• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGUPAYAKAN PENINGKATAN KAPASITAS HAKIM DITINJAU DARI FIQH SIYASAH - Raden Intan Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERANAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGUPAYAKAN PENINGKATAN KAPASITAS HAKIM DITINJAU DARI FIQH SIYASAH - Raden Intan Repository"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGUPAYAKAN PENINGKATAN

KAPASITAS HAKIM DITINJAU DARI FIQH SIYASAH

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna

Penyusunan Skripsi Dalam Ilmu Syariah

Oleh

Sulthan Bin Tahir

NPM : 1421020033

Jurusan : Siyasah

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN

LAMPUNG

(2)

PERANAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGUPAYAKAN PENINGKATAN

KAPASITAS HAKIM DITINJAU DARI FIQH SIYASAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjan Hukum (S.H.)

Oleh

Nama : Sulthan Bin Tahir

NPM : 1421020033

Program Study : Siyasah (Hukum Tata Negara)

Pembimbing I : Dr. H. Bunyana Sholihin. M.Ag. Pembimbing II : Eko Hidayat, S.Sos. M.H

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN LAMPUNG

(3)

ABSTRAK

Dalam konteks untuk mendorong lahirnya hakim-hakim sesuai tuntutan KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim) ,maka kehadiran undang-undang nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khususnya ketentuan pasal 20 ayat (2) telah memberi ruang dan peluang yang luas bagi Komisi Yudisial untuk makin fokus dan berkontribusi maksimal dalam mewujudkannya melalui tugas mengupayakan peningkatan kapasitas hakim

Rumusan masalah didalam skripsi ini adalah mengenai tentang bagaimana Peran Komisi Yudisial dalam meningkatkan kapasitas hakim dan bagaimana analisis siyasah tentang Peran Komisi Yudisial dalam meningkatkan kapasitas hakim. Adapun tujuan dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui dasar Peranan Komisi Yudisial dalam meningkatkan kapasitas hakim dan analisis Fiqh siyasah terhadap peran Komisi Yudisial dalam meningkatkan kapasitas hakim.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), penelitian yang diarahkan dan difokuskan untuk menelaah dan membahas bahan-bahan pustaka baik berupa buku, jurnal, yang sesuai dengan pokok masalah yang diteliti. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yaitu menggambarkan secara objektif materi yang diteliti. Analitik dipergunakan untuk mendapatkan dan mengetahui implikasi dari peranan komisi yudisial.

(4)

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Let. Kol H. EndroSuratminSukarame Bandar Lampung Telp. 0721 703260

PERSETUJUAN

Tim Pembimbing, setelah mengoreksi dan memberikan masukan-masukan secukupnya, maka skripsi saudara.

Nama : Sulthan Bin Tahir

NPM : 1421020033

Jurusan : Hukum Tata Negara(Siyasah Syar’iyyah) Fakultas : Syari’ah

Judul : Peranan Komisi Yudisial Dalam Meningkatkan Kapasitas Hakim Ditinjau Dari Fiqh Siyasah

MENYETUJUI

Untuk dimunaqasyahkan dan dipertahankan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Bunyana Sholihin, M.Ag Eko Hidayat, S.Sos., M.H

NIP.195707051989031001 NIP. 197512302003121002

Mengetahui

Ketua Jurusan Hukum Tata Negara

(5)

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Let. Kol H. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung Telp. 0721 703260

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul : Peran Komisi Yudisial Terhadap Peningkatan

Kapasitas Hakim Ditinjau Dari Fiqh Siyasaholeh Sulthan Bin Tahir,

NPM.1421020033, Program Studi :Hukum Tata Negara (SiyasahSyar’iyyah),

telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan

Lampung, pada hari/tanggal:. Selasa, 17 Juli 2018

TIM DEWAN PENGUJI

Ketua sidang : Marwin, S.H., M.H. (………..….)

Sekretaris : Herlina Kurniati, S.H.I., M.E.I. (………..….)

Penguji I : Dr. Hj. Zuhraini, S.H., M.H. (……….…..)

Penguji II : Dr. H. Bunyana Sholihin, M.Ag. (………...)

DEKAN

(6)

Motto

اوُمُك ْحَت ْنَأ ِساَّنلا َنْيَب ْمُتْمَكَح اَذِإ َو اَهِلْهَأ ىَلِإ ِتاَناَملأا اوُّد َؤُت ْنَأ ْمُكُرُمْأَي َ َّاللَّ َّنِإ

َّنِإ ِلْدَعْلاِب

اًري ِصَب اًعيِمَس َناَك َ َّاللَّ َّنِإ ِهِب ْمُكُظِعَي اَّمِعِن َ َّاللَّ

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di

antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah

memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah

Maha mendengar lagi Maha melihat”.

(Q.S An-Nisa’ :58)1

1

(7)

PERSEMBAHAN

Sembah sujudku kepada Allah SWT dan Shalawat serta salam tercurahkan

kepada Nabi Muhammad SAW semoga kita mendapatkan Syafaatnya. Ucapan

terima kasih ku kupersembahkan kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini kupersembahkan kepada :

1. Kepada kedua orang tuaku tercinta Ayahanda H. Tahir dan Ibundaku Hj.

Wahida, atas ketulusan mereka dalam mendidik, membesarkan, dan

membimbing Penulis, dengan penuh kasih dan sayang, sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan di UIN Raden Intan Lampung.

2. Kepada keluarga ku yang dimanapun berada, terima kasih atas doa dan support

yang telah kalian berikan.

3. Sahabat-sahabat perjuanganku di UIN Raden Intan terutama yang berada

dikelas Siyasah B,Yan, Rendi, Faisal, Alba, Alfiyan, Teguh, Wulan, Dewi,

Fitri, dan tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

4. Sahabat-Sahabatku diPMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).

5. Sahabat-sahabat Brudul Squad.

6. Sahabatku Mahesa, Bhakti, Syarif, bang Dian, dan lainnya.

7. Perempuan sekaligus Kekasihku yang selalu ada disetiap saat yaitu Yessy

Purnamasari.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap Sulthan Bin Tahir, dilahirkan di Malaysia pada tanggal 10

April 1996, anak pertama dan tunggal dari pasangan H. Tahir dan Hj. Wahida.

