• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I Pendahuluan. A. Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1 Tidak Menular (PTM) dalam beberapa tahun terakhir semakin tinggi, salah satunya dipicu oleh perilaku dan pola makan yang tidak sehat. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 juga menunjukkan bahwa PTM lebih banyak menimbulkan kasus kematian dibandingkan penyakit menular (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Saat ini bahkan PTM lebih banyak menyerang individu dalam usia produktif. Tren ini diperkirakan akan meningkat sampai tahun 2030. Salah satu jenis PTM yang menjadi fokus perhatian Kementerian Kesehatan adalah kanker.

Data WHO menunjukkan bahwa kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Faktor risiko kanker kebanyakan dipicu oleh gaya hidup yang tidak sehat, meski faktor biologis juga berpengaruh (Sarafino & Smith, 2011). Pada tahun 2015, 1 dari 6 kematian di dunia disebabkan oleh kanker (WHO, 2017). Tidak heran, vonis penyakit ini demikian ditakuti. Data yang dihimpun oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa prevalensi diagnosis kanker tertinggi berada di wilayah Provinsi DI Yogyakarta, yaitu sebesar 4,1‰ (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

Diagnosis kanker tidak hanya berpengaruh terhadap pasien, tetapi juga keluarga yang bertindak sebagai informal caregiver. Keluarga dihadapkan pada tugas yang sulit untuk fokus merawat pasien dalam keseharian, memberikan dukungan sosial emosional, serta proses adaptasi yang terus menerus (Kotkamp-Mothes, Slawinsky, Hindermann, & Strauss, 2005). Seringkali caregiver tidak memiliki kesiapan untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa caregiver pasien kanker pada umumnya mengalami gangguan psikologis berupa stress, depresi, dan kecemasan (Northouse, Williams, Given, & McCorkle, 2012; Han, dkk., 2014). Ada perasaan khawatir yang muncul bahwa penyakit kanker akan menyebar, ketidakpastian di masa

(2)

depan, takut akan kehilangan anggota keluarga yang disayangi, dan kecemasan ada risiko genetik bahwa kanker juga akan diderita anggota keluarga yang lain (Blanchard, 1997; Northouse, Katapodi, Schafenacker, & Weiss, 2012).

Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan memberikan sebagian gambaran adanya gangguan psikologis caregiver berupa kecemasan terhadap kondisi kesehatan pasien, kesulitan mengambil keputusan, dan perasaan takut kehilangan anggota keluarga, selama merawat pasien kanker.

“Ketakutan terbesarku kematian. Alhamdulillah ora terbukti. Tapi nek ketakutan yang lain yo aku ngalami. Mbakku tuh sering opname, sampai pernah masuk ICU. Ada kecemasan, sempat panic attack juga. Lihat dia drop kuwi paling menguras hati.” (RS, 31 tahun)

“O iya. Stressornya lagi buat caregiver selain cemas kondisi fisik pasien, cemas kehilangan, cemas biaya, cemas menghadapinya, satu lagi cemas dalam mengambil keputusan yang butuh cepat dan berpengaruh pada semua kecemasan sebelumnya. Kanker urusannya dengan waktu. Kan aku yang jadi sentral pengambil keputusan dalam keluarga juga, yang bisa nego dengan mbakku dan ibuku. Lha kuwi beban juga. Soalnya bertanya-tanya keputusannya tepat nggak nih.” (RS, 31 tahun) “Kaget yang pasti, sedih jelas. Cuma lebih tegang pas Ibu operasi sih, Karena ini pertama kalinya Ibuku urusan dengan dokter dan langsung kanker. Pas operasi ya tegang banget. Takut aja ibu gagal operasinya.” (MT, 28 tahun)

Dalam jangka panjang, lazim dijumpai keluarga pasien mengalami burden dengan naik turunnya kondisi kesehatan pasien (Deeken, Taylor, Mangan, Yabroff, & Ingham, 2003; Bastawrous, 2013; Hidayat, 2016; Oboh & Adayonfo, 2017). Kondisi burden tergambar dalam hasil wawancara berikut:

“Paling mendebarkan adalah Desember-Januari lalu. Dokter bilang kesempatan sembuh kakakku tipis. Yang kubilang ke diriku dan ibuku adalah mbakku sudah ulet banget berjuang. Kami harus siap apapun yang terjadi. Pas aku di RS nyatanya aku yo ra siap. Mana muncul reaksi psikis dari Mbakku, ketakutan kematian. Aku yo wedi kehilangan dan kematian itu sendiri. Kaya gitu kecemasannya. Beberapa kali kondisi kritis ki marai kaya dikejar-kejar terus. Deg-degan terus. Dan itu bikin Lelah pasien maupun keluarga.” (RS, 31 tahun)

(3)

“Aku banyak tanya-tanya tentang ini, browsing, dinasehatin sana sini, sampe kadang capek sendiri sih Karena bener-bener aku sendirian. Apalagi habis operasi Ibuku kan nangis-nangis. Gimana cara aku sibuk ke RS tapi masih harus ngerjain kerjaan rumah dan nenangin Ibuku.” (MT, 28 tahun)

