

b. Visi, misi, tujuan, target dan sasaran yang diemban

dalam penuntasan Wajar Dikdas;

c. Identifikasi kebutuhan yang diinginkan dalam pening

katan angka melanjutkan lulusan SD/MI ke SLTP/MTs;

d. Alternatif strategi yang dijadikan pilihan tindakan

untuk mengatasi penyebab rendahnya angka melanjutkan

(37)

27

e. Kegiatan yang dijadikan prioritas program dalam upaya

meningkatkan angka melanjutkan sekolah;

f. Implementasi program operasional yang dijadikan

pilihan strategi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun;

g. Sistem penganggaran yang dibutuhkan untuk implemen

tasi rencana;

f. Sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan dalam

implementasi rencana.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan model rencana strategik yang dapat meningkatkan angka

partisipasi sekolah khususnya dalam peningkatan angka

melanjutkan lulusan SD/MI ke SLTP/MTs dalam rangka

penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Indramayu.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

a. Memperoleh gambaran data tentang pendidikan dasar di Kabupaten Indramayu;

b. Memperoleh gambaran data tentang Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Sekolah (APS), dan Angka Melanjutkan (AM) berdasarkan tingkat penghasilan kotor perkapita

masyarakat setempat (Produk Domestik Regional Bruto)

pada pendidikan dasar di Kabupaten Indramayu;

(38)

upaya peningkatan angka partisipasi sekolah khususnya

yang berkenaan dengan angka melanjutkan dari SD/MI ke

SLTP/MTs di Kabupaten Indramayu;

d.

Menyusun rencana

strategik peningkatan angka melan

jutkan sekolah lulusan SD/MI ke SLTP/MTs di Kabupaten

Indramayu Tahun 1998/1999 - 2003/2004.

2. Manfaat Penelitian

Masalah-masalah yang berkenaan dengan upaya

menun-taskan Wajar Dikdas 9 Tahun,

sebetulnya

menuntut

peme-cahan yang didukung hasil penelitian, karena itu hasil

penelitian ini akan dapat merangsang peneliti lain untuk

turut mengembangkan pemikiran lebih lanjut; Pemecahan

masalah ini berkaitan dengan disiplin ilmu Administrasi

Pendidikan, karenanya melalui penelitian ini turut pula

mengembangkan dan memperkaya hazanah Ilmu Administrasi

Pendidikan, khususnya dalam bidang kajian perencanaan

pendidikan.

Di samping itu, hasil penelitian ini dapat pula

digunakan secara praktis dalam organisasi pendidikan,

khususnya dalam pembenahan, dan peningkatan mutu layanan

manajemen pendidikan. Hasil penelitian ini dapat dijadi

kan acuan oleh setiap pengelola organisasi pendidikan,

baik pada tingkat lokal, regional maupun tingkat pusat

sebagai model alternatif untuk kabupaten-kabupaten lain

yang mempunyai karakteristik sama dengan Kabupaten

(39)

29

E. Asumsi

Pokok-pokok

pikiran

yang

dijadikan

asumsi

sebagai

titik tolak penelitian ini, yaitu:

1. Pelaksanaan Program Wajar Dikdas 9 Tahun di Indonesia

senantiasa dihadapkan pada permasalahan rumit

(complex)

yang disebabkan oleh keragaman sikap hidup masyarakat

dan tekanan kehidupan bermasyarakat;

2.

Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun memerlukan pengelolaan

yang lebih terencana, terorganisir dan terkendali sesuai

dengan

keragaman

kondisi

masyarakat

dan

tujuan-tujuan

pembangunan masyarakat dan negara yang lebih luas;

3.

Perencanaan

strategik pendidikan bukan hanya dipandang

penting sebagai bahan kajian akademik, namun dapat pula

dipakai sebagai salah satu alternatif strategi dasar

pembangunan pendidikan, khususnya dalam penuntasan

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

F. Pendekatan dan Paradigma Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian

naturalistik-kualitatif, dengan mengutamakan deskripsi

analitik pada semua fakta yang ditemui di lapangan.

Penggunaan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada

pertimbangan Nasution (1988) yang mengemukakan bahwa

pendekatan ini: (a) Memiliki kelenturan untuk menyesuai

(40)

langsung

hekekat dari hubungan antara peneliti

dengan

responden;

(c)

Lebih peka terhadap

adanya penajaman

nilai yang ditemui. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian di sini maksudnya adalah cara

berfikir yang dipakai dalam menghadapi

realita objek

penelitian. Seperti yang dikemukakan Nasution (1988:2):

Paradigma ialah suatu perangkat kepercayaan, nilai-nilai, suatu pandangan tentang dunia sekitar. Paradigma mengarahkan penelitian. Dengan timbulnya

paradigma baru tentang dunia,

timbul pula paradigma

baru dalam penelitian serta metode yang digunakan.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa paradigma

merupakan perangkat berpikir yang didasari nilai-nilai

keilmuan dan pendekatan penelitian yang dipakai. Mungkin

saja menjadi suatu teori apabila dikembangkan melalui

penelitian ilmiah.

