• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Globalisasi mempengaruhi organisasi di seluruh dunia. Pasar-pasar baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Globalisasi mempengaruhi organisasi di seluruh dunia. Pasar-pasar baru"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi mempengaruhi organisasi di seluruh dunia. Pasar-pasar baru di berbagai belahan dunia semakin terbuka bagi perusahaan internasional. Globalisasi memberikan peluang, kesempatan serta tantangan baru. Sistem manajemen, dan budaya organisasi harus dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terus berubah. Organisasi membutuhkan orang-orang yang memiliki kompetensi profesional serta kemampuan dan kecakapan lintas budaya. Orang-orang tersebut menjadi salah satu modal utama organisasi agar dapat terus bertahan dan berkembang. Semakin banyak para manajer yang menyadari kebutuhan akan memiliki kecakapan lintas budaya dalam menghadapi era globalisasi. Mereka adalah individu-individu yang menginginkan pengembangan dan aktualisasi diri.

Ketidakmampuan organisasi dalam memahami kebutuhan para manajer yang menginginkan mengembangkan kecakapan lintas budaya dan mengaktualisasikan diri dapat mengakibatkan turnover sukarela yang merugikan bagi organisasi secara finansial maupun secara kinerja. Mobley (1982) mengatakan bahwa turnover pekerja, dalam fenomena sukarela, merujuk para individu yang berinisiasi sendiri dan secara permanen memutuskan keanggotaanya dari sebuah organisasi. Memutuskan keanggotaan dari sebuah organisasi berarti memisahkan organisasi dalam konteks afiliasi kelompok sosial spesifik dari identitas dirinya sehingga sikap dan perilakunya tidak lagi harus searah dengan tujuan organisasi tersebut.

(2)

Trevor (2001) mengatakan para pekerja yang lebih memungkinkan berhenti adalah pekerja dengan performa tinggi karena memiliki akses pekerjaan eksternal dibanding pekerja dengan performa buruk. Laporan efektivitas sumber daya manusia 2012/2013 di Amerika Serikat dari PwC Saratoga menyatakan bahwa terjadi penurunan pengangguran sebesar 1.1% pada tahun 2011 namun di sisi lain turnover sukarela meningkat sebesar 1%. Secara lebih jauh laporan tersebut menyatakan pada tahun 2010, 4.4% pekerja dengan performa tinggi meninggalkan pekerjaan mereka dengan persentase hampir mencapai 19% sejak tahun 2009. PwC Saratoga juga melaporkan organisasi kehilangan lebih dari 2% pekerja berpotensial pada tahun 2011. Perusahaan-perusahaan multinasional juga tidak terlepas dari permasalahan turnover sukarela, salah satunya adalah Marriott dengan persentasi turnover sukarela sebesar 17%.

Resiko kehilangan pekerja potensial semakin bertambah dengan berkembangnya konsep karir protean dan karir tanpa batas yang dikenal dengan istilah boundaryless career (Arthur, 1994). Pada konsep karir protean dan karir tanpa batas, pengembangan karir individu tidak lagi terbatas pada satu organisasi atau satu perusahaan saja. Konsep kesuksesan karir kini lebih mengarah kepada kebebasan individu, kepuasan kerja, aktualisasi diri, pencapaian personal dan rasa kepuasan.

Salah satu fenomena yang mulai bermunculan dengan berkembangnya konsep karir protean dan karir tanpa batas adalah orang-orang yang memiliki kompetensi tinggi namun tidak merasa puas pada suatu organisasi dan memilih menjadi self-initiated expatriate. Self-initiated expatriate atau disingkat sebagai SIE adalah orang-orang yang ingin mengembangkan karir tanpa harus tergantung pada satu organisasi tertentu sekaligus mencari kesempatan untuk

(3)

dapat berpergian dan bereksplorasi. Tharenou dan Caufield (2010) mengatakan bahwa para ekspatriat yang datang dengan inisiasi sendiri tanpa adanya penugasan dan dukungan dari organisasi disebut dengan self-initiated expatriate. Memilih menjadi self-initiated expatriate berarti memilih untuk menjalani hidup dalam budaya yang berbeda dari budaya asal mereka. Para SIE akan hidup dalam budaya baru yaitu budaya negara yang mereka pilih dan menghadapi beragam tantangan perbedaan budaya. Elashmawi dan Harris (1996) mengatakan bahwa masalah-masalah yang dijumpai dalam interaksi bisnis antar budaya terletak pada kesalahpahaman tentang pedoman budaya dasar yang ada dalam setiap negara di dunia. Untuk melakukan bisnis lintas budaya, seseorang harus bersedia untuk berusaha mengerti dan bekerja dalam pedoman itu. Setiap kebudayaan memiliki caranya sendiri yang unik dalam menangani bisnis dan interaksi sosial, dan setiap orang yang masuk ke kebudayaan-kebudayaan khusus harus mengenal berbagai perbedaannya.

