BAB III
LANDASAN TEORI
3.1. Kenyamanan Termal
American Society of Heating Refrigerating and Air Conditioning
Engineering (ASHRAE) mendefinisikan kenyamanan termal sebagai hasil
pemikiran seseorang mengenai kepuasan terdadap keadaan termal di sekitarnya.1
1Parsons, K.C., 2003,
Human Thermal Environment (London and New York: Taylor and Francis Group), hal 257.
Oleh karena kenyamanan adalah “suatu pemikiran, persamaan empiris harus
digunakan untuk mengaitkan respon kenyamanan terhadap sambutan tubuh.
Kenyamanan termal merupakan kepuasan yang dialami oleh seseorang manusia
yang menerima suatu keadaan termal. Keadaan ini dapat dialami secara sadar
ataupun tidak. Pemikiran ‘suhu netral’ atau suhu tertentu yang sesuai untuk
seseorang dinilai agak kurang tepat karena nilai kenyamanan bukan merupakan
konsep yang pasti dan berbeda bagi setiap individu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal antara lain:
1.Tingkat aktivitas (metabolisme dalam tubuh)
2.Temperatur udara
3.Temperatur radian
4.Kadar kelembapan udara relatif
5.Kecepatan angin
3.2. Suhu Udara (T)
Pada umumnya, sistem – sistem termoregulasi tubuh manusia selalu
mencoba untuk mempertahankan kestabilan suhu internal (inti) tubuh sekitar
36,10C hingga 37,20C (970F hingga 990F).2 Suhu inti harus selalu berada dalam interval tersebut untuk menghindari kerusakan tubuh dan performansi. Ketika
pekerjaan fisik dilakukan, tambahan suhu tubuh akan terjadi. Jika ditambahkan
keadaan yang tingkat kelembabannya tinggi terhadap suhu ambient, maka
hasilnya akan mengarah pada kelelahan dan resiko kesehatan.
Tubuh manusia mempertahankan keseimbangan panas tersebut dengan
meningkatkan sirkulasi darah ke kulit, karena itu kita berkeringat pada hari panas.
Ketika hari dingin, tubuh mereduksi sirkulasi darah ke kulit dan kita akan merasa
sedikit hangat. Tubuh menghasilkan panas melalui metabolism dan pekerjaan
fisik. Untuk menjaga keseimbangan panas internal, tubuh melakukan pertukaran
panas dengan lingkungan dengan empat cara berikut ini.
1. Konveksi
Proses ini tergantung pada perbedaan udara dan suhu kulit. Jika suhu udara
lebih panas daripada kulit, maka kulit akan menyerap panas dari udara, yang
dapat dikatakan berarti menambah panas ke tubuh. Akan tetapi, jika suhu udara
lebih dingin daripada kulit, maka tubuh akan kehilangan panas.
3. Radiasi
Proses ini tergantung pada perbedaan temperature kulit dengan permukaan
pada lingkungan. Contoh, berdiri di bawah pancaran sinar matahari akan
membuat kita menerima radiasi dari matahari.
Suatu penelitian dapat diperoleh bahwa produktivitas kerja manusia akan
mencapai tingkat paling tinggi pada suhu sekitar 240C sampai dengan 270C.
3.3. Kecepatan Udara (v)
Pergerakan udara melalui tubuh dapat mempengaruhi aliran panas dari suhu
tubuh. Pergerakan udara akan bervariasi setiap waktu, ruang, dan arah. Gambaran
kecepatan udara pada suatu titik dapat bervariasi dalam waktu dan intensitas.
Penelitian terhadap respon manusia misalnya, ketidaknyamanan karena aliran
udara menunjukkan pentingnya variasi kecepatan udara. Pergerakan udara
(kombinasi dengan suhu udara) akan mempengaruhi tingkatan udara hangat atau
keringat yang diambil dari tubuh, sehingga mempengaruhi suhu tubuh. Kecepatan
angin adalah faktor terpenting dalam kenyamanan suhu. Sirkulasi udara yang
tidak baik dalam ruangan tertutup akan menyebabkan kelelahan pada pekerja
ataupun berkeringat. Pergerakan udara dapat meningkatkan heat stress melalui
konveksi tanpa mempengaruhi suhu udara dalam ruangan.3
3.4. Kelembaban (RH)
Kelembaban relatif adalah perbandingan antara jumlah uap air pada udara
dengan jumlah maksimum uap air di udara yang bisa ditampung pada suhu
tersebut. Kelembaban relatif antara 40% hingga 70% tidak begitu berpengaruh
terhadap thermal comfort. Pada ruangan kantor, biasanya kelembaban
dipertahankan pada 40% sampai 70% karena adanya computer, sedangkan tempat
kerja outdoor, kelembaban relatif mungkin lebih besar dari 70% pada hari yang
panas. Lingkungan yang mempunyai kelembaban relatif tinggi mencegah
penguapan keringat dari kulit. Di lingkungan yang panas, kelembaban sangat
penting karena semakin sedikit keringat yang menguap pada kelembaban tinggi.