Untuk pertama kalinya menyelesaikan pendidikan di:

1. SDN 024 Reteh Indra Giri Hilir Riau

2. Min Panjang, Lulus pada tahun 2008

3. Mts N 1 Tanjung Karang, Lulus pada tahun 2011

4. Man 2 Tanjung Karang, Lulus Pada Tahun 2014

Pada tahun 2014, terdaftar sebagai salah satu mahasiswa pada program S1

Siyasah, Fakultas Syariah, IAIN yang sekarang telah menjadi Universitas Islam

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmaanirahim,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

karunianya berupa ilmu, pengetahuan, kesehatan dan petunjuk, sehingga skripsi

ini yang berjudul “PERANAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP

PENINGKATAN KAPASITAS HAKIM “ dapat diselesaikan dengan baik.

Shalawat serta dalam senantiasa kita sanjung agungkan kepada Nabi

Muhammad SAW, beserta para sahabat, dan pengikutnya, semoga kita mendapat

syafa’atnya dihari kiamat nanti.

Skripsi ini ditulis merupakan bagian dari persyaratan untuk menyelesaikan

program Studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung

guna memperoleh Sarjana Hukum (S.H.) dalam ilmu Syari’ah. Atas bantuan

semua pihak dalam proses penyelesaian skripsi ini sesuai dengan waktu yang

tersedia tak lupa dihanturkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H.Moh. Mukri, M.Ag, selaku Rektor UIN Raden Intan

Lampung.

2. Bapak Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah, Bapak Dr.

K.H. Khairudin, M.H. selaku Wakil Dekan I, Bapak Drs. Haryanto, M.H.

selaku Wakil Dekan II, Bapak Drs. H. Chaidir Nasution, selaku Wakil Dekan

III Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung yang senantian tanggap

terhadap kesulitan-kesulitan Mahasiswa.

(10)

4. Bapak H. Bunyana Sholihin., M.Ag. selaku pembimbing I, dan Bapak Eko

Hidayat., S.Sos., M.H. selaku Pembimbing II, yang membantu dan

membimbing dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung serta

Guru-guru yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan serta sumbangan pemikiran

selama bangku kuliah hingga selesai.

6. Bapak dan Ibu staf dan karyawan Fakultas Syriah UIN Raden Intan Lampung.

7. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Siyasah angkatan 2014

8. Teman-teman Kelompok KKN 77 (Kuliah Kerja Nyata) Tahun 2017 Desa

Titiwangi Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan.

9. Untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Skripsi ini dan

teman-teman semuanya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian dan tulisan ini masih jauh dari kata

sempurna. Hal itu tidak lain disebabkan karena keterbatasan kemampuan. Untuk

itu kepada pembaca dapat memberikan masukan dan saran guna melengkapi

(11)

Akhirnya diharapkan betapa kecilnya karya tulis ini (hasil penelitian) ini dapat

menjadi sumbangan yang cukup berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya ilmu-ilmu keislaman.

Bandar Lampung, November 2018

Penulis

Sulthan Bin Tahir

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul ... 1

B. Alasan Memilih Judul... 2

C. Latar Belakang Masalah ... 2

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Peran dan Peranan Komisi Yudisial ...11

B. Peningkatan Kapasitas Hakim ...13

(13)

BAB III PENYAJIAN DATA

A. Sejarah Komisi Yudisial...50

B. Kewenangan, Tugas, dan Fungsi Komisi Yudisial...71

C. Peran Komisi Yudisial Terhadap Peningkatan Kapasitas Hakim...79

BAB IV ANALISIS DATA

A. Peran Komisi Yudisial dalam Mengupayakan Peningkatan

KapasitasHakim...86

B. Peranan Komisi Yudisial dalam Mengupayakan Peningkatan

Kapasitas Hakim dalam Persfektif Fiqih Siyasah...89

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...92

B. Saran ...92

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Penegasan Judul

Penelitian ini berjudul “Peranan Komisi Yudisial dalam Mengupayakan

Peningkatan Kapasitas Hakim Dilihat dari Fiqh Siyasah”. Untuk menghindari

kesalah pahaman terhadap judul dan penilitan ini, maka peneliti akan mengaskan

beberapa istilah, sebagai berikut:

1. Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang

dalam suatu peristiwa atau bagian yang dimainkan seseorang dalam suatu

peristiwa.1

2. Komisi Yudisal adalah suatu lembaga negara yang besifat mandiri dan

dalam pelaksanan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh

kekuasaan lainnya. 2

3. Peningkatan adalah proses, cara, pembuatan, meningkatkan, (usaha

kegiatan dan sebagainya).3

4. Kapasitas adalah ruang yang tersedia, daya tampung, daya serap dan

sebagainya.4

5. Hakim adalah seseorang yang mempunyai fungsi memeriksa dan mengutus

(mengadili) satu perkara. 5

1

Departement Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2008), hlm. 1011

2

Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2004

3

Ibid, hlm, 952 4Ibid

, hlm, 953 5

(15)

6. Fiqh Siyasah adalah salah satu aspek hukum islam yang membicarakan

pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi

mencapai kemashlahatan bagi manusia itu sendiri.6

B.Alasan Memilih Judul

Alasan memilih judul penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. objektif

Bahwa hakim merupakan tonggak hukum dari sebuah perkara hukum, hakim

perlu diawasi dalam setiap perilaku maupun putusannya. Hal ini untuk

mengantisipasi kemungkinan hakim mengabaikan nilai keadilan.

2. subjektif

a. Pembahasan ini sangat relevan dengan disiplin ilmu pengatuhan yang peneliti

pelajari diFakultas Syariah dan Hukum Jurusan Siyasah.

b. Tersedianya berbagai literatul yang memadai sehingga peniliti berkeyakinan

bahwa penilitan ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan.

C.Latar Belakang Masalah

Gagasan tentang perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi

tertentu dalam rana kekuasaan kehakiman sebenarnya bukanlah gagasan yang

sama sekali baru, sejarah mencatat dalam pembahasan RUU Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1968 misalnya, sempat diusulkan

pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim

(MPPH).

6

(16)

Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil

keputusan terakhir menganai saran-saran dan usul-usul yang berkenaan dengan

pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman

jabatan parah hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun Mentri

Kehakiman. Namun, dalam perjuangannya ide tersebut menemui kegagalan

sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang

ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman7

Gagasan tersebut mengalami reinkarnasi, dan kali ini memperoleh rekomendasi

yang cukup ketika UU nomor 35 tahun 1999 adalah perintah bahwa untuk

meningkatkan check and balances terhadap lembaga peradilan antara lain perlu

diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan

transparan oleh masyarakat8.