Perbedaan budaya yang terlihat jelas adalah perbedaan bahasa dan pola komunikasi yang digunakan dalam berbagai budaya. Rosch dan Segler (1987) melakukan penelitian lintas budaya mengenai perbedaan antara bahasa implisit dan eksplisit dalam pola komunikasi. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa bahasa implisit memberikan pesan secara berhati-hati dengan menggunakan nada positif untuk mengurangi kemungkinan adanya kontak yang tidak menyenangkan, konfrontasi secara langsung, dan pertentangan. Bahasa eksplisit merupakan kebalikan dari bahasa implisit yang menggunakan pola komunikasi secara langsung dan terbuka bahkan terkadang menghasilkan pesan yang negatif atau terkesan kasar.

(4)

Bahasa implisit banyak digunakan oleh budaya kolektivis. Hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri dari budaya kolektivis yaitu menyelaraskan antara tujuan individual dengan tujuan kelompok dan adanya kebutuhan untuk menjaga harmoni kelompok (Triandis, 1989). Bahasa implisit dapat dilihat dari frekuensi penggunaan kata ambigu seperti “mungkin”, “barangkali”, “agak”, yang sering ditemukan dalam masyarakat Cina, Jepang, Thailand, Korea dan Indonesia untuk menghindari konfrontasi (Gibson dalam Earley & Erez, 1997). Bahasa eksplisit pada umumnya digunakan dalam budaya individualis yang lebih sering menggunakan pola komunikasi yang terbuka dan langsung serta berfokus pada tugas atau masalah yang ada. Hal tersebut dapat terlihat dari tingginya frekuensi penggunaan kata “absolutely,” “certainly,” dan “positively” pada para komunikator asal Kanada dan Amerika dibandingkan dengan para komunikator asal Jepang (Gibson dalam Earley & Erez, 1997). Pola komunikasi yang berbeda ini merupakan suatu tantangan lintas budaya yang harus dihadapi oleh self-initiated expatriate.

Para self-initiated expatriate juga harus dapat memahami pola kepemimpinan yang efektif dalam budaya yang berbeda. Javidan, Dorfman, de Luque dan House (2006) menjelaskan terdapat perbedaan gaya kepemimpinan yang dipandang efektif secara lintas budaya dari berbagai negara yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat. Mereka mengambil contoh perbedaan gaya kepemimpinan antara manajer asal Amerika dan manajer asal Brazil. Manajer asal Amerika lebih menyukai pendekatan yang tidak terlalu berhati-hati dan mengambil tingkat resiko yang lebih tinggi sedangkan manajer Brazil menggunakan pendekatan yang lebih berhati-hati dan menolak resiko. Hal ini sesuai dengan penemuan bahwa budaya Amerika lebih toleran terhadap

(5)

ketidakpastian dibandingkan dengan budaya Brazil. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa manajer asal Amerika tampak menyukai proses membuat keputusan yang lebih cepat dengan level orientasi aksi yang tinggi sedangkan manajer asal Brazil lebih sensitif terhadap harmoni dan menghindari resiko yang sesuai dengan nilai kolektivis mereka.

Perbedaan motivasi dalam setiap budaya juga merupakan suatu permasalahan tersendiri. Elashmawi dan Harris (1996) mengatakan bahwa dalam lingkungan kerja multibudaya, tidak semua orang termotivasi oleh faktor-faktor yang sama. Gaya manajemen, pengendalian, daya tarik emosional, pengakuan, hadiah material, ancaman dan nilai-nilai budaya yang berbeda antara negara satu dan lainnya harus dapat dipahami agar pekerja mendapatkan motivasi yang sesuai hingga organisasi dapat berjalan dengan optimal dan mencapai tujuan bisnis. pola penerapan nilai budaya, pertukaran informasi, orientasi waktu, komunikasi non-verbal, penggunaan bahasa, gambaran diri, proses dan tujuan budaya sangat penting untuk dipahami agar tidak terjadi konflik antar budaya.

