• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Polisi dan Jaksa dalam sistem peradilan pidana merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi tersebut seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap prajudisial) dan pengadilan (pada tahap judicial). Hubungan polisi dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana.

Sejarah hukum acara pidana di Indonesia menerangkan bahwa dari tanggal 17 Desember 1945 hingga 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIBS.1941 No.44). Setelah 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Terdapat perbedaan penting dalam dua periode berlakunya hukum acara pidana tersebut. Perbedaan tersebut antara lain dilihat dari aspek penyidikan tindak pidana serta kewenangan dari

(2)

lembaga polisi dan kejaksaan. Perbedaan pola tersebut mengenai hubungan antara polisi dan jaksa mengenai penyidikan tindak pidana.1

HIR/RIB bagian pertama tentang Pegawai dan Penjabat yang diwajibkan Mencari Kejahatan dan Pelanggaran Pasal 38 ayat (1) menjelaskan bahwa2:

“Urusan melakukan polisi justisi pada bangsa Indonesia dan bangsa asing diwajibkan kepada Kepala Kejaksaan pada pengadilan negeri, serta kepada jaksa-jaksa yang dibantukan kepadanya, masing-masing buat daerah di tempat ia diangkat, mereka itu wajib menjalankan perintah, yang berhubung dengan itu diperintahkan kepadanya oleh kepala kejaksaan pada pengadilan tinggi atau oleh jaksa agung.”

Kemudian dalam penjelasannya, dari sumber yang sama, dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal tersebut terdapat kata “polisi justisi”. Yang dimaksud dengan polisi justisi yaitu merupakan pekerjaan dari polisi represif, adalah melakukan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman guna memberantas perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang telah dilakukan, dengan cara menyidik, menangkap, dan menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah, dan membuat Berita Acara Pemeriksaan pendahuluan dan mengadakan penuntutan pidana di muka pengadilan yang berwajib serta menjalankan putusan hakim. Ini adalah suatu tugas yang biasanya dikerjakan oleh para pegawai penuntut umum, jadi bukanlah suatu korps atau kesatuan polisi yang diadakan seperti kesatuan polisi negara dan lain-lain”.

Berdasarkan penjelasan Pasal 38 ayat (1) yang terdapat dalam HIR/RIB tersebut, maka sebelum KUHAP diberlakukan, penyidikan adalah kewenangan pihak kejaksaan. Jaksa pada waktu itu ikut mengkoordinasi terhadap proses penyidikan. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15

1

www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/09/05/0028.html

2

(3)

Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi3:

“mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara.”

Penjelasan pasal tersebut menyatakan, untuk kesempurnaan tugas penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir yang secara keseluruhan harus dilakukan atas dasar hukum.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, jaksa mempunyai kewenangan sebagai berikut:

1. Dalam bidang penuntutan, dilakukan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang.

2. Dalam bidang penyidikan diadakan penyidikan lanjutan serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik dalam hal ini terma suk penyidik dari kepolisian.

Dengan demikian, pimpinan dalam penyidikan pada periode sebelum berlakunya KUHAP adalah kejaksaan yang bertugas mengawasi dan

3

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

(4)

mengkoordinasi penyidikan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain termasuk polisi.4

Setelah berlakunya KUHAP, terjadi perubahan yang sangat penting. Perubahan tersebut mengakibatkan beralihnya fungsi dan peran kejaksaan dalam proses penyidikan. Kewenangan kejaksaan dalam era KUHAP meliputi5:

1. Dalam bidang penyidikan, kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus, yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi, walaupun sifatnya sementara.

2. Dalam penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang.

Setelah era KUHAP sekarang, di dalam proses penyidikan ada yang dinamakan dengan SPDP, yaitu Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, yang merupakan bentuk koordinasi antara penyidik dan Penuntut Umum. Dalam hal ini, begitu sudah ada SPDP, maka Penuntut Umum sudah mulai mengkoordinasi arah perkembangan kasus. Penuntut Umum mulai memberikan masukan- masukan ke penyidik. Setelah penyidikan dinyatakan

4

www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/09/05/0028.html

5

(5)

selesai maka segera berkas perkara tersebut diserahkan ke Penuntut Umum. KUHAP mengatur dalam pasal 110 ayat (1) yang berbunyi6:

“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.”

