BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Daun seledri (Apium graveolens L)
a. Sistematika Daun Seledri
Klasifikasi Daun seledri (Apium graveolens L) sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Apiales
Suku : Apiaceae
Marga : Apium
Jenis : Apium graveolens (Dalimartha,2000)
b. Morfologi tumbuhan
Menurut ahli sejarah Botani, daun seledri telah dimanfaatkan sebagai sayuran sejak abad XVII atau tahun 1640, dan diakui sebagai tumbuhan berkhasiat obat secara ilmiah baru pada tahun 1942. Tumbuhan seledri dikategorikan sebagai sayuran. Tumbuhan berbonggol dan memiliki batang basah. Pengembangbiakan tanaman seledri dapat digunakan dengan dua acara, yaitu melalui bijinya atau pemindahan akar rumpunya (Thomas, 1989).
tangkai daun sampai 12,5 cm terputar, beralur, panjang tangkai anak daun 1 cm sampai 2,7 cm (Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, 1989).
c. Manfaat tanaman
1. Efek farmakologi
Seledri merupakan sayuran atau tanaman tradisional yang sejak lama telah digunakan untuk menurunkan tekanan darah. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kandungan apigenin yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah. Efek tersebut akan menjadi lebih besar dengan adanya komponen pthalide yang merilekskan pembuluh darah. Di sisi lain seledri juga mengandung fitosterol, yang sangat berkhasiat untuk menurunkan kadar kolesterol darah. Selain berfungsi untuk mencegah kanker dan membentuk permeabilitas kulit yang baik, seledri juga bermanfaat untuk memelihara kebersihan mulut dan kesehatan gigi terutama bagi lanjut usia. Seledri mentah dapat merangsang produksi air liur sehingga dapat membantu melumpuhkan aktivitas kuman yang dapat mengakibatkan gigi keropos (Dalimartha, 2000).
2. Penggunaan di Masyarakat
3. Kandungan Kimia Tanaman
Daun seledri mengandung flavonoid, saponin, tannin, minyak atsiri, flavor-glukosida (apiin), apigenin, kolin, lipse, asparagin, alkaloid serta vitamin. Seluruh herba seledri mengandung glikosida apiin (glikosida flavon), isoquersetin, dan umbelliferon, mengandung mannite, inosite, asparagine, glutamine, choline, linamarose, provitamin A, vitamin C dan vitamin B. Kandungan asam-asam dalam minyak atsiri pada biji, antara lain: asam-asam resin, asam-asam lemak terutama palmitate, oleat, linoleate, dan petroselinat. Senyawa kumarin lain ditemukan dalam biji yaitu bergapten, seselin, isomperatorin, osthenol, dan isopimpinelin (Sudarsono et al., 1996).
B. Pasta Gigi
Pasta merupakan sediaan berupa massa lembek yang dimaksudkan untuk pemakaian luar, biasanya dibuat dengan mencampurkan bahan obat yang berbentuk serbuk dalam jumlah besar dengan vaselin dan parafin cair atau dengan bahan dasar tidak berlemak yang dibuat dengan gliserol, mucilago, atau sabun. Digunakan sebagai antiseptik dan pelindung kulit (FIII, 1979). Pasta gigi adalah sesuatu campuran kental terdiri dari serbuk dan glycerinum yang digunakan untuk pembersih gigi (Anief, 2007). Standarisasi pasta gigi yang memenuhi syarat untuk memelihara kesehatan rongga mulut adalah (Triwahyuni, 2009) :
1. Tidak bersifat toksik
2. Menurunkan tegangan permukaan plak yang menempel pada permukaan jaringan keras gigi atau mukosa mulut.
Pasta berlemak ternyata kurang berminyak dan lebih menyerap dibandingkan dengan salep karena tingginya kadar obat yang mempunyai afinitas terhadap air. Pasta ini cenderung untuk menyerap sekresi seperti serum dan mempunyai daya penetrasi dan daya maserasi lebih rendah dari salep. Oleh karena itu, pasta digunakan untuk lesi akut yang cenderung membentuk kerak, menggelembung atau mengeluarkan cairan. Pasta gigi biasanya mengandung bahan abrasive, pembersih, bahan penambah rasa, warna serta pemanis, selain itu dapat juga ditambahkan bahan pengikat, pelembab, pengawet, flour, dan air.
1. Bahan abrasive
Bahan abrasive yang terdapat dalam pasta gigi umumnya berbentuk bubuk pembersih yang dapat memolis dan menghilangkan stain dan plak. Bentuk dan jumlah dalam pasta gigi membantu untuk menambah kekentalan pasta gigi. Sebanyak 30-40%, contohnya: natrrium bikarbonat, kalsium karbonat, kalsium sulfat, natrium klorida (Cahyanti, 2014).
2. Bahan pelembab
Bahanini terdapat dalam pasta gigi sebanyak 10-30%. Fungsinya untuk mencegah penguapan air dan mempertahankan kelembaban pasta. Contoh: gliserin, sorbitol, dan air (Cahyanti, 2014).
3. Bahan pengikat
Bahan ini memberikan efek untuk mengikat semua bahan dan membantu memberikan tekstur pasta gigi, terdapat sebanyak 1-5% dalam pasta gigi. Contoh: karboksimetil sellullose, hidroksimetil selullose, carrageenan dan cellulose gum (Bayuarti, 2006).