Hal lain yang menjadi awal bagi gagasan dibentuknya Komisi Yudisial di

Indonesia adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) NO

X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka

Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

Penyalah gunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan

merusak seluruh nilai peradilan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap

peradilan diindonesia sedikit menurun. Dengan keadaan peradilan yang demikian

tidak dapat dibiarkan berlangsung, perlu dilakukan upaya untuk menumbuhkan

kepercayaan terhadap peradilan yang berorientasi pada masyarakat dalam mencari

7

Muh. Busyroh Muqoddas dkk, Laporan akhir pimpinan dan anggota komisi yudisial

periode 2005-2010, hlm, 7.

8

(17)

keadilan dan diperlakukan cara adil dimata hukum sesuai peraturan

perundang-undangan.

Beberapa penyalah gunaan wewenang dalam peradilan disebabkan oleh banyak

faktor, terutama dalam kurang efektifnya peningkatan kapasitas hakim sehingga

tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga

pengawan external didasarkan pada lemahnya peningkatan dan pengawan internal

terhadap lembaga peradilan diindonesia.

Untuk menghindari permasalahan-permasalahan yang ada pada pada saat itu

kalangan pemerihatin hukum dan organisasi non pemerintah mengaggap perlu

dibentuk Komisi Yudisial. Komisi ini nantinya diharapkan dapat memainkan

fungsi-fungsi terntu dalam sistem yang baru, khususnya rekruitmen hakim agung

dan pengawasan terhadap hakim.

Menurut Jimly Ashshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam

struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyrakat diluar

struktural resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,

penilaian kerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksutkan

untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keleluhuran martabat serta prilaku

hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan

ke-Tuhanan Yang Maha Esa.9

Sebagai bagian dari upaya reformasi bidang hukum, pasal 24B

Undang-Undang Negara Republik Indonesia memberikan wewenang kepada Komisi

Yudisial untuk mewujudkan check and balance dalam penyelenggaran kekuasaan

9Jimly Asshhidiqie, “Kata Pengantar” dalam buku A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial &

(18)

kehakiman, menurut ketentuan pasal ini, Komisi Yudisial mempunyai tugas

mengusulkan pengangkatan hakim dan tugas lain dalam rangka menjaga serta

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.10

Komisi Yudisial dibentuk dengan dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam

rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku

hakim. Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang berada diranah kekuasaan

kehakiman sudah seharusnya dapat berperan aktif dalam meningkatkan kapasitas

hakim. Membuat Undang-Undang memandang penting keterlibatan Komisi

Yudisial dalam peningkatan kapasitas hakim, sehingga memberikan tugas kepada

Komisi Yudisial untuk meningkatkan kapasitas hakim melalui perubahan

Undang-Undang.

Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan

atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang

menyatakan bahwa “Komisi Yudisial mempunyai tugas mengupayakan

peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim” berlandaskan ketentuan tersebut,

Komisi Yudisial mempunyai tugas untuk mnegupayakan peningkatan kapasitas

hakim.

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial telah mengupayakan peningkatan

kapasitas hakim secara terus menurus dan berkesinambungan melalui

programnya, yaitu seperti Program Pendidikan Calon Hakim (PPC), Program

Pendidikan hakim Berkelanjutan (CJE), beasiswa sekolah dan diklat kekhususan

10

Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam

(19)

atau sertifikasi bagi tenaga teknis peradilan, menyelenggarakan pelatihan KEPPH,

pelatihan tematik, pelatihan khusus, menyelenggarakan Form yudisial,

menyediakan bahan bacaan terhadap hakim, dan menyediakan situs hakim.11.

Tugas Komisi Yudisial sebagai salah satu lembaga pemerintahan yaitu

menegakkan kehormatan hakim, dan menjaga prilaku hakim dari perbuatan

dilarang agama dan dilarang juga oleh Undang-Undang.

Hal ini sesuai dengan pandangan hukum Islam peningkatan dilakukan untuk

meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi dan memproses cara yang salah

membenarkan yang hak.

Sesuai dengan ayat Al-Quran surat An-Nisa ayat 58 :

                                     Artinya :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa manusia diwajibkan menyampaikan

amanah kepada yang berhak menerimanya dan manusia diwajibkan menetapkan

hukum dengan adil. Perkataan amanah yang secara leksikal berarti “tenang dan

tidak takut”.

11

(20)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pokok

permasalahannya yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana Peran Komisi Yudisial dalam meningkatkan kapasitas Hakim?

2. Bagaimana Pandangan Fiqh Siyasah Terhadap Peran Komisi Yudisial dalam

meningkatkan kapasitas Hakim?

E.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui Peran Komisi Yudisial dalam meningkatkan kapasitas

Hakim

b.Untuk menganalisis Pandangan Fiqh Siyasah Terhadap Peran Komisi

Yudisial dalam meningkatkan kapasitas Hakim

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan sebagai refrensi dan informasi

di Fakultas Syariah dan Hukum diharapkan sumbangsih pemikiran yang

positif serta memberikan kontribusi untuk ilmu pengetahuan hukum, agar

tetap hidup dan berkembang khususnya tentang kehakiman.

b. Secara praktis penelitian memberikan pengetahuan kepada masyarakat

terutama bagi Komisi Yudisial sebagai lembaga yang bertugas melakukan

(21)

F.Metode Penilitan

1. Jenis data dan sumber data

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research),

yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku, literatul

dan menelaah dari berbagai macam teori dan pendapat yang mempunyai

hubungan relevam dengan permasalahan yang diteliti.12

b. Sifat Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis normatif. Adapun bentuk

penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka.13 Dan deskriftif-analistis, penelitian ini dengan

cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut,

kemudian diperoleh kesimpulan.14

2. Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk lebih jelasnya berikut

ini akan diuraikan tentang sumber data tersebut, yaitu :

a. Sumber bahan hukum premier

Sumber yang diperoleh penelitian ini secara langsung yang berasal dari

Al-Quran, Hadist, dan pendapat para ahli, dan Undang-Undang Dasar, beserta

12

Ranny Kautun, Metode Penelitian untuk penulisan Skripsi dan Tesis, (Bandung: Taruna Grafika, 2000), hlm, 38.

13

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Rajawali Pers, 1985), hlm, 15.

14

(22)

Undang-Undang yang berhubungan dengan kajian tentang pengawasan hakim

oleh komisi yudisial dalam persfekti hukum Islam.

b. Sumber bahan hukum sekunder

Sumber data yang diperoleh peneliti secara langsung antara lain mencakup

dokumen-dokumen resmi, buku-buku seperti penemuan hukum oleh hakim

dalam persfektif hukum progresif, upaya mewujudkan hukum yang pasti dan

berkeadilan, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.15

Bahan hukum sekunder diperoleh oleh refrensi, buku-buku, jurnal-jurnal atau

tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui sumber-sumber literature yang

tersedia diperpustakaan dengan cara membaca dan menelaah buku-buku atau

sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah penelitian.