Berkas perkara diterima oleh jaksa atau penuntut umum kemudian jaksa memulai untuk mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut, dan apabila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil maka jaksa penuntut umum segera memberitahukan dan mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik untuk melengkapi petunjuk-petunjuk yang harus dilengkapi, guna menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Kemudian hal ini disebut dengan proses prapenuntutan. Dalam pengiriman SPDP ke Jaksa Penuntut Umum hendaknya dihindari adanya keterlambatan pengiriman SPDP yang mengakibatkan koordinasi tidak/kurang dimanfatkan.

Kemudian mengenai pemeriksaan tambahan, diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 yang berbunyi7:

“melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.”

6

Lamintang, Kitab Undang -Undang Hukum Acara Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, Hlm. 278.

7

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

(6)

Pasal tersebut menerangkan bahwa pemeriksaan tambahan dengan melihat pada tugas dan wewenang penuntut umum tetapi dalam pasal tersebut tidak dijelaskan pengertiannya. Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE-003/J-A/12/1991 tentang Melengkapi Berkas Perkara dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan, menjelaskan bahwa8:

“Pemeriksaan tambahan hanya boleh dilakukan terhadap berkas

perkara tertentu setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hasil penelitian ternyata berkas perkara belum lengkap”

Pengertian pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam prakteknya adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh Jaksa untuk melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari penyidik Polri dan berkas yang dilengkapi itu oleh kejaksaan dinyatakan belum lengkap atau sempurna. Berkas perkara tertentu merupakan berkas perkara yang sulit pembuktiannya, perkara yang dapat meresahkan masyarakat, perkara yang dapat membahayakan keselamatan negara.

Penuntut umum dalam melaksanakan tugas prapenuntutannya dapat melakukan pemeriksaan tambahan apabila penunt ut umum me nentukan bahwa suatu berkas perkara tersebut termasuk berkas perkara tertentu, setelah dilakukan upaya optimal dari penyidik dalam melakukan penyidikan tambahan terlebih dahulu.

8

Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE-003/J-A/12/1991 tentang Melengkapi Berkas Perkara dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan, tanpa tahun.

(7)

Setelah mengkaji Pasal 30 ayat (1) huruf e tentang Kejaksaan R.I dan penjelasannya, maka pengertian dari pemeriksan tambahan adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara tertentu hasil penyidikan yang berasal dari penyidik yang dianggap belum sempurna oleh jaksa penuntut umum, walaupun telah ada upaya maksimal dari penyidik untuk melengkapi dan menyempurnakan hasil penyidikannya, dengan batasan-batasan yang telah ditentukan dilimpahkan ke pengadilan.

Penyidik dalam melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan wajib memenuhi permintaan penuntut umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), yaitu:

“Penyidik menyerahkan berkas kepada penuntut umum”,

Pasal 8 ayat (3) KUHAP, yaitu:

“Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:

a. pada tahap pertama hanya menyerahkan berkas perkara,

b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.”

Pasal 138 ayat (2), yaitu:

“dalam hasil hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum”

(8)

Selanjutnya oleh Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari, pada lampirannya, Bidang Penyidikan, Bab III butir 4 memuat penjelasan lebih lanjut yang berhubungan dengan pasal 110 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, serta Pasal 138 KUHAP. Perumusan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut adalah: 9

“Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, kemungkinan selalu terbuka timbulnya permasalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, yaitu antara lain sebagai berikut:

a. Dengan tidak ditentukan batas berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik ke penuntut umum atau sebaliknya, maka kemungkinan selalu bisa terjadi, bahwa atas dasar pendapat penuntut umum hasil penyidikan belum lengkap, berkas perkara bisa berlarut-larut, mondar-mandir dari penyidik kepada penuntut umum.”

Leden Marpaung di dalam bukunya Proses Penanganan Perkara Pidana bagian kedua telah mengomentari rumusan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, yaitu10:

“Hal di atas merupakan hal-hal yang wajar terjadi dengan sistem dan mekanisme KUHAP yang demikian sungguh suatu hal yang seyogyanya dapat dicegah untuk tidak terjadinya hal tersebut jika pembuat Undang-Undang benar-benar menyadari hal tersebut. Mau tidak mau, penyidik wajib memenuhi permintaan penuntut umum”.