3.5. Keseimbangan Panas
Pengaturan suhu atau regulasi thermal adalah suatu pengaturan secara
kompleks dari suatu proses fisiologis dimana terjadi kesetimbangan antara
produksi panas dengan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat
dipertahankan. Suhu tubuh manusia yang dapat kita raba atau rasakan tidak hanya
didapat dari metabolisme, tetapi juga dipengaruhi oleh panas lingkungan. Panas
lingkungan yang semakin tinggi akan menyebabkan pengaruh yang semakin besar
terhadap suhu tubuh, sebaliknya jika suhu lingkungan semakin rendah maka
kesehatan kerja. Tekanan panas yang berlebihan merupakan beban tambahan yang
harus diperhitungkan.
Pengeluaran panas (heat loss) dari tubuh ke lingkungan atau sebaliknya
berlangsung secara fisika. Permukaan tubuh dapat kehilangan panas melalui
pertukaran panas secara radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi air. Heat stress
dapat terjadi pada kondisi panas yang diproduksi lebih besar daripada panas yang
hilang.
ASHRAE (1989) memberikan persamaan panas sebagai berikut:
M – W = (C + R + Esk) + (Cres + Eres)………. (1)
Dimana: M : Tingkat Produksi Energi Metabolisme
W : Tingkat Pekerjaan Mekanik
C : Tingkat Kehilangan Panas Konvektif dari Kulit
R : Tingkat Kehilangan Radiasi dari Kulit
Esk : Tingkat Kehilangan Panas Penguapan Total dari Kulit
Cres : Tingkat Kehilangan Panas Konvektif dari Pernapasan
Eres : Tingkat Kehilangan Penguapan dari Pernapasan
Catatan bahwa:
Esk = Erew + Edif……… (2)
Dimana:
Erew : Tingkat Kehilangan Panas Penguapan Kulit Melalui Keringat
Edif : Tingkat Kehilangan Panas Penguapan Kulit Melalui Kelembaban
Sebuah pendekatan praktis menganggap produksi panas didalam tubuh (M – W),
Eres) dan kehilangan panas. Tujuan berikutnya adalah untuk mengukur
komponen persamaan keseimbangan panas di dalam istilah-istilah parameter yang
bisa ditentukan (diukur atau ditaksir). Produksi panas di dalam tubuh di
hubungkan kepada aktivitas seseorang. Umumnya, oksigen dibawa ke dalam
tubuh (menghirup udara) dan dibawa melalui darah ke sel - sel tubuh, dimana
digunakan untuk membakar makanan. Kebanyakan energi yang dilepaskan
berkenaan dengan panas bergantung pada aktivitas dan beberapa pekerjaan
ekternal yang dilakukan. Hal ini dijelaskan pada persamaan 3 sebagai berikut:
C + R =
………. (3)
Dimana:
fcl : Faktor arean pakaian. Area permukaan tubuh yang ditutupi
pakaian fcl dibagi dengan area permukaan tubuh yang terbuka
tanpa pakaian.
Rcl : Daya tahan panas pakaian.
t0 : Suhu operatif (0C)
tsk : Suhu kulit rata – rata (0C)
hc : 8,3 v 0,6 untuk 0,2 < v < 4,0 hc = 3,1 untuk 0 < v < 0,2
3.5.1. A Simple Clothing Model
Menjaga keseimbangan panas tubuh yang mengalir ke kulit, hal yang
harus dilakukan antara lain adalah: menentukan suhu kulit melalui perpindahan ke
permukaan pakaian, menentukan suhu pakaian dan suhu lingkungan luar. Oleh
karena itu, tubuh harus menjaga keseimbangan panas dimana panas akan
mengalir keluar dari tubuh sampai mencapai kesetimbangan suhu tubuh, suhu
kulit dan suhu pakaian dalam suhu lingkungan4.