Sejalan perkembangan ilmu administrasi pendidikan,

mengenal paradigma tradisional dan paradigma modern.

Paradigma tradisional bercirikan : (1) Sekolah dipandang

sebagai sosial Sistem; (2) Birokrasi dan birokratisasi

menitikberatkan pada hirarki kekuasaan; (3) Pengambilan

keputusan dipandang sebagai sentral dalam proses manaje

men; (4) Berkembangnya kajian-kajian terhadap ilmu

kepemimpinan; (5) Munculnya teori motivasi dan kepuasan

Abraham Maslow. Sedangkan paradigma modern ditandai

dengan berkembangnya paradigma yang menggunakan

(41)

31

kemudian

muncul

teori-teori

seperti

teori

kontingensi

dan model-model analisa organisasi.

Dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti, maka

paradigma yang sesuai, adalah paradigma pengambilan

keputusan yang dipandang sebagai sentral dalam proses

manajemen. Analisa permasalahan tidak terlepas dari

paradigma penelitian kualitatif secara keseluruhan. Secara rinci, paradigma penelitian digambarkan dalam

kerangka pemikiran seperti tampak pada Gambar-1.

KONDISI NYATA

PENDIDIKAN DASAR

SAAT INI

V 4

UPAYA MENINGKATKAN

ANGKA MELANJUTKAN

SEKOLAH LULUSAN

SD/MI KE SLTP/MTs

ANALISIS POSISI

»

Internal dan

Eksternal

KENDALA/

HAMBATAN

—> FAKTOR

PENYEBAB

-> ALTERNATIF

STRATEGI

-> PERENCANAAN STRATEGIK

A

l>

3

KONDISI IDEAL:

TH. 2004 WAJAR

DIKDAS TUNTAS

Gambar-1

PARADIGMA PENELITIAN

Ilustrasi Gambar-1 di atas menunjukkan bahwa pene

(42)

Analisis kualitatif tahap pertama, dimulai dengan

kajian terhadap manajemen pendidikan dasar, yang

difo-kuskan pada esensi pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun di

Kabupaten Indramayu, yaitu upaya meningkatkan anak usia

7-15 tahun harus berpendidikan minimal tingkat SLTP baik

di lingkungan sekolah maupun luar sekolah (kotak-1).

Berdasarkan fokus tersebut, proses analisis diarah

kan pada dua kondisi yang berbeda, yaitu: (1) Kondisi

nyata pendidikan dasar pada saat ini (kotak-2), dan (2)

Kondisi pendidikan dasar yang diinginkan (kotak-3) ,

yaitu penuntasan Program Wajar Dikdas pada Tahun

2003/2004. Analisis terhadap kondisi nyata pendidikan

dasar, ditelusuri bagaimana sebetulnya keadaan Angka

Partisipasi Kasar dan Angka Partisipasi Murni (APK dan

APM) yang diperoleh pada saat ini. Sedangkan analisis

terhadap kondisi pendidikan dasar yang diinginkan berke

naan dengan kriteria ideal APK dan APM yang diharapkan

dalam penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun sampai Tahun 2004.

(43)
(44)

B A B I I I

PROSEDUR P E N E L I T I A N

W

• ' & ** \%M % ^ ° '

•V'^3- v&V'^*-. 'ft7 ,:.- \/•

fcfc&

^"iwys^

A. Metode Penelitian

Metodologi penelitian berkaitan dengan pendekatan dan

paradigma penelitian yang dipakai. Hal ini untuk memberikan

batasan-batasan yang tegas terhadap setiap permasalahan

yang

diteliti,

agar

pemecahan

masalah

tersebut

sesuai

dengan kaidah-kaidah keilmuan,

dan pada akhirnya dapat

memberikan sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan itu

sendiri.

Bagian pendahuluan telah menjelaskan bahwa pendekatan

penelitian menggunakan

pendekatan

penelitian

naturalistik

kualitatif.

Tentunya,

prosedur metodologi

penelitian di

sini tidak lepas dari

paradigma penelitian yang dipakai.