Selama hasil penyidikan dari penyidik belum dapat meyakinkan penuntut umum, maka berkas perkara akan dikembalikan tanpa perhitungan

9

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tanggal 4 Februari Tahun 1982 pada lampirannya Bab III butir 4 Bidang penyidikan.

10

Leden Marpaung,Proses Penanganan Perkara Pidana bagian kedua, Sinar Grafika, Jakarta,1992, Hlm. 284.

(9)

tela h berapa kali berkas perkara tersebut mengalami keadaan bolak-balik. Penuntut umum tentu tidak menginginkan kegagalan penuntutannya dan juga tidak menginginkan bahwa penuntutnya tidak adil. Seharusnya pembuat undang-undang dapat melihat secara obyektif tentang posisi penuntut umum dengan sistem KUHAP yang dapat menyadari tentang kedudukan, posisi dan kemampuan penyidik.

Sebagai contoh, dari sebuah kasus di Kejaksaan Negeri Temanggung mengenai problematika pelaksanaan prapenuntutan sehubungan penyerahan berkas perkara atas nama tersangka SUDAR BIN PARNO Nomor: B/1183/VI/2010/Res.Tmg, Tanggal 30 Juni 201011. Bahwa tenyata hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik belum lengkap, sehingga terjadi pengembalian berkas perkara. Bahwa tersangka SUDAR, yang berprofesi sebagai pedagang kambing belantik disini dilaporkan telah mencuri 1 ekor kambing gembel jantan pada tanggal 31 Mei 2010 milik korban An.ROHYANI. Tersangka dituduh telah melakukan tindak pidana pencurian kambing (Pasal 363 KUHP) dan penadahan kambing (Pasal 480 KUHP). Menurut seorang saksi yang bernama DHIDIK WIDIYANTORO, dia menerangkan bahwa kurang lebih pada pukul 03.00 wib, sewaktu perjalanan menuju rumah dari Yogyakarta, dia berpapasan dengan orang yang berboncengan sepeda motor dengan membawa seekor kambing. Dengan keterangan seorang saksi tersebut belum cukup untuk membuktikan bahwa tersangka bersalah melakukan tindak pidana pencurian (pasal 363 KUHP).

11

(10)

Kemudian mengenai Pasal 480 KUHP mengenai penadahan, fakta hukum yang terjadi adalah bahwa tersangka adalah seorang yang berprofesi sebagai pedagang kambing/belantik yang membeli kambing dari seseorang yang dijumpainya di jalan Raya Malebo-Pasar Kandangan seharga Rp. 1.150.000,- Bahwa tersangka setelah 2 hari kemudian menjual kambing tersebut dan rugi sebesar Rp. 75.000,- Dari fakta hukum tersebut maka unsur pasal yang diketahui atau sepatutnya harus diduga dari kejahatan, belum dapat dibuktikan dengan alat bukti yang ada, bahwa tersangka sebenarnya tidak mengetahui kambing tersebut adalah kambing hasil kejahatan, tersangka membeli kambing tersebut di jalan raya atau jalan umum, dan membeli dengan harga yang wajar, sehingga tersangka tidak menyangka kambing tersebut merupakan hasil dari kejahatan. Kemudian tersangka menjual di pasar hewan dan justru mengalami rugi karena tidak laku. Bahwa dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa unsur pasal 480 KUHP yang disangkakan terhadap tersangka belum dapat dibuktikan. Untuk itu agar penyidik kembali mendalami pembuktian dalam perkara tersebut dan untuk kedua kalinya berkas tersebut dikembalikan untuk dilengkapi kembali.12

Berdasarkan resume di atas, jaksa penuntut umum telah mengembalikan berkasa perkara tersebut kepada penyidik untuk kemudian diperbaiki dan dilengkapi. Ternyata polisi disini mengalami kesulitan dalam mencari keterangan-keterangan yang memperkuat tersangka bahwa memang tersangka SUDAR tersebut benar-benar melakukan tindak pidana pencurian atau

12

(11)

penadahan, dikarenakan orang yang sebenarnya mencuri kambing milik korban tersebut sulit dilacak dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengungkap, karena pada waktu melakukan transaksi, tersangka tidak terlalu memperhatikan kondisi penjual kambing. Sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan dari perkara yang belum selesai tersebut, penahanan tersangka SUDAR sudah melalui perpanjangan selama 40 hari oleh Jaksa Penuntut Umum melalui surat perintah perpanjangan penahanan.