4. Metode Pengelolaan Data

Setelah sumber (literature) mengenai data dikumpulkan berdasakan sumber

diatas, maka langkah selanjutnya adalah pengelolahan data yang diperoses

sesuai dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (editting) yaitu memeriksa ulang, kesesuaian dengan

permasalahan yang akan diteliti setelah data tersebut terkumpul.

b. Penandaan data (coding) yaitu memberikan catatan data yang menyatkan

jenis dan sumber data baik yang bersumber dari al-quran dan hadist, atau

buku-buku literature lainnya yang relevan dengan dengan penilitian.

15

(23)

c. Sistematika data (sistematizing) yaitu menempatkan data menurut kerangka

sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.16

5. Metode Analisis Data

Adapun metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif

dengan pendekatan berfikir secara deduktif adalah secara berfikir yang

berpangkalan kaidah-kaidah yang bersifat umum yang kemudian ditarik untuk

diterapkan kepada kenyataan yang bersifat khusus, dan secara induktif adalah

metode yang merupakan kebalikan dari metode deduktif yaitu secara pola pikir

yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit,

kemudian dari fakta-fakta yang khusus kepada yang bersifat umum.

16ibid,

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Peran dan Peranan Komisi Yudisial

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran adalah pelaku sebagai

tokoh dalam pernanannya, pernah juga dapat dirumuskan sebagai suatu rangakain

prilaku tertentu yang ditimbulkan oleh suatu jabatan tertentu.

Peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang

melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan

suatu peranan.17Hal tersebut sekaligus berarti bahwa peran dan peranan

menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat kepadanya. Peran lebih

banyak menekankan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses.

Unsur-unsur peranan adalah :18

1. Aspek dinamis dak kedudukan

2. Perangkat hak-hak dan kewajiban

3. Perilaku sosial dari pemegang kedudukan

4. Bagian dari aktifitas yang dimainkan seseorang

Sementara peranan itu diatur juga oleh norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat. Jadi seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta

menjalankan suatu peranan. Peranan mencakup tiga hal yaitu :

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian

17

Soejono soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta : Rajawali Pers, 2017), hlm. 210 18

(25)

peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan

bermasyarakat.

2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh

individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi suatu

struktur sosial masyarakat.19

Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga kekuasaan kehakiman,

pertama, komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan proses seleksi

dan menjaring calon anggota Hakim Agung berkualitas, potensial, mengerti

hukum dan profesional. Kedua, Komisi Yudisial diberi kewenangan menjaga dan

menegakkan integritas hakim dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem

peradilan di Indonesia dan menjaga agar hakim dapat menjaga hak mereka untuk

memutus perkara secara mandiri. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin Komisi Yudisal untuk bersifat

mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan

mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta prilaku hakim.20

Indonesia memiliki peran strategis yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan dan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 adalah : Pertama, mengusulkan

pengangkatan hakim agung. Peran tersebut dilakukan untuk menghindari

kentalnya kepentingan politik atau legislatif dalam rekruitmen hakim agung.

19 Ibid.

hlm, 215

20

(26)

Kedua, peran lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

martabat, serta prilaku hakim. Hal itu dilakukan dengan pengawasan eksternal

yang sistematis dan intensif oleh lembaga independen terhadap lembaga peradilan

dengan partisipasi masyrakat yang luas.21

Sebaliknya Komisi Yudisial didalam menjalankan peranannya diberi

kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahakamah Agung dan/ atau

Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi

dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran matabat serta

menjaga perilaku hakim (Pasal 24 UU No 22, 2004).

Peranan KY disini ialah sebagai lembaga pengawas kode etik hakim atau

lembaga penegak kode etik hakim bukan sebagai lembaga pengawas peradilan

atau lembaga kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman itu bersifat bebas dan

merdeka jadi KY tidak dapat mengawasi sampai ke ranah teknis yustisialnya hal

ini sesuai dengan pasal 22 ayat (3) UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi

Yudisial22. Jadi KY bertugas mengawasi para pelaksanaan kode etik dan perilaku

menyimpang dari para hakim dari standart kode etik sebelum pelanggaran kode

etik itu berkembang menjadi pelanggaran hukum sehingga terciptanya system

peradilan yang baik tanpa adanya unsur judicial corruption.

B. Peningkatan Kapasitas Hakim

Hakim merupakan jabatan yang memiliki tanggung jawab untuk menerima,

memproses, dan memutuskan perkara sampai tidak menimbulkan permasalahan

lagi di kemudian hari. Apabila hukumnya tidak jelas, tidak lengkap, atau bahkan

21

Op.cit. Sirajudin dan Zulkarnaen... hlm 73.

22

(27)

tidak ada, maka hakim harus mencari hukumnya atau melakukan penemuan

hukum (rechtsvinding).23 Peran besar hakim tersebut sejalan dengan prinsip

bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya

menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI Tahun 1945) ditentukan adanya suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka

dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Kekuasaan Kehakiman berikut

dengan hakimnya diatur dalam BAB IX UUD NRI Tahun 1945 mengenai

Kekuasaan Kehakiman yakni dalam Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24C, dan Pasal 25.

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5076), yang dimaksud dengan hakim adalah:

“ Hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan

hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”.

Status hakim sebagai pejabat negara pada awalnya diatur dalam Pasal 1 angka

1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU Penyelenggara

Negara) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), yang secara

eksplisit menyatakan sebagai berikut, “Penyelenggara Negara adalah Pejabat

23

(28)

Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat

lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Selanjutnya status hakim menjadi pejabat negara sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian,

sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (UU ASN) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494),

yang menyatakan bahwa, “Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga

tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945

dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.” Selanjutnya

yang termasuk pejabat negara dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d UU

tersebut, bahwa Pejabat Negara yaitu salah satunya terdiri atas, “Ketua, Wakil

Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua,

Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan”. Status hakim sebagai

pejabat negara ditegaskan lagi dalam Pasal 2 UU Penyelenggara Negara yang

menyatakan bahwa salah satu penyelenggara negara adalah hakim.