Nilai untuk insulisasi panas (Iclo) untuk setiap jenis pakaian dapat dilihat
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Nilai Insulisasi Panas (Iclo) untuk Setiap Jenis Pakaian Jenis Pakaian Insulisasi Panas (Iclo) Pakaian Dalam
Celana Dalam 0,3
Celana Dalam Berkaki Panjang 0,10
Singlet 0,04
Kaos 0,09
Kemeja Berlengan Panjang 0,12
Celana Dalam dan Bra 0,03
Kemeja/Blus
Lengan Panjang 0,15
Tebal, Lengan Panjang 0,20
4
Tabel 3.1. Nilai Insulisasi Panas (Iclo) untuk Setiap Jenis Pakaian (Lanjutan) Jenis Pakaian Insulisasi Panas (Iclo)
Normal, Lengan Panjang 0,25
Kemeja Planel, Lengan Panjang 0,30
Blus Tipis, Lengan Panjang 0,15
Celana
Pendek 0,06
Tebal 0,20
Normal 0,25
Gaun/Rok
Rok Tipis (Musim Panas) 0,15
Gaun Tebal (Musim Dingin) 0,25
Gaun Tipis, Lengan Pendek 0,20
Gaun Musim Dingin, Lengan Panjang 0,40
Boiler Suit 0,55
Baju Hangat
Rompi Berlengan 0,12
Baju Hangat Tipis 0,20
Baju Hangat 0,28
Tabel 3.1. Nilai Insulisasi Panas (Iclo) untuk Setiap Jenis Pakaian (Lanjutan) Jenis Pakaian Insulisasi Panas (Iclo)
Jaket 0,35
Blazer 0,30
Insulisasi Tinggi, fibre-pelt
Boiler Suit 0,90
Celana 0,35
Jaket 0,40
Rompi 0,20
Pakaian Luar
Mantel 0,60
Jaket 0,55
Parka 0,70
Keseluruhan fiber-pelt 0,55
Lain – Lain
Kaus Kaki 0,02
Kaus Kaki Tebal Sepanjang Pergelangan Kaki 0,05
Kaus Kaki Tebal Panjang 0,10
Stoking Nilon 0,03
Sepatu (bersol tipis) 0,02
Sepatu (bersol tebal) 0,04
Tabel 3.1. Nilai Insulisasi Panas (Iclo) untuk Setiap Jenis Pakaian (Lanjutan) Jenis Pakaian Insulisasi Panas (Iclo)
Sarung Tangan 0,05
Sumber: Human Thermal Environments, Ken Parsons
Warna merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyerapan
panas. Nilai Bilangan Serap dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Bilangan Serap
No. Warna α
1 Hitam Merata 0,95
2 Pernis Hitam 0,92
3 Abu – Abu Tua 0,91
4 Pernis Biru Tua 0,91
5 Cat Minyak Hitam 0,90
6 Cokelat Tua 0,88
7 Abu – Abu Biru Tua 0,88
8 Biru/Hijau Tua 0,88
Tabel 3.2. Bilangan Serap (Lanjutan)
No. Warna α
13 Hijau/Biru Medium 0,57
14 Hijau Muda 0,47
15 Putih Agak Mengkilap 0,30
16 Putih Mengkilap 0,25
17 Perak 0,25
18 Pernis Putih 0,21
Sumber: Human Thermal Environments, Ken Parsons
3.6. Parameter Tekanan Panas
Terdapat beberapa cara untuk menetapkan besarnya tekanan panas sebagai
berikut (Suma’mur, 1996) :
1. Suhu efektif, yaitu indeks sensoris dari tingkat panas yang dialami oleh
seseorang tanpa baju kerja ringan dalam berbagai kombinasi suhu, kelembaban
dan kecepatan aliran udara. Kelemahan penggunaan suhu efektif ialah tidak
memperhitungkan panas radiasi dan panas metabolisme tubuh sendiri. Untuk
menyempurnakan pemakaian suhu efektif dengan memperhatikan panas
radiasi, dibuatlah Skala Suhu Efektif Dikoreksi (Corected Effektive
Temperature Scale). Namun tetap ada kekurangannya yaitu tidak
diperhitungkannya panas hasil metabolisme.
2. Indeks suhu bola basah, (Wet Bulb-Globe Temperature Index), yaitu rumusan-
ISBB : 0,7 x Suhu Basah + 0,2 x Suhu Radiasi + 0,1 x Suhu Kering (Untuk
pekerjaan dengan radiasi matahari).
ISBB : 0,7 x Suhu Basah + 0,3 x Suhu Radiasi (Untuk pekerjaan dengan radiasi
matahari).
Prosedur pengukuran ISBB:
1.Pastikan globe temperatur bersih dan berikan sedikit air pada bagian pengukur
temperatur basah.
2.Tempatkan QuesTemp pada tempat kerja yang akan diukur kurang lebih 3,5 kaki (±1,1m) dari permukaan tanah.
3.Hidupkan QuesTemp, dan diamkan selama 10 menit sebelum membaca nilai temperatur globe untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan nilai ISBB rata-rata yang diterima oleh pekerja, maka dapat
dilihat ISBB dengan nilai ambang batas ISBB berdasarkan SNI 16-7063-2004
pada Tabel 3.3.
Tabel. 3.3. Nilai Ambang Batas Ketetapan
Proporsi Work-Idle Beban Kerja
Work Idle Ringan Sedang Berat
100% 0& 30,0 oC 26,7 oC 25,0 oC
75% 25% 30,6 oC 28,0 oC 25,9 oC
50% 50% 31,4 oC 29,4 oC 27,9 oC
25% 75% 32,2 Oc 31,1 oC 30,0 oC
Tabel 3.4. Nilai Ambang Batas Sesuai Dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep/51/51/MEN/1999
Indeks Suhu Bola Basah
(ISBB) Pengukuran Waktu Kerja Setiap Jam
Beban Kerja
Waktu Kerja Waktu Istirahat Ringan Sedang Berat
30 26,7 25 Beban Kerja Terus Menerus (8 Jam/Hari) -
28 28 25,9 75 25
29,4 29,4 27,9 50 50
37,2 31,1 30 25 75
Sumber: Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep-/MEN/1999 4. Heat Stress Index (HSI)
Heat stress index dirumuskan oleh Belding and Hatch (1955). Efek
pendinginan dari penguapan keringat adalah terpenting pada lingkungan
panas,untuk keseimbangan panas. Maka dari itu, Belding dan Hatch
mendasarkan indeksnya atas perbandingan banyaknya keringat yang
diperlukan untuk mengimbangi panas dan kapasitas maksimal tubuh untuk
berkeringat. Untuk menentukan indeks tersebut, diperlukan
pengukuran-pengukuran suhu kering dan basah, suhu globe termometer, kecepatan aliran
udara, produksi panas akibat kegiatan dalam pekerjaan (Suma’mur P.K.,
1996:86).
