• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TERAPI BEHAVIOR, TEKNIK MODELLING, DAN KEMANDIRIAN. A. Terapi Behavior Teknik Modelling dan Kemandirian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TERAPI BEHAVIOR, TEKNIK MODELLING, DAN KEMANDIRIAN. A. Terapi Behavior Teknik Modelling dan Kemandirian"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TERAPI BEHAVIOR, TEKNIK MODELLING, DAN KEMANDIRIAN

A. Terapi Behavior Teknik Modelling dan Kemandirian

1. Terapi Behavior

a. Pengertian Terapi Behavior

Terapi Behavior adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan-sumbangan yang berat, baik pada bidang klinis maupun pendididkan.1

Behaviorisme menekankan studi ilmiah mengenai proses perilaku yang teramati serta determinan-determinan lingkungan. Dalam perilaku menurut B.F. Skinner, pikiran, kesadaran atau ketidaksadaran, tidak dibutuhkan untuk menjelaskan perilaku dan perkembangan.2 Rachman dan Wolpe mengemukakan bahwa terapi behavioral dapat menangani masalah perilaku mulai dari kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga menangani gejala neurotic.3

1 Gerald Corey, Teory dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2013), hlm. 193.

2 John W. Santrock, Remaja, Edisi Kesebelas, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 56. 3

(2)

22

b. Konsep Dasar Tentang Manusia

Pendekatan behavioral didasarkan pada pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yang menekankan pada pentingnya pendekatan sistematik dan terstruktur pada konseling. Pendekatan behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari. Proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan belajar. Selanjutnya tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru. Manusia dipandang memiliiki potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat atau salah. Manusia mampu malakukan refleksi atas tingkah lakunya sendiri, dapat mengatur serta mengontrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku baru atau dapat mempengaruhi perilaku orang lain.

Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkahlaku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati.

Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap tingkah laku manusia itu

(3)

23

dipelajari.Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan faktor-faktor genetik, para behavioris memasukkan pembuatan putusan sebagai salah satu bentuk tingkah laku.4

c. Tujuan Terapi Behavior

Tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned

(dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh.5 Sementara itu tujuan khusus terapi tingkah laku adalah mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.6

George dan Cristiani mengatakan bahwa konselor harus cermat dan jelas dalam menentukan tujuan konseling. Kecermatan dalam penentuan tujuan akan membantu konselor menentukan teknik dan prosedur perlakuan yang tepat sekaligus mempermudah pada saat mengevaluasi tingkat keberhasilan konseling. Perumusan tujuan harus dilakukan secara spesifik. Untuk merumuskan tujuan konseling,

4

Gerald Corey, Teory dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2013), hlm. 195.

5 Gerald Corey, Teory dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2013), hlm. 199.

6

(4)

24

Krumboltz dan Thorensen menetapkan tiga kriteria utama yang dapat digunakan, yaitu:

1) Tujuan konseling harus disesuaikan dengan keinginan klien. 2) Konselor harus bersedia membantu klien mencapai tujuannya. 3) Konselor mampu memperkirakan sejauh mana klien dapat

mencapai tujuannya.7 d. Fungsi dan Peran Terapis

Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah padapencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para klien. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.

Krasner mengajukan argumen bahwa peran seorang terapis, terlepas dari aliansi teoretisnya, sesungguhnya adalah “mesin perkuatan”. Apapun yang dilakukannya, terapis pada dasarnya terlibat dalam pemberian perkuatan-perkuatan sosial, baik yang positif maupun yang negatif. Krasner menunjukkan bahwa peran terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu situasi perkuatan sosial.

7 Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana 2011),

(5)

25

Goodstein juga menyebut peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut Goodstein “peran konselor adalah menunjang perkembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku klien semacam itu”. Minat, perhatian, dan persetujuan (ataupun ketidakberminatan dan ketidaksetujuan) terapis adalah penguat-penguat yang hebat bagi tingkah laku klien. Penguat-penguat tersebut bersifat interpersonal dan melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa disertai kesadaran yang penuh dari terapis. Goodstein menyatakan bahwa peran mengendalikan tingkah laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui perkuatan menjangkau situasi di luar konseling serta dimasukkan kedalam tingkah laku klien dalam dunia nyata: “Konselor mengganjar respons-respons tertentu yang dilaporkan telah ditampilkan oleh klien dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan menghukum respon-respon yang lainnya.

