• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asfiksia Neonatorum 2.1.1 Definisi

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis (IDAI, 2004). Menurut WHO (2012), asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Menurut American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians and Gynecologist (2004), seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut: (i) nilai Apgar 0-3 menetap lebih dari 5 menit, (ii) adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7,0), (iii) terdapat gangguan neurologis, seperti kejang, hipotoni, atau koma, (iv) adanya disfungsi multiorgan. Disfungsi multiorgan tersebut dapat memberikan efek jangka panjang terutama pada fungsi neurologis (Sills, 2004).

Asfiksia dapat terjadi selama antepartum, intrapartum, dan postpartum dengan penyebab bisa faktor ibu, faktor bayi, dan faktor plasenta. Beberapa penelitian menyatakan bahwa asfiksia yang terjadi selama antepartum sebanyak 50% kasus, intrapartum 40%, dan sisanya selama postpartum sebanyak 10% (Dilenge et al, 2001).

Kondisi patofisiologis yang menyebabkan asfiksia meliputi kurangnya oksigenasi sel, retensi karbondioksida yang berlebihan, dan asidosis metabolik. Kombinasi ketiga peristiwa itu menyebabkan kerusakan sel dan lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan kehidupan (Varney, 2007). Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dilakukan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul (Prawirohardjo, 2002).

(2)

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asfiksia

Neonatus akan mengalami proses pengembangan paru yang terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan selanjutnya diikuti pernapasan yang teratur. Hambatan proses pertukaran gas atau oksigen antara ibu dan janin, yang dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan, maupun segera setelah lahir, akan menyebabkan terjadinya asfiksia sehingga pengembangan paru janin juga akan terganggu.

Asfiksia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Towell (1966) dalam Ilyas (1994), menggolongkan penyebab asfiksia neonatorum terdiri dari : a. Faktor Ibu

1. Hipoksia ibu

Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesi. Kondisi ini akan menimbulkan hipoksia pada janin.

2. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.

Umur ibu tidak secara langsung berpengaruh terhadap kejadian asfiksia neonatorum, tetapi umur berpengaruh terhadap proses reproduksi (Desfauza, 2008). Menurut Martadisoebrata (1992) dalam Desfauza (2008) umur yang dianggap optimal untuk kehamilan adalah 20 sampai 30 tahun, sedangkan dibawah atau diatas usia tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan maupun persalinan. Kehamilan pada usia yang terlalu muda dan tua termasuk dalam kriteria kehamilan risiko tinggi dimana keduanya berperan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi (Yuliana, 2012). Usia muda (<20 tahun) berisiko karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi) maupun secara mental, sedangkan umur tua (>35 tahun), secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan. Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, rupture uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir (Yuliana, 2012). Pertambahan umur akan diikuti oleh perubahan perkembangan organ dalam rongga pelvis. Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim (Desfauza, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hartatik dan Yuliaswati (2013), umur kehamilan saat bayi dilahirkan cenderung

(3)

mempengaruhi kejadian asfiksia, ibu-ibu yang melahirkan dengan umur kehamilan yang berisiko lebih berpeluang melahirkan bayi asfiksia sebesar 2,9 kali daripada ibu-ibu yang umur kehamilannya tidak berisiko (OR=2,852 ; CI=1,137-7,152).

3. Partus

Kehamilan yang paling optimal adalah kehamilan kedua sampai dengan ketiga. Kehamilan pertama dan kehamilan setelah ketiga mempunyai risko yang lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian Ahmad (2000) dalam Desfauza (2008) kejadian asfiksia neonatorum 1,480 kali lebih sering pada ibu yang melahirkan dengan paritas primipara dan grandemultipara dibandingkan ibu dengan multipara.

