• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL ANALISIS WACANA KRITIS DALAM KAJIAN CERPEN BERIDEOLOGI GENDER UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN ANALISIS WACANA MAHASISWA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODEL ANALISIS WACANA KRITIS DALAM KAJIAN CERPEN BERIDEOLOGI GENDER UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN ANALISIS WACANA MAHASISWA."

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, berbagai gagasan dan perencanaan merupakan tuntutan yang harus terus berlanjut. Pendidikan harus selalu mengiringi perkembangan kehidupan manusia yang terus mengalami perubahan ke arah penyempurnaan. Pendidikanlah yang diandalkan untuk menjadi pengarah kemajuan. Kebijakan-kebijakan pendidikan baru dalam melakukan parubahan atau penyempurnaan, sebaiknya selalu didasari oleh hasil-hasil pengamatan yang cermat oleh para ahli dan dari hasil-hasil penelitian.

Munculnya masalah dalam pendidikan merupakan gejala yang menunjukkan adanya kesenjangan antara hasil pendidikan dengan tuntutan kehidupan. Masalah ini muncul beraneka ragam, mulai dari masalah proses belajar mengajar di kelas yang berhubungan dengan bidang studi, berhubungan dengan kurikulum, berhubungan dengan salah satu jenjang pendidikan, sampai ke masalah yang berhubungan dengan kebijakan dan konsep pendidikan.

(2)

Dalam pembelajaran, wacana merupakan disiplin ilmu baru. Pemunculannya sekitar tahun 70-an. Sebetulnya apakah wacana itu? Firth (dalam Syamsuddin, 1992: 2) mengemukakan bahwa language was only maeningful in its context of

situation. Jadi, pembahasan wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang

harus dalam satu rangkaian kesatuan situasi atau dengan kata lain, makna suatu bahasa berada dalam rangkaian konteks dan situasi. Pemakaian istilah wacana itu banyak dipakai dalam banyak disiplin ilmu yang lain. Jika istilah wacana dipakai dalam disiplin ilmu bahasa, perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan atau betul-betul bermakna bagi pakar bahasa atau keilmuan kebahasaan. Sebagai contoh adanya istilah wacana politik, sebatas wacana, baru wacana, dan lain-lain. Istilah tersebut bukan dalam pembahasan ilmu bahasa, tetapi dipakai dalam ilmu politik.

Dilihat dari awal pemunculannya, istilah wacana bukan muncul dari para ahli ilmu bahasa, melainkan dipopulerkan oleh oleh psikolog, antropolog, dan sosiolog. Mereka beranggapan bahwa kenyataan kegunaan pemakaian bahasa di lapangan bukan dilihat dari struktur bahasa, melainkan dari konteks pemakaian bahasa, yaitu wacana. Brown dan Yule (Terjemahan Soetikno, 1996: xi) mengemukakan bahwa para ahli sosiolinguistik terutama memperhatikan struktur interaksi sosial yang dinyatakan dalam percakapan dan deskripsi-deskripsi mereka yang dititikberatkan pada ciri-ciri konteks sosial, terutama dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi sosiologis.

(3)

Tata Wacana yang diberikan di Strata 1 hanya sampai pada masalah menganalisis wacana dialog dan monolog.

Diawali dengan adanya kebutuhan pengembangan pembelajaran analisis wacana inilah, penulis ingin mengembangkan materi pembelajaran analisis wacana ini sampai kepada analisis wacana kritis (AWK). Dalam silabi dan satuan acara perkuliahan (SAP) dicantumkah bahwa tujuan pembelajaran Tata Wacana adalah mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep tata wacana bahasa Indonesia, dapat menganalisis, mencoba mengajarkan, dan dapat menyelenggarakan seminar kelas tentang hasil pengamatan atau penelitian kecil.

Pengembangan pembelajaran yang menyangkut daya nalar mahasiswa tentang pembelajaran wacana sangat berhubungan dengan penggunaaan wacana di masyarakat. Dalam konsepnya, para pakar analisis wacana kritis (selanjutnya disebut AWK) menyatakan bahwa materi yang akan dianalisis oleh AWK adalah wacana-wacana yang mengandung gagasan dominasi dan kekuasaan, di antaranya wacana politik, ras, dan gender.

Penelitian mengenai AWK belum banyak dilakukan. Ada beberapa penelitian AWK yang pernah dilakukan, di antaranya penelitian-penelitian yang berkaitan dengan wacana politik. Di bawah ini akan dibahas beberapa hasil penelitian tersebut.

Ruswan Dallyono (2003) melaporkan hasil penelitin tentang AWK politik dengan menggunakan wacana yang ada di internet (A Hypertex Base Critical

(4)

demokratisasi di Indonesia. Wacana-wacana website ini mengangkat isu-isu sensitif, seperti kekerasan-kekerasan TNI di Aceh dan konsep-konsep pemerintahan serta konsep-konsep nasionalisme. Judul penelitiannya adalah “The

Contribution of News Website to Democration in Indonesia.”

Anang Santoso (2003) meneliti AWK politik dalam disertasinya, yaitu Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Santoso memaparkan karakteristik bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam wacana politik, khususnya wacana politik pasca-Orde Baru beserta konteks penggunaannya, baik konteks lokal (konteks situasi) maupun konteks global (konteks budaya dan ideologi). Disertasi ini membahas pengantar ke arah bahasa politik dan penggunaan AWK sebagai pisau analisis yang relavan untuk membedah fenomena wacana politik Indonesia.

Karakteristik bahasa politik pasca-Orde Baru dipaparkan sebagai pola klasifikasi, leksikalisasi, relasi makna (antonimi, sinonimi, dan hiponimi), metafora, ketransitifan bentuk aktif-pasif, modus kalimat, (deklaratif, interogatif, dan imperatif), modalitas, (relasional dan ekspresif), strategi kehadiran diri (kita, saya, kami, dan nomina tertentu), serta struktur teks (konvensi, interaksional, dan penataan teks). Paparan eksplanasi kritis yang dikemukakannya, yaitu mengapa sebuah bentuk bahasa dipilih dan dikedepankan serta mengapa sebuah bentuk bahasa ditinggalkan dan dikemudiankan.

(5)

pengendalian topik tuturan, interupsi, dan overleping dalam proses pembelajaran. Hasil temuan yang dikemukakan Jumadi adalah power merupakan bagian integral wacana kelas. Penggunaan power dalam wacana kelas meliputi penggunaan tindak direktif, asertif, dan ekspersif, yang merepresentasikan power dengan kadar dominasi tertentu. Terkait dengan fungsinya, wacana kelas power difungsikan untuk tindakan preventif, suportif, dan korektif.

AWK menganalisis wacana-wacana kritis yang terdapat di berbagai media, di antaranya wacana cerpen. Wacana cerpen dapat menjadi wujud fiksasi dan stabilisasi juga pelembagaan realitas, peristiwa, dan pengalamn hidup. Wacana cerpen sesungguhnya merepresentasikan konstruksi sosial atau bangunan sosial, termasuk di dalamnya peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat atau gender.

Berkaitan dengan uraian di atas, seorang pengarang cerpen dituntut untuk membuat atau menciptakan konstruksi sosial atas realitas, peristiwa, atau pengalaman hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengarang perlu membangun atau menciptakan dunia kehidupan di dalam karyanya. Dengan membangun dan menciptakan dunia kehidupan dalam karyanya, pengarang dengan leluasa dapat mengembangkan berbagai kemungkinan penafsiran realitas, peristiwa, atau pengalaman hidup yang diwujudkan dalam cerita, di antaranya tentang gender.

(6)

sosial. Karena itu gender merupakan konsep sosial. Lebih eksplisit lagi pernyataan Meneg UPW (1992: 3) yang menyatakan bahwa gender digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Saptari dan Holzner (1997: 221-222) menyatakan bahwa karya sastra terbukti mempunyai pengaruh besar dalam membentuk, melembagakan, melestarikan, mengarahkan, memasyarakatkan, dan mengoperasikan ideologi gender. Oleh karena itu representasi ideologi gender dalam sastra, termasuk wacana cerpen relatif menonjol dan kuat. Kajian Newton dan Resenfolt (dalam Yulianeta, 2002: 54) memperlihatkan bahwa wacana cerpen Eropa Barat dan Amerika telah menjadi arena penciptaan mitos dan ideologi gender dengan konteks sosial tertentu. Helbwig (Yulianeta, 2002: 55) dalam kajian berjudul “Rape in Two Indonesian Novels : An Analysis of the Female Images” menyoroti secara mendalam citra perempuan dalam dua novel populer Indonesia, yaitu “Karmila” karya Marga T dan “Ku Gapai Cintamu” karya Ashadi Siregar. Secara khusus ahli sastra Indonesia dari Belanda ini mengkaji masalah pemerkosaan dari perempuan yang ditampilkan dalam wacana novel. Keperawanan perempuan merupakan hal yang paling utama. Apabila keperawanan hilang, jalan keluar satu-satunya adalah perkawinan, walaupun kawin dengan laki-laki yang memperkosanya.