Satu fungsi penting lainnya adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Bandura menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Terapis sebagai pribadi menjadi model yang penting bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagi orang yang patut diteladani, klien acap kali

(6)

26

meniru sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan tingkah laku terapis.8

e. Teknik Terapi Behavior

Lesmana membagi teknik terapi behavioristik dalam dua bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku umum dan teknik-teknik spesifik. Uraiannya adalah sebagai berikut.

1) Teknik-teknik Tingkah Laku Umum

a) Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien ketika tingkah laku baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien.

b) Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan

mempelajari tingkah laku baru secara bertahap. Konselor dapat membagi-bagi tingkah laku tingkah laku yang ingin dicapai dalam beberapa unit, kemudian mempelajarinya dalam unit-unit kecil.

c) Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak berulang. 2) Teknik-teknik Spesifik

a) Desentisisasi sistematik adalah teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini diarahkah kepada klien untuk menampilkan respons yang tidak konsisten dengan kecemasan. Teknik ini cocok untuk menangani kasus fobia,

8 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika

(7)

27

ketakutan secara umum, kecemasan neurotik, impotensi, dan frigiditas seksual.

b) Pelatihan asertivitas. Teknik ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan asertif. Prosedur yang digunakan adalah permainan peran. Teknik ini dapat membantu klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan atau menegaskan diri di hadapan orang lain. c) Time-Out merupakan teknik aversif yang sangat ringan.

Apabila tingkah laku yang tidak diharapkan muncul, maka klien akan dipisahkan dari penguatan positif.

d) Implosion dan flooding. Teknik implosion mengarahkan klien untuk membayangkan situasi stimulus yang mengancam secara berulang-ulang.

Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan di atas, Corey menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan dalam terapi behavoristik. Di antaranya, adalah:

1) Penguatan positif, adalah teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran segera, setelah tingkah laku yang diharapkan muncul.

2) Percontohan (modelling). Dalam teknik, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model.

(8)

28

3) Token Economy. Teknik ini dapat diberikan apabila

persetujuan dan penguatan lainnya tidak memberikan kemajuan pada tingkah laku klien. Metode ini menekankan penguatan yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya kepingan logam) yang dapat ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa yang diinginkannya.9

2. Teknik Modelling

a. Pengertian Modelling

Modelling merupakan salah satu teknik dalam terapi

behavior yang menekankan pada prosedur belajar. Pada prinsipnya terapi behavioral itu sendiri bertujuan untuk memperoleh perilaku baru, mengeliminasi perilaku lama yang merusak diri dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan yang lebih sehat. Terapi ini memiliki prinsip kerja yaitu:

Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar konseli terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku konseli, yakni mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan, memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan, mengkondisikan pengubahan

9 Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana 2011),

(9)

29

tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung), modeling (peniruan melalui penokohan) ini dikembangkan oleh Albert Bandura yang antara lain terkenal dengan teori social-belajar (social-learning theory).10

Teknik modeling ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada konseli, dan dapat memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan pada konseli tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh.11

Kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Reaksi-reaksi emosional yang yang terganggu yang dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya. Pengendalian diripun bisa dipelajari melalui pegamatan atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti dan orang-orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku

10 Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hlm.

220.

