1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tiga elemen yang berpengaruh pada kebijakan di sektor kehutanan adalah sifat dan fungsi hukum di Indonesia, konflik antara institusi pemerintah dan asumsi serta prioritas para rimbawan yang menjadi staf pada birokrasi di Indonesia (Barber et al.,1994). Menyadari pentingnya keberadaan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan dan lahan bagi masyarakat Indonesia, maka para pendiri bangsa Indonesia melalui Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 mengamanatkan kepada negara agar mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD 1945 tadi menempatkan negara sebagai penguasa dari seluruh sumber daya hutan di Indonesia. Namun Pemerintahan Indonesia mengejawantahkan pasal tersebut sebagai otoritas eksklusif diatas segala aspek kehidupan masyarakat.
Kebijakan yang mengatur tentang lahan baru muncul pada tahun 1960 yaitu Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, sebagai penjabaran Pasal 33 UUD 1945. Penyusunan undang undang tersebut dilatar belakangi oleh semangat land reform dan berusaha menjembatani antara hak kepemilikan dalam konsep hukum barat dan sistem yang berlaku di Indonesia (pasal 3 UUPA). Undang Undang Agraria tersebut menekankan bahwa tanah adalah barang yang berfungsi sosial (Pasal 6 UUPA) daripada fungsi produksi dimana pada hukum barat tanah dapat diperjualbelikan dalam sebuah sistem ekonomi pasar (Thornburn, 2004). Undang undang agrarian tersebut dapat
dikatakan progresif di jamannya karena dalam pasal pasalnya mengatur masalah landreform , pembatasan kepemilikan tanah, distribusi kepemilikan tanah berdasar pada kebutuhan lahan dan mensyaratkan pemilik tanah untuk menjaga kondisi kesuburan tanah dan meskipun hak milik dihargai dengan tanda sertifikat Negara sewaktu waktu bisa mengambil untuk kepentingan nasional.
UUPA tersebut pada akhirnya tidak efektif dijalankan karena dinamika politik yang terjadi. Kejatuhan Soekarno akibat peristiwa 1965 turut berpengaruh pada Undang Undang tersebut karena pada pemerintahan Orde Baru semua yang berbau komunis dan sosialis diharamkan. Orde Baru banyak mengeluarkan undang undang sektoral baru seperti UU Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Penanaman Modal Asing yang bertolak belakang dan atau bertumpang tindih dengan UUPA tadi (Thorburn, 2004). Pertentangan antara UUPA dan UU Kehutanan antara lain adalah terkait status hutan, disebutkan bahwa hutan negara adalah “hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah”. Dalam konteks UUPA, tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah itu adalah tanah negara. Dengan demikian konsekuensinya adalah tanah-tanah di kawasan hutan negara itu sejatinya adalah tanah negara. Namun demikian, dalam praktik administrasi, terjadi hambatan dalam pengadministrasian tanah negara di kawasan hutan. Sampai dengan saat ini pengadministrasian tanah negara pada umumnya berlaku di kawasan non hutan, padahal sesuai dengan pemahaman terkait hutan negara dalam konteks UU Kehutanan sendiri, pengadministrasian tanah negara seharusnya dilakukan di seluruh wilayah Indonesia tanpa membedakan kawasan hutan atau non hutan, sesuai amanat Pasal 19 UUPA (Sumarjono, 2012). Selanjutnya menurut Sumarjono (2012) ketidak sinkronan terdapat antara UUPA dengan UU
Pertambangan No 11 tahun 1967, pada UUPA berorientasi pada konservasi tanah dan nasionalisme dan anti monopoli swasta sedangkan pada UU pertambangan lebih pada eksploitasi, dan pro kapitalisme.
Pada masa awal Pemerintahan Orde Baru, Indonesia dibayangi oleh kebangkrutan ekonomi. Pemerintah Indonesia berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Soeharto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, dan pendapatan per kapita pertahun dibawah US $ 100, hutang luar negeri yang tinggi dan perlunya modal untuk pemulihan ekonomi (Simon, 2000). Pemanfaatan sumber daya hutan berupa kayu di hutan luar Jawa merupakan jalan keluar bagi pemerintahan Orde Baru untuk mengatasi permasalahan ekonomi. Sumber daya hutan adalah salah satu aset negara yang paling gampang untuk segera dicairkan sebagai devisa negara (Barber et al., 1994).