Berikut adalah arti tentang HSI yang ditunjukkan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Arti Rentang Nilai HSI
HSI Efek Paparan Selama 8 Jam Pengaruh Terhadap Pekerja
-20 Tekanan dingin yang ringan Pemulihan dari paparan panas
0 Tidak terjadi tekanan panas Tidak ada
10 – 30 Terjadi tekanan panas, dari tingkat sangat berat
Ancaman kesehatan bagi pekerja yang tidak layak, aktimilasi dibutuhkan 70 - 90 Terjadi tekanan panas, dari tingkat
yang sangat berat
Pemilihan selektif pekerja
100 Tekanan panas maksimal harian Dapat ditoleransi apabila fit, aktimilasi pada pekerja muda > 100 Waktu paparan terbatas Temperatur inti tubuh
meningkat
Sumber: Neville Stanton & Auliciems, Andris and Steven V. Szokolay 5. Required Sweat Rate (SWreq)
Bentuk dasar indeks ini dari ISO 7933 (1989). Indeks ini merupakan
pengembangan dari dua indeks tekanan panas yaitu HSI dan ITS dan indeks
ini dihitung untuk keseimbangan panas (Vogtet, 1981). Required Sweat Rate
(SWreq) dapat dihitung sebagai berikut:
3.7. Effective Temperature (ET)5
Temperatur efektif didefinisikan sebagai temperatur dari udara jenuh
dalam keadaan diam atau mendekati diam (0,1 m/s), pada keadaan tidak ada
radiasi panas akan memberikan perasaan kenyamanan termal yang sama dengan
kondisi udara yang dimaksud. Konsep temperatur efektif berdasarkan asumsi
bahwa kombinasi dari temperatur udara, kelembaban udara dan kecepatan udara
dapat menimbulkan kondisi termal yang sama (Yan Straaten,1967). Formula
untuk menghitung Effective Temperature (ET) adalah:
ET = DBT – 0,4 (DBT – 10) (1 – RH/100) dalam 0C.
NASA CR-1205-1 mengkaitkan nilai ET (Effective Temperature) dengan
persentasi kehilangan output dan persentasi kehilangan akurasi, dimana kaitan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Kaitan Effective Temperature (ET) dengan Loss In Output dan Loss In Accuracy
Hasil penelitian NASA CR-1205-1 menunjukkan bahwa ketika temperatur
meningkat lebih dari 850F, output akan berkurang 18% dan akurasi lost output akan meningkat secara tak pasti dari 40%. Kehilangan produktivitas akibat
temperatur tinggi dapat didokumentasikan sendiri dari hasil produksi yang
didapat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode Effective Temperature (ET) dapat
digunakan untuk menghitung peningkatkan/penurunan produktivitas dalam bentuk
persentasi loss in output.
3.8. Penilaian Beban Kerja Fisik
Penilaian beban kerja dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif,
yaitu metode penilaian langsung dan metode penilaian tidak langsung.6
3.8.1. Penilaian Beban Kerja Secara Langsung
Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi yang
dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan oksigen selama bekerja.
Semakin berat beban kerja akan semakin banyak energi yang diperlukan untuk
dikonsumsi. Meskipun metode pengukuran asupan oksigen lebih akurat, namun
hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat dan diperlukan peralatan
yang mahal. Kategori beban kerja yang didasarkan pada metabolisme, respirasi
Tabel 3.7. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi, Suhu Tubuh, dan Denyut Jantung
Kategori
Sumber: Tarwaka, Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas
Penentuan konsumsi energi biasanya digunakan suatu bentuk hubungan
energi dengan kecepatan denyut jantung yaitu sebuah persamaan regresi kudratis
sebagai berikut:
Y = 1,80411 − 0,0229038 X + 4,71711.10-4 X2………..(7)
Y = Energi (kkal/menit)
X = Kecepatan denyut jantung (denyut/menit)
Kategori beban kerja berdasarkan konsumsi energi adalah sebagai berikut:
Beban kerja ringan : 100−200 kkal/jam
Beban kerja sedang : >200−350 kkal/jam
Beban kerja berat : >350−500 kkal/jam
3.8.2. Penilaian Beban Kerja Secara Tidak Langsung
Metode penilaian tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi
selama bekerja. Pengukuran denyut jantung selama bekerja merupakan suatu
1992) dimana dengan metode ini dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai
berikut:
Denyut Jantung (denyut/menit) = x 60…………(8)
Penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja mempunyai
beberapa keuntungan, selain mudah, cepat, sangkil dan murah juga tidak
diperlukan peraltan yang mahal serta hasilnya pun cukup reliabel dan tidak
menganggu ataupun menyakiti orang yang diperiksa. Denyut nadi untuk
mengestimasi indek beban kerja fisik terdiri dari beberapa jenis yaitu:
1.Denyut Nadi Istirahat (DNI) adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan
dimulai.