11

(10)

30

model-model yang menempati status yang tinggi dan terhormat dimata mereka sebagai pengamat.12

Modelling disini seperti salah satu metode Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama islam yang sering kali diajarkan lewat contoh perilaku (uswatun hasanah) seperti sebuah ayat:



                 Artinya: “

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21).13

b. Tujuan Modelling

Pada prinsipnya, terapi behavior itu sendiri bertujuan untuk memeroleh perilaku baru, mengeliminasi perilaku lama yang merusak diri dan memperkuat, serta mempertahankan perilaku yang diinginkan yang lebih sehat. Tujuan konseling behavior dengan teknik modelling

adalah untuk merubah perilaku dengan mengamati model yang akan ditiru agar konseli memperkuat perilaku yang sudah terbentuk.14

Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan dari modelling ini adalah seorang anak diharapkan bisa mengubah perilaku yang maladaptif dengan menirukan model nyata.

12 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2013), hlm. 222.

13 Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia ( Ayat Pojok ), ( Kudus : Menara

Kudus ), 2006, hal. 63.

14 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika

(11)

31

c. Macam-macam Modelling

1) Model yang nyata (live model) contohnya konselor sebagai model oleh konselinya, atau anggota keluarga atau tokoh yang dikagumi. 2) Model simbolik (simbolic model) adalah tokoh yang dilihat melalui

film, video atau media lain.

3) Model ganda (multiple model) biasanya terjadi dalam konseling kelompok. Seseorang anggota dari suatu kelompok mengubah sikap dan mempelajari suatu sikap baru, setelah mengamati bagaimana anggota lain dalam bersikap.15

d. Prinsip-prinsip Modelling

Menurut Gantika Komalasari mengemukakan bahwa prinsip-prinsip modeling adalah sebagai berikut:

1. Belajar bisa memperoleh melalui pegalaman langsung maupun tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensinya.

2. Kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model yang ada.

3. Reaksi-reaksi emosional yang terganggu bisa dihapus dengan mengamati orang lain yang mendekati obyek atau situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya.

15 Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hlm.

(12)

32

4. Pengendalian diri dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman.

5. Status kehormatan sangat berarti.

6. Individu mengamati seorang model dan dikuatkan untuk mencontohkan tingkah laku model.

7. Modeling dapat dilakukan dengan model symbol melalui film dan alat visual lainnya.

8. Pada konseling kelompok terjadi model ganda karena peserta bebas meniru perilaku pemimpin kelompok atau peserta lain. Prosedur Modeling dapat menggunakan berbagai teknik dasar modifikasi perilaku.16

e. Tahap Belajar Melalui Modelling

Menurut Woolfolk (dalam bukunya M. Nur Salim), ada empat tahap belajar melalui pengamatan perilaku orang lain (modelling) yang data dideskripsikan sebagai berikut:

1. Tahap Perhatian (attention processi)

Gredler berpendapat bahwa perilaku yang baru tidak bisa diperoleh kecuali jika perilaku tersebut diperhatikan dan dipersepsi secara cermat. Pada dasarnya proses perhatian (atensi) ini dipengaruhi berbagai faktor, yaitu faktor ciri-ciri dari perilaku yang diamati dan ciri-ciri dari pengamat. Ciri-ciri perilaku yang memengaruhi atensi adalah kompleksitasnya

16Gantika Komalasari, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta : PT. Indeks, 2011 ), hlm.

(13)

33

yang relevansinya. Sedangkan cirri pengamat yang berpengaruh pada proses atensi adalah keterampilan mengamati, motivasi, pengalaman sebelumnya dan kapasitas sensori.

2. Tahap Retensi

Belajar melalui pengamatan terjadi berdasarkan kontinuitas. Dua kejadian yang diperlukan terjadi berulang kali adalah perhatian pada penampilan model dan penyajian simbolik dari penampilan itu dalam memori jangka panjang. Jadi untuk dapat meniru perilaku suatu model, seseorang harus mengingat perilaku yang diamati.

Menurut Bandura, peranan kata-kata, nama, atau bayangan yang kuat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang dimodelkan sangat penting dalam mempelajari dan mengingat perilaku. Karena pada dasarnya, tahap ini terjadi pengkodean perilaku secara simbolik menjadi kode-kode visual dan verbal serta penyimpanan kode-kode tersebut dalam memori jangka panjang.