(7)

dari peminggiran (marginalisasi) dan subordinasi kaum perempuan. Dengan berkembangnya stereotip yang tidak adil terhadap perempuan, maka sering terjadi kekerasan dan beban kerja yang lebih berat terhadap perempuan (Fakih, 1999: 12-13). Marginalisasi terhadap perempuan bisa dilihat sejak dari lingkungan rumah tangga dalam bentuk diskriminasi pada anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan, misalnya dengan memprioritaskan anggota keluarga laki-laki harus lebih didahulukan dalam menuntut pendidikan. Sedangkan subordinasi terhadap perempuan, misalnya terlihat dari sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Hal ini terjadi karena pelabelan stereotip kultural yang turun-temurun, yang menganggap perempuan irasional atau emosional, sehingga tidak layak tampil sebagai pemimpin. Contohnya masih ada anggapan bahwa perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena akhirnya akan ke dapur.

(8)

di pemerintahan Kota Bandung terhadap kesetaraan gender dan pengarusutamaan gender. Mereka lebih menyukai suaminya yang mempunyai jabatan atau berpenghasilan lebih besar daripada dia, dengan alasan menjaga wibawa suami, baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Jadi, masih banyak perempuan walaupun dari kalangan berpendidikan yang menerima saja apa yang dikukuhkan oleh sistem patriarki dan menganggapnya sebagai kodrat yang tak bisa diganggu gugat. Sesungguhnya keadaan tersebut dapat diubah apabila mereka, yaitu laki-laki dan perempuan mau mengubahnya sebagai tanggung jawab pada harkat kemanusiaan.

(9)

karena itu, ideologi membentuk identitas diri kelompok yang membedakannya dengan kelompok yang lain (van Dijk dalam Eriyanto, 2005: 272). AWK melihat konteks terutama bagaimana ideologi kelompok-kelompok yang ada berperan dalam membentuk wacana. Misalnya dalam wacana cerpen yang memunculkan pencerminan ideologi seseorang, apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosial, dan sebagainya.

AWK digunakan untuk membongkar pengoperasian ideologi gender dalam wacana sastra, di antaranya model analisis Sara Mills. Fokus perhatian Sara Mills (1997: 183) adalah wacana feminisme, yakni bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Oleh karena itu, model analisis ini disebut juga analisis berperspektif feminis. Fokus perhatian analisis ini adalah menunjukkan bagaimana teks bias gender dalam menampilkan perempuan. Perempuan cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah, marginal dibandingkan dengan laki-laki. Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk mengenai perempuan inilah yang menjadi sasaran utama dalam tulisan Mills.

(10)

reproduksi dan resistensi terhadap dominasi. Dominasi didefinisikan sebagai penerapan kekuasaan sosial, para elit, institusi atau kelompok yang berujung pada ketidaksetaraan (inequality) sosial, seperti pada ranah praktik, kelas, dan jenis kelamin (van Dijk, 1993 dalam Lukmana, 2003: 330).

(11)

berideologi gender, tetapi penulis menemukan penelitian yang sejenis, yaitu penelitian Yulianeta (2002) yang mengkaji masalah ideologi gender dalam novel

Saman.

Dari uraian di atas, dipandang perlu adanya penelitian mengenai model AWK untuk mengkaji wacana-wacana yang berideologi gender dan dapat dilakukan dalam pembelajaran. Hal inilah yang perlu dilakukan dalam penelitian ini, dengan judul: “Penerapan Model Analisis Wacana Kritis dalam Kajian Cerpen Berideologi Gender untuk Mengembangkan Kemampuan Analisis Wacana Mahasiswa (Studi Kuasi-Eksperimen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI Angkatan 2003-2004).”

1.2Pembatasan Masalah

(12)

kualitasnya sudah terseleksi, di samping itu cerpen-cerpen Kompas telah diakui oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai indikator cerpen terbaik di Indonesia. Sastrowardoyo (1992 : 1) mengatakan bahwa cerpen yang dimuat dalam Kompas patut diketengahkan sebagai karya sastra, karena selain mempertimbangkan temanya untuk pembaca umum, juga mempertimbangkan nilai estetikanya. Bahkan Dewanto (1993 : 10) menyatakan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir, cerpen-cerpen terbaik di Indonesia muncul di Kompas bukan di majalah sastra. Dari antologi cerpen Kompas tahun 1994-2000 yang tidak ditemukan berideologi gender adalah antologi cerpen Kompas tahun 1997 dan 1999, sedangkan tahun 1998 Kompas tidak menerbitkan antologi.

Wacana yang akan dianalisis oleh AWK dibatasi hanya pada wacana gender yang mengupas masalah adanya ketimpangan-ketimpangan gender, ketidakadilan gender dan ketidaksetaraan gender.

1.3 Rumusan Masalah Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya, maka permasalahan penelitian ini bisa dirumuskan sebagai berikut.

“Sejauh mana penerapan model AWK dapat mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender.”

Dari rumusan di atas bisa diuraikan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) apakah model AWK efektif untuk menganalisis cerpen berideologi gender

pada antologi-antologi cerpen pilihan Kompas?

(13)

3) apakah proses pelaksanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen yang berideologi gender efektif?

4) apakah hasil penerapan model AWK dapat mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah menganalisis dan menjelaskan:

1) keefektifan model AWK dalam menganalisis wacana yang berideologi gender dalam antologi-antologi cerpen pilihan Kompas;

2) proses perencanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen yang berideologi gender adalah baik;

3) keefektifan proses pelaksanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen berideologi gender;

4) hasil penerapan model AWK untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengkaji cerpen berideologi gender.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah:

(14)

2) bagi mahasiswa, model AWK ini dapat mengembangkan kemampuan dalam menganalisis cerpen berideologi gender.

1.6 Asumsi

Dengan diberikannya perlakuan model belajar AWK maka diasumsikan bahwa:

1) kelompok mahasiswa yang diberi perlakuan model belajar AWK menunjukkan peningkatan dalam menganalisis wacana kritis;

2) kelompok mahasiswa yang diberi perlakuan model belajar AWK menunjukkan peningkatan dalam memahami wacana gender dalam sastra. 1.7 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

“Terdapat perbedaan yang signifikan antara pengembangan keterampilan mahasiswa sebelum diberi perlakuan model AWK dalam kajian cerpen yang berideologi gender dengan sesudah diberi perlakuan model AWK dalam kajian cerpen berideologi gender.”

1.8 Variabel Penelitian

Penelitian ini mempelajari penerapan model belajar AWK dalam kajian cerpen berideologi gender. Dengan demikian, variabel penelitian ini mengkaji dua variabel, yaitu:

1) model belajar AWK sebagai variabel bebas (independent);

2) kemampuan mengkaji cerpen yang berideologi gender sebagai variabel terikat

(15)

1. 9 Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya salah pengertian tentang konsep-konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan beberapa istilah seperti yang tertuang di bawah ini.

1) Penerapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perihal mempraktikkan, dalam arti upaya untuk mempraktikkan model belajar AWK dalam kajian cerpen berideologi gender.

2) Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pola atau cara untuk mempraktikkan belajar AWK dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender.

3) Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah analisis terhadap wacana-wacana yang kritis, yang berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Yaitu hanya menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. AWK mengungkap gagasan yang menonjolkan kekuasaan politik, dominasi, hegemoni, ideologi, kelas masyarakat, gender, ras, diskriminasi, interes, reproduksi, institusi, struktur sosial, dan peran sosial. AWK yang dimaksud dalam penelitian ini adalah AWK yang menganalisis tentang wacana cerpen berideologi gender, dalam arti wacana cerpen yang mengungkap adanya ketimpangan gender, ketidaksetaraan gender (gender inequality), dan dominasi budaya patriarki yang membuat perempuan dimarginalisasi dan disubordinasi.

(16)

5) Ideologi gender adalah sistem nilai atau gagasan yang dianut masyarakat berikut proses-proses yang membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial, bukan berdasarkan biologis.