4. Penyakit yang diderita Ibu

Penyakit ibu yang dapat mengganggu pertukaran gas janin antara lain adalah hipertensi, hipotensi, gangguan kontraksi uterus, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005). Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah melebihi tekanan darah normal yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan fetus (Desfauza, 2008).

b. Faktor Plasenta

Gangguan pertukaran gas di plasenta akan menyebabkan asfiksia janin. Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya plasenta previa, solusio plasenta, dan lain-lain (Manuaba, 1998).

c. Faktor neonatus 1. Prematur

Bayi prematur adalah bayi yang lahir kurang dari 37 minggu. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosis juga semakin buruk. Karena fungsi

(4)

organ-organ tubuh yang belum sempurna termasuk sistem pernapasan maka terjadilah asfiksia (Depkes RI, 2008). Menurut Mansjoer et al (2005) asfiksia neonatorum biasanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan kelahiran kurang bulan.

2. Kehamilan ganda

Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kehamilan ganda dapat memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap ibu dan bayi.

3. Gangguan tali pusat

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat melilit leher janin, atau tali pusat menumbung (Wiknjosastro, 2005).

d. Faktor persalinan

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan bantuan atau tanpa bantuan/kekuatan sendiri (Manuaba, 1998).

Persalinan dengan tindakan dapat menimbulkan asfiksia neonatorum (Desfauza, 2008). Ibu yang melahirkan dengan persalinan tindakan berisiko 4,44 kali melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan dengan ibu yang melahirkan secara normal ( CI=2,342-8,433) (Tahir et al, 2012). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yelis (2011) dalam Tahir et al (2012), yang menemukan bahwa jenis persalinan tindakan mempunyai risiko 5,471 kali lebih besar untuk mengalami asfiksia dibandingkan dengan persalinan normal.

Partus lama yaitu persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam untuk primipara, dan lebih dari 18 jam untuk multipara. Persalinan yang berlangsung lama dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap ibu maupun pada bayi, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi (Desfauza, 2008). Hasil

(5)

penelitian Tahir et al (2012) menunjukkan bahwa ibu yang mengalami partus lama berisiko 3,41 kali melahirkan bayi dengan asfiksia neonatorum dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami partus lama (95% CI 1,54-7,576).

2.1.3 Prevalensi

Menurut World Health Organization (WHO) setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta dari bayi ini meninggal. Kematian perinatal terbanyak disebabkan oleh asfiksia. Hal ini ditemukan baik di lapangan maupun di rumah sakit rujukan di Indonesia. Di Amerika diperkirakan 12.000 bayi meninggal atau menderita kelainan akibat asfiksia perinatal (Safaah, 2007). Dan menyebabkan 20-40% mengalami retardasi mental dan kelumpuhan saraf akibat proses intrapartum.

Penyebab utama kematian neonatus berhubungan secara intrinsik dengan kesehatan ibu dan perawatan yang diterima sebelum, selama dan setelah melahirkan (Depkes RI, 2008). Asfiksia neonatorum dan trauma kelahiran pada umumnya disebabkan oleh manajemen persalinan yang buruk dan kurangnya akses ke pelayanan obstetri. Asupan kalori dan mikronutrien juga menyebabkan keluaran yang buruk. Telah diketahui bahwa hampir tiga per empat dari semua kematian neonatus dapat dicegah apabila wanita mendapatkan nutrisi yang cukup dan mendapat perawatan yang sesuai pada saat kehamilan, kelahiran, dan periode pasca persalinan (WHO, 2005).

Asfiksia meruapakan masalah global yang serius. Di negara berkembang seperti Pakistan kejadian asfiksia sangat tinggi dimana fasilitas kesehatan masih sangat terbatas (Majeed et al, 2007).

Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi penyebab kematian terbanyak adalah bayi berat lahir rendah (29%), asfiksia (27%), trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital (Wiknjosastro, 2005).

Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 angka kematian bayi sebesar 34 kematian per 1000 kelahiran hidup. Dari angka kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal. Adapun penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia, salah satunya adalah asfiksia

(6)

yaitu sebesar 27% yang merupakan penyebab kedua kematian bayi baru lahir setelah bayi berat lahir rendah (Depkes RI, 2008).