3. Tahap Reproduksi

Pada tahap ini model dapat melihat apakah komponen-komponen suatu urutan perilaku telah dikuasai oleh pengamat. Agar seseorang dapat mereproduksi perilaku model dengan lancer dan mahir, diperlukan latihan berulang kali dan umpan

(14)

34

balik terhadap aspek-aspek yang salah menghindarkan perilaku keliru tersebut berkembang menjadi kebiasaan yang tidak diinginkan.

4. Tahap Motivasi dan Penguatan

Penguatan memegang peran penting dalam pembelajaran melalui pengamatan. Apabila seseorang mengantisipasi akan memperoleh penguatan pada saat meniru tindakan suatu model, maka ia akan lebih termotivasi untuk menaruh perhatian, mengingat dan memproduksi perilaku tersebut. Disamping itu, penguatan penting dalam mempertahankan pembelajaran.17

Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau pembelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkah laku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidaka ada, maka tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tinkah laku model yang diganjar, daripada tingkah laku yang dihukum. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan dan kemampuan penting untuk menentikan tingkat imitasi.

17

Muhammad Nur Salim, Strategi Konseling, (Surabaya: Unesa University Press, 2005), hlm. 64-65.

(15)

35

f. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Percontohan (Modelling) 1) Ciri model seperti usia, status sosial, jenis kelamin, keramahan, dan

kemampuan penting dalam meningkatkan imitasi.

2) Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model dewasa.

3) Anak cenderung meniru model yang standart prestasinya dalam jangkauannya.

4) Anak cenderung mengimitasi oramg tuanya yang hangat dan terbuka.

g. Pengaruh Modelling

Pengaruh dari peniruan melalui penokohan (modelling), menurut Bandura ada tiga hal, yakni:

1) Pengambilan respons atau keterampilan baru dan memperlihatkan dalam perilakunya setelah memadukan apa yang diperoleh dari pengamatannya dengan pola perilaku yang baru. Contohnya: keterampilan baru dalam olahraga, dalam hubungan sosial, bahasa atau pada anak dengan penyimpangan perilaku yang tadinya tidak mau berbicara, kemudian mau lebih banyak berbicara.

2) Hilangnya respons takut setelah melihat tokoh (sebagai model) melakukan sesuatu yang oleh si pengamat menimbulkan perasaan takut, namun pada tokoh yang dilihatnya tidak berakibat apa-apa atau akibatnya bahkan positif. Contoh: tokoh yang bermain-main dengan ular ternyata ia tidak digigit.

(16)

36

3) Pengambilan sesuatu respons dari respons-respons yang diperhatikan oleh tokoh yang memberikan jalan untuk ditiru. Melalui pengamatan terhadap tokoh, seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu yang mungkin sudah diketahui atau dipelajari dan ternyata tidak ada hambatan. Contoh: remaja yang berbicara mengenai sesuatu mode pakaian di televisi.18

h. Langkah-langkah Modelling

1) Menetapkan bentuk penokohan (live model, symbolic model, multiple model).

2) Pada live model, pilih model yang bersahabat atau teman sebaya yang memiliki kesamaan seperti: usia, status ekonomi, dan penampilan fisik.

3) Bila mungkin gunakan lebih dari satu model.

4) Kompleksitas perilaku yang dimodelkan harus sesuai dengan tingkat perilaku konseli.

5) Kombinasikan konseling dengan aturan, instruksi, behavior rehearsal dan penguatan.

6) Pada saat konseli memperhatikan penampilan tokoh, berikan penguatan alamiah.

7) Bila mungkin buat desain pelatihan untuk konseli menirukan model secara tepat, sehingga akan mengarahkan konseli pada

18 Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hlm.

(17)

37

penguatan alamiah. Bila ridak, maka buat perencanaan pemberian penguatan utuk setiap peniruan tingkah laku yang tepat.

8) Bila perilaku bersifat kompleks, maka episode modeling dilakukan mulai dari yang paling mudah ke yang lebih sukar.

9) Scenario modeling harus dibuat realistic.