1.10 Paradigma Penelitian

(17)

BAB IV

ANALISIS WACANA KRITIS

DALAM KAJIAN CERPEN BERIDEOLOGI GENDER

Bab ini mengkaji ideologi gender pada cerpen-cerpen karya penulis

perempuan yang telah terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas dan telah diterbitkan

oleh Penerbit Kompas dalam bentuk antologi . Dipilihnya penulis perempuan, karena

penulis perempuan akan lebih jelas dan transparan dalam menggambarkan persoalan

ideologi gender dan ketidakadilan gender. Banyak cerpen yang mengupas tentang

perempuan, tetapi kebanyakan tentang permasalahan kondisi sosial perempuan dan

kemiskinan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas mengenai

cerpen-cerpen yang berideologi gender.

Adapun cerpen-cerpen itu adalah:

1) “Rambutnya Juminten”, 1994, Karya Ratna Indraswari Ibrahim.

2) “Mbok Nah 60 Tahun”, 1995, Karya Lea Pamungkas.

3) “Warung Pinggir Jalan”, 1996, Karya Lea Pamungkas.

4) “Ruang Belakang”, 2000, Karya Nenden Lilis Aisyah.

Analisis ideologi gender ini menggunakan pisau bedah AWK yang sudah

dibuat oleh peneliti. Langkah analisis sudah dibahas pada bab 3 sebagai berikut:

1) menentukan bentuk teks, teks itu mengungkap ideologi gender;

2) menentukan subjek penceritaan;

3) menentukan objek penceritaan;

(18)

5) menginterpretasi makna yang telah dibahas dalam deskripsi bahasa;

6) mengeksplanasi apa yang diungkap oleh cerpen-cerpen yang berideologi gender

tersebut.

Di bawah ini adalah cerpen-cerpen yang akan dianalisis dengan

menggunakan pisau bedah AWK.

4.1 Cerpen “Rambutnya Juminten”

Judul : “Rambutnya Juminten”

Pengarang : Ratna Indraswari Ibrahim

Antalogi : “Lampor”

Penerbit : Kompas, 1994

Ikhtisar

Cerpen ini menceritakan tokoh utama Juminten. Panuwun (suami Juminten)

menginginkan istrinya (Juminten) memanjangkan rambutnya. Padahal Juminten

menginginkan rambutnya dipotong pendek. Panuwun berkali-kali mengatakan bahwa

istri bersolek untuk suami dan hal itu dianggap prinsip. Akhirnya Juminten

memanjangkan rambutnya. Juminten meminta dibelikan obat penyubur rambut, tetapi

setiap kali Juminten memakai obat itu selalu merasa mual dan pusing. Jadi, Juminten

alergi terhadap obat itu, namun Juminten selalu memakainya karena ingin

menyenangkan suami (Panuwun menyenangi aroma obat rambut itu). Marni, sahabat

Juminten, menganggap tindakan Juminten itu bodoh, karena menyiksa diri sendiri

(19)

Ketika rambut Juminten sudah panjang banyak orang mengatakan Juminten

cantik, termasuk Nardi (anak majikan orang tua Juminten dan Panuwun). Bahkan

Nardi berani menggoda Juminten. Hal ini diketahui Panuwun, sehingga ia cemburu.

Juminten dilarang keluar rumah kalau tidak ada suami dan boleh keluar jika dengan

suami. Juminten termasuk salah satu anggota tim kasti di desanya dan harus

mengikuti latihan, berarti Panuwun tidak bisa mengurung Juminten selamanya.

Alasan Panuwun terjadinya kejadian ini diakibatkan oleh rambut panjang Juminten.

Oleh karena itu, Panuwun meminta Juminten untuk pergi ke salon Mbak Titik untuk

memotong rambutnya. Juminten menolak, ia sudah merasa sayang pada rambutnya.

Lagi-lagi Panuwun mengucapkan, “Ten kau kan dandan untukku?” (hal 79).

Akhirnya Juminten luluh dan pergi ke salon Mbak Titik. Tatkala ia melihat

rambutnya pendek di depan kaca salon dia mencucurkan air mata.

4.1.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Wacana cerpen “Rambutnya Juminten” secara nyata merepresentasikan profil

atau sosok identitas gender laki-laki dan perempuan. Profil yang direpresentasikan

dalam cerpen ini adalah Juminten sebagai istri Panuwun. Panuwun (suami Juminten),

Marni, dan Nardi sebagai orang-orang yang tinggal di desa. Profil ini pun

mencerminkan status sosialnya sebagai masyarakat desa biasa.

Profil Juminten adalah perempuan cantik dengan rambut panjang. Profil

gender lainnya tidak digambarkan secara fisik oleh pengarang. Dari pemerian cerita,

Juminten digambarkan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, yaitu bekerja di ruang

(20)

kegiatan olahraga kasti di desanya. Penggambaran profil Juminten terlihat dalam

deskripsi bahasa sebagai berikut.

Suatu kali sewaktu nonton film layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang bilang, “Ten, kok rambutmu sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal 80)

Profil Panuwun (suami Juminten) digambarkan sebagai seorang buruh pabrik

di kota dalam arti bekerja di ruang publik. Panuwun adalah seorang suami yang

berkuasa, otoriter, dan kemauannya selalu harus dituruti. Sedangkan profil Juminten

dalam kehidupan sehari-harinya sangat penurut, selalu mengalah, dan selalu

mematuhi apa kata suaminya. Panuwun adalah sosok egois yang tidak mau mengerti

akan keinginan-keinginan istrinya. Prinsipnya istri adalah milik suami. Hal-hal yang

berhubungan dengan istri, suamilah yang menentukan. Profil Panuwun terlihat dalam

ucapannya terhadap Juminten dengan berkali-kali mengatakan bahwa “Kamu

bersolek untuk suami, iya kan?” (hal 78). “Pokoknya, saya tidak suka kamu keluar”

(hal 81).

Profil Marni digambarkan sebagai seorang perempuan yang telah

berpandangan modern. Marni beranggapan semua sikap Juminten sebagai seorang

istri adalah sikap yang menyiksa diri. Profil Marni digambarkan sebagai sebagai

perempuan yang rasional. Marni selalu berusaha menyadarkan Juminten untuk

bersikap rasional, dalam arti harus bisa menolak keinginan suami bila tidak cocok

dengan kemauannya. Menurut Marni keadaan yang terjadi pada Juminten dalam

hubungannya sebagai istri adalah tindakan represif. Tetapi pendirian Juminten tidak

(21)

berpendirian bahwa istri harus menurut pada suami dan menyenangkan suami. Hal ini

terlihat dari ucapan Marni pada Juminten.

“Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan

pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa lagi menasehatimu. Mestinya kamu tidak terus menerus mengalah, tapi memberi pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku minta cerai. Kita bukan burung di dalam sangkar.” (hal 82)

Profil Nardi digambarkan sebagai seorang laki-laki, walaupun tinggal di desa,

dia hidup lumayan, karena orangtuanya punya pabrik, tetapi tidak digambarkan apa

pekerjaan Nardi. Panuwun dan bapak Juminten bekerja di Pabrik ayah Nardi. Profil

Nardi digambarkan sebagai laki-laki yang jatuh cinta pada Juminten karena Juminten

kelihatan cantik sekali dengan rambut panjangnya. Ketertarikan Nardi terhadap

Juminten diketahui Panuwun, sehingga terjadi konflik antara keduanya, yang

berakibat Juminten tidak boleh keluar rumah, kecuali dengan suami dan pada

akhirnya Juminten disuruh memotong rambutnya sependek mungkin, dengan tujuan

bisa menyelesaikan konflik dan kecemburuan terhadap istrinya.

4.1.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Salah satu konsekuensi logis dari integrasi kultural adalah penerimaan

peran-peran gender yang sudah ditentukan secara turun temurun oleh masyarakat.

Peran-peran gender tradisional sangat bergantung pada fungsi biologis perempuan yang

berpusat pada ruang domestik yang tidak jarang diasosiasikan nonproduktif, jadi,

tidak ada ruang publik bagi gender tradisional. Peran-peran modern lebih

(22)

tidak jarang pula diasosiasikan produktif tanpa harus meninggalkan fungsi biologis

perempuan yang berpusat di ruang domestik

Kate Milles (1972), seorang penulis dari Amerika Serikat dalam bukunya

“Sexual Politics” mengungkap perhatiannya yang tertuju pada masalah-masalah

pemikiran-pemikiran tentang perempuan, terutama pertanyaan-pertanyaan mendasar

mengenai masalah ketertindasan perempuan.

Buku ini merupakan turunan dari disertasi doktornya di bidang sastra.

Analisisnya mencakup analisis tekstual dan kontekstual dari teori politik, sosiologi,

psikologi, dan sastra yang dijadikan landasan untuk menganalisis kekuasaan

patriarkal, dan relasi laki-laki dan perempuan (Gadis Arivia, 2003: 82).