Metode penelitian yang dipakai didasarkan pada pertimbangan

situasi

kondisi

yang

tengah

berlangsung

sekarang

ini.

Tujuannya, mencoba menggambarkan situasi dan kondisi.

Karena

itu,

penggunaan metode

penelitian deskriptif

lebih

tepat dipakai untuk menjawab permasalahan dalam penelitian

ini.

Hal

ini,

sesuai dengan apa yang dikemukakan Mohamad

Ali (1984:120) yang mengemukakan bahwa : "Metode deskripsi

digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang

sedang dihadapi pada situasi sekarang".

Di samping itu, untuk menjawab permasalahan secara

teoritis,

digunakan

pula

studi

kepustakaan

sehingga

(45)

102

penganalisaan terhadap beberapa variabel yang dijadikan

faktor penelitian.

Tujuan penelitian di sini, tidak bermaksud merusak situasi dan kondisi obyek penelitian, tetapi mencoba

mempe-lajari suatu keadaan yaitu prilaku individu dalam melaksa

nakan tugas-tugas organisasi, yang kegunaannya tidak saja

untuk keperluan ilmu perilaku organisasi itu sendiri, namun

lebih banyak bagi perbaikan pola perilaku sekolah/obyek

penelitian itu sendiri. Kalaupun sipatnya ada sedikit

ekflorasi-eksflorasi, tetapi arah penelitian disini lebih

ditekankan kepada studi kasus. Kenyataan ini didasarkan

pada pertimbangan Vredenbregt (1983:38), yang mengemukakan

bahwa:

Sifat khas dari "case study" adalah suatu pendekatan

yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (Whole

ness) dari obyek, artinya data yang dikumpulkan dalam

rangkan "study kasus" dipelajari sebagai suatu kese

luruhan yang terintegrasi. Tujuan adalah untuk

mem-perkembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang bersangkutan

Apa yang dikemukakan Vredenbregt, memberikan gambaran

bahwa penelitian yang digunakan pendekatan study kasus,

seharusnya ditujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan

yang lebih mendalam. Karena itu, walau pun dalam penelitian

ini tidak merinci dan menggali ilmu pengetahuan, khususnya

dalam didang prilaku manusia dalam organisasi sekolah

secara mendalam, namun indikator ke arah itu memang

diu-payakan dengan jalan mendekriskripsikan data tentang objek

(46)

B. Populasi dan Subyek Penelitian

Data

dan

Informasi

yang

diperlukan

dalam

penelitian

ini bersifat kuantitatif dan kualitatif.

Data kuantitatif,

berkenaan dengan angka atau statistik yang berhubungan

dengan sistem pendidikan dan dengan sistem lain yang erat

kaitannya dengan pendidikan. Data kualitatif berkenaan

dengan data yang sudah diolah dalam bentuk informasi.

Secara umum,

data dan informasi

tersebut adalah:

(1)

Data-data kependudukan:

Misalnya,

komposisi,

jenis kela

min,

tempat kelahiran,

status marital,

jumlah tanggungan,

ukuran penduduk,

tempat tinggal, kebutuhan, tingkat pendi

dikan,

golongan darah,

suku bangsa,

ras,

tingkat sosial

ekonomi,

adat serta kebudayaan,

kesehatan,

dan parawisata;

(2) Data-data tempat: Misalnya, jumlah dan luas tanah,

jenis dan kondisi tanah,

serta pemanfatannya;

(3) Data-data

kegiatan ekonomi;

Misalnya, mata pencaharian,

ketenagaker-jaan, perdagangan, situasi pasar dan moneter,

perindus-trian, dan kegiatan ekonomi lain yang bersifat informal;

(4) Data-data sarana perhubungan; Misalnya, alat, jalur,

jenis dari kegiatan komunikasi dan transportasi, serta

media pos dan telekomunikasi.

Secara khusus data dan informasi yang dibutuhkan

berkaitan dengan substansi yang direncanakan, yaitu:

(1) School a'going population, yaitu populasi jenis

sekolah atau lembaga pendidikan yang tengah berlangsung

(47)

104

(2) Sumber-sumber manusiawi,

seperti:

(a)

angka rata-rata

pertumbuhan penduduk per tahun, (b)

enrolment ratio

per

jenjang persekolahan,

(c)

admission rate,

(d)

rasio

guru dengan peserta didik per jenjang lembaga,

(e)

prosentase guru

yang berkelayakan per jenjang lembaga

atau per bidang studi,

(f)

participation rate,

yaitu

nilai

rasio

jumlah

peserta didik suatu jenjang

pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah jen

jang pendidikan yang bersangkutan;