10)Melakukan pemodelan dimana tokoh menunjukan perilaku yang menimbulkan rasa takut bagi konseli.19

3. Kemandirian

a. Pengertian Kemandirian

Kata kemandirian berasal dari kata diri yang mendapat awalan

ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self (Brammer dan Shostrom, 1982) karena diri itu merupakan inti dari kemandirian.

Dalam pandangan konformistik/sudut pandang yang berpusat pada masyarakat, kemandirian merupakan konformitas terhadap prinsip moral kelompok rujukan. Oleh karena itu, “individu yang mandiri adalah individu yang berani mengambil keputusan dilandasi oleh pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya”. 20

19Sudarsono, Kamus Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 107

20 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara,

(18)

38

Menurut Hurlock, kemandirian adalah kemampuan seseorang untuk mengarahkan dirinya sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Sedangkan menurut Fatimah Enung, Kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari, sendiri atau dengan sedikit bantuan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya.21

b. Macam-macam kemandirian

Abraham Maslow membedakan kemandirian menjadi dua, yaitu:

1) Kemandirian aman (scure autonomy), dan 2) Kemandirian tidak aman (insecure autonomy).

Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama, dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk mencintai kehidupan dan membantu orang lain. Sedangkan kemandirian tidak aman adalah kekuatan kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi seperti ini sebagai selfish autonomy atau kemandirian mementingkan diri sendiri.22

21

Hidayati Sri dkk, “Model Bimbingan Kelompok Dalam Pelaksanaan Kegiatan Kepramukaan Untuk Meningkatkan Kemandirian Siswa”, Jurnal Bimbingan Konseling, jilid 2, no.

1, (http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk, diakses pada 24 Mei 2016).

22 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara,

(19)

39

c. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Sebagai hasil dari proses belajar pencapaian karakter mandiri dipengaruhi oleh banyak faktor, Ali dan Asrori mengemukakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja, yaitu: 1) Gen atau keturunan orang tua

Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya. 2) Pola asuh orang tua

Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata ”jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang cenderung sering membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya juga akan berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anak.

(20)

40

Sistem pendidikan di sekolah adalah sistem pendidikan yang ada di sekolah tempat anak dididik dalam lingkungan formal. Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian siswa. Sebaliknya, proses pendidikan di sekolah yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap anak dan penciptaan kompetensi positif akan memperlancar perkembangan kemandirian belajar.

4) Sistem kehidupan di masyarakat

Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur social, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja.23 d. Ciri-ciri kemandirian

Gea mengatakan bahwa individu dikatakan mandiri apabila memiliki lima ciri sebagai berikut:

1) percaya diri.

23 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara,

(21)

41

2) mampu bekerja sendiri.

3) menguasai keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kerjanya.

4) menghargai waktu, dan 5) tanggung jawab.24

Kelima ciri-ciri individu mandiri tersebut, dapat dijelaskan oleh penulis sebagai berikut:

1) percaya diri, adalah meyakini pada kemampuan dan penilaian diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif.

2) mampu bekerja sendiri, adalah usaha sekuat tenaga yang dilakukan secara mandiri untuk menghasilkan sesuatu yang membanggakan atas kesungguhan dan keahlian yang dimilikinya.

3) menguasai keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kerjanya, adalah mempunyai keterampilan sesuai dengan potensi yang sangat diharapkan pada lingkungan kerjanya.

4) menghargai waktu, adalah kemampuan mengatur jadwal sehari-hari yang diprioritaskan dalam kegiatan yang bermanfaat secara efesien, dan

5) tanggung jawab, adalah segala sesuatu yang harus dijalankan atau dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan sesuatu yang sudah menjadi pilihannya atau dengan kata lain, tanggung jawab

24Lembaga Perawatan Psikologi, “Membentuk Kemandirian Anak (Remaja), Artikel

Psikologi Anak, (http://www.dispsiad.mil.id/index.php/en/psikologi-olahraga/290-membentuk-kemandirian-anak-remaja, diakses 27 April 2016)

(22)

42

merupakan sebuah amanat atau tugas dari seseorang yang dipercayakan untuk menjaganya.

