• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui pengadilan bersih dan bebas dari intervensi.

The man behind the gun, adalah sebuah ungkapan yang mensimboliskan mengenai militer. Dengan senjata yang selalu ditangan dan ditambah dengan strata kepangkatan yang menunjukkan karir dan kekuasaan, semakin membuat gentar orang yang mendengar nama militer. Kaisar Nero dari Romawi kuno pernah mengatakan : “Biarlah rakyat cinta atau tidak padaku, asal mereka takut saja padaku”. Abshreckungsmethode (metode menakut-nakuti) ini diterapkan oleh fascist Jerman dan Jepang sebagai langkah efektif untuk menundukkan musuh-musuh mereka.1

1

Dinas Sejarah Kodam VIII Brawijawa, Sam Karya Bhirawa Anoraga, PT. Panca Puji Bangun, Malang, 1974, hal. 322.

(2)

Militer yang dalam hal ini TNI merupakan suatu instrument kekuatan nasional yang diberi hak dan monopoli untuk menggunakan senjata dan kekerasan guna menyelenggarakan fungsi pertahanan dan kedaulatan negara.2

Akan tetapi apabila kekuasaan militer disalahgunakan untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang maka akibatnya akan sangat fatal. Seperti halnya sebuah peristiwa yang terjadi sejak tahun 1989-1998 pemerintah Indonesia menjadikan Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi "Operasi Jaring Merah", khususnya pada empat Kabupaten, yakni Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah dan Kabupaten Pidie. Alasan yang digunakan adalah membasmi gerakan separatis Aceh Sumatera Liberation Front (ASNLF) atau Gerakan Aceh Merdeka. Selama sepuluh tahun operasi itu dilakukan, ternyata terjadi berbagai bentuk kekerasan terhadap penduduk sipil yang tidak diketahui dunia luar, karena proteksi yang sangat kuat dari pemerintah. Berdasarkan hasil investigasi terdapat setidaknya 7.727 kasus pelanggaran HAM pada kurun waktu tersebut. Pada 7 Agustus 1998 Presiden BJ. Habibie memerintahkan pencabutan status Daerah Operasi Militer di Aceh, tetapi dalam kenyataannya pelanggaran HAM lebih berat justru terus berlangsung, bahkan sampai saat ini. Selain itu terhitung mulai Januari 1999 hingga Pebruari 2000, setidaknya ada sembilan kasus pembunuhan besar-besaran yang menewaskan 132 sipil dan 472 luka-luka, 142 kasus penyiksaan, 304 penahanan yang sewenang-wenang,

2

Jaleswari Pramodhawardani, Munir (Sebuah Kitab Melawan Lupa), PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2004, hal. 234.

(3)

dan 138 kasus orang hilang. Kejahatan terhadap jiwa ini masih diikuti dengan 1.031 bangunan dibakar ditambah berbagai kasus perusakan serta penjarahan terhadap harta benda masyarakat sipil. Akibat dari aksi kekerasan, teror dan intimidasi ini, setidaknya 350.000 jiwa warga sipil menjadi kehilangan tempat tinggal yang puncaknya terjadi antara Juni dan Agustus 1999. 3

Peristiwa pelanggaran HAM berat yang juga cukup mendapat sorotan dunia adalah peristiwa pasca jajak pendapat di Timtim berupa pembumi hangusan Timtim yang diduga kuat dilakukan oleh TNI dengan para milisi pro kemerdekaan. Kerusuhan dan pembakaran di Timtim pascajajak pendapat, merupakan kekecewaan dari masyarakat terhadap kecurangan UNAMET pada saat jajak pendapat Timtim mengenai persetujuan rakyat Timtim untuk tetap berada di wilayah kesatuan Republik Indonesia atau malah mendirikan negara baru. Selain peristiwa pembumi hangusan juga terjadi peristiwa pengusiran besar-besaran secara paksa ratusan ribu masyarakat di seluruh Timtim. Selain itu banyak sekali kasus pembunuhan massal yang terjadi pasca jajak pendapat seperti pembantaian lebih dari 80 orang di Passabe, Oekussi, di Pos Polisi Maliana, pembunuhan pastor dan staf gereja Los Palos. Total rakyat yang tewas diperkirakan lebih dari 1.500 warga Timtim.

4 3 Ibid., hal. 49 4

Tempo, Sekjen PBB Tunjuk 3 Anggota Komisi Ahli untuk Timtim, Sabtu, 19 Pebruari 2005.

Peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya adalah peristiwa Tanjung Priok dimana kejadian runtutan kejadian tersebut adalah sebagai berikut :

(4)

Pada hari Jumat tanggal 7 September 1984 seorang anggota ABRI bernama Hermanu yang berpangkat Sersan Satu mendapat informasi dari Pembantu Intel bahwa mushola As-Saadah terpasang pamflet yang dianggap mengandung tulisan yang berbau SARA. Kemudian Hermanu mengajak Sukram (anggota Koramil 01 Kota Jakarta) untuk mendatangi mushola tersebut. Di Mushola tersebut mereka bertemu dengan delapan orang pemuda. Setelah kedelapan pemuda tersebut diberi nasihat oleh Hermanu dan kemudian mereka secara sukarela untuk melepas pamflet yang terpasang di tembok.5

Keesokan harinya Hermanu kembali mendapat laporan bahwa di mushola tersebut terpasang pamflet yang lebih banyak lagi. Lalu setelah Hermanu mendatangi mushola tersebut bersama Samin kemudian pamflet yang ada di tembok mushola tersebut disiram oleh Hermanu dengan air got, sedang yang di papan bor di lepas dengan tangan. Pada hari Senin tanggal 10 September 1984 dua orang pengurus masjid yang bernama Syafwan mendatangi Syarifudin rambe yang sedang bekerja di Jalan Raya Pelabuhan, sebab ada beberapa pemuda yang membicarakan kejadian pada hari Sabtu. Saat itu Syafwan dan Syarifudin Rambe bermaksud untuk menemui Hermanu yang sedang berjalan menuju pos hansip, dimana dalam kesempatan itu para pengurus masjid tersebut meminta kesediaan Hermanu untuk meminta maaf pada warga akan tetapi Hermanu menolak karena dia adalah sebagai petugas yang memang wajib untuk melakukan hal tersebut. Saat pembicaraan berlangsung ada

5

A.M. Fatwa, Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok, Dharmapena, Jakarta, 2005, hal.60.

(5)

orang yang melempar pasir ke dalam pos tersebut dan ada juga yang membakar sepeda motor milik Hermanu. Pada hari itu juga Syafwan dan Syarifudin Rambe beserta Ahmad Sahi dan M. Nur yang juga pengurus masjid ditangkap untuk kemudian ditahan. Pada hari berikutnya, karena mendengar ada pengurus masjid yang ditangkap dan kemudian ditahan, para pemuka masyarakat dan pengurus masjid dari beberapa masjid di Tanjung Priok meminta Jasa Amir Biki yang dianggap memiliki hubungan baik dengan para petugas militer agar menghubungi aparat keamanan yang menahan keempat orang tersebut agar mereka segera dibebaskan. Amir Biki mendatangi Kantor Kodim 0502 dan bertemu dengan Kapten Mutiran. Amir Biki meminta agar keempat orang yang ditahan tersebut untuk segera dibebaskan dengan jaminan dirinya sendiri, akan tetapi permintaan tersebut ditolak.6

Pada hari Rabu 12 September 1984 Amir Biki mengulangi permintaannya untuk membebaskan keempat orang yang telah ditahan melalui telepon kepada Kodim 0502. tepat di malam itu pula ada pengajian di Jalan Sindang yang tanpa diduga mendaulat Amir Biki untuk untuk ikut bicara di podium. Awalnya Amir Biki menolak karena memang dirinya jarang tampil di podium, tetapi karena didesak terus oleh warga maka dia pada akhirnya tampil juga. Pada akhirnya malam itu juga Amir Biki mengatakan jika keempat orang yang ditahan tersebut tidak dikeluarkan sampai pada pukul 23.00 maka Amir Biki dan para warga akan beramai-ramai ke Kodim. Ketika jam menunjukkan pukul 23.00

6

(6)

akhirnya massa yang dipimpin oleh Amir Biki dengan tertib menuju ke Kantor Kodim 0502 untuk meminta keempat orang yang ditahan tersebut untuk dibebaskan . sebagian besar dari massa adalah para remaja dan keseluruhan massa berjumlah 3000 orang.7

Sesampainya mereka di dekat Polres Jakarta Utara, Jalan Yos Sudarso dan belum mencapai Kodim 0502, massa sudah dihadang tiga peleton pasukan ABRI di bawah pimpinan Sriyanto. Ketiga peleton tersebut berasal dari Kesatuan Arhanud Dam V Jaya, Kodim 0502 dan Polres Jakarta Utara. Ketiga pasukan tersebut membentuk barisan panjang menutupi jalan menuju Kodim 0502 sehingga massa tidak dapat maju. Massa kemudian duduk dan secara tiba-tiba ketiga peleton yang membawa senapan otomatis tersebut mundur dua langkah lalu semua menembak ke arah massa dan penembakan tersebut berlangsung selama 20 menit. Massa menjadi berhamburan dan lari untuk berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi mereka yang berusaha lari pun dikejar dan dihajar lagi dengan tembakan. Dari arah utara datang pula dua buah truk yang berisi pasukan menuju ke arah massa yang sedang panik. Pasukan yang berada di dalam truk ikut menembak ke arah massa dan sebagian massa yang tiarap tersebut dilindas oleh kedua truk tersebut, sehingga terdengarlah suara kepala yang pecah karena dilindas oleh truk. Terjadilah pada hari itu banjir darah dimana semua korban baik yang meninggal atau pun yang luka dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat.