(3) Sumber-sumber finansial dan material, berkenaan dengan:

(a) rasio peserta didik

dengan ruang kelas per jenjang

lembaga,

(b) rasio buku/bahan pelajaran per peserta

didik per jenjang lembaga,

(c)

biaya satuan per jen

jang, (d)

prosentase

pembiayaan pemerintah untuk

pendidikan

terhadap anggaran belanja nasional,

(e)

prosentase

keseluruhan pembiayaan pendidikan terhadap

gross national product (GNP);

(4) Prestasi sistem pendidikan, berkenaan dengan: (a) angka

kelulusan;

(b) angka peserta didik yang putus sekolah,

(c) angka peserta didik yang mengulang,

(d)

angka

peserta didik yang naik kelas/tingkat, (e) angka peser

ta didik yang melanjutkan, (f) angka peserta didik yang

memasuki lapangan kerja, dan (g) hasil EBTANAS.

1. Populasi Penelitian

(48)

sumber data.

Tanpa populasi penelitian tidak mungkin

dilakukan.

sedangkan

setiap

populasi

itu,

mempunyai

ciri-ciri dan karakteristik yang berlainan.

Pada penelitian yang menggunakan pendekatan kuanti

tatif,

pengertian

populasi

yang dikemukakan

para ahli

tidak memberikan pengertian yang berbeda. John W. Best

(1982:324) misalnya, mengemukakan bahwa, "Polulasi

adalah sekelompok

individu

tertentu yang memiliki

satu

atau penelitian". Pernyataan Best tersebut memberi

gambaran bahwa, populasi penelitian itu adalah manusia

baik individu maupun kelompok.

Lain halnya dengan pene

litian yang menggunakan pendekatan

naturalistik-kualita-tif.

Populasi

tidak

terbatas

pada manusia

saja

tetapi

mencakup

keseluruhan

objek termasuk

lingkungan.

Karena

itu,

populasi penelitian dalam penelitian ini meliputi

seluruh aspek manusia maupun non-manusia termasuk ling

kungan psihis yang tersebar di lingkungan Daerah Tingkat

II Kabupaten Indramayu.

2. Subyek Penelitian

Penentuan sampel pada penelitian kuantitatif,

didasarkan pada distribusi populasi yang cukup besar dan

penarikannya didasarkan pada luas serta sifat-sifat populasi. Sutrisno Hadi (1981:72) mengemukakan bahwa:

... dalam segala hal perlu diperhatikan adalah

menentukan lebih dulu luas dan sifat-sifat popula

(49)

106

Penentuan sampel pada penelitian ini berbeda dengan

proses sampling sebagaimana dalam penelitian kuantita

tif.

Sampling dalam penelitian

ini berkenaan dengan

subyek

penelitian,

dilakukan

secara

terus-menerus

dan

sifatnya tergantung pada tujuan penelitian setiap saat.

Nasution (1988:29), mengemukakan:

Tidak ada pengertian populasi dalam penelitian ini.

Sampling berbeda tafsirannya.

Sampling ialah pili

han peneliti aspek apa dari p

Referensi

Dokumen terkait

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah

Abu tulang ayam (CaO) merupakan katalis basa heterogen non-korosif dan ramah lingkungan, dapat dengan mudah dipisahkan dari produk melalui filtrasi dan masalah pembuangan

Dapat dilihat pada Tabel 5, perbedaan karakteristik pengguna bus AC dan KRL ekspress berdasarkan atribut pelayanan moda terjadi pada atribut jarak tempuh total

Blitar, Risalah Nahdliyyah Membentengi Diri dari Doktrin dan Ajaran Wahabiyah, (Blitar: Aswaja Center PCNU Kab.. Al Qur‟an menjadi petunjuk ba gi manusia secara umum,

Beberapa persoalan penting dikemukakan dalam kajian ini, iaitu i) adakah pelaksanaan 5S mempunyai hubungan positif yang signi fi kan dengan prestasi hijau?; dan ii) apakah

Sistem pelayanan pelanggan yang berjalan saat ini pada PT Sahabat Kreasi Muda masih berjalan dengan mengunakan aplikasi google untuk mengisi keluhan pelanggan

mengendalikan aktivitas departemen lain karena berkaitan dengan tanggung jawab staf spesifik.Di dalam definisi tugas dan wewenang di atas kita dapat membedakan antara tugas

Hasil pengamatan umur 35 hari setelah penyetekan menunjukkan bahwa; 1) terdapat pengaruh pemberian IBA terhadap waktu membuka daun, jumlah setek. Akan tetapi