2.Denyut Nadi Kerja (DNK) adalah rerata denyut nadi selama bekerja.
3.Nadi Kerja (NK) adalah selisih antara denyut nadi istirahat dengan denyut
nadi kerja.
Peningkatan denyut nadi mempunyai peranan yang sangat penting didalam
peningkatan cardia output dari istirahat sampai kerja maksimum. Peningkatan
yang potensial dalam denyut nadi dari istirahat sampai kerja maksimum oleh
Rodahl (1989) dalam Tarwaka, dkk (2004:101) didefinisikan sebagai Heart Rate
Reverse (HR Reverse) yang diekspresikan dalam presentase yang dapat dihitung
Denyut Nadi Maksimum (DNMax) adalah: (220 – umur) untuk laki-laki dan
(200 – umur) untuk perempuan Lebih lanjut untuk menentukan klasifikasi beban
kerja bedasarkan peningkatan denyut nadi kerja yang dibandingkan dengan denyut
nadi maksimum karena beban kardiovaskuler (cardiovasculair load = % CVL)
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
%CVL = x 100%...(10)
Hasil dari perhitungan % CVL tersebut kemudian dibandingkan dengan
klasifikasi yang telah ditetapkan yang ditunjukkan pada Tabel 3.8. sebagai
berikut:
Tabel 3.8. Klasifikasi Berat Ringan Beban Kerja Berdasarkan % CVL
% CVL Klasifikasi % CVL
< 30 % Tidak terjadi kelelahan
30 % - 60 % Diperlukan perbaikan
60 % - 80 % Kerja dalam waktu singkat
80 % - 100 % Diperlukan tindakan segera
> 100% Tidak diperbolehkan aktivitas
Sumber: Tarwaka, Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas
3.9. Teori Mengenai Uji Korelasi
Jika data hasil pengamatan terdiri dari banyak variabel, ialah berapa kuat
hubungan antara variabel-variabel itu terjadi, dalam kata-kata lain, perlu
ditentukan derajat hubungan antara variabel-variabel. Studi yang membahas
tentang derajat hubungan antara variabel-variabel dikenal dengan nama analisis
untuk data kuantitatif, dinamakan koefisien korelasi.7
Analisis korelasi sukar untuk dipisahkan daripada analisis regresi. Secara
umum, untuk pengamatan yang terdiri atas dua variabel X dan Y. Misalkan
persamaan regresi linier Y dan X, tidak perlu harus linier yang dihitung dari
sampel berbentuk Y = f (X). Jika regresinya linier, jelas f(X) = a + bX dan jika
parabola kuadratik f(X) = a + bX + cX2 dan seterusnya. Apabila Y menyatakan rata – rata untuk variable Y, maka dapat membentuk jumlah kuadrat total, JKtot =
2 dan jumlah kuadrat residu JK
res = 2 dengan menggunakan
harga – harga Yi yang didapat dari regresi Y = f(X). Besaran yang ditentukan oleh
rumus: I = ………. (11)
atau I = ……….(12)
Dinamakan indeks determinasi yang mengukur derajat hubungan antara
variabel X dan Y, apabila antara X dan Y terdapat hubungan regresi berbentuk Ý
= f(X). Indeks determinasi ini bersifat bahwa jika titik-titik diagram pencar
letaknya makin dekat kepada garis regresi, maka harga I makin dekat kepada satu.
Sebaliknya jika titik-titik itu makin jauh dari garis regresi, atau tepatnya terdapat
garis regresi yang tuna cocok, maka harga I makin dekat kepada nol. Secara
umum berlaku 0 .
Keterangan :
n = jumlah data
r = koefisien korelasi
Hipotesis yang akan diuji dan dibuktikan dalam penelitian ini berkaitan
dengan ada atau tidaknya pengaruh yang signifikan antara variabel independen
dan variabel dependen, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Hipotesis yang
diuji adalah hipotesis nol (Ho) yang mana diterima atau ditolaknya hipotesis
tersebut tergantung dari hasil percobaan. Sedangkan hipotesis alternatif (Ha)
merupakan hipotesis yang mengandung rumusan dengan aplikasi alternatif di
dalamnya, sehingga apabila salah satu hipotesis diterima akan menyebabkan
penolakan terhadap hipotesis lainnya.