Penyidik di sini sudah berusaha untuk melengkapi berkas-berkas yang dikembalikan tersebut. Tetapi masih juga belum memenuhi unsur-unsur yang diperlukan oleh penuntut umum. Mengingat batas waktu penahanan tersangka yang apabila sudah melebihi batas waktu dari penahanan penyidik belum bisa melengkapi apa yang diperlukan oleh penuntut umum, maka tersangka akan dinyatakan bebas demi hukum.

Hubungan antara Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan di Temanggung sudah lama terjalin dengan baik. Adanya saling kerjasama diantaranya membuat semua proses peradilan pidana di Kabupaten Temanggung menjadi berjalan dengan lancar. Sehingga dalam prapenuntutan ini, Jaksa Penuntut Umum segera mengeluarkan P-21, yaitu bahwa sudah dinyatakan lengkap atau memenuhi unsur berkas perkara tersebut. Penyidik juga tidak ingin di praperadilan-kan oleh keluarga tersangka, berkas yang seharusnya masih dianggap kurang lengkap kemudian dianggap sudah lengkap dan akhirnya bisa dilimpahkan ke Kejaksaan untuk kemudian bisa dikeluarkannya P-21.

(12)

Berkas yang belum lengkap seharusnya masih menjadi tanggung jawab penyidik untuk melengkapinya. Apabila penyidik masih belum bisa memenuhi petunjuk yang harus dilengkapi guna pemeriksaan di tingkat penyidikan dan pemeriksaan pengadilan, seharusnya bisa dikeluarakan SP 3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Jika salah satu unsur alasan dikeluarkannya SP3 itu terpenuhi, maka tersangka tersebut bisa dibebaskan demi hukum dan di sini penyidik menghindari kemungkinan-kemungkinan penyidik bisa di praperadilan-kan oleh keluarga tersangka mengingat tersangka sudah menjalani masa penahanan selama 60 hari. Begitu juga dengan kejaksaan, juga masih ingin menjaga hubungan dengan kepolisian yang selama ini sudah terjalin dengan baik. Berangkat dari pemikiran itulah penulis ingin mengetahui bagaimana proses prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung tersebut, mengenai berkas perkara yang seharusnya belum memenuhi unsur, tetapi ternyata bisa dilimpahkan ke Kejaksaan, melalui sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PRAPENUNTUTAN DI

KEJAKSAAN NEGERI TEMANGGUNG”. Dengan harapan bahwa

nantinya karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, pemerhati hukum maupun masyarakat pada umumnya.

(13)

1. Bagaimana problematika yang terjadi dalam proses prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung?

2. Dalam hal apa suatu berkas perkara dinyatakan lengkap menurut pasal 14 huruf b KUHAP ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini secara menyeluruh mempunyai tujuan :

1. Penulis ingin mengetahui problematika apa yang terjadi di dalam pelaksanaan prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung.

2. Untuk mengetahui lebih lanjut bahwa dalam hal apa suatu berkas perkara sudah dinyatakan lengkap menurut pasal 14 butir b KUHAP.

D. Tinjauan Pustaka

Pasal 30 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 disebutkan bahwa13:

“Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta membeikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan”

13

Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004.

(14)

Kemudian dalam Pasal 4 KUHAP disebutkan bahwa Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.14 Pasal 4 KUHAP ini secara umum telah menentukan, bahwa setiap pejabat kepolisian negara itu telah dilibatkan di dalam tugas-tugas penyelidikan, yang pada hakekatnya merupakan salah satu bidang tugas dari sekian banyak tugas-tugas yang ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang ada hubungannya erat dengan tugas-tugas yang lain, yakni sebagai satu keseluruhan upaya para penegak hukum untuk membuat seseorang pelaku dari suatu tindak pidana itu harus mempertanggungjawabkan perilakunya menurut hukum pidana di depan hakim15

Pasal 5, KUHAP :

1. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 4: a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang,

a)Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b)Mencari keterangan dan barang bukti.

c) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

d)Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

14

Lamintang, Kitab Undang -Undang Hukum Acara Pidana, Sinar Baru, Bandung,1984, hlm.58.