Bayi lahir dengan asfiksia merupakan gangguan pada masa perinatal yang menyebabkan angka kesakitan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. R. Koesma Tuban cukup tinggi. Pada tahun 2004, dari 665 persalinan terdapat bayi dengan asfiksia sebesar 74 (11,3%). Tahun 2005, dari 706 persalinan terdapat bayi asfiksia sebesar 65 (9,21%) dan pada tahun 2006, dari 927 persalinan terdapat bayi baru lahir dengan asfiksia sebesar 117 (12,62%) (Safaah, 2007).

Berdasarkan penelitian Ella (2004) yang dikutip dari Muntari (2010), bahwa dari 44.000 kelahiran hidup setiap tahunnya, 500 bayi (2,1%) diantaranya mengalami kematian neonatal dan sebanyak 260 (28,8%) kematian tersebut diakibatkan oleh asfiksia. Sama halnya dengan Sumatera Utara, angka kematian bayi 166.500 dan yang menderita asfiksia sebanyak 43.956 bayi (26,4%) (Dinkes Medan, 2008) dalam (Muntari, 2010).

2.1.4 Klasifikasi

Menurut Haider dan Bhutta (2006), asfiksia dibagi menjadi 2 antara lain: a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif, bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik

b. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek.

Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada menit ke-1, 5, dan 10 untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat (Radityo, 2011).

Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR: a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3

b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6

c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9 d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10 (Ghai, 2010).

(7)

Kesepakatan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM adalah bayi yang lahir dengan nilai Apgar menit pertama 0-3 sebagai asfiksia berat dan nilai Apgar menit kedua 4-6 sebagai asfiksia sedang (Manoe, 2003). Menurut Snyder dan Cloherty (1998), nilai Apgar 3 atau kurang setelah 5menit dapat dikatakan adanya asfiksia. Meskipun demikian nilai Apgar yang rendah pada bayi prematur dan bayi masa kecil kehamilan (KMK) bukan merupakan petunjuk asfiksia karena bayi-bayi tersebut cenderung hipotonus, sianosis pada ekstremitas dan lebih lemah (Manoe, 2003). Nilai Apgar 6 atau 7 mungkin sudah maksimal untuk bayi prematur, sedangkan pada bayi dengan masa gestasi kurang dari 30 minggu sering dengan nilai Apgar 2-3, tanpa adanya asfiksia (Manoe, 2003).

Tabel 2.1 Nilai APGAR

Nilai 0 1 2

Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur

Denyut jantung Tidak ada <100 >100 Warna kulit Biru atau pucat Tubuh merah jambu, kaki dan tangan biru. Merah jambu Gerakan / tonus otot

Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi

Refleks(me nangis)

Tidak ada Lemah / lambat

Kuat

2.1.5 Patofisiologi

Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara, proses ini dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernapasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan pernapasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. Kegagalan pernapasan mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida sehingga menimbulkan

(8)

berkurangnya oksigen dan meningkatnya karbondioksida, diikuti dengan asidosis respiratorik. Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung dalam suasana anaerob yang berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan asam organik yang terjadi akan menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan beberapa keadaan diantaranya: (Radityo, 2011)

a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung

b. Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung

c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan.

Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam selama 3 menit (periode hiperpneu) diikuti apneu primer kira-kira 1 menit dimana pada saat ini denyut jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernapas (gasping) 8-10 kali permenit selama beberapa menit, gasping ini semakin melemah sehingga akhirnya timbul apneu sekunder. Pada keadaan normal fase-fase ini tidak jelas terlihat karena setelah pembersihan jalan napas bayi maka bayi akan segera bernapas dan menangis kuat (Radityo, 2011)

Pemakaian sumber glikogen untuk energi dalam metabolisme anaerob menyebabkan dalam waktu singkat tubuh bayi akan menderita hipoglikemia. Pada asfiksia berat menyebabkan kerusakan membran sel terutama sel susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan elektrolit, berakibat menjadi hiperkalemia dan pembengkakan sel. Kerusakan sel otak terjadi setelah asfiksia berlangsung selama 8-15 menit

Manifestasi dari kerusakan sel otak dapat berupa ensefalopati hipoksik iskemik (EHI) yang terjadi setelah 24 jam pertama dengan didapatkan adanya gejala seperti kejang subtel, multifokal, atau fokal klonik. Manifestasi ini dapat

(9)

muncul sampai hari ketujuh dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang seperti rekaman elektroensefalogram.