Hipotesis alternatif adalah hipotesis tandingan yang merupakan penelitian
dari peneliti. Hipotesis ini mengandung pengertian hubungan dan bukan
pengertian lebih atau kurang dari, maka pengujian signifikan dari koefisien
korelasi tersebut pengujian-pengujian pihak dengan hipotesis sebagai berikut :
1.Analisis koefisien korelasi
Digunakan untuk mengetahui kuat tidaknya hubungan antara variabel X dan
variabel Y atau Ґ, dengan menggunakan pendekatan koefisien korelasi person.
Nilai koefisien korelasi berkisar antara –1 sampai dengan 1 yang berkriteria
pemanfaatannya sebagai berikut :
a. Jika nilai r > 0, artinya terjadi hubungan positif. Semakin besar nilai
b. Jika nilai r < 0, artinya terjadi hubungan linear negatif. Semakin besar nilai
variabel bebas semakin kecil nilai variabel terikatnya.
c. Jika nilai r = 0, artinya tidak ada hubungan sama sekali antara variabel
bebas dan variabel terikat.
d. Jika nilai r = 1 atau r = -1, artinya telah terjadi hubungan yang sempurna
yaitu berupa garis lurus. Untuk r yang semakin mengarah ke 0, garis
semakin tidak lurus.
3.10. Kuesioner
Kuesioner ialah suatu bentuk instrument pengumpulan data dalam format
pertanyaan tertulis yang dilengkapi dengan kolom dimana responden akan
menuliskan jawaban atas pertanyaan yang diarahkan kepadanya.8
Validitas data ialah suatu ukuran yang mengacu kepada derajat Perancangan
kuesioner yang baik perlu dipahami prinsip-prinsip yang terkait dengan cara
penulisan pertanyaan (wording of quetions), cara pengukuran yaitu
mengkatagorikan, membuat skala dan mengkodekan (catagorized, scaled and
coded) jawaban dari responden dan kerapian (general appearance) kuesioner
tersebut.
data.9 Data yang valid akan diperoleh apabila instrumen pengumpulan data juga valid. Beberapa literatur membedakan validitas instrumen atas dua tipe yaitu
validitas internal dan validitas eksternal. Validitas internal berkenaan dengan
derajat keakurasian rancangan penelitian. Rancangan penelitian yang baik
termasuk rancangan pengumpulan data akan dapat mengidentifikasi sumber data
yang tepat dan alat/instrumen pengumpulan data yang juga tepat. Validitas
eksternal berkenaan dengan derajat akurasi hasil penelitian jika dilakukan
generalisasi dan diterapkan pada populasi dari mana data penelitian diambil.
Salah satu cara yang umum yang digunakan untuk menguji validitas
instrumen ialah melalui analisis korelasi (correlational analysis). Analisis korelasi
dilakukan dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment yang
dikembangkan oleh Pearson, yaitu sebagai berikut:
rxy = ……….(14)
Dimana: r = koefisien korelasi antara X dan Y
= Skor variabel independen X
= Skor variabel independen Y
9
3.10.2. Reabilitas
Reliabilitas sebuah alat ukur berkenaan dengan derajat konsistensi dan
stabilitas data yang dihasilkan dari proses pengumpulan data dengan
menggunakan instrumen tersebut.10 Terdapat dua ukuran yang umum digunakan untuk mengetahui derajat reliabilitas atau kehandalan instrumen pengumpulan
data, yaitu stabilitas instrumen dan konsistensi internal instrumen.
Stabilitas instrumen adalah suatu ukuran yang menunjukkan derajat
kestabilan instrumen terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan
instrumen tersebut artinya jika instrumen tersebut digunakan dalam pengukuran
variabel yang sama dalam waktu yang berbeda dan memberikan hasil yang sama
maka dikatakan stabilitas instrumen tersebut cukup baik. Konsistensi internal
instrumen memberikan indikasi homogenitas item dalam pengukuran dalam arti
seberapa jauh instrumen tersebut menjadikan item-item yang diukur secara
bersama-sama menjadi sebuah set dan secara independen menjadi bagian yang
berarti terhadap keseluruhan.
Pengujian reliabilitas pada umumnya dikenakan untuk pengujian
stabilitas instrumen dan konsistensi internal instrumen. Pengujian terhadap kedua
karakteristik dari instrumen tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode.
Untuk pengujian stabilitas instrumen terdapat dua macam uji yaitu test-retest
dalam pengujian konsistensi internal instrumen ialah Koefisien Alpha Cronbach.
Koefisien Alpha Cronbach digunakan untuk mengukur reliabilitas
instrumen yang pertanyaannya menggunakan skor dalam rentangan tertentu.
Rumus yang digunakan dalam menghitung koefisien tersebut ialah :
……….(15)
dimana,
k = jumlah butir pertanyaan
σb2 = varians butir pertanyaan
σl2 = varians total butir pertanyaan
3.11. Antropometri
3.11.1. Definisi Antropometri
Istilah antropometri berasal dari “anthro” yang berarti manusia dan
“metri”yang berarti ukuran. Secara definitif, antropometri dapat dinyatakan
sebagai suatu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia.11 Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar, dan
sebagainya) berat dan lain-lain yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Antropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan
ergonomis dalam memerlukan interaksi manusia. Tempat kerja yang baik dalam
artian sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia dapat diperoleh
apabila ukuran-ukuran dari tempat kerja tersebut sesuai dengan tubuh manusia
11
dan hal-hal yang berhubungan dengan dimensi tubuh manusia dipelajari dalam
antropometri.