15 Ibid.

(15)

a)Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.

b)Pemeriksaan dan penyitaan surat.

c) Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

d)Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

2. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.16

Pada masa peraturan RO dan HIR mempunyai kekuatan berlaku secara penuh mulai tahun 1847 dan1848 telah diatur mengenai organ polisi masa lalu dan tugas kepolisian yang bersangkutan. Gubernur Jenderal yang menjadi kepala pemerintahan Hindia Belanda membawahkan Procureur Generaal

(Jaksa Agung).17

Jaksa Agung pada waktu itu diserahi tugas mengepalai:

(1) Kewenangan kepolisian dan membantu penyelenggaraan pemerintah untuk memelihara ketenteraman dan keamanan umum serta menjaga supaya tetap terjamin ketertiban (kepolisian preventif)

(2) Kewenangan kepolisian yang membantu bidang kehakiman dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan berhubung adanya sangkaan terjadi kejahatan atau pelanggaran (kepolisian represif)

16

Ibid.

17

Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Yogyakarta, 1984, Hlm. 25.

(16)

(3) Kemudian kewenangan menyerahkan berkas perkara itu agar dapat diperiksa oleh pengadilan (kepolisian justisi).18

Tugas penuntutan perkara pidana pada masa Hindia Belanda dahulu dilakukan oleh pejabat “Officieren Van Justice” dan “magistraat” atau yang dirangkap oleh assisten residen. Pada masa lalu dikenal aparat kerajaan yang berkedudukan sebagai “adhyaksa” dengan tugas menuntut dan menghakimi dibawah pimpinan “Dharmaadhyaksa” 19

Undang-Undang No. 15 tahun 1961 pasal 1-2, 5-13 telah diatur tugas jaksa selaku penuntut umum dan tugas-tugas lain yang dahulu menjadi wewenang kepolisian preventif dan represif. Tugas jaksa dalam rangka melakukan penuntutan perkara pidana mempunyai tanggung jawab untuk membuat surat tuduhan yang terang dan mudah dimengerti oleh terdakwa, dan mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) setelah pemeriksaan perkara dianggap selesai dipersidangan.20

Jaksa Agung menjadi penuntut umum tertinggi, mengawasi tugas para jaksa, memberi petunjuk mengkoordinasi dan mengawasi alat-alat penyelidik dengan mengindahkan hierarchie (tugas macam ini sudah dirubah menjadi prapenuntutan), dan menyampingkan suatu perkara berdasarakan kepentingan umum.21

18

Ibid.

19

Bambang Poernomo, Op.Cit. hlm. 27.

20 Ibid.

21 Ibid.

(17)

Peranan kejaksaan ini mengalami perluasan dan penyempitan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1981. Kualitas pejabat kejaksaan menurut KUHAP pasal 1 ayat (6) dipisahkan, yaitu22:

(1) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memeperoleh kekuatan tetap.

(2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Menurut perincian wewenang penuntut umum dalam pasal 14 KUHAP tertera bahwa jaksa selaku penunt ut umum tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan perkara pidana umum. Di bidang penyidikan yang hasilnya kurang sempurna oleh jaksa kemudian diberi petunjuk-petunjuk mengenai kelengkapan berkas perkara, yang kemudian disebut dengan prapenuntutan, dengan cara mengembalikan berkas perkara yang disertai petunjuk kepada penyidik untuk kemudian dilengkapi.

Prapenuntutan dapat diartikan penetapan jaksa dalam jabatan penuntut umum yang mewajibkan kepada penyidik untuk melengkapi kekurangan hasil penyidikan atau melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang tersebut dalam penetapan.

Adanya wewena ng untuk menyampaikan suatu laporan mengenai terjadinya suatu tindak pidana kepada penyelidik dan penyidik, maka

22 Ibid.

(18)

Undang-Undang secara tegas telah bermaksud untuk memberikan jaminan bahwa penyampaian laporan tersebut tidak akan membuat pelapornya menjadi harus dipertanggungjawabkan atas laporan yang telah ia sampaikan kepada penyelidik dan penyidik, berikut segala akibat yang timbul karena laporannya itu.