Menurun atau terhentinya denyut jantung akibat asfiksia mengakibatkan iskemia. Iskemia akan memberikan akibat yang lebih hebat dari hipoksia karena menyebabkan perfusi jaringan kurang baik sehingga glukosa sebagai sumber energi tidak dapat mencapai jaringan dan hasil metabolisme anaerob tidak dapat dikeluarkan dari jaringan (Radiyo, 2011)

Iskemia dapat mengakibatkan sumbatan pada pembuluh darah kecil setelah mengalami asfiksia selama 5 menit atau lebih sehingga darah tidak dapat mengalir meskipun tekanan perfusi darah sudah kembali normal. Peristiwa ini mungkin mempunyai peranan penting dalam menentukan kerusakan yang menetap dalam proses asfiksia (Radityo, 2011).

2.1.6 Diagnosis

Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa didapatkan riwayat gangguan lahir, lahir tidak bernapas dengan adekuat, riwayat ketuban bercampur mekonium. Temuan klinis yang didapat pada neonatus dengan asfiksia neonatorum dapat berupa lahir tidak bernapas/megap-megap, denyut jantung <100x/menit, kulit sianosis atau pucat dan tonus otot yang melemah. Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada menit ke-1, 5 dan 10 untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah, dimana pada neonatus dengan asfiksia didapatkan PaO2 <50mmH2O, PaCO2 >55mmH2O,

pH <7,3.

2.1.7 Komplikasi

Dampak asfiksia berat pada organ adalah sebagai akibat dari vasokonstriksi setempat untuk mengurangi aliran darah ke organ yang kurang vital seperti saluran cerna, ginjal, otot, dan kulit agar penggunaan oksigen berkurang, sedangkan aliran darah ke organ vital seperti otak dan jantung meningkat (Shah et al, 2004).

(10)

Organ yang mengalami kerusakan adalah: a. Susunan saraf pusat

Pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak dan jantung lebih dipertahankan dari pada ke organ tubuh lainnya, namun terjadi perubahan hemodinamik di otak dan penurunan oksigenisasi sel otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel otak (Van et al, 1993) dalam (Depkes RI, 2008). Penelitian Yu (1994) dalam Depkes RI (2008), menyebutkan 8-17% bayi penderita serebral palsi disertai dengan riwayat perinatal hipoksia.

Salah satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling sering ditemukan pada masa perinatal adalah ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Pada bayi cukup bulan keadaan ini timbul saat terjadinya hipoksia akut, sedangkan pada bayi kurang bulan kelainan lebih sering timbul sekunder pasca hipoksia dan iskemia akut. Manifestasi gambaran klinik bervariasi tergantung pada lokasi bagian otak yang terkena proses hipoksia dan iskemianya (Depkes RI, 2008). Sarnat dan Sarnat membagi EHI menjadi 3 stadium. Stadium 1 (ringan) ditandai gelisah, iritabel, tonus otot masih normal, hiperrefleksi, takikardi, sekresi saluran napas berkurang, motilitas gastrointestinal menurun, pupil dilatasi, belum terjadi kejang. Stadium 2 (sedang) ditandai letargi, hipotoni, refleks melemah, kelemahan otot daerah proksimal, bradikardi, sekresi saluran napas berlebihan, motilitas gastrointestinal meningkat, pupil miosis, dan terjadi kejang. Pada stadium 3 (berat) ditandai stupor dan flaksid, hiporefleksi, refleks moro menghilang, pupil anisokor, refleks pupil menurun, suhu tidak stabil, dan kejang berulang (Purwadi, 2007).

b. Sistem Pernapasan

Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi mekonium (Depkes RI, 2008).