Obyek pengawasan terhadap hakim cukup beragam, mulai dari aspek

kemampuan teknis-yudisial (misalnya kemampuan menangani dan memutus

perkara), aspek kerja dan administrasi perkara (misalnya efisiensi dalam

menjalankan tugas, tertib administrasi,dan keuangan perkara), dan aspek perilaku

(29)

sanksi) dilakukan terhadap aspek teknis-yudisial, secara sederhana dapat

dijelaskan dari halhal (bukti-bukti) yang dijadikan dasar untuk menentukan ada

tidaknya pelanggaran. Dianggap masuk ke ranah aspek teknis-yudisial jika bukti

yang dijadian dasar penentuan ada tidaknya pelanggaran adalah

dokumen-dokumen yang dibuat hakim dalam menjalankan tugasnya, termasuk putusan

pengadilan. Jika bukti yang dijadikan dasar penentuan ada/tidaknya pelanggaran

adalah keterangan saksi-saksi, rekaman sidang pengadilan, pernyataan hakim di

media massa atau dokumen yang dibuat di luar fungsi yudisial, maka hal ini

masuk ranah perilaku 24

Kedudukan hakim sebagai pejabat negara juga dinyatakan dalam Pasal 19 UU

Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi

adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam

undang-undang.” Kemudian dalam perkembangannya status hakim ini juga

kembali dipertegas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 122 huruf e UU ASN

yang menyatakan bahwa Pejabat Negara yaitu “Ketua, wakil ketua, ketua muda

dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim

pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc”. Perlu menjadi catatan dalam

perkembangan terbaru ini adalah UU ASN mengeluarkan hakim ad hoc dari

pengertian “hakim” yang dikategorikan sebagai pejabat negara. Hal ini tentu dapat

24

Bertin, “ Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap perilaku Hakim di hubungkan

dengan indenpendsi hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman”. Jurnal Ilmu Hukum Legal

(30)

menjadi potensi masalah di kemudian hari mengingat pengertian “hakim” dalam

UU Kekuasaan Kehakiman juga melingkupi hakim ad hoc.25

Adapun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUUXII/2014 yang

dibacakan pada tanggal 20 April 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan

konsep bahwa hakim ad hoc bukanlah termasuk dalam pengertian hakim yang

dikategorikan sebagai pejabat negara. MK berpendapat bahwa pengangkatan

hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama

dengan proses rekrutmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada

umumnya. Selain itu, tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk

memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum

dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc

merupakan hakim nonkarier yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk

mengadili suatu perkara khusus. Hakim ad hoc dapat memberi dampak positif

ketika hakim ad hoc bersama hakim karier menangani sebuah perkara sehingga

dalam putusan tersebut MK menilai bahwa Pasal 122 huruf e UU ASN tidak

bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi dalam pertimbangan

putusan tersebut, MK berpendapat bahwa penentuan hakim ad hoc sebagai pejabat

negara merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang

sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian penentuan

25

(31)

kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya

merupakan kewenangan pembentuk undangundang.26

Pemberian status “pejabat negara” pada jabatan hakim, dari sebelumnya

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), didasari pemikiran bahwa hakim adalah

personil yang menyelenggarakan kekuasaan di bidang yudikatif dan bukan di

bidang eksekutif sehingga status yang melekat pada hakim bukan PNS. Status

hakim sebagai PNS sangat memungkinkan terjadinya intervensi atas kebebasan

hakim karena persoalan struktural, psikologis, dan watak korps serta birokrasi

yang membawa atau menuntut ikatan tertentu. Kemandirian hakim dalam negara

hukum (rechtstaat) adalah mutlak. Hal ini sesuai dengan prinsip “The

International Commission of Jurist” yaitu peradilan bebas dan tidak memihak

(independence and impartiality of judiciary).27

Salah satu konsekuensi logis dari penetapan status tersebut adalah proses

rekrutmen dan pengangkatan hakim tidak lagi mengikuti pola rekrutmen bagi

PNS. Berdasarkan uraian tersebut, dalam ketentuan:

1. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU

Perubahan Kedua UU Peradilan Umum) (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5077);

26

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUUXII/2014, Pengujian Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 20 April 2015, hlm. 111-112

27

(32)

2. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU

Perubahan Kedua UU Peradilan Agama) (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5078); dan

3. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

(UU Perubahan Kedua UU PTUN) (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5079),

Telah diatur mengenai proses seleksi hakim pada masing-masing lingkungan

peradilan tersebut bahwa proses seleksi dilakukan bersama oleh Komisi Yudisial

(KY) dan Mahkamah Agung (MA), yang selanjutnya diatur bersama oleh KY dan

MA. Seleksi pengangkatan hakim tersebut kemudian diwujudkan dalam peraturan

bersama MA dan KY Nomor 01/PB/MA/IX/2012 dan 01/PB/P.KY/09/2012

tentang Seleksi Pengangkatan Hakim. Peraturan ini mengatur metode seleksi

hakim dan formula sistem untuk seleksi hakim yang disusun untuk mengatasi

kekosongan hukum bahwa proses seleksi pengangkatan hakim dilakukan bersama

oleh MA dan KY.

Adapun dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XII/2015 yang dibacakan pada

tanggal 7 Oktober 2015, MK membatalkan norma bahwa seleksi pengangkatan

hakim dilakukan bersama oleh MA dan KY. Dalam amar putusannya MK

(33)

frasa “dan Komisi Yudisial” UU Perubahan Kedua UU Peradilan Umum

bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat. Kalimat utuh dari Pasal 14A ayat (2) selengkapnya menyatakan

bahwa, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan oleh

Mahkamah Agung” dan ayat (3) menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses

seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.” Hal yang sama juga berlaku untuk Pasal

13A ayat (2) dan ayat (3) UU Perubahan Kedua UU Peradilan Agama yang dalam

amar putusan tersebut menyatakan “Proses seleksi pengangkatan hakim

pengadilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan “Ketentuan lebih

lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.” Begitu juga untuk

Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Perubahan Kedua UU PTUN. MK dalam

putusan tersebut berpendapat bahwa walaupun dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun

1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan MA dalam proses

seleksi dan pengangkatan calon hakim di lingkungan peradilan umum, peradilan

agama, dan peradilan tata usaha negara, akan tetapi ayat (2) dari Pasal 24 UUD

NRI Tahun 1945 telah secara tegas menyatakan bahwa ketiga undang-undang

tersebut berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah MA. Dengan

demikian apabila dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut MK

seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi

kewenangan MA dan bukan kewenangan KY.28

28

(34)