3.11.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengukuran Antropometri
Manusia pada umumnya akan berbeda-beda dalam hal bentuk dan
dimensi ukuran tubuhnya. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran
tubuh manusia, sehingga sudah semestinya seorang perancang produk harus
memperhatikan faktor-faktor tersebut yang antara lain adalah:
1. Umur
Secara umum dimensi tubuh manusia akan tumbuh dan bertambah besar
seiring dengan bertambahnya umur yaitu sejak awal kelahirannya sampai
dengan umur sekitar 20 tahunan. Dari suatu penelitian yang dilakukan oleh
A.F.Roche dan G.H.Davila (1972) di USA diperoleh kesimpulan bahwa
laki-laki akan tumbuh dan berkembang naik sampai dengan usia 21 tahun,
sedangkan wanita 17 tahun. Meskipun ada sekitar 10% yang masih terus
bertambah tinggi sampai usia 23 tahun (laki-laki) dan 21 tahun (wanita).
Setelah itu, tidak akan terjadi lagi pertumbuhan bahkan justru akan cenderung
berubah menjadi penurunan ataupun penyusutan yang dimulai sekitar umur 40
tahunan.
3. Suku Bangsa (Etnis)
Setiap suku bangsa ataupun kelompok etnik akan memiliki karakteristik fisik
yang akan berbeda satu dengan yang lainnya.
4. Posisi Tubuh
Sikap (postur) ataupun posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh.
Oleh sebab itu, posisi tubuh standar harus ditetapkan untuk survei pengukuran.
Dalam kaitan dengan posisi tubuh dikenal 2 cara pengukuran yaitu pengukuran
dimensi struktur tubuh dan pengukuran dimensi fungsional tubuh.
5. Cacat Tubuh
Cacat tubuh dapat mempengaruhi perubahan dimensi antropometri. Data
antropometri ini diperlukan untuk perancangan produk bagi orang-orang cacat,
misalnya kursi roda, kaki/tangan palsu, dan lain-lain.
6. Tebal/Tipisnya Pakaian yang Dikenakan
Faktor iklim yang berbeda akan memberikan variasi yang berbeda-beda dalam
bentuk rancangan dan spesifikasi pakaian.
7. Kehamilan (Pregnancy)
Kondisi semacam ini jelas mempengaruhi bentuk dan ukuran tubuh (khusus
perempuan). Hal tersebut jelas memerlukan perhatian khusu terhadap produk-
3.11.3. Antropometri Statis (Struktural)
Istilah lain dari pengukuran tubuh dalam berbagai posisi standar dan
tidak bergerak (tetap tegak sempurna) dikenal dengan antropometri statis.
Dimensi tubuh yang diukur dengan posisi tetap antara lain meliputi berat badan,
tinggi tubuh dalam posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala, tinggi/panjang
lutut pada saat berdiri/duduk, panjang lengan dan sebagainya. Ukuran dalam hal
ini diambil dengan persentil tertentu seperti 5-th dan 95-th persentil. Contoh
antropometri statis adalah posisi tubuh saat duduk orang duduk di kursi.
3.11.4. Antropometri Dinamis (Fungsional)
Antropometri dinamis adalah pengukuran yang dilakukan terhadap posisi
tubuh pada saat berfungsi melakukan gerakan-gerakan tertentu yang berkaitan
dengan kegiatan yang harus diselesaikan. Hal pokok yang ditekankan dalam
pengukuran dimensi fungsional tubuh ini adalah mendapatkan ukuran tubuh yang
nantinya akan berkaitan erat dengan gerakan-gerakan nyata yang diperlukan tubuh
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Berbeda dengan antropometri
statis yang mengukur tubuh dalam posisi tetap/statis, maka cara pengukuran kali
ini dilakukan pada saat tubuh melakukan gerakan-gerakan kerja atau dalm posisi
yang dinamis. Antropometri dinamis akan banyak diaplikasikan dalam proses
antara kepala dengan atap maupun dashboard harus menggunakan data
antropometri dinamis.
3.11.5. Prinsip-prinsip Penggunaan Data Antropometri
Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam
anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya
pada saat suatu rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat. Agar
rancangan suatu produk nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang
akan mengoperasikannya, maka prinsip-prinsip apa yang harus diambil di dalam
aplikasi data antropometri tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu seperti
diuraikan berikut ini:
1. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim
Di sini rancangan produk dibuat agar memenuhi 2 sasaran produk, yaitu:
a. Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim
dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan rata-ratanya.
b. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas
dari populasi yang ada).