Sebagai perempuan yang memilih integrasi kultural terhadap tradisi, Juminten

menerima peran gender tradisional yang sudah tersedia. Pada dasarnya, hidup dan

kehidupan Juminten berada di ruang domestik. Sebagai ibu rumah tangga, Juminten

harus tunduk kepada kemauan suami, sebagai kepala keluarga. Peran gender yang

dilaksanakan oleh Juminten ditentang oleh Marni selaku sahabatnya, yang

menganggap sikap Juminten sebagai menyiksa diri. Saran Marni sama sekali tidak

digubris oleh Juminten, yang penting dia bisa menyenangkan suami.

Selain peran gender perempuan, cerpen “Rambutnya Juminten”

merepresentasikan juga peran gender laki-laki. Peran gender laki-laki ini adalah peran

gender yang telah ada secara kultural. Peran gender laki-laki ini diterima oleh

perempuan sebagai seorang kepala rumah tangga. Panuwun (suami) bekerja sebagai

(23)

yang otoriter dan egois dalam menampilkan peran dalam rumah tangganya. Juminten

(istri) harus selalu menurut pada keinginannya. Sebaliknya Panuwun tidak pernah

peduli pada keinginan dan kemauan istrinya.

Peran gender laki-laki lainnya adalah Nardi, yang tidak banyak digambarkan

oleh pengarang, peran Nardi hanya sebagai peran tambahan. Nardi adalah lawan

konflik Panuwun karena Nardi (anak majikan Panuwun dan orang tua Juminten)

menyenangi Juminten dengan rambut panjangnya, yang menurut Nardi, Juminten

seperti Nawang Wulan (putri kahyangan). Karena ketertarikannya itu, Nardi berani

menggoda Juminten, bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika

Juminten mencuci di pancuran. Keberaniaan Nardi menggoda Juminten menimbulkan

kecemburuan Panuwun, sehingga Panuwun melarang istrinya keluar rumah.

Keberterimaan, kegagalan dan keberhasilan peran gender laki-laki dan

perempuaan seperti diuraikan di atas ditentukan oleh relasi gender. Relasi gender

berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan

sebagai kelompok sosial. Relasi gender ini dijalankan melalui peran masing-masing

individu. Pasangan peran dasar dalam berinteraksi tersebut adalah pasangan peran

laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya berdasarkan pada jenis kelamin, tetapi

juga pada perkembangan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat. Relasi gender

ini bisa tidak imbang atau tidak adil, dan bisa juga imbang atau adil. Perempuan yang

menerima peran gender tradisional pada umumnya tidak mempersoalkan imbang

tidaknya atau adil tidaknya relasi gender. Sedangkan perempuan yang menerima

(24)

tidaknya dan adil tidaknya relasi gender. Ketidakseimbangan atau ketidakadilan relasi

gender ini ditandai oleh dominasi laki-laki pada perempuan, pelabelan negatif

terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan keseimbangan

atau keadilan relasi gender antara lain ditandai oleh kemitrasejajaran laki-laki dan

perempuan.

Perempuan yang menerima peran gender tradisional seperti Juminten tidak

mempertanyakan dan memperhitungkan relasi gender. Dia pasrah dengan keadaannya

dan menerima peran gender tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga yang bergerak

di ruang domestik, yaitu mengurus rumah tangga. Juminten menerima apa pun yang

menimpanya termasuk menerima nasib peran kultural seorang ibu rumah tangga yang

memang harus dijalaninya

Peran gender tradisional ditolak oleh Marni sebagai perempuan yang sudah

berpandangan modern. Marni selalu menasehati Juminten untuk menjadi perempuan

yang tidak terlalu menurut kepada suami, apabila tidak sesuai dengan keinginannya,

karena hal itu merupakan penyiksaan pada dirinya.

”Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut ini. Ten,

saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami” (hal 79).

Dalam kehidupan sehari-harinya, Juminten sangat penurut dan mengalah pada

keinginan suaminya. Sikap mengalah untuk menyenangkan hati suami yang

dilakukan Juminten tampak dalam kerelaan Juminten memakai obat penyubur

rambut, meskipun dia selalu mual setiap memakai obat itu, dia alergi terhadap obat

(25)

4.1.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Cerpen “Rambutnya Juminten” sebagai wacana sastra adalah bentuk dari

praktik ideologi gender atau pencerminan dari ideologi gender tertentu. Dari analisis

yang dilakukan, diketahui bahwa wacana cerpen “Rambutnya Juminten”

mencerminkan ideologi gender Ratna Indraswari Ibrahim sebagai seorang feminis.

Pengoperasian ideologi gender ini merupakan proses produksi dan reproduksi

hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan melalui

representasi posisi dari berbagai faktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang

ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”. Posisi-posisi tersebut menentukan

bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi ini dalam arti

siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan,

dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna diinterpretasikan dan

bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen itu secara

keseluruhan. Analisis ini akan menjelaskan bagaimana posisi-posisi ini ditampilkan

secara luas dan akan mengungkap bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan

beroperasi dalam wacana cerpen tersebut (Fairclough, 1998; Mills, 1997).

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, pengoperasian ideologi gender dalam

wacana cerpen “Rambutnya Juminten” adalah sebagai berikut.

Dalam wacana cerpen “Rambutnya Juminten” perempuan ditampilkan

sebagai “objek penceritaan” dan bukan “subjek penceritaan” karena itu sebagai objek

representasi, perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan,

(26)

gender yang dikemukakan pengarang “Ratna Indraswari Ibrahim” bagaimana dia

mengungkap jenis-jenis ideologi gender dalam cerpen tersebut. Jenis ideologi gender

tersebut terdiri atas (1) Ideologi Patriarki; (2) Ideologi Familialisme; (3) Ideologi

Ibuisme; dan (4) Ideologi Umum, serta ketidakadilan gender. Di bawah ini akan

dikupas jenis ideologi mana yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”,

termasuk ketidakadilan gender.

4.1.3.1Ideologi Patriarki

Dalam masyarakat kuno yang menganut paham patriarki, sang ayah

mempunyai hak mutlak atas anggota keluarganya. Sebagai kepala keluarga ia

memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga istri, perempuan

simpanan, dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123). Dalam masyarakat sekarang

juga masih ada hak kepemilikan laki-laki atas perempuan bahkan dalam masyarakat

patriarki masih terdapat ideologi yang menganggap bahwa perempuan sesudah

menikah menjadi milik suaminya, dan anak perempuan milik ayahnya, istri adalah

milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, termasuk pribadi si istri,

suamilah yang menentukan. Hal ini terlihat pada pemerian dan dialog antara

Panuwun (suami) dengan Juminten (istri).

Sementara itu semua perempuan di desa ini memotong rambutnya semodel Marni, Juminten yang tidak tahan terhadap aroma rambut itu ingin memotong rambutnya semodel Marni (hal. 79).

Tapi apa kata suaminya.

“Saya tidak akan mengizinkan kamu memotong semodel Marni. Sebagai suami

saya kan tahu model apa yang pantas untuk istriku. Ten kau dandan untukku!”

(27)

Dalam hal ini Panuwun, suami Juminten, digambarkan sebagai seorang

laki-laki yang berwatak otoriter dan egois. Panuwun adalah laki-laki-laki-laki yang tidak mau

peduli akan keinginan-keinginan istrinya, istri adalah milik suami!

Peristiwa yang dialami Juminten sebagai objek penceritaan dalam cerpen ini

adalah menerima dan menurut atas keinginan suaminya untuk memanjangkan

rambutnya. Usaha memanjangkan rambut ini tidak sia-sia. Setelah rambutnya

panjang, bukan hanya Panuwun yang memuji dirinya cantik, orang-orang di

kampungnya pun memujinya.

Suatu kali sewaktu nonton layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang bilang, “Ten, kok rambutnya sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal. 80)

Pujian terhadap Juminten ternyata merupakan awal dari konflik dalam cerpen

ini. Konflik diawali oleh ketertarikan Nardi (anak majikan Panuwun dan ayah

Juminten) pada Juminten yang rambutnya panjang. Menurutnya, Juminten cantik

seperti Nawang Wulan. Karena ketertarikannya, Nardi berani menggoda Juminten,

bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika Juminten sedang

mencuci di pancuran. Keberanian Nardi menggoda Juminten menimbulkan

kecemburuan Panuwun. Akhirnya, Panuwun melarang istrinya keluar rumah.

“Ten ada yang bilang setiap kamu mencuci di pancuran, Nardi pasti

mengajakmu ngomong, iya kan? Jadi, mulai sekarang kamu tidak perlu mencuci di pancuran. Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan keluyuran!”