Permasalahan selanjutnya adalah sistem peradilan yang “satu atap” dengan

manajemen Hakim militer. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa

manajemen hakim telah beralih dari pemerintah ke Mahkamah Agung. Akan

tetapi, hal ini menjadi sulit dilakukan bagi Hakim militer. Dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer)

dinyatakan bahwa untuk menduduki jabatan hakim pada tingkat tertentu harus

memenuhi jenjang kepangkatan militer tertentu, yang mana urusan tersebut

merupakan domain dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). MA tidak dapat

mempromosikan seorang Hakim militer dari suatu jabatan tertentu ke jabatan

lainnya, karena MA tidak dapat menaikkan kepangkatan militer.29

Berdasarkan uraian tersebut, perlu dibentuk undang-undang yang mengatur

mengenai jabatan hakim (UU Jabatan Hakim) yang lingkup pengaturannya antara

lain mengatur mengenai proses pengangkatan, status kepegawaian, jenjang

karier/kepangkatan, hak-hak keuangan, fasilitas, pembinaan, pengawasan hingga

pemberhentian hakim. UU Jabatan Hakim ini diperlukan untuk menjamin bahwa

hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman benar-benar mandiri dan bebas

dari intervensi kekuasaan pemerintah. Saat ini beberapa aspek terkait jabatan

hakim seperti pengangkatan hakim, hak keuangan, jenjang karier/kepangkatan,

dan fasilitas masih mengikuti standar aturan bagi PNS.

Pembentukan RUU Jabatan Hakim sebenarnya secara tidak langsung

merupakan amanat Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan

Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 20 April 2015, hlm. 120-123

29

(35)

bahwa “hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan

kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undangundang.” RUU Jabatan Hakim

juga harus mengatur secara jelas batasan hakim yang diatur dalam undang-undang

ini, apakah hanya hakim pengadilan tingkat pertama saja, atau juga mencakup

hakim agung dan hakim konstitusi. Sampai saat ini hanya hakim agung dan hakim

konstitusi yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

mengenai rekrutmen hingga pensiun, sebaliknya hakim-hakim di luar hakim

agung dan hakim konstitusi masih belum ada pengaturan yang jelas.30

Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang bertugas untuk

menegakkan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang berbuat salah dan

membenarkan orang yang benar. Ketika menjalankan tugasnya, hakim tidak

hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang berperkara, tetapi juga

bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, pada amar

putusan hakim selalu didahului kalimat: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”.

Kedudukan hakim tercantum dalam Amandemen Ketiga Undang-undang Dasar

1945, Pasal 24 ayat (1) yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan dan Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa

kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Konstitusi.

30“Pengertian Hakim” (On

(36)

Pada Pasal 25 Amandemen Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa

syarat-syarat untuk menjadi hakim dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan

oleh undang-undang. Hal tersebut untuk memberikan jaminan agar hakim dalam

melaksanakan tugasnya dapat bersungguh–sungguh dan memiliki independensi,

merdeka, dan terhindar dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain

dalam masyarakat.

Ruang lingkup tugas hakim tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah

dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan disesuaikan lagi melalui

Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Undang-undang Komisi Yudisial, dan peraturan perUndang-undangan lainnya.

Hakim sebagai subsistem peradilan merupakan pelaku inti. Secara fungsional

melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena hakikatnya kekuasaan kehakiman

memiliki pilar yang terdiri dari badan peradilan yang ditegakkan berdasarkan

undangundang, aparat peradilan yang terdiri dari hakim, panitera, jurusita, dan

tenaga non hakim lainnya, serta sarana hukum baik hukum materiil maupun

formil. Hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dalam melaksanaan kekuasaan kehakiman,

hakim harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan

perkerjaannya.

Pada hakikatnya tugas pokok hakim yaitu menerima, memeriksa, mengadili,

(37)

dan kewajiban hakim dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu tugas hakim

secara normatif dan tugas hakim secara konkret dalam mengadili suatu perkara.31

Berdasarkan tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara

normatif telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun

2009, sebagai berikut:

1. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

(Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009).

2. Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila (Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009).

3. Menjalankan tugas dan fungsi. Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga

kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009).

4. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

(Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009).

5. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang

sederhana,cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009).

6. Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009).

31

(38)

7. Hakim dan Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang

tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman dibidang hukum

(Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009).

8. Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim (Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009).

9. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

tetapi wajib untuk memeriksa dan mengadili (Pasal 10 ayat (1) Undangundang

Nomor 48 Tahun 2009).

10.Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan

majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang

menentukan lainnya (Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009).

11.Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat

(4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009)

12. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13 ayat (2)

Undangundang Nomor 48 Tahun 2009).

13. Pada sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan

(39)

dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Pasal 14 ayat (2)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009)32.

Tugas hakim juga mempunyai tugas secara konkret dalam memeriksa dan

mengadili suatu perkara melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Mengkonstantir, yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa secara konkret.

Hakim mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah

diajukan para pihak diruang persidangan. Syaratnya yaitu peristiwa konkret

tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh

menyatakan suatu peristiwa konkret benar-benar terjadi, sehingga

mengkonstantir berarti menetapkan peristiwa atau menggangap telah

terbuktinya peristiwa tersebut.

2. Mengkualifisir, yaitu menetapkan dan merumuskan peristiwa hukum. Hakim

menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi termasuk dalam

hubungan hukum yang mana atau seperti apa, sehingga mengkualifisir

menemukan hukum terhadap suatu peristiwa yang telah dikonstantir dengan

menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Mengkualifisir

dilakukan dengan cara mengarahkan peristiwa kepada aturan hukum atau

undang-undang, kemudian diterapkan pada peristiwa tersebut. Undangundang

harus disesuaikan dengan peristiwa agar dapat mencakup semua peristiwa.

3. Mengkonstituir, yaitu hakim menetapkan hukum dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Hakim mengambil kesimpulan dari pressmise

mayor (pengaturan hukum) dan pressmise minor (peristiwa). Hakim harus

32

(40)

memperhatikan keadilan, kepastian hukum, dan manfaat ketika memberikan

putusan.

Pasal 159 ayat (4) HIR atau Pasal 186 ayat (4) R.Bg, menyebutkan bahwa

pengunduran (penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan kedua belah

pihak dan tidak boleh diperintahkan pengadilan negeri karena jabatanya,

melainkan dalam hal yang teramat perlu.

Pada prakteknya terkadang sikap hakim terlalu lunak terhadap permohonan

penundaan sidang dari para pihak atau kuasa hukumnya.33Adapun beberapa hal

yang sering menyebabkan tertundanya sidang, antara lain:

1. Para pihak atau kuasa hukum yang tidak hadir secara bergantian.

2. Para pihak atau kuasa hukum selalu meminta agar sidang ditunda.

3. Saksi yang tidak hadir walaupun sudah dipanggil.

Mengantisipasi hal tersebut maka diperlukan peran hakim yang aktif terutama

dalam mengatasi hambatan agar dapat tercapai peradilan yang cepat (speedy

administration of justice). Hakim dengan tegas harus menolak permohonan

penundaan sidang dari para pihak jika hal tersebut tidak perlu dilakukan.