Berbagai tantangan lintas budaya yang harus dihadapi SIE merupakan bagian dari proses akulturasi psikologis yang harus dijalani ketika mereka hidup dalam budaya yang berbeda. Akulturasi psikologis dapat dipahami sebagai kontak antara dua budaya berbeda yang menimbulkan perubahan dalam diri. SIE yang berasal dari negara lain dengan membawa budaya asal dalam dirinya akan melakukan kontak budaya yang berbeda dengan masyarakat setempat dan menjalani proses akulturasi psikologis. Tantangan yang harus dihadapi para SIE dalam proses akulturasi psikologis sangat beragam, dapat bersifat fisik ataupun non fisik. Beberapa tantangan fisik dapat berupa makanan dan suhu yang

(6)

berbeda, sedangkan tantangan nonfisik dapat berupa perbedaan budaya, perilaku masyarakat dan pola komunikasi. Para SIE harus dapat menangkap makna dari perilaku masyarakat, memahami nilai budaya mereka dan menggunakan pemahaman tersebut untuk meningkatkan kecakapan lintas budaya mereka yang dapat diterapkan dalam berbagai domain kehidupan mereka, dunia sosial maupun dunia kerja.

Yogyakarta dengan budaya Jawa dan masyarakat kolektivis menjadi tantangan tersendiri bagi para SIE yang memilih untuk hidup di kota ini terutama jika SIE tersebut berasal dari negara di mana masyarakatnya lebih bersifat individualis. Masyarakat Yogyakarta yang mengutamakan harmoni menggunakan bahasa implisit. Bahasa implisit menyebabkan pola komunikasi yang terkesan berputar dan tidak jelas karena menghindari kemungkinan terjadinya konflik. Hal ini dapat menjadi suatu permasalahan bagi Individu yang terbiasa dengan pola bahasa eksplisit dan berorientasi pada penyelesaian masalah.

Tantangan bahasa yang harus dihadapi di Yogyakarta bukan saja terkait bahasa implisit versus bahasa eksplisit namun juga bahasa daerah dengan keunikan yang khusus. Bahasa daerah yang dimiliki Yogyakarta yaitu bahasa Jawa memiliki level kompleksitas yang cukup tinggi. Komunikasi sehari-hari yang mereka melakukan dengan bahasa Jawa dibedakan menjadi tiga jenis yaitu bahasa Jawa kasar, halus dan sangat halus berdasarkan umur dan strata. Penggunaan bahasa Jawa tersebut harus disesuaikan dengan lawan bicara, situasi dan kondisi. Setiap orang harus mengetahui siapa lawan bicara, status yang dimilikinya dan menggunakan strata bahasa yang sesuai. Ragam kosa

(7)

kata, struktur hingga kompleksitas dari bahasa Jawa yang cukup tinggi menjadikan bahasa ini cukup sulit untuk dipelajari.

Salah satu contoh perbedaan nilai budaya lainnya yang dimiliki budaya Jawa di Yogyakarta dapat dilihat dari frase “alon-alon neng kelakon” yang sering diungkapkan dalam ucapan keseharian. Ucapan ini memiliki arti pelan-pelan tapi dapat terselesaikan dapat dimaknai sebagai salah satu prinsip hidup orang Yogyakarta yang harus dapat bersabar, tidak tergesa-gesa dalam mengerjakan sesuatu namun dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik. Sikap sabar dan tidak tergesa-gesa masyarakat Yogyakarta ini dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari hingga dunia kerja mereka, seperti cara mereka berjalan, berkomunikasi, menyelesaikan masalah yang harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal sebelumnya dan dalam melakukan pekerjaan.

Penjelasan di atas mengarahkan pada kesimpulan bahwa tantangan utama dalam akulturasi psikologis para SIE di Yogyakarta yang menginginkan pengalaman lintas budaya untuk pengembangan diri akan terkait erat dengan budaya Jawa yang melekat pada masyarakat. Perbedaan bahasa, pola kerja terkait norma dan nilai budaya dapat menjadi tantangan dengan tekanan yang cukup tinggi. Penyesuaian budaya membutuhkan waktu, tenaga dan uang dari para SIE. Kesabaran dan ketertarikan bagi ekspatriat yang hidup dalam budaya dan lingkungan baru juga sangat dibutuhkan agar penyesuaian dapat berjalan dengan baik. Mereka harus dapat mempelajari budaya Yogyakarta dan mengaplikasikan nilai budaya yang ada agar dapat berfungsi dengan baik dalam berbagai segi kehidupan mereka, dunia sosial, kerja maupun keluarga.