Sudah pasti apa yang dikemukakan di atas tersebut menjadi tidak berlaku, yakni apabila yang dilaporkannya itu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan atau ternyata palsu, kecuali jika hal tersebut terjadi karena ulah dari oknum polisi itu sendiri.

Untuk mengant isipasi kemungkinan terjadinya problematika-problematika yang timbul di dalam pelaksanaan prapenuntutan, maka terdapat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP dalam Pasal 138 yang berbunyi23:

(1) “Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya, dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum”

(2) “Dalam hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum megembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik haru sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.”

Pasal 138 tersebut hanya menjelaskan mengenai arti “meneliti”, adakah tindakan penuntut umum dalam mempersiakan penuntutan, apakah orang atau

23

(19)

benda tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik.24

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian Yuridis Sosiologis

1. Obyek Penelitian

Problematika pelaksanaan prepenuntutan yang terjadi pada Kejaksaan Negeri Temanggung

2. Subyek Penelitian

a. Polisi Resort Temanggung

b. Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Temanggung

3. Sumber Data

a. Sumber data primer

Yaitu data ya ng diperoleh secara langsung dari Kejaksaan Negeri Temanggung dan Kepolisian Resort Temanggung mengenai problematika yang terjadi di dalam prapenuntutan tersebut. Penulis

24

(20)

mencari nara sumber yang berkompeten dan terlibat langsung di dalam proses jalannya prapenuntutan sehubungan dengan kasus yang penulis teliti, seperti Polisi sebagai penyidik, dan Jaksa Penuntut Umum.

b. Sumber data sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel internet dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

4. Tekhnik pengumpulan data

a. Data primer

Berupa wawancara dengan subyek penelitian tentang problematika dalam proses prapenuntutan yang terjadi di Kejaksaan Negeri Temanggung.

b. Data Sekunder

1) Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan cara mengkaji berbagai bahan kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, media cetak, artikel internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

(21)

Dilakukan dengan cara mengkaji berbagai dokumen institusional yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

F. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan melihat, menelaah dan menginterprestasikan hal- hal yang bersifat teoritis yang berkaitan dengan hukum positif yang berlaku, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan berkaitan dengan data primer yang didapatkan di lapangan dengan cara mengkaji fakta-fakta problematika yang terjadi pada proses prapenuntut an di Kejaksaan Negeri Temanggung.

G. Analisis Data

Analis data dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Jenis penelitian kualitatif ini diambil dengan cara menafsirkan temuan-temuan dari hasil penelitian dengan perspektif atau sudut pandang tertentu yang kemudian disajikan dalam bentuk narasi.

Data dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan, meringkas berbagai kondisi dan situasi. Dalam penelitian akan dijabarkan kondisi konkrit dari obyek penelitian dan selanjutnya akan dihasilkan deskripsi tentang problematika dalam pelaksanaan prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian toleransi biji salak terhadap ancaman penurunan kadar air, suhu dan serangan jamur ter- diri dari 3 percobaan adalah sebagai berikut : Penelitian pertama ; Untuk

[r]

Variabel sosial juga berperan sebagai variabel moderator yang memperkuat pengaruh variabel produk dan kualitas pelayanan masing-masing terhadap keputusan nasabah BPR

Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Makassar Somba Opu. 2)Untuk mengetahui strategi Relationship Marketing mana yang memiliki pengaruh dominan terhadap

 Keislaman seseorang terbatal (murtad) apabila dia melakukan perkara yang membatalkan dua kalimah syahadah seperti berfahaman ateis (tidak percaya akan kewujudan Tuhan),

Atas kehendak-Nya penyusunan skripsi dengan judul “APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAME TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI LOMPAT JAUH

Selanjutnya berdasarkan hasil pengujian sampel air dapat diketahui kondisi perairan Sungai Belawan sudah tercemar logam berat, terutama unsur Hg, Cd, dan Pb.Disarankan

(kalau aturan di Berkah Lestari itu beda dengan aturan pada umumnya mbak, ya tidak ketat seperti di perusahaan, pokoknya enak tidak memberatkan. Misalnya tidak bisa