Berlarutlarut atau tertundanya persidangan akan mengurangi kepercayaan

masyarakat terhadap pengadilan yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan

pengadilan.

Etika Profesi Hakim tercantum dalam keputusan bersama Mahkamah Agung

Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor

33

(41)

047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P-KY/IV/2009 tentang Kode Etik

dan Pedoman Perilaku Hakim yang mengatur perilaku hakim sebagai berikut :

1. Berperilaku Adil

Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang

menjadi haknya. Berdasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama

kedudukannya di depan hukum maka tuntutan yang paling mendasar dari keadilan

adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and

fairness) terhadap setiap orang sehingga, seseorang yang melaksanakan tugas atau

profesi di bidang peradilan memikul tanggung jawab menegakkan hukum harus

selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

2. Berperilaku jujur

Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah

benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi

yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan batil

sehingga, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang

baik dalam persidangan maupun diluar persidangan

3. Berperilaku arif dan bijaksana

Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma

yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, keagamaan,

kebiasankebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi

serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakan tersebut. Perilaku yang arif

dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas,

(42)

4. Bersikap Mandiri

Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas

dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri

mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada

prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum

yang berlaku.

5. Berintegritas tinggi

Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan

tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia

dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam

melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang

berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan

tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu

berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan

terbaik.

6. Bertanggung jawab

Bertanggung jawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya

segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugas serta memiliki keberanian untuk

menanggung segala akibat terhadap pelaksanaan wewenang dan tugas tersebut.

7. Menjunjung tinggi harga diri

Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan

kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.

(43)

pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa

menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur peradilan.

8. Berdisiplin tinggi

Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang

diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan

masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya

pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan

berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungan serta tidak menyalahgunakan

amanah yang dipercayakan.

9. Berperilaku rendah hati

Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari

kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan

mendorong terbentuknya sikap realistis, membuka diri untuk terus belajar,

menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa,

serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam

mengemban tugas.

10. Bersikap Profesional

Profesional bermakna sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk

melaksanakan pekerjaan yang dipilih dengan kesungguhan yang didukung oleh

keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas. Sikap

profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan

(44)

dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan

efisien34.

Hakikatnya tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili,

memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Meskipun demikian, tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut yang

dalam hal ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tugas hakim secara

normatif dan tugas hakim secara konkret dalam mengadili suatu perkara.

Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara

normative telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 antara lain :

1. Mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang ( pasal 5 ayat 1

UU No. 4 tahun 2004 ).

2. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras – kerasnya mengatasi

segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana,

cepat, dan biyaya ringan ( pasal 5 ayat 2 ).

3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

dijatuhkan dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas, melainkan

wajib memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 14 ayat 1 ).

4. Memeberi keterangan, pertimbngan dan nasehat – nasehat tentang soal – soal

hokum kepada lembaga Negara lainya apabila diminta ( pasal 25 ).

5. Hakim wajib mengali, memngikuti dan memehani nilai – nilai hokum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyrakat ( pasal 28 ayat 1 ).

34

(45)

UUD 1945 yang merupakan dasar hukum pelaksaan politik dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia, sampai detik ini telah mengalami emapat kali

perubahan untuk lebih memunculkan check and balances secara lebih

proporsionoal.

Perwujudan Indonesia sebagai Negara hukum melalui check and balances

antara lembaga Negara dalam ranah eksekutif, legislatif dan yudikatif lebih

menonjol setelah dibentuknya bebrapa lembaga Negara baru melalui perubahan

UUD 1945 tersebut, salah satu lemabaga baru yang dibrntuk melalui amandemen

UUD 1945 adalah Komisi Yudisial.

Berdasarkan Pasal 24 B ayat (1) adalah :

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan

Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim.

Yang dimaksud Komisi Yudisial dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 18

tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004

Tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial adalah lembaga Negara sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang

Komisi Yudisial. “ Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat

mandiri dalam pelaksaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau kekuasaan

lainnya.35

35

(46)

Dari ketentuan tersebut maka Komisi Yudisial adalah Lembaga yang mandiri

atau independen. Secara epistomologi independen berarti menununjukan

kemampuan berdiri sendiri. Tidak adanya campur tangan dengan kekuasaan lain

atau ketidak bergantungan suatu pihak dengan pihak yang lainnya seperti

eksekutif, ataupun legislatif.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 ayat (2) tahun 2011 disebutkan juga

bahwa Komisi Yudisial mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas

hakim. Ketentuan ini bersifat imperatif menjadi tanggung jawab Komisi Yudisial

yang selain tugas-tugas melakukan pengawasan prilaku hakim. Berdasarkan

amanah undang-undang Komisi Yudisial mempunyai tugas mengupayakan

peningkatan kapasitas Hakim. Upaya peningkatan kapasitas hakim yang

dilakukan oleh Komisi Yudisial dilakukan dalam rangka mewujudkan hakim yang

bersih, jujur, dan profesional, yang diarahkan untuk melengkapi dan mendukung

peningkatan kapasitas hakim yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung.36

Peningkatan kapasitas hakim merupakan sebuah tindakan yang dilakukan

untuk menghasilkan hakim yang mempunyai kapasitas pengetahuan hukum dan

komitmen untuk menjaga dan menegakkan KEPPH. Dari sudut pandang

psikologi, pendidikan, kapasitas pengetahuan hukum berkaitan dengan ranah

kognitif dan psikometrik hakim, meskipun dalam tataran tertentu tidak dapat

dipisahkan dari ranah afektif. Menurut bloom, ranah kognitif secara bertingkat

terdiri dari aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan evaluasi,

sementara ranah psikometrik, terdiri dari aspek perspesi, kesiapan, respon

36

(47)

terpimpin mekanisme, respon nyata yang kompleks, penyesuaian, dan organisasi.

Sedangkan ranah efektif meliputi ranah penerimaan, penanganan, penghargaan,

pengorganisasian, dan pengkarakterisasian. Merujuk pada peningkatan kapasitas

hakim hakim yang dilakukan Komisi Yudisial dapat menyentuh ranah afektif,

kognitif, maupun psikometrik.37

C. Fiqh Siyasah

1. Pengertian Siyasah

Fiqh Siyāsah merupakan istilah yang melekat dalam khazanah ke Islaman,

terutama dalam kajian politik atau ketatanegaraan Islam. Kata “Fiqh Siyāsah.”

merupakan tarkib idafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni

fiqh dan siyāsah. Secara etimologi, “fiqh” merupakan bentuk masdhar (gerund)

dari tashrifan kata faqihayafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam

dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu.