(8)

B. Pertanyaan Penelitian

Hidup dan bekerja di luar negeri dengan budaya yang berbeda merupakan suatu pengalaman yang penuh tantangan. Budaya Jawa di Yogyakarta memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dari budaya lainnya. Berbagai hal harus dihadapi seperti mencari pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, perbedaan pola pikir dan budaya, cara kerja yang berbeda, perbedaan gaya hidup, cara komunikasi verbal dan nonverbal yang berbeda dan berbagai tantangan lainnya. Proses akulturasi psikologis merupakan dampak yang harus dihadapi atas keputusan memilih menjadi seorang self-initiated expatriate. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tidak semua ekspatriat mampu beradaptasi dengan baik dalam proses akulturasi psikologis. Berdasarkan latar belakang masalah dan uraian di atas maka permasalahan penelitian ini dirumuskan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut:

“Bagaimanakah proses akulturasi psikologis para self-initiated expatriate di Yogyakarta?”

C. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman akulturasi psikologis para self-initiated expatriate selama mereka tinggal dan bekerja di Yogyakarta dan menangkap makna dibaliknya. Proses akulturasi tersebut akan diketahui melalui pemahaman terhadap berbagai proses yang dilalui para ekspatriat dalam menghadapi bermacam-macam tantangan yang ada dari sudut pandang mereka.

(9)

Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menambah pemahaman dalam bidang ilmu Psikologi Lintas Budaya dan Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) mengenai akulturasi psikologis self-initiated expatriate di Yogyakarta yang masih belum banyak dilakukan sebelumnya.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai tantangan dan cara mengatasi tantangan dalam proses akulturasi psikologis dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan kerja para self-initiated expatriate di Yogyakarta sehingga dapat membantu organisasi yang akan memberikan penugasan ekspatriasi dan orang yang tertarik untuk menjadi self-initiated expatriate untuk mempersiapkan penyesuaian lintas budaya. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu tenaga kerja lokal yang menjalin kerjasama dengan mereka ataupun warga sekitar mereka agar dapat berinteraksi dengan lebih baik.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai self-initiated expatriation di Indonesia belum banyak dilakukan. Penulis tidak dapat menemukan hasil-hasil penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif yang disajikan oleh perpustakaan digital UGM terkait SIE. Penelitian yang ditemukan oleh penulis dalam digital UGM terkait ekspatriat dilakukan oleh Taukhid (2009) dengan judul “A Study on Expatriates Life Style and Behavior and Its Economic Impacts to Both Host and Home Countries”. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam mengenai gaya hidup dan tingkah laku ekspatriat terkait perilaku

(10)

belanja yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu ekspatriat yang berasal dari negara Utara dan ekspatriat yang berasal dari negara Selatan. Hasil dari analisa t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan dampak ekonomis antara ekspatriat utara dan ekspatriat selatan pada negara asal maupun negara tamu. Hasil tersebut berbeda dengan hasil wawancara mendalam yang dilakukan Taukhid dengan empat orang responden. Pada akhirnya Taukhid meyakini bahwa hasil analisa kuantitatif dalam penelitiannya lebih dapat dipercaya.

Penulis menemukan artikel jurnal dengan tema self-initiated expatriate yang merupakan karya disertasi dari Universitas Wisconsin-Milwaukee. Penelitian tersebut dilakukan oleh Chen (2012) dengan judul “A Three-Stage Process Model of Initiated Expatriate Career Transitions: A Self-Determination Theory Perspective” dan diterbitkan pada tahun 2012. Tujuan dari disertasi tersebut adalah untuk mengembangkan dan menguji secara teoritis model dari transisi karir SIE dan proses pembentukan motivasi. Chen menggunakan sampel sebanyak 245 akademisi yang berasal dari 37 negara dan saat ini bekerja di 9 negara berbeda. Chen menggunakan model persamaan struktural untuk menganalisa data. Hasil dari penelitian tersebut mengindikasikan bahwa dukungan relasional (contoh: dukungan organisasi), sumber daya personal (contoh: kepribadian proaktif, memiliki pengalaman kerja internasional, menguasai bahasa universal dengan baik) dan faktor kontekstual dukungan (keragaman iklim negara host) secara positif mempengaruhi penyesuaian akademisi SIE melalui kepuasan dari kebutuhan kompetensi psikologis dan peningkatan dari motivasi mandiri. Penelitian tersebut berbeda dengan tema penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.