Menurut UU Kehutanan No 5 tahun 1967, lahan hutan yang sangat luas tersebut kemudian berada di bawah yurisdiksi Direktur Jenderal Kehutanan dan tidak menjadi subjek dari UUPA. Semua kebijakan yang keluar setelah itu diarahkan untuk mengejar investasi asing demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang memang rusak pada akhir periode Orde Lama (Thorburn, 2004). UU Kehutanan No 5 tahun 1967 tadi dilatar belakangi oleh peraturan yang di buat oleh Belanda sebelumnya yaitu Undang Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura tahun 1927 dimana semangat dari peraturan tersebut adalah monopoli oleh negara dan ditujukan untuk mencari keuntungan sebanyak banyaknya
(Simon, 2000). Semenjak tahun 1967 kebijakan dan perundang-undangan sektoral yang mengatur kehutanan, pertambangan dan pengadaan tanah untuk proyek proyek pembangunan berhasil memusatkan kewenangan pengelolaan tanah dan sumber daya alam serta membuatnya menjadi kawasan hutan negara dan perkebunan (Peluso et al,2012). Demi alasan pertumbuhan ekonomi, kebijakan kebijakan tata guna lahan tadi sudah tidak mengacu pada UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tetapi menggunakan dasar UUD 1945 Pasal 33 dan lebih ditekankan pada penguasaan sumber daya alam yang ditafsirkan secara berlebihan.
Kawasan Hutan pertama kali digunakan sebagai terminologi hukum pada UU Kehutanan Tahun 1967 dan menjadi satu satuan pembatas yurisdiksi Departemen Kehutanan seperti tertuang pada UU Kehutanan Tahun 1999. Proses untuk menetapkan cakupan aktual dapat ditelusuri lewat Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perencanaan Kehutanan yang disahkan Presiden Suharto pada tahun 1970 (PP No 33/1970). Pemerintah untuk beberapa waktu lamanya telah memberikan konsesi pembalakan di luar Pulau Jawa, bahkan sebelum UU Kehutanan Tahun 1967 diberlakukan (Hermosillas dan Fay, 2006).
PP No. 33/1970 memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Kehutanan (yang pada saat itu berada di bawah Departemen Pertanian) untuk mendefinisikan Kawasan Hutan Negara. Peraturan yang mengatur penetapan Kawasan Hutan diterbitkan pada tahun 1974 (Surat Keputusan Dirjen No. 85/1974) dan hingga pertengahan tahun 80-an hampir tiga perempat wilayah tanah di Indonesia ditetapkan sebagai Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan,
yang pada saat itu baru berdiri sendiri terpisah dari Departemen Pertanian. Proses penetapannya dilakukan melalui Tata-Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Dasar dasar pembuatan peta tersebut tersebut diciptakan lewat kajian-kajian di atas meja dan peta-peta vegetasi berdasarkan citra penginderaan jarak jauh dan didukung oleh proses penilaian biofisik yang sangat rumit, kondisi topografi, curah hujan dan kepekaan tanah terhadap erosi (Peluso, 1995 ; Hermosilla dan Fay, 2006).
Proses keluarnya peta Tata Guna Hutan Kesepakatan tersebut dibayangi oleh besarnya pemasukan Negara dari sektor kehutanan. Komersialisasi hutan luar Jawa adalah salah satu hasil perubahan besar situasi politik di Indonesia. (Barber et al., 1994) Pada tahun 1992 muncul kebijakan pemerintah tentang perencanaan tata ruang yaitu UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang. UU tersebut menempatkan Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Dalam Negeri sebagai aktor kunci. Hal tersebut melemahkan kekuasaan Departemen Kehutanan sehingga ada semacam perlawanan dari Departemen Kehutanan (McCarthy, 2000). Pada fase ini dapat dikatakan terjadi friksi diantara birokrat dalam hal penataan ruang dan akhirnya muncullah dengan apa yang disebut dengan Peta Padu Serasi pada tahun 1997. Persoalan tidak berhenti sampai disini karena ternyata ada beberapa provinsi yang menentang sehingga terjadi konflik alokasi lahan. Salah satu provinsi yang masih bermasalah dengan penetapan kawasan tersebut adalah provinsi Riau yang kemudian berlanjut pada Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan pecahan dari Provinsi Riau. Provinsi Riau tidak mau mengikuti apa yang ada pada peta padu serasi dan tetap memakai Peta TGHK sebagai acuan spasial ( Brockhaus ,2011).