Sejalan dengan pendapat di atas, Desmita mengemukakan orang yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.

2) mampu mengambil keputusan dan inisistif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

3) memiliki kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas-tugasnya. 4) bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.25

Sedangkan Familia berpendapat anak yang mandiri memiliki ciri khas sebagai berikut: “...mempunyai kecenderungan memecahkan masalah daripada berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah, tidak takut mengambil resiko karena sudah mempertimbangkan baik buruknya, percaya terhadap penilaian diri sendiri sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya atau meminta bantuan, mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap hidupnya”. Jas mengatakan orang yang memiliki karakter kemandirian terlihat dalam sikap antara lain sebagai berikut:

1) Saat harus melakukan sesuatu tidak terlalu banyak meminta pertimbangan orang lain.

2) Ketika harus mengambil resiko terhadap sesuatu tidak terlalu banyak berfikir.

25 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

(23)

43

3) Tidak terlalu banyak ragu-ragu dan mengetahui resiko yang akan dihadapi.

4) Mengetahui konsekuensi yang akan muncul dan mengetahui manfaat dari pekerjaan yang akan diambilnya.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya, maka ciri-ciri karakter mandiri dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Percaya diri.

2) Mampu bekerja sendiri.

3) Menguasai keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kerjanya. 4) Menghargai waktu.

5) Bertanggung jawab.

6) Memiliki hasrat bersaing untuk maju. 7) Mampu mengambil keputusan.

Dalam penelitian ini, ciri-ciri karakter mandiri yang akan digunakan untuk mengembangkan kisi-kisi karakter mandiri siswa SMP hanya enam aspek, yaitu:

1) Percaya diri.

2) Mampu bekerja sendiri. 3) Menghargai waktu. 4) Bertanggung jawab.

(24)

44

6) Mampu mengambil keputusan.26 e. Upaya mengembangkan Kemandirian

Sejalan dengan pendapat di atas Ali dan Asrori mengemukakan ada sejumlah intervensi yang dapat dilakukan untuk pengembangan kemandirian remaja, antara lain sebagai berikut:

1) Penciptaan partisipasi dan keterlibatan dalam keluarga, yang diwujudkan dalam bentuk saling menghargai antaranggota keluarga dan keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja. 2) Penciptaan keterbukaan, yang diwujudkan dalam bentuk

toleransi terhadap perbedaan pendapat, memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil bagi remaja, keterbukaan terhadap minat remaja, mengembangkan komitmen terhadap tugas remaja, kehadiran dan keakraban hubungan dengan remaja.

3) Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan, yang diwujudkan dalam bentuk mendorong rasa ingin tahu remaja, adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam apabila ditaati, adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan.

26 Priskila Hesti Anomsari, “Upaya Meningkatkan Nilai Kemandirian Melalui Layanan

Bimbingan Kelompok Pada Siswa Kelas VIIIA SMP Negeri 3 Kembang Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara” (Skripsi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 2013), hlm. 15.

(25)

45

4) Penerimaan positif tanpa syarat, yang diwujudkan dalam bentuk tidak membeda-bedakan remaja, menerima remaja apa adanya, serta menghargai ekspresi potensi remaja.

5) Empati terhadap remaja, yang diwujudkan dalam bentuk memahami pikiran dan perasaan remaja, melihat persoalan remaja dengan berbagai sudut pandang, dan tidak mudah mencela karya remaja.

6) Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja, yang diwujudkan dalam bentuk interaksi secara akrab, membangun suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja, dan bersikap terbuka terhadap remaja. Melalui upaya pengembangan kemandirian yang dilakukan oleh keluarga maupun pendidik tersebut dapat memicu berkembangnya kemandirian pada diri remaja sehingga remaja dapat mencapai perkembangannya secara optimal.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemandirian siswa adalah: melakukan tindakan penciptaan kebebasan keterlibatan dan partisipasi siswa dalam berbagai kegiatan, menciptakan hubungan yang akrab, hangat dan harmonis dengan siswa, menciptakan keterbukaan, penerimaan positif tanpa syarat, menciptakan kebebasan

(26)

46

untuk mengeksplorasi lingkungan serta menciptakan empati kepada siswa.27

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Adapun hasil penelitian terdahulu yang dijadikan relevansi antara lain:

1. Teknik Modeling Dalam Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar Siswa Sma Negeri 3 Yogyakarta. Oleh Rochayatun Dwi Astuti, Nim: 11220052, Prodi: Bimbingan Dan Konseling Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga 2015.