Juminten sempat membantah suaminya, “Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.”

“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar” (hal.81).

Tindakan Panuwun ini menunjukkan bahwa Juminten itu adalah

(28)

bagaimana kokohnya pendirian Panuwun dengan budaya patriarkinya. Kata-kata

pokoknya sangat menentukan bagi Panuwun dalam hal melarang istrinya supaya

menurut. Di satu pihak Juminten tidak setuju akan tindakan Panuwun, di lain pihak

dia takut pada Panuwun. Ketidaksetujuan Juminten terhadap tindakan Panuwun

tampak pada sikap Juminten ketika Marni memprotes tindakan Juminten sebagai

sikap yang keterlaluan karena mengorbankan diri sendiri. Juminten bergeming

terhadap ucapan Marni. Ketidaksetujuan ini bercampur dengan ketakutan dalam diri

Juminten sehingga menimbulkan konflik internal yang tampak ketika Marni

mengajak latihan kasti. Tanggapan Juminten sebagai berikut.

“Marni, saya ingin juga ikut latihan, tapi kalau saya latihan , khawatir Nardi

ikut menonton. Saya takut kalau Kang Panuwun cemburu, dan membunuh Nardi.”

“Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa lagi menasehatimu. Mestinya kan tidak terus menerus mengalah, tapi memberi pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku minta cerai. Kita bukan burung dalam sangkar.”

Juminten merasa omongan Marni itu benar. Tapi Marni sama sekali tidak mengerti. Dia tak ingin suaminya masuk penjara. (hal.82)

Dalam menyelesaikan konflik dalam dirinya, Juminten mengambil keputusan

untuk tetap menuruti kehendak suaminya. Juminten menyuruh Marni untuk mencari

penggantinya dalam latihan kasti.

“Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi,

tolong carikan penggantiku saja.”

“Bodoh kamu, kata Marni teriak. (hal.82)

Pada hakekatnya manusia itu ingin bebas, begitu pula dengan Juminten,

(29)

menginginkan kebebasan. Namun kehendakbebasan ini sering terhalang oleh

norma-norma dan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat yang melingkarinya, yang

telah ditentukan sejak awal. Jadi, ideologi patriarki menekankan dominasi laki-laki

cenderung menjadikan perempuan inferior. Hal ini tampak dalam relasi laki-laki dan

perempuan dalam kehidupan keluarga. Perempuan selalu “tersubordinasi.”

4.1.3.2 Ideologi Familialisme (Kekeluargaan)

Ideologi Familialisme adalah ideologi yang mengonstruksi perempuan untuk

berperan di dalam rumah tangga sebagai ibu rumah tangga yang baik dan ibu yang

baik. Sebagai istri yang baik perempuan harus dapat mendampingi suami untuk

mencapai cita-cita kehidupannya. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam bersikap

dan bertingkah laku, budaya familialisme ini sudah ditanamkan sejak dini pada

perempuan.

Sebagai seorang perempuan dan sebagai istri, Juminten selalu berusaha

untuk menyenangkan suami, karena itu dia selalu menurut apa kata suami, dan

walaupun dia tidak setuju akan kehendak suami ia tetap mengalah demi

menyenangkan suami. Juminten tokoh utama dalam cerpen ini adalah perempuan

yang mewakili sosok kehidupan masyarakat yang berlaku umum, yaitu berwatak

penurut, mengalah, dan pasif. Juminten adalah wakil dari stereotip perempuan dalam

masyarakat yang dikehendaki masyarakat patriarkis. Dalam budaya Sunda ada

pepatah “awewe mah dulang tinande” artinya “perempuan itu harus pasrah dan

menerima’’, apa lagi jika hal itu sudah berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan

(30)

dilakukan Juminten, tampak pada kerelaannya memakai obat penyubur rambut,

walaupun dia selalu mual setiap kali memakai obat itu, bahkan dia alergi terhadap

obat itu. Karena Panuwun menyukai aroma obat itu bila sudah melekat pada rambut

Juminten, maka Juminten selalu tidak lupa meminyaki rambutnya dengan obat itu,

terutama menjelang kepulangan Panuwun dari tempat kerjanya.

Sore ini waktunya Panuwun pulang ke rumah. Sejak tadi, dia sudah memasak masakan kesukaan Panuwun. Dan meminyaki rambutnya. (hal. 79).

Meminyaki rambut dengan obat penyubur rambut bagi Juminten sama artinya dengan memasak makanan kesukaan suaminya. Apa pun yang disukai suaminya, pasti akan dipenuhi dan dilakukan. Bahkan... kalau saja dia tahan dengan bau obat rambut itu... mungkin seumur-umur hidupnya, dia akan memakai obat rambut itu. (hal 80).

Pandangan gender terlihat pula pada kepatuhan Juminten untuk tidak keluar

rumah karena dilarang suaminya. Istri yang baik harus mendukung suami dalam

segala hal. Konsep normatif ini merupakan salah satu bentuk ideologi familialisme.

Ideologi familialisme yang digambarkan dalam cerpen ”Rambutnya Juminten”

mengonstruksi perempuan berperan di dalam rumah tangga, menurut, mengalah, dan

selalu harus bisa menyenangkan suami.

Juminten sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia istri yang bahagia?

Sebab setiap dua minggu sekali Panuwun yang bekerja sebagai buruh pabrik di kota,

kalau pulang ke rumah tak lupa membawa oleh-oleh kesukaannya. Dan kali ini

Panuwun membawa obat penyubur rambut, yang aromanya kalau sudah melekat di

rambutnya disukai Panuwun.

(31)

“Ni, setiap pakai obat penyubur rambut ini, saya kok mual dan pusing,” kata

Juminten.

“Itu berarti kamu alergi. Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat

penyubur rambut. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami.” (hal 79).

Konflik internal dalam diri Juminten tentang kebahagiaan rumah tangganya

dengan Panuwun selalu menimbulkan pertanyaan pada dirinya sendiri. Panuwun baik

dan perhatian terlihat dari pemerian yang menyatakan bahwa Panuwun selalu

membawa oleh-oleh kue kesenangannya. Suatu saat, Panuwun membawa oleh-oleh

obat penyubur rambut. Juminten sebetulnya alergi terhadap obat rambut itu, tapi dia

tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panuwun menyukai aroma obat itu. Intinya dia

ingin selalu menyenangkan suami, walaupun dia menyiksa dirinya sendiri. Saran

Marni supaya tidak menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami tidak membuat

Juminten berubah sikap, padahal menurut Marni sikap Juminten yang selalu ingin

menyenangkan Panuwun adalah sikap yang keterlaluan, karena sudah menyiksa diri,

sikap inilah yang membuat Juminten termarginalisasi.

4.1.3.3 Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme adalah ideologi yang merupakan kombinasi nilai borjuis

Belanda dan nilai priyayi di Indonesia yang menyetujui tindakan apa pun yang

diambil seorang perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas sosial, atau pemisahan

tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise sebagai imbalan. Onghokham (1991)

mengemukakan bahwa nilai kecil borjuis Belanda ini merupakan adopsi dari moral

Victorian yang diciptakan untuk mengontrol kualitis bangsawan Inggris pada masa

(32)

seksual dan larangan terhadap Ratu dengan seorang suami dan anak-anak dinilai

sebagai model keluarga ideal. Nilai ini berkembang sampai ke seluruh Eropa abad

ke-19 yang kemudian dibawa ke negara-negara jajahan di antaranya sampai ke

Indonesia. Di Indonesia moral ini bertemu dengan moral priyayi yang dipertahankan

untuk mengatur kehidupan perempuan. Lebih lanjut Mies (1986) dan Jayadiningrat

(1987) menyatakan bahwa selama Orde Baru ideologi ibuisme negara dominan sekali

di Indonesia. Ideologi ibuisme ini mudah menjadi bagian dari realitas budaya

masyarakat sekaligus juga sebagai budaya sesuai negara. Konsep “kodrat” digunakan

oleh pemerintah Orde Baru untuk mengonstruksi ideologi “ibuisme”. Sementara

konsep perempuan sebagai istri dan ibu dimanipulasi untuk membatasi ruang gerak

perempuan

Dari pemerian cerita tergambar tokoh Juminten aktivitas sehari-harinya adalah

memasak, mencuci, dan mengurus urusan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah

tangga. Selain pemerian tersebut, dari percakapan dialog-monolog tergambar

aktivitas Juminten lainnya, yaitu ikut kegiatan PKK di desanya, sebagai anggota tim

kasti. Kegiatan satu-satunya bagi Juminten di sektor publik ini, adalah bias gender,

karena pada umumnya, seperti yang diamati dalam kehidupan masyarakat, kegiatan

PKK cenderung melanggengkan sistem nilai patriarkis yang termanifestasi dalam

Panca Dharma Wanita (5 dasar hak dan kewajiban wanita). Rumusan Panca Dharma

Wanita ini mengadopsi nilai tradisi agama dan nilai kecil borjuis Belanda yang

membatasi peran dan tugas perempuan, yaitu (1) mendampingi suami; (2)

(33)

(4) pencari nafkah tambahan; dan (5) sebagai anggota masyarakat, terutama sebagai

anggota organisasi perempuan yang bergerak dalam badan-badan sosial. Dengan

demikian, peran dan posisi perempuan yang hanya bergerak di sekitar domestik

tersubordinasi di bawah bayang-bayang kekuasaan suami atau laki-laki. Masalah

perempuan dianggap masalah yang khas, karena itu yang laki-laki tak perlu

bertanggung jawab. Padahal sumber penindasan dan ketidakadilan terhadap

perempuan bersumber dari budaya patriarkis.