Sedangkan secara terminologi, “fiqh” lebih populer didefinisikan sebagai ilmu

tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari

dalil-dalilnya yang rinci.38

Kata “al-Siyāsah” berasal dari kata sasa-yasusu-siyāsatan yang artinya

mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan.39 Ibnu Aqil

mendefinisikan “Siyāsah” adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih

dekat dengan kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun

37

Harjanto, Perencanaan Pengajaran, PT. Rineka Cipta: Jakarta. 2003, hlm, 59 38

Ibnu Syarif Mujar dan Zada Khamami, Fiqih Siyasah; Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam. (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm 31

39

Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah (Implementasi Kemaslahatan Umat Islam Dalam

(48)

Rasulullah SAW tidak menetapkan dan (bahkan) Allah SWT tidak

menentukannya.40

Imam Al-Mawardi dalam “Al-ahkam As-sulthaniyyah” menjelaskan siyāsah

sebagai “Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka

menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatuddin wa

raiyyatuddunya).”

Sesungguhnya Allah Ta’ala yang amat agung kebesaran-Nya mengangkat

khalifah bagi ummat yang bertugas menggantikan peran kenabian, melindungi

agama dengannya, dan memberinya mandat mengatur negara, agar ia

mengeluarkan kebijakan yang bersumber dari agama yang disyari’atkan, dan agar

opini terpusat kepada satu pendapat yang disepakati bersama.41

Secara efistimologi, pengertian fiqh siyāsah adalah ilmu yang mempelajari hal

-ihwal dan seluk beluk pengaturan-pengaturan urusan umat dan negara dengan

segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang

kekuasaan yang sejalan dengan dasar-dasar ajaran dan ruh syari’at untuk

mewujudkan kemaslahatan umat.42 Istilah lain dari pengertian tersebut secara

popular dikenal dengan ilmu tata negara dalam ilmu agama Islam yang masuk ke

dalam kategori pranata sosial Islam. Didalam fiqh siyasah, tiga kekuasaan yaitu

legislatif, eksekutif, yudikatif disebut al-sulthah al-tanfidzyiah yang berwenang

menjalankan pemerintahan (eksekutif), al-sulthah al-tasyri’iyah yang berwenang

membentuk Undang-Undang (legislatif), dan al-sulthah al-qadha’iyyah yang

40

ibid.,hlm, 27 41

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelengaraan

Negara Dalam Syariat Islam). (Jakarta: PT Darul Falah, 2007) hlm. 38

42

(49)

berkuasa mengadili setiap sengketa. Tiga istilah tersebut muncul pada masa

kontemporer sebagai dinamika pemikiran politik yang terus berkembang dalam

merespon perkembangan ketatanegaraan diBarat.

2. Ruang Lingkup Siyasah

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh

siyāsah. Ada yang menetapkan lima bidang, empat atau tiga bidang pembahasan.

Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup kajian fiqh siyāsah

menjadi delapan bidang. Menurut al Mawardi, ruang lingkup kajian fiqh siyāsah

mencakup:43

1. Kebijaksanaan pemerintah tentang peraturan perundang-undangan (Siyāsah

Dusturiyyah).

2. Ekonomi dan militer (Siyāsah Māliyah).

3. Peradilan (Siyāsah Qadā‟iyah).

4. Hukum perang (Siyāsah Harbiah).

5. Administrasi negara (Siyāsah Idariyah).

Sedangkn Ibn Taimiyah meringkasnya menjadi empat bidang kajian yaitu:

1. Peradilan

2. Administrasi negara

3. Moneter

4. Serta hubungan internasional

Sementara Abdul Wahhab Khallaf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang

kajian saja yaitu:

43

(50)

1. Peradilan

2. Hubungan internasional

3. Keuangan negara

T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyāsah menjadi delapan

bidang, yaitu:44

1. Siyāsah Dusturiyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan

perundang-undangan).

2. Siyāsah Tasyri‟iyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan tentang penetapan hukum).

3. Siyāsah Qada`iyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan peradilan).

4. Siyāsah Māliyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter).

5. Siyāsah Idariyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan administrasi negara).

6. Siyāsah Dauliyyah atau Siyāsah. Kharijiyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan

hubungan luar negeri atau internasional).

7. Siyāsah Tanfiżiyyah Syar‟iyyah (politik pelaksanaan undang-undang).

8. Siyāsah Harbiyyah Syar‟iyyah (politik peperangan).

Berbagai cakupan ruang lingkup fiqh siyāsah di atas dapat dikelompokkan

menjadi dua bagian pokok, yaitu:

1. Politik perundang-undangan (Siyāsah Dusturiyyah) Bagian ini meliputi

pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyri‟iyyah) oleh lembaga legislatif,

peradilan (Qadā`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan

(Idariyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.

44

Referensi

Dokumen terkait

Tahun 2012 dengan penerapan yang dilakukan melakukan pengendalian , pengawasan, dan komunikasi masih banyak yang melakukan pelanggaran dengan

pada percobaan di rumah kaca menunjukkan bahwa perbedaan waktu awal berbunga antara kedua tetua padi hibrida Hipa 8 adalah 8 hari, denganmodus waktu berbunga untuk BP51-1

Maka untuk memenuhi persyaratan tersebut, penulis mencoba untuk menerapkan ilmu yang telah penulis dapat di bangku kuliah ke dalam bentuk skripsi yang berjudul

Driven by her curiousity to know more about vagueness in the writing of news, the researcher formulated two questions, "What kinds of vagueness are found in

e. Setelah dilakukan penilaian pada babak penyisihan, akan diambil 10 peserta dengan penampilan terbaik untuk tampil di babak final. Pada babak final, peserta hadir di

maka dalam penentuan tingkat resiko semi-kuanitatif dapat dilakukan dengan mengkombinasikan kategori peluang kegagalan ( likelihood of failure ) kategori konsekuensi kegagalan

Pengolahan data secara statistik dilakukan dengan menggunakan software Excel dalam pengolahan data time series untuk melihat karakteristik tren konsentrasi deposisi amonium dan

Bil Nama Klinik/ Alamat/ Doktor/ No.Telefon Waktu Perundingan Tempoh Perkhidmatan.. 1 POLIKLINIK