Hasil studi pendahuluan juga menunjukkan adanya perubahan dinamika dalam keluarga pasca diagnosis. Bagaimanapun, proses pengobatan dan kesembuhan pasien menjadi fokus utama dalam keluarga. Hal ini kadang menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga. Jika dibiarkan terus berlanjut, stress berkepanjangan akibat adanya diagnosis kanker pada salah satu anggota keluarga berpotensi menurunkan kesejahteraan psikologis caregiver kanker (Fleming, dkk., 2006; Papastavrou, Charalambous, & Tsangari, 2012; Rha, Park, Song, Lee, & Lee, 2015; Rhee, Yun, & Park, 2008; Weitzner, McMillan, & Jacobsen, 1999). Hasil studi menunjukkan bahwa berbagai dimensi kesejahteraan psikologis caregiver menurun akibat adanya anggota keluarga yang mengalami kanker (Wakhidah, 2015). Proses panjang dan rumit dalam merawat pasien, membuat caregiver kesulitan mengatur aktivitas harian. Bisa dikatakan, caregiver merupakan pasien kedua dalam kasus kanker (Kotkamp-Mothes, Slawinsky, Hindermann, & Strauss, 2005). Seringkali gangguan psikologis caregiver dan pasien terjadi secara resiprokal, sehingga memungkinkan timbulnya gangguan yang lebih serius bagi kedua pihak (Northouse, Williams, Given, & McCorkle, 2012).

Melihat beratnya beban caregiver kanker sebagaimana terurai di atas, idealnya diperlukan penanganan psikologis yang memadai agar kesejahteraan psikologis caregiver kembali optimal. Sayangnya, caregiver seringkali diabaikan dalam proses intervensi di setting klinis (Fleming, et al., 2006). Penanganan medis maupun psikologis pada umumnya hanya ditujukan kepada pasien saja (Given, Given, & Sherwood, 2012). Baik pasien maupun caregiver sebaiknya dilihat sebagai satu unit of care.

Kesejahteraan psikologis mengacu pada suatu kondisi positif dan sejahtera yang mencakup beberapa dimensi, yaitu penilaian positif terhadap diri sendiri dan masa lalu, dorongan untuk tumbuh sebagai pribadi, kepercayaan bahwa hidupnya bertujuan dan bermakna,

(4)

kepemilikan hubungan yang berkualitas dengan orang lain, kapasitas untuk mengelola kehidupan di lingkungan secara efektif, dan kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995).

Ada berbagai bentuk intervensi yang terbukti efektif diaplikasikan bagi caregiver pasien kanker. Tiga bentuk intervensi yang paling umum dilakukan adalah psikoedukasi, pelatihan keterampilan merawat pasien, dan konseling terapeutik (Belgacem, dkk., 2013; Given, Given, & Sherwood, 2012; Glajchen, 2012; Northouse, Williams, Given, & McCorkle, 2012). Salah satu temuan menarik dari kajian tentang caregiver adalah penerimaan menjadi aspek penting untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis caregiver (Wakhidah, 2015). Selain itu, penelitian tentang makna kesabaran pada caregiver menunjukkan bahwa kesabaran merupakan faktor penting untuk dilakukan pada kegiatan caregiving, sehingga perlu adanya penguatan aspek ini pada caregiver (Sari, 2017).

Dalam merancang psikoterapi ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, salah satunya kesesuaian dengan nilai dan budaya yang diyakini oleh individu (Murphy, 1977; Marsella, 1981). Pada penanganan penyakit kronis seperti kanker, bahkan sensitivitas terhadap budaya dan religi yang sesuai dengan anutan individu justru sangat disarankan (Watson & Kissane, 2011).

Psikoterapi berbasis budaya lokal memiliki potensi untuk berkontribusi dalam mengatasi problem psikologis sesuai latar budaya setempat. Saat ini tren untuk meneliti kekayaan budaya lokal semakin meningkat. Misalnya penelitian Tyaskyesti (2017) berupa validasi modul raos sami yang menggunakan dasar filosofi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis caregiver ODS. Contoh lain, penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2014), Zulyet (2014), dan Suhita (2017) dengan menggunakan konsep narima ing pandum. Konsep terapi yang di dalamnya berisi aspek kesabaran (sabar), kebersyukuran (sokur), dan penerimaan (narima) tersebut terbukti efektif meningkatkan kesejahteraan psikologis partisipan penelitian.

(5)

Mengamati fenomena ini, peneliti menilai bahwa diperlukan kajian yang lebih luas untuk memperkaya wawasan keilmuan di bidang psikoterapi berbasis budaya lokal. Selain itu intervensi berdasarkan aspek peneriman dan kesabaran sangat diperlukan bagi caregiver penyakit kronis seperti kanker. Peneliti berharap penelitian ini akan mampu menambah referensi tentang psikoterapi berbasis budaya lokal di Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji efektivitas Program Narima Ing Pandum untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis caregiver pasien kanker.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Menambah referensi kajian pemanfaatan budaya lokal sebagai dasar intervensi psikologis.

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh praktisi psikologi sebagai acuan untuk melakukan intervensi psikologis kepada caregiver kanker pada latar budaya Jawa dalam setting klinis.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Fungsi speaker ini adalah mengubah gelombang listrik menjadi getaran suara.proses pengubahan gelombag listrik/electromagnet menjadi gelombang suara terjadi karna

Penulisan karya ilmiah tertulis (skripsi) yang berjudul “Analisis Nilai Tambah Dan Prospek Agroindustri Suwar-Suwir di Kabupaten Jember“ ini diajukan sebagai salah satu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Harapan Mahasiswa Terhadap Kualitas Pelayanan Perpustakaan Jurusan pada Bidang Rekayasa dan Non Rekaysa di Politeknik Negeri Sriwijaya .... 4.2

Pengukuran frekuensi pukulan pendeta dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok dengan metode pengukuran jumlah pukulan dalam tiga puluh

Berangkat dari masalah yang ditemukan, penulis mengadakan penelitian dengan metode studi pustaka, observasi, perancangan, instalasi, uji coba serta implementasi untuk menemukan