Persamaan dan perbedaan:

Dalam penelitian ini membahas tentang pelaksanaan teknik modeling dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan kemandirian belajar siswa. Yang dapat dijadikan relevansi yaitu kemandirian. Sama-sama menggunakan model penelitian kualitatif. Perbedaan terletak pada obyeknya, dalam penelitian itu obyeknya adalah siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta, sedangkan obyek saya yaitu seorang remaja di Desa Ngayung Maduran Lamongan, selain itu perbedaanya terletak pada layanan bimbingan dan konseling. Dalam penelitian ini menggunakan layanan bimbingan kelompok. Sedangkan penulis menggunakan konseling individual.

27 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara,

(27)

47

2. Jurnal Bimbingan konseling Model Bimbingan Kelompok Dalam Pelaksanaan Kegiatan Kepramukaan Untuk Meningkatkan Kemandirian Siswa 2 (1) (2013), Oleh: Hidayati Sri dkk.

Persamaan dan perbedaan:

Yang dapat dijadikan relevansi adalah dalam hal meningkatkan kemandirian. Perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan metode

research and development sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan kualitatif deskriptif dan juga terletak obyeknya, yaitu beberapa siswa sedangkan obyek penulis adalah seorang remaja. Penulis menggunakan terapi behavior dengan teknik modeling, sedangkan dalam jurnal penelitian ini menggunakan model bimbingan kelompok dalam pelaksanaan kegiatan kepramukaan.

3. Tita Andriani, 2013. Program Bimbingan Dan Konseling Pribadi Sosial Untuk Meningkatkan Kemandirian Prilaku Siswa, Universitas Pendidikan Indonesia.

Persamaan dan perbedaan:

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yaitu pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan dan penganalisaan data hasil penelitian secara eksak dengan menggunakan perhitungan-perhitungan statistik (analisis statistik). Sedangkan penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Relevansi yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kemandirian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan metode yang digunakan penulis yaitu jenis metode

(28)

48

deskriptif. Bedanya, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan kemandirian perilaku siswa kelas XI Jurusan Administrasi Perkantoran SMK Pasundan 3 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013. Sedangkan obyek peneliti adalah seorang remaja di Desa Ngayung Maduran Lamongan, berupa studi kasus.

Referensi

Dokumen terkait

Pelatihan beternak terdiri dari dua sub pro- gram, yaitu kesehatan kambing/domba dan budi daya ayam untuk skala rumah tangga. Pemberian materi dilanjutkan dengan

kredit yang disalurkan oleh bank dengan total dana pihak ketiga yang diterima. oleh

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan umum yaitu terdapat pengaruh positif kepemimpinan transformasional dan

Di dalam dusun pasirah hendak buat satu pasungan, maka orang yang maling berkeliling/ataq lain-lain orang jahat yang akan dibawa pada yang kuasa di dalam

T HE CHILEAN Copper Commission atau Cochilco melansir para pembeli tembaga dari China telah meminta penundaan pengiriman tembaga dari Chili seiring keresahan yang

rasio panjang jalan kabupaten dan jembatan yang telah diinspeksi Program Inspeksi Kondisi Jalan dan Jembatan Inspeksi Kondisi jalan % 15 15 15 15 16 20 24 Bidang Bina Marga

Tujuan Kurikulum Permata Negara berdasarkan yang tercantum dalam panduan kurikulum permata negara tahun 2012 ialah untuk menyediakan program

(Catatan: Metode Pengajaran bersifat terapan, yaitu dengan bedah kasus tertentu)..