8 7 Ibid., hal 61 8 Ibid.

(7)

Militer terkadang tidak bertindak sebagaimana mestinya sebagai aparat negara. Mereka hanya bertugas sebagai alat perpanjangan tangan penguasa, sehingga ketika bertugas tidak ada rasa mereka berasal dari rakyat. Tapi, memang perlu disadari bahwa kesan yang menggambarkan tentara adalah warga negara kelas utama telah terpatri dalam masyarakat. Mereka merasa yakin bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan pernah memberikan mereka sanksi. Ini merupakan kumpulan dari semua hal yang negatif, sehingga keluarnya adalah kesewenangan. Selama ini terjadi semacam kekebalan politik artinya seakan-akan tentara ini tidak bisa terjerat hukum.

Dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dua diantaranya yakni kasus Tanjung Priok dan kasus pasca jajak pendapat Timtim, kesemuanya dijerat dengan menggunakan acuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut UU No. 26 Tahun 2000) yang seharusnya bukan menjadi kewenangan undang-undang tersebut untuk menjeratnya karena kasus pelanggaran HAM berat tersebut terjadi dibawah tahun 2000.

B. Permasalahan

Pembahasan dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum

Pelaksanaan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Terhadap

Prinsip Asas Legalitas” akan dibatasi pada permasalahan

permasalahan sebagai berikut :

(8)

2. .Bagaimanakah realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah Pengadilan HAM Ad Hoc melanggar prinsip asas legalitas ?

2. Untuk mengetahui bagaimanakah realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia ?

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Penulisan ini memberikan manfaat dalam menambah wawasan pengetahuan dalam lingkup HAM yang akan dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan dan menjadi acuan literatur seputar pelanggaran HAM berat untuk ilmu hukum pada khususnya. 2. Manfaat Praktis

Manfaat penulisan ini secara praktis atau dalam praktiknya akan dapat digunakan sebagai acuan mengenai bagaimana bertindak dan menyikapi berbagai masalah seputar palanggaran HAM berat yang terjadi.

(9)

E. Metode Penulisan

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam peneulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan.9

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bahan hukum yang terdiri dari :

a. Data primer

Data primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.10

- Undang-undang Dasar 1945

Bahan hukum primer yang digunakan adalah :

- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP)

- Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

- Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

- Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

9

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 43.

10

Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. V, IND-HILL-CO, Jakarta, 2001, hal. 13.

(10)

- Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literatur-literatur.11

c. Data Tersier

Data tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah : - Kamus bahasa Indonesia

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca buku-buku dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok bahasannya.

4. Analisis Data

Analisis Data dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, lalu dipadukan dengan teori-teori yang mendukung dan selanjutnya ditarik kesimpulan.12

11

Ibid.

12

(11)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan yang terbagi dalam 6 (enam) sub bab, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang didalamnya menguraikan tentang pendekatan masalah, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data, serta diuraikan pula mengenai sistematika penulisan.

Bab II merupakan tinjauan pustaka yang didalamnya akan mengemukakan teori-teori yang akan digunakan sebagai dasar dan pijakan bagi penulis untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan pada bab I.

Bab III merupakan pembahasan, yaitu membahas permasalahan baik yang pertama maupun yang kedua. Pembahasan pertama mengenai apakah Pengadilan HAM Ad Hoc melanggar prinsip asas legalitas. Dan Pembahasan kedua mengenai bagaimanakah realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Bab IV merupakan pembahasan,yaitu membahas mengenai dasar hukum dan alasan penggunaan azas legalitas dalam Pelanggaran HAM di Indonesia oleh Pengadilan HAM Ad hoc.

Bab V mengenai penutup. Berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari rumusan masalah baik permasalahan yang pertama maupun

(12)

permasalahan yang kedua agar lebih jelas. Dan bagian kedua adalah saran. Saran merupakan rekomendasi penulis kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum pidana.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Merencanakan gedung baja dual system menggunakan konsep perencanaan yang berbas1s k1nel')a merupakan hal baru dalam perencanaan gedung tahan gempa D1perlukan

RapidEye's standard products (metadata) contain masks which mask not only clouds but as well other type of "unusable" data, e.g. missing lines, no

Hasil isolasi bakteri endofitik pada daun zodia didapatkan tiga isolat bakteri endofitik memiliki bentuk koloni yang berbeda dan dilakukan pengujian uji

Parameter kualitas air yang penting di sekitar keramba jaring apung di Danau Maninjau telah menunjukkan kadar yang tidak mendukung untuk kehidupan ikan di dalam

Penelitian ini bersifat kolaborasi antara peneliti dengan guru kelas dalam melaksanakan tindakan yang direncanakan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa media video pembelajaran mata pelajaran sejarah pada materi perang dunia dan kelembagaan dunia untuk