Sebagai istri yang baik, perempuan harus mampu menjadi ibu rumah tangga

yang baik pula. Istrilah “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah tangga” yang

melekat pada istri, yang lebih berkonotasi pengabdian dan pelayanan. Seperti apa

yang dikatakan Panuwun pada Juminten tentang perilaku dandan dan bersolek.

Berkali-kali Penuwun mengucapkan,

“Kamu bersolek untuk suami, iya kan?” (hal. 78) “Ten, saya kira kau bersolek untuk suami!” (hal. 84)

Sikap Panuwun di atas merepresentasikan pandangan gender yang

memposisikan laki-laki yang berkuasa atas istri. Adapun keputusan yang diambil

Juminten tampak sangat dipengaruhi oleh perbedaan gender (stereotip) dan peran

gender yang diembannya seperti yang berlaku di masyarakat. Akibat stereotipnya

yang penurut, mengalah, pasrah, dan akibat dari perannya yang “ibu rumah tangga”

dan “pelayan suami,” yang posisinya “subordinat” dan tidak punya kekuatan,

(34)

dan nilai-nilai masyarakat. Jadi, jelas cerpen “Rambutnya Juminten,”

merepresentasikan ideologi gender. Juminten terdiskriminasi.

4.1.3.4 Ideologi Umum

Ideologi umum adalah ideologi yang menekankan nilai pingitan (seclusion)

perempuan, pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu (exclusion), dan

pengutamaan feminitas perempuan. Dikotomi laki-laki dan perempuan yang hierarkis

menyebabkan pembagian kerja secara seksual, yaitu menempatkan laki-laki di sektor

publik dan perempuan di sektor domestik. Pembagian kerja ini sudah disosialisasikan

dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi. Hal ini memperkuat kenyataan

bahwa tempat yang ideal bagi perempuan adalah di sektor domestik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang

direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menunjukkan betapa

berkuasanya Panuwun untuk melarang Juminten tidak boleh keluar rumah tanpa

seizin suami dan tanpa didampingi suami.

“... Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan kluyuran!”

“Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan

kasti.”

“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar!” (hal. 81)

Tindakan Panuwun mengucilkan istrinya ini didengar oleh masyarakat

desanya secara luas, yang memunculkan dua kubu pendapat di desanya, dalam arti

ada yang pro dan ada yang kontra, yang pro menilai “tindakan Panuwun benar,

karena suami berhak menyuruh istrinya diam di rumah” sedangkan yang kontra

(35)

“Panuwun itu suami yang kejam. Bayangkan di zaman modern seperti ini, di

mana kaum perempuan perlu banyak keluar untuk belajar di PKK, di pengajian, dan ikut olah raga, bisa-bisanya dia mengurung Juminten.” (hal. 81)

Dalam cerpen ini diceritakan mengenai hal-hal tidak enak yang dirasakan

Juminten dalam memenuhi keinginan suami. Hal-hal tidak enak tersebut ditahan

Juminten sebenarnya semata-mata demi memenuhi norma masyarakat. Norma

masyarakat yang dimaksud adalah norma bahwa istri harus mematuhi suami dan

norma bahwa istri adalah pelayan suami. Contoh lain, dalam masalah latihan kasti,

Juminten mengambil keputusan dengan menyuruh Marni mencari pengganti lain.

“Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi,

tolong carikan pengganti saja.” (hal. 82)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang

direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menekankan pengucilan

perempuan dari bidang-bidang tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja secara

seksual, yaitu ruang publik merupakan dunia laki-laki, dan ruang domestik

merupakan dunia perempuan. Juminten “terepresi” yang diakibatkan ketidakadilan

gender.

4.2 Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”

Judul : “Mbok Nah 60 Tahun”

Pengarang : Lea Pamungkas

Antologi : “Laki-laki yang Kawin dengan Peri”

(36)

Ikhtisar

Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Mbok Nah yang

berumur 60 tahun. Ia mempunyai suami bernama Marno yang berumur lebih muda 20

tahun. Pekerjaan sehari-hari Mbok Nah berjualan jamu. Mbok Nah mempunyai

langganan yang banyak. Salah seorang langganannya adalah Meri. Meri adalah

seorang waria, nama sebenarnya Rukman. Meri tinggal di depan rumah Mbok Nah.

Dia indekos di rumah itu, pekerjaannya pagi-pagi mengamen dan malam hari bekerja

sebagai penjaja seks di sebuah taman kota. Mbok Nah dan Meri cukup akrab, karena

kalau Mbok Nah menjual jamu pada Meri, sering tertahan di kamar Meri, karena

Meri sering bercerita tentang pengalaman-pengalamannya.

Akhir-akhir ini Mbok Nah menghadapi masalah dari kelakuan suaminya.

Marno sering berangkat menarik becak lebih siang, padahal sudah berdandan sejak

pagi. Setiap Mbok Nah selesai mengantar jamu pada langganannya dan hendak

mengantar jamu ke kamar Meri, Mbok Nah selalu melihat suaminya itu tersenyum

malu-malu ketika Meri keluar dari kamarnya.

Pada suatu malam Mbok Nah dan suaminya kaget mendengar ketukan pintu,

ternyata Meri. Ia muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah dan Marno untuk

merawatnya. Ternyata sakit Meri tidak seringan yang diduga Mbok Nah dan Marno,

sehingga akhirnya Meri tinggal di rumah Mbok Nah.

Setelah sembuh Meri tetap tinggal di rumah Mbok Nah. Ia banyak membantu

Mbok Nah, segala keperluan Mbok Nah dibereskan, termasuk jamu-jamu yang akan

(37)

begitu saja menemukan anak yang tak pernah singgah di rahimnya. Mbok Nah tak

bereaksi pada omongan-omongan tetangganya tentang Meri dan Marno, malahan ada

yang terus terang bahwa Meri adalah gendakannya Marno.

Pada suatu hari, ketika Mbok Nah pulang menjaja jamu, terdengar dari kamar

belakang suara Meri dan Marno yang mengingatkannya pada malam-malam

kebersamaannya dengan Marno. Walaupun marah, Mbok Nah bersikap seolah-olah

tak ada apa-apa. Besok malamnya Meri meminta maaf, tapi Mbok Nah tak

menanggapinya dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Esoknya lagi ketika

Mbok Nah bangun, dia melihat Marno meringkuk di bawah ketiak Meri yang sedang

tidur pulas di kamar belakang. Mbok Nah berkata, “Bocah-bocah turu kabeh.”

4.2.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Mbok Nah sebagai

tokoh utama. Marno (suami Mbok Nah) merupakan tokoh tambahan. Meri, Jeng Sri,

Zus Marni, Mbakyu Surti, Mbakyu Menuk, dan Nak Wasti adalah para tetangga dan

pelanggan jamu Mbok Nah. Dari pemerian wacana cerpen diketahui bahwa Mbok

Nah yang berumur 60 tahun ini adalah orang yang berwatak tulus, lembut, telaten,

sabar, luwes, dan selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Dilihat dari sudut

gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal yang dikehendaki

budaya patriarkis. Sifat-sifat ini merupakan representasi stereotip gender, yang

menurut Sebatu (1994: 24) merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan

(38)

Profil Marno (suami Mbok Nah) tidak digambarkan secara menyeluruh,

kecuali Marno itu seorang yang mempunyai sifat kekanak-kanakan, sifat ini

mengasosiasikan pada sifat-sifat manja, lemah, dan bergantung pada orang lain. Sifat

ini bertolak belakang dengan stereotip gender. Dengan demikian sifat Marno tidak

merepresentasikan ideologi gender.