Pulau Batam merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan peta TGHK daerah tersebut merupakan kawasan lindung. Posisi pulau Batam yang sangat strategis membuat pemerintah berusaha untuk memanfaatkan kawasan di Pulau batam sebagai kawasan perekonomian maka untuk itu ditetapkanlah Pulau Batam sebagai kawasan otorita tersendiri dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973. Dalam keputusan presiden tersebut disebutkan bahwa Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam adalah penguasa yang bertanggung jawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam.
Kawasan Pulau Batam yang dikelola oleh Otorita Batam merupakan salah satu usaha pemerintah pusat untuk menambah pemasukan negara pada awal Orde Baru, sedangkan alokasi kawasan hutan yang berada di Pulau Batam merupakan produk dari Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Kehutanan. Kedua produk kebijakan tersebut merupakan peraturan yang didasari oleh kepentingan ekonomi yaitu untuk mendapatkan pemasukan negara. Pada titik ini terjadi gap antara kebijakan pemerintah pusat sendiri. Kebijakan yang awalnya sama sama bertujuan untuk mendapatkan pemasukan negara akhirnya malah bertentangan pada pelaksanaan selanjutnya. Pada masa kini terjadi tarik ulur kepentingan antara kepentingan lingkungan oleh Kementerian Kehutanan dan Kepentingan ekonomi oleh pihak Otorita Batam.
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah persoalan konflik yang terjadi antara Badan Otorita Batam, Pengusaha dan Kementerian Kehutanan yang terjadi
setelah keluarnya Peta Kawasan Hutan Pulau Batam yang berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 463/Menhut-II/2013 tanggal26 Juni 2013 dimana pada peta tersebut kawasan kawasan yang sudah menjadi hunian dan kawasan industri menjadi masuk dalam kawasan hutan.
Badan Pengelola Batam yang merupakan penerus dari Badan Otorita Batam menyayangkan keluarnya SK Menteri Kehutanan tersebut. Menurut mereka sudah berupaya menuntaskan masalah melalui tim terpadu dan akibat dari keputusan tersebut dikhawatirkan akan menggagalkan investasi yang akan masuk maupun sedang berjalan. Kementerian Kehutanan sendiri tetap bersikukuh untuk tetap bertahan karena memang sebenarnya status dari lahan lahan tersebut adalah hutan lindung. Hal tersebut dapat kita cermati dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai Kawasan Hutan (pada saat Provinsi Riau dan Kepri masih menjadi 1) dan secara khusus untuk Pulau Batam kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 47/KPTS-II/1987tanggal 24 Februari 1987 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Kotamadya Batam, Provinsi Daerah Tingkat I Riau seluas 23.430 Ha sebagai Kawasan Hutan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana dinamika dalam proses alih fungsi dan penggunaan kawasan hutan di Pulau Batam
2. Siapa saja yang terlibat dan bagaimana kewenangan dan kepentingan dalam kebijakan penggunaan kawasan di Daerah Otorita Batam, apa kepentingannya, dan seberapa besar pengaruh dan hegemoni yang dimiliki oleh aktor tersebut
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dinamika kebijakan alih fungsi dan penggunaan kawasan di Pulau batam
2. Menganalisa kewenangan, kepentingan, dan kewenangan para aktor dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan fungsi kawasan
1.4. Batasan Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada permasalahan kebijakan alih fungsi lahan di dilihat dari segi kuasa aktor. Fungsi kawasan TWA Muka Kuning adalah kawasan konservasi yang dikelola dan merupakan tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Dari awal penetapan kawasan kawasan ini juga sudah terdapat penggunaan lain selain kegiatan kehutanan yang dilakukan oleh Pengelola Batam tapi tetap dilaksanakan proses tata batas. Letak TWA Muka Kuning juga merupakan alasan penting untuk diteliti karena berada di tengah tengah Pulau Batam dan mendapat tekanan tinggi dari keberadaan masyarakat di sekitarnya. Manfaat lain TWA Muka Kuning adalah sebagai resapan air untuk Dam Sei Ladi.