4. Deterjen dan surfactant
5. Bahan pengawet
Fungsi bahan ini mencegah kontaminasi bakteri dan mempertahankan keaslian produk. Jumlah bahan pengawet dalam pasta gigi diatas dari 1%. Contoh: formalin, alkohol, dan natrium benzoate (Mutmainnah, 2013). 6. Bahan Pewarna atau bahan pemberi rasa
Fungsi bahan ini untuk menutupi rasa bahan-bahan lain yang kurang enak, terutama SLS, dan juga memenuhi selera pengguna seperti rasa mint dan rasa permen karet pada pasta gigi anak-anak. Contoh: peppermint, menthol, eucalyptus, dan sakarin (Bayuarti, 2006).
7. Air
Kandungan air dalam pasta gigi sebanyak 20-40% dan fungsinya sebagai bahan pelarut dan mempertambah esistensi (Hartono, 2013).
8. Bahan terapeutik
Bahan ini pada pasta mengandung 0-2%. Bahan yang biasa ditambahkan dalam pasta gigi adalah flour, bahan desensitisasi, antimikroba, bahan pemutih dan pengawet (Mutmainnah, 2013).
9. Bahan pemutih
Bahan ini pada pasta mengandung 0,05-0,5%. Bahan pemutih yang biasanya digunakan sodium carbonat, hydrogen peroksida, citroxane, dan hexametaphospate (Hartono, 2013).
C. Ekstraksi
sempurna, karena zat aktif hanya mampu terekstraksi sebesar 50% saja dan prosesnya lama (Indraswari, 2008).
Menurut Depkes RI (2000) pembagian metode ekstraksi yaitu :
1. Cara dingin
a. Maserasi
Merupakan proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
b. Perkolasi
Merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
2. Cara panas
a. Refluks
Merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dengan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. c. Digesti
Merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruanngan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
d. Infundasi
e. Dekok
Merupakan infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur titik didih air yakni 30 menit pada suhu 90-100oC.
D. Uji Antimikroba
1. Metode difusi
Metode disc diffusion (test Kirby & bauer) untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi antimikroba diletakan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen mikroorganisme oleh agen antimikroba pada media agar (Jawetz et al., 1991).
2. E-test
Metode ini digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitory concetration) atau KHM (kadar hambat minimum) yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga kadar tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Ibrahim, 2013).
3. Dicth-plate technique
4. Cup-plate technique
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan bakteri dan pada sumur tersebut diberi agen antibakteri yang akan diuji (Ibrahim, 2013).
5. Gradient-plate technique
Pada metode ini konservasi agen antimikroba pada media agar secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang kedalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang diatasnya. Plat diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tertinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan (Pratiwi, 2008).
Bila :
X = panjang total pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin Y = panjang pertumbuhan aktual
C = konsentrasi final agen antimikroba pada total volume media mg/ml. Maka konsentrasi hambatan adalah [(X.Y)]: C mg/mL.
Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan yang didapat dari lingkungan padat dan cair, faktor difusi agen antimikroba dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media padat (Pratiwi, 2008).
6. Media Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution) (Poeloengan, 2007).
a. Metode dilusi cair / broth dilution test (serial dilution)
concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya diukur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Poeloengan, 2007).
b. Metode dilusi padat/solid dilution test
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat solid. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menggunakan beberapa mikroba uji (Poeloengan, 2007).
E. Bakteri
1. Streptococcus mutans
Klasifikasi Streptococcus mutans
Kingdom : Monera Division : Firmicutes Class : Bacilli Ordo : Lactobacillus Family : Streptococcaceae Genus : Streptococcus
Streptococcus mutans berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter micrometer merupakan kokus gram positif, koloni berpasangan atau berantai, tidak berspora dan tidak bergerak. Mekanisme ini bersifat anaerob fakultatif (Collier et al., 1998). Bakteri Streptococcus mutans mampu melekatkan diri di permukaan gigi dengan sangat kuat karena Streptococcus mutans dapat menghasilkan dekstran polisakarida yang bersifat adhesive (perekat kuat), Streptococcus mutans menghasilkan dexstran jika hanya ketika ada sukrosa dengan bantuan enzim dextransucrase (Mardigan et al., 2000).
Streptococcus mutans yang ada dalam mulut secara aerobik mampu menerima atau menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa ini akan mengalami fermentasi secara anaerob melalui jalur glikolisis (Pratiwi 2008). Jika tidak ditangani, infeksi dari bakteri Streptococcus mutans akan meluas hingga mencapai bagian pulpa yang banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf sehingga bakteri Streptococcus mutans patogen dapat masuk kepembuluh darah, menginfeksi jantung, dan menyebabkan infeksi endocarditis. Pada kasus yang parah, bakteri dapat memicu kerusakan pembuluh jantung, dan menyebabkan gagal jantung kongestif (Richard dan Humer 2008).
2. Staphylococcus aureus
Klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria Phylum : Firmicutes Class : Bacilli Order : Bacillales
Family : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif. Bakteri Staphylococcus aureus mudah tumbuh pada berbagai media, bermetabolisme aktif dengan memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang beragam mulai dari pigmen warna putih sampai kuning tua. Staphylococcus aureus untuk koloni yang berwarna kuning serta S. albus untuk koloni yang bewarna putih (Todar, 2011). Pigmen kuning keemasan timbul pada pertumbuhan selama 18-24 jam pada suhu 37º C, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25º C) (Dewi, 2013).