Profil Meri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang waria. Meri

berkarakter genit, manja, cerewet, gesit, kuat, terampil, dan rajin. Sifat-sifat Meri

tersebut merupakan perpaduan dari sifat maskulin dan feminin. Ia hadir sebagai sosok

androgini. Istilah ini digunakan oleh ahli psikoanalisis Carl Gustave Jung (Sebatu,

1994: 13) yang menyatakan bahwa androgini ada dalam diri manusia menyatu antara

unsur feminin dan maskulin.

Jung telah membuktikan secara ilmiah tentang sifat androgenitas manusia

tersebut baik secara biologis maupun secara psikologis. Di samping itu mitos dan

perdukunan juga meyakini sifat androgenitas, misalnya dalam budaya Cina diyakini

bahwa manusia terdiri dari unsur yin (maskulin) dan yang (feminin). Dalam sejarah

Indonesia zaman lampau pun dikenal simbol lingga (jantan) dan yoni (feminin),

simbol dari dua unsur ini menyatu dalam diri manusia (Sebatu, 1994:18).

Profil Meri dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ditampilkan pengarang

untuk menyatakan bahwa manusia mempunyai sifat androgini. Kenormalan sifat

androgenitas Meri harus dikaji, karena sifat androgenitas ini memiliki batas-batas

kenormalan. Menurut Sebatu (1994: 116), perempuan pada dasarnya memiliki sifat

(39)

tinggi dari kedua ciri feminin dan maskulin itu. Adapun tokoh Meri yang waria (nama

sebenarnya Rukman) kadar kefemininannya terlalu tinggi, sehingga masyarakat

menganggapnya tidak normal.

Sebatu (1994: 116) menyatakan bahwa jika setiap orang menyadari adanya

kedua unsur tersebut, yaitu maskulin dan feminin dalam dirinya, maka mereka akan

tumbuh menjadi pribadi yang seimbang. Sayangnya ideologi gender telah membatasi

adanya perempuan dan laki-laki dengan salah satu unsur saja yaitu feminin dan

maskulin.

Dilihat dari sudut ideologi gender, sifat profil Meri tidak merepresentasikan

ideologi gender (dalam hal ini stereotip gender), karena dia adalah laki-laki yang

tidak memenuhi kriteria laki-laki yang dituntut masyarakat dengan pandangan

gender.

Adapun profil lain yang digambarkan pengarang dengan tokoh tambahan

adalah Jeng Sri, Mbakyu Surti, Zus Marni, Nak Wasti dan Mbakyu Menuk (tetangga

dan pelanggan jamu Mbok Nah).

4.2.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Dari pemerian cerpen ini tergambar bahwa peran tokoh utama Mbok Nah

adalah peran ganda. Jadi, selain mengurus rumah tangga dia juga bekerja di ruang

publik, yaitu berjualan jamu. Sebagai perempuan yang memilih integritas kultural

terhadap tradisi, Mbok Nah menerima peran ganda ini dengan tulus. Dia menerima

kondisi ini sebagai tugas seorang perempuan berperan ganda, dia tetap bertugas

(40)

yaitu Mbok Nah 60 tahun dan suaminya Marno berumur 20 tahun di bawah Mbok

Nah.

Pekerjaan Marno adalah menarik becak, perwatakannya tidak banyak

digambarkan oleh pengarang, kecuali penggambaran bahwa dia kekanak-kanakan.

Perwatakan ini muncul bisa saja karena dia mempunyai istri yang lebih tua, jadi, dia

manja, lemah, dan ketergantungan kepada orang lain, yaitu kepada Mbok Nah. Dari

pemerian cerita dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini, terlihat bahwa peran Marno

tidak menunjukkan peran gender. Pengarang tidak menggambarkan bagaimana relasi

peran suami-istri antara Marno dan Mbok Nah. Semua penekanan cerita pada tokoh

utama, yaitu Mbok Nah, yang menyadari tentang kondisi ketuaannya sebagai

perempuan. Dalam tradisi Jawa perempuan harus bisa mengurus diri, cantik, untuk

tetap menarik dalam relasi dengan lawan jenisnya. Walaupun pengarang tidak

menyebut lokasi penceritaan, tetapi dari penggunaan bahasa yang sederhana, struktur

kalimat yang tidak kompleks, kosakata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari

yang bermakna denotatif, termasuk di dalamnya memasukkan kata-kata Jawa, seperti

kata pokoke, sampean, turu, tentrem tur besuki, dan lain-lain, menunjukkan bahwa

latar tempat adalah daerah Jawa.

Peran lain yang diceritakan dalam cerpen ini adalah peran Meri (nama asli

Rukman), yaitu seorang waria. Pekerjaan Meri, kalau siang hari mengamen, dan

kalau malam hari menjadi penjaja seks di taman kota. Dia adalah pelanggan baru

Mbok Nah. Anehnya ia selalu memesan jamu-jamu khusus perempuan, yaitu sari

(41)

mempermasalahkan mengapa Meri memesan jamu seperti itu dan Mbok Nah juga

tidak pernah memasalahkan apakah Meri itu perempuan atau laki-laki. Mbok Nah

tidak mempedulikan gunjingan-gunjingan tetangga tentang Meri, dan Mbok Nah

tidak menaruh curiga, ketika setiap hari mengetuk pintu kamar Meri (Meri kos di

depan rumah Mbok Nah) untuk mengantar jamu, suaminya yang masih duduk-duduk

di amben depan rumah dan belum berangkat menarik becak, selalu tersenyum

malu-malu. Dalam dua minggu ini Mbok Nah bingung memikirkan tingkah laku suaminya

yang selalu menarik becak lebih siang, padahal dia sudah dandan dari sejak pagi.

Mbok Nah selalu menegur suaminya itu dengan lembut, namun suaminya selalu

mengulur waktu. Sikap Mbok Nah yang sabar, lembut, telaten, dan pasrah pada

suaminya menunjukkan bahwa Mbok Nah adalah figur perempuan Jawa dengan

budaya tradisionalnya. Di samping itu dia menyadari dirinya sebagai seorang

perempuan tua yang tidak menarik lagi, keriput dan legam.

Belakangan ini Mbok Nah memergoki perselingkuhan suaminya dengan Meri

secara terang-terangan. Mbok Nah terluka, namun perasaan itu tidak diungkapkannya

dan tidak ditunjukkannya. Ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tak mau

membicarakan persoalan atau kemarahan terbuka. Dari latar belakang cerpen yang

berkultur Jawa bisa diketahui bahwa sikap Mbok Nah di atas dipengaruhi oleh latar

belakang sosial budayanya sebagai seorang Jawa. Dalam kultur Jawa ada stereotip

yang menabukan perempuan mengemukakan perasaan secara terang-terangan. Selain

itu di depan suami, perempuan dituntut selalu bersikap manis, tak peduli sedih atau

(42)

Dalam menyikapi perselingkuhan suaminya, Mbok Nah tidak menyalahkan

suaminya yang jelas-jelas bersalah, malah ia mencari kesalahan pada dirinya. Ia

berkesimpulan bahwa ketuaan dirinyalah yang menyebabkan perselingkuhan

semuanya. Sementara perempuan dituntut untuk selalu menyenangkan suami dengan

selalu tampil cantik. Tuntutan tersebut lahir dari bentukan sosial budaya. Dalam hal

ini Mbok Nah tak memiliki jalan lain kecuali menerima perselingkuhan itu, agar ia

tak berkonflik dengan perasaannya dan dapat memaafkan perselingkuhan tersebut.

Sikap nrimo dijadikan jalan untuk menyelesaikan masalah. Sikap nrimo juga

dipengaruhi oleh kultur Jawa. Kultur Jawa memosisikan perempuan serba nrimo,

tabah, sabar, dan mau menderita, yang luluh dalam hukum-hukum sosial yang

berlaku di masyarakat, yang pada dasarnya tidak adil terhadap perempuan.

4.2.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini akan dibahas mengenai posisi dari

berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan

bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi inilah yang

menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi

“objek” penceritaan, dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna

diinterpretasikan, dan bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana

cerpen secara keseluruhan. Berdasarkan analisis (Fairclough dan Mills) akan

dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan secara luas dan akan menyingkapi

(43)

tersebut. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, ideologi gender dalam cerpen

“Mbok Nah 60 Tahun” digambarkan sebagai tokoh utama.

Dalam kajian cerpen ini “Mbok Nah” ditampilkan sebagai objek penceritaan.

Mbok Nah sebagai perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan

penceritaan dan tidak bisa menampilkan bahan penceritaan dan tidak bisa

menampilkan dirinya sendiri. Hal ini tampak pada ideologi gender yang

dikemukakan pengarang Lea Pamungkas yang feminis, bagaimana dia mengungkap

jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender dalam cerpen ini.