1.5. Manfaat penelitian
Selama ini salah satu masalah krusial dalam pengelolaan hutan adalan penataan kawasan. Salah satu adalah karena adanya perbedaan kepentingan diantara stakeholder di pengelolaan hutan dan lahan sehingga seringkali terjadi konflik. Penelitian yang ada selama ini biasanya lebih banyak mengemukakan konflik yang bersifat horizontal yaitu antara pemerintah dan masyarakat. Pada penelitian ini mengangkat permasalahan yang terjadi antara pemerintah pusat dan lembaga yang dibentuk juga oleh pemerintah pusat yaitu antara Kementerian Kehutanan dan Badan Otorita Batam.
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk mencegah terjadinya konflik di masa depan. Dari penelitian ini akan didapatkan gambaran yang terjadi pada konflik yang terjadi di antara dua lembaga pemerintah tersebut. Diharapkan hasil dari penelitian ini akan dipakai sebagai pertimbangan pada perencanaan kawasan hutan di masa datang sehingga tidak terjadi carut marut kawasan hutan.
1.5. Keaslian Penelitian
Banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai masalah penggunaan lahan dalam kawasan hutan di Indonesia. Selama ini penelitian tersebut lebih banyak menyorot permasalahan pengaruh kekuasaan negara terhadap penggunaan lahan dan akibat yang ditimbulkannya.
Penelitian pertama adalah hasil dari tulisan Yurdi Yasmi, Yuliana Cahya, Christian Purba dan Eva Wollenberg. Penelitian dikumpulkan dan berujud dalam
sebuah buku tersebut merupakan hasil studi lapangan dan kumpulan artikel selama kurun waktu 1997 sampai dengan 2003. Penelitian bahwa konflik meningkat tajam pada tahun 2000 dimana masa itu adalah transisi dari sentralistik ke desentralisasi. Lokus penelitian berada di Kalimantan Timur, Sumatera dan Jawa. Pihak pihak yang berkonflik dalam penelitian ini antara lain antara negara dengan masyarakat, Swasta dengan masyarakat, dan BUMN dengan masyarakat. Penyebab utama konflik adalah mengenai masalah akses masyarakat terhadap hutan.
Penelitian tentang penggunaan lahan dan kekuasaan negara lainnya adalah penelitian Fay dan Michon (2005) yang berjudul “Redressing Forestry Hegemony
When a Forestry Regulatory Framework is Best Replaced by an Agrarian One”.
Dalam kasus penelitian yang dilaksanakan di Thailand ,Philipina dan Indonesia tersebut menyebutkan bahwa delineasi kawasan hutan negara dan klasifikasi lahan merupakan kekuasaan negara. Peran masyarakat lokal dipinggirkan dan keputusan untuk mengatur lingkunganya dan sumber daya. Penelitian ini menekankan kepada efek sosial ekonomi dari kebijakan klasifikasi lahan yang bias.
Penelitian yang meneliti permasalahan konflik kebijakan selanjutnya adalah penelitian oleh Sumanto dan Sujatmoko (2008) pada kasus Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) penelitian di Hambala Sumba Timur. Penelitian didasarkan pada banyaknya kenyataan bahwa banyak lokasi KHDTK yang mengalami tekanan dan konflik serius. Penelitian lebih menekankan pada dinamika konflik dan mengkaji kemungkinana resolusi konflik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konteks konflik utama adalah pada kebijakan antara pengelola KHDTK dan Pemda Sumba Timur.
Di dalam penelitian yang akan dilakukan terdapat beberapa kesamaan antara lain mengenai obyek penelitian yaitu konflik, kebijakan dan tenurial namun dalam penelitian ini akan lebih ditekankan pada pola kepentingan dan power yang dimiliki oleh masing masing aktor. Konflik yang ada dalam penelitian sebelumnya kebanyakan terjadi antara negara sebagai pemegang kuasa dan masyarakat atau swasta dengan masyarakat pada penelitian ini adalah terjadi antara lembaga pemerintah . Konflik yang sama yaitu antara lembaga pemerintah memang ada pada penelitian oleh Edi Sumanto dan Sujarwo Sujatmoko hanya saja pada penelitian yang akan dilaksanakan ini berbeda pendekatannya yaitu dengan menggunakan teori power. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran baru tentang carut marut kebijakan penggunaan lahan di Indonesia.