(11)

Penelitian lainnya yang memiliki kemiripan namun berbeda ditemukan dalam bentuk artikel jurnal dilakukan oleh Puulmann (2011) dengan artikel judul “Self-initiated Expatriate Entrepreneurship in Denmark”. Penelitian tersebut dilakukan untuk menjawab pertanyaan peneliti yaitu, mengapa seorang SIE memilih untuk memulai bisnis mereka di Denmark? Puulmann menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk menjawab pertanyaan penelitian dan memberikan pemahaman mendalam. Responden dalam penelitian ini berjumlah 5 orang. Jawaban yang ditemukan oleh Puulmann adalah setiap responden memiliki motivasi yang berbeda, namun mereka semua mengidentifikasi sebuah kesempatan yang dapat mereka raih dan mengambilnya. Pada keseluruhan kasus, hal tersebut merupakan sebuah kesempatan untuk merubah karir mereka, untuk memulai dari awal, apakah hal tersebut untuk menantang diri mereka sendiri, menemukan keamanan finansial atau ide penuh semangat yang tak bisa terpuaskan.

Penelitian Lineberry (2012) yang berjudul “Expatriates Acculturation Strategies: Going Beyond “How Adjusted Are You?” To “How Do You Adjust?”” meneliti strategi akulturasi yang digunakan 100 ekspatriat asal Amerika yang bekerja di Eropa, Asia Timur, Timur Tengah, Asia Selatan dan Amerika Utara. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sebagian besar ekspatriat menggunakan strategi fokus-mempertahankan atau fokus-keterikatan.

Penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti aspek-aspek terkait ekspatriasi sudah banyak dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif namun penelitian yang akan dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari fokus penelitian penulis yaitu proses akulturasi psikologis pada self-initiated expatriate. Perbedaan lain yang mencolok adalah

(12)

lokasi penelitian yaitu di kota Yogyakarta dengan budaya Jawa yang memiliki nilai khusus di mana para responden hidup sehari-hari dan saling berinteraksi dengan warga sekitar.

Sejauh pengetahuan penulis, penelitian mengenai proses akulturasi psikologis SIE di Yogyakarta belum pernah dilakukan sebelumnya. Secara khusus penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi agar dapat menangkap esensi dan makna di balik pengalaman para SIE yang menjalani proses akulturasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dan pemahaman yang mendalam mengenai SIE di Yogyakarta dan membantu membangun pemahaman dan interaksi yang lebih baik terhadap SIE untuk warga Yogyakarta pada khususnya.

Referensi

Dokumen terkait

Aston Rasuna Hotel & Residence, Jakarta PT Bakrie Swasakti Utama memiliki 2 menara yang memiliki lokasi yang sama dengan lokasi Apartemen Taman Rasuna yaitu di Jalan H.R.. Rasuna

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifi- kasi pakan rusa yang diberikan oleh pengunjung di penangkaran serta mengidentifikasi ada tidaknya perubahan perilaku dan

Apabila proses dan persyaratan di tingkat lokal selesai, Usulan Proyek dengan semua kelengkapannya diserahkan ke Departemen Kehutanan untuk memperoleh Surat Keterangan dari

Civic responsibility memiliki peran penting untuk membentuk mindset dan perilaku masyarakat agar peduli masyarakat, dan aparat pemerintah dalam membangun desa yang

 Terselenggaranya seminar yang mendukung aktivitas pembelajaran  Penyelenggaraan pembelajaran berbasis industri. SPJJ merupakan program pendidikan yang dirancang sedemikian

Alaikal Maghfur Intan Nur

Mulai saat itu sebagai titik awal pertumbuhan seni rupa modern di Bali, dan kemudian didukung oleh perkambangan ilmu pengetahuan seni rupa dengan banyaknya berdiri

[r]