4.2.3.1 Ideologi Patriarki

Mbok Nah adalah figur seorang perempuan yang diketahui berwatak tulus,

lembut, sabar, telaten, tak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain, dan tak

suka menilai orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat seperti ini adalah

sifat-sifat perempuan ideal, sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat patriarkis.

Sifat-sifat tersebut merupakan representasi dan stereotip perempuan. Stereotip

tersebut merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, tokoh Mbok

Nah ini merepresenasikan ideologi gender sebagai objek penceritaan.

Tokoh subjek Marno dalam cerpen ini tidak digambarkan secara jelas. Marno

suami Mbok Nah yang lebih muda 20 tahun dari Mbok Nah tidak digambarkan secara

utuh. Gambaran yang dikemukakan pengarang sebatas figur suami yang seenaknya

dewek, dalam arti sama sekali tidak menaruh perhatian pada istrinya. Sikap

kekanak-kanakan Marno mungkin saja disebabkan karena dia mempunyai istri lebih tua.

(44)

kepada suaminya. Dari pemerian cerita dalam cerpen ini bisa diinterpretasi bahwa

tidak ada komunikasi yang baik antara Mbok Nah dan suaminya. Ketidakpedulian

Marno kepada istrinya (walaupun tidak diungkap oleh pengarang) menunjukkan

bahwa Marni berkuasa atas Mbok Nah. Lebih jelasnya Marno berposisi superior dan

Mbok Nah berposisi inferior, padahal sifat Marno itu tidak mempresentasikan

ideologi gender, jadi dia berkuasa secara psikis atas Mbok Nah, bukan secara

biologis. Dalam dua minggu ini Mbok Nah lagi bingung melihat gelagat Mas Marno

suaminya.

Yang bikin bingung, ya ini, Mas Marno, Si Kuku Bimanya. Hati Mbok Nah kebat kebit. Mas Marno tersayang kini sering berangkat menarik becak lebih siang. Padahal pagi-pagi dia sudah dandan. Rambutnya sudah lengket berkilat oleh pomade, celana pendek jins juga sudah dipakainya. Becak pun sudah di pinggir jalan. Tapi Marno Cuma duduk-duduk di amben depan rumah. Wajahnya jernih kekanakan menatap ke depan.

“Lho ndak berangkat toh Mas... nanti ndak bisa ngantar anak-anak yang mau sekolah.” lembut Mbok Nah menyapa. Kopi dan goreng pisang yang disuguhkannya sudah ludas. “Nanti sebentar lagi Nah.” Dan itu Jawaban Marno setiap kali, bahkan walau tak ditanya Mbok Nah. Ya sudah, Mbok Nah tak bisa menunggu sampai Marno pergi. (hal 96-97).

Kebingungan Mbok Nah akibat sikap suaminya ini memunculkan konflik

dalam cerpen ini.

Mbok Nah tak menaruh curiga, ketika setiap kali ia mengetuk pintu kamar Meri

(waria yang kos di depan rumahnya) dan Meri keluar dari kamarnya, Marno,

suaminya selalu tersenyum malu-malu. “Halo Mbok Nah, dagg Mas Marno.” Begitu setiap pagi dan Mbok Nah tak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang pasti pendapatan Marno dua minggu terakhir ini surut banyak. Mbok Nah harus ngutang sana-sini untuk makan atau bahan pembuat jamu. (hal. 98).

Dari pemerian dan dialog pendek antara Mbok Nah dan Marno tergambar

(45)

Mbok Nah telah memulai pergi menjajakan jamu termasuk kepada Meri yang

selanjutnya diketahui bahwa Marno berselingkuh dengan Meri. Frase tersenyum

malu-malu menunjukkan bahwa hati Marno berbunga-bunga akan berkencan dengan

Meri, bukan dengan Mbok Nah, walaupun Sebenarnya Mbok Nah sangat kesengsem

oleh senyum malu-malu Marno (hal. 98). Ternyata senyum itu bukan buat Mbok Nah,

tetapi buat Meri. Mbok Nah tersubordinasi.

4.2.3.2 Ideologi Familialisme

Sebagai seorang istri walaupun Mbok Nah lebih tua 20 tahun dari suaminya,

ia berusaha selalu ingin menyenangkan suaminya. Setiap pagi sebelum dia

menjajakan jamu, Mbok Nah menyediakaan sarapan pagi buat suaminya, walaupun

hanya berupa kopi dan pisang goreng. Mbok Nah berusaha berbuat taat dan setia pada

suaminya. Kegiatan Mbok Nah sebenarnya berperan ganda, dalam arti dia berfungsi

sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai pencari nafkah. Sejak pagi dia sudah mulai

menjajakan jamu kepada langganan-langganannya. Dalam dua minggu ini ia

mempunyai langganan baru seorang waria yang kos di depan rumahnya. Waria

namanya Meri dan nama sebenarnya adalah Rukman. Anehnya Meri ini selalu

membeli jamu singset dan sari rapet, selain itu dia juga membeli jamu kuat majun.

Tetapi Mbok Nah tidak pernah mempermasalahkan mengapa Meri membeli kedua

jenis jamu itu, yaitu jamu untuk perempuan dan jamu untuk laki-laki. Meri akrab

dengan Mbok Nah, karena kalau Mbok Nah datang ke kamar Meri untuk

mengantarkan jamu pesanan Meri, Meri suka bercerita tentang

(46)

Suatu malam Meri muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah. Mbok Nah

dan Marno menolong Meri, merawatnya di rumah mereka hingga lebih dari

seminggu, hingga Meri sembuh. Kesembuhan Meri membuat Mbok Nah lega.

Adanya Meri di rumah Mbok Nah membuat kehangatan tersendiri bagi Mbok Nah. Ia

seperti mendapatkan anak begitu saja. Ia tidak pernah mempersoalkan sekalipun ia

sering melihat Meri dan Marno saling cubit dan bermain kaki di bawah meja. Naluri

keibuannya membuatnya ia sabar, dan tidak peduli akan kelakuan suaminya dan

Meri.

Sebetulnya kesembuhan Meri membuat pekerjaan Mbok Nah banyak terbantu. Ternyata Meri itu seorang yang gesit dan kuat; terampil memasak, membelah kayu bakar, sampai menumbuk dan menggodok racikan jamu Mbok Nah. Pagi hari secangkir kopi hangat sudah terhidang buat Mbok Nah, saat sore datang: nasi panas, sambal terasi, dan ikan asin spesial dibikin. (hal 100).

Hal ini membuat Mbok Nah merasa menemukan anak yang tak pernah hadir

di rahimnya, menurut perasaannya anak itu hadir begitu saja di hadapannya. Tingkah

laku Meri dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga Mbok Nah adalah

untuk menitipkan dirinya karena ia banyak dibantu oleh Mbok Nah dan Marno.

Cerpen ini memerikan bahwa

Pada suatu sore Mbok Nah melihat becak Marno sudah nangkring di bawah

pohon jambu klutuk depan rumah... Dari kamar belakang dia mendengar suara Marno dan suara Meri. Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno.

Mbok Nah tercenung... Pandangannya jatuh pada tangannya yang keriput dan legam. Mbok Nah menarik nafas. (hal 100-101).

Marno yang diceritakan sebagai orang yang kekanakan, dalam pemerian di

Gambar

Tabel 5.1. Tahap dan Langkah Kegiatan
Tabel 5.2. Langkah-langkah Pembelajaran AWKIG
tabel berikut.
Tabel 5.3. Kegiatan Pembelajaran I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan penelitian ini secara garis besar menempuh prosedur yang terdiri atas dua tahapan. Tahapan pertama, peneliti melakukan pengkajian terhadap dwilogi novel Saman

Salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran tersebut adalah dengan memilih model BTL agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan karakter peserta

Dari data hasil kemampuan awal mahasiswa menelaah novel/roman dan naskah drama tersebut, dilakukan tindakan siklus pertama yang dimulai dengan perencanaan untuk

Dengan adanya perlakuan model Creative Problem Solving (CPS) diharapkan indikator-indikator pemahaman konsep siswa dapat meningkat. Pembelajaran Creative Problem

Peta konsep merupakan salah satu cara pembelajaran yang dilakukan untuk memberdayakan kemampuan berpikir tingkat tinggi, karena siswa harus mengkoordinir konsep

Keberhasilan dari kegiatan pembelajaran pengkajian wacana dengan menggunakan model Analisis Wacana Kritis (AWK) Ideologi Feminisme beserta bahan ajarnya terbukti meningkat.Terlihat