(11)

Martin-Ancel (1995) dalam Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan penelitiannya terhadap 72 penderita asfiksia, 19 bayi (26%) diantaranya menderita kelainan pernapasan dan 14 bayi memerlukan tindakan ventilasi mekanik. Jenis kelainan pernapasan yang ditemukan pada penelitiannya adalah sindroma aspirasi mekonium (6 penderita), hipertensi pulmonal (3 penderita), perdarahan paru (4 penderita) dan sisanya menderita transient respiratory distress of the newborn.

c. Sistem kardiovaskular

Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi miokardium terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan kerusakan sel miokard terutama di daerah subendokardial dan otot papilaris kedua bilik jantung. Pada penelitian terhadap 72 penderita asfiksia hanya 29% bayi yang menderita kelainan jantung. Kelainan yang ditemukan bersifat ringan berupa bising jantung akibat insufisiensi katup atrioventrikuler dan kelainan ekokardiografi khas yang menunjukkan iskemia miokardium. Kelainan jantung lain yang mungkin ditemukan pada penderita asfiksia berat antara lain gangguan konduksi jantung, aritmia, blok atrioventrikuler dan fixed heart rate (Depkes RI, 2008).

d. Sistem urogenital

Perinatal hipoksemia menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat vasokonstriksi renal dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Selain itu juga terjadi aktivasi sistem renin angiotensin-aldosteron dan sistem adenosin intrarenal yang menstimulasi pelepasan katekolamin dan vasopresin. Semua ini akan mengganggu hemodinamik glomerular (Purwadi, 2007).

e. Sistem gastrointestinal

Kelainan saluran cerna ini terjadi akibat radikal bebas oksigen yang terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus. Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan intoleransi makanan, atau adanya darah dalam residu lambung

(12)

sampai kelainan perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikan, kolestasis dan nekrosis hepar (Depkes RI, 2008)

2.1.8 Pencegahan

a. Pencegahan secara Umum

Pencegahan terjadinya asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait karena upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja. Penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. (Perinasia, 2006). b. Pencegahan saat persalinan

Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus adalah penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Yang harus diperhatikan antara lain:

a. Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit, serta pemberian pituitarin dalam dosis tinggi.

b. Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan berikan oksigen dan darah segar.

c. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan jangan menunggu lama pada kala II (Perinasia, 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Pencemaran lingkungan adalah merupakan suatu proses masuknya bahan atau energi ke dalam lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak dikehendaki baik dari

ProgramDOTS di Wilyah Kerja Puskesmas Padang Bulan.. Kebutuhan Dasar dan

Rerata hasil perhitungan apoptosis pada kelompok Normal dan Preeklampsia, menunjukkan perbedaan rerata jumlah sel-sel trofoblast yang mengalami apoptosis yang

Membaca adalah salah satu keterampilan bahasa yang hampir dominan dalam proses belajar mengajar. Membaca merupakan keterampilan yang sangat penting sehingga kita harus

Al-Quds - Komisi perencanaan dan pembangunan kota pemerintah Zionis di Al-Quds telah menyetujui rencana pembangunan jalur kereta api cepat yang akan membelah kota Al-Quds,

Rencana Strategis Balai Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Renstra BP- PAUD dan Dikmas) Jawa Timur Tahun 2015—2019 disusun berdasarkan arah dan kebijakan

Pada penelitian ini, peneliti membuat judul “ Pembangunan Aplikasi Penjualan Online pada Toko Jam Tangan AMPM Watch” penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan website yang

Dalam rangka penyusunan neraca awal, khusus tanah dan bangunan dapat dinilai berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak ( NJOP) pada saat neraca disusun. Mengingat