Agar bisa memenuhi sasaran pokok tersebut maka ukuran yang diaplikasikan
ditetapkan dengan cara:
a. Untuk dimensi minimum yang harus ditetapkan dari suatu rancangan produk
umumnya didasarkan pada nilai persentil yang terbesar seperti 90-th, 95-th atau
99-th persentil. Contoh konkrit pada kasus ini bisa dilihat pada penetapan
b. Untuk dimensi maksimum yang harus ditetapkan diambil berdasarkan nilai
persentil yang paling rendah yaitu 1-th, 5-th, 10-th persentil) dari distribusi
data antropometri yang ada. Hal ini diterapkan dalam penetapan jarak
3.10.6. Dimensi Tubuh Pengukuran Data Antropometri
Jenis pengukuran antropometri statis biasanya dilakukan dalam dua
posisi yaitu posisi berdiri dan duduk di kursi.12 Alat ukur yang harus digunakan untuk mengukur antropometri adalah antropometer. Terdapat beberapa dimensi
tubuh yang akan diukur yaitu:
a. Tinggi Popliteal (TPo)
Diukur jarak vertikal dari lantai sampai bagian bawah paha.
b.Lebar Pinggul (LP)
Subjek duduk tegak, diukur jarak horisontal dari bagian terluar pinggul sisi
kiri sampai bagian terluar pinggul sisi kanan.
c. Jangkauan Tangan (JT)
Diukur jarak horisontal dari punggung samping ujung jari tengah dan subjek
berdiri tegak dengan betis, pantat dan punggung merapat ke dinding, tangan
direntangkan secara horisontal ke depan.
d.Rentangan Tangan (RT)
e. Tinggi Siku Duduk (TSD)
Diukur jarak vertikal dari permukaan alas duduk sampai ujung bawah siku
kanan. Subjek duduk tegak dengan lengan atas vertikal di sisi badan dan lengan
bawah membentuk sudut siku-siku dengan lengan bawah.
f. Tinggi Bahu Duduk (TBD)
Ukur jarak vertikal dari permukaan alas duduk sampai ujung tulang baju yang
menonjol pada saat duduk tegak.
3.12. Lattice Sampling
Lattice sampling merupakan cara pengambilan sampel dengan menetapkan
area secara equally spaced (bagian yang sama).13
13
David Abbey. E. 1972. Some Estimators of Sub Universe Means for Use with Lattice Sampling. University of California. Los Angels. Hal. 406.
Sebagai contoh, dalam
pembahasan diketahui gudang simpan kemas dengan ukuran 35 x 20 x 10 m,
membagi tinggi 4 (empat) lapisan antar lapisan yaitu 2,5 m, panjang 7 (tujuh)
lapisa antar lapisan yaitu 5 m dan lebar 4 (empat) lapisan antar lapisan yaitu 5 m.
Sedangkan untuk penentuan titik sampelnya dilakukan pada setiap lapisan dengan
menetapkan 120 titik pengukuran. Penentuan titik ini dinamakan lattice data.
Dimana pada lattice data ini, data yang diambil merupakan jenis data yang
mewakili area tertentu yang sudah jelas batasannya.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT. Pacific Palmindo berlokasi di Jl. Pulau Pini
Kawasan Industri Medan II (KIM-MABAR). Penelitian dilakukan pada bulan
Desember 2016.
4.2. Jenis Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah penelitian survei, Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh ataupun juga hubungan antara dua variabel atau lebih
sehingga mendapatkan keterkaitan faktor - faktor lingkungan fisik termal tersebut
dengan ketidaknyamanan operator.14
4.3. Objek Penelitian
Objek yang diamati adalah data suhu ruangan kecepatan angin, denyut
nadi operator, dan pengukuran antropometri tubuh operator.
4.4. Variabel Penelitian
Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah:
a. Suhu Udara
Berfokus pada suhu udara pada area operator Quality Control.
b. Kecepatan Angin
c. Kelembaban
d. Suhu Basah
e. Suhu Kering
f. Suhu Bola
g. Suhu Tubuh
h. Clo Resistance
2. Variabel Dependen
Variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah:
a. Energi Ekspenditur
b. Indeks Suhu Bola Basah (ISBB)
c. Heat Stress Index (HSI)
d. Effective Temperature (ET)
3. Variabel Intervening
Variabel intervening merupakan variable yang mempengaruhi hubungan
antara Variabel Independen dan Variabel Dependen, yaitu:
a. Denyut Nadi
b. Kondisi Psikologis
c. Layout Lantai Produksi
Suatu penelitian dapat dilaksanakan apabila tersedianya sebuah
perancangan kerangka berpikir yang baik sehingga langkah-langkah penelitian
lebih sistematis. Kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Suhu Kering
Gambar 4.1. Kerangka Konseptual Penelitian
4.6. Definisi Operasional
Definisi-definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kelembaban relatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kandungan uap air dalam campuran air-udara dalam fase gas. Kelembaban
relatif dari suatu campuran air-udara didefinisikan sebagai rasio dari tekanan
parsial uap air dalam campuran terhadap tekanan uap jenuh air pada
temperatur tersebut.
2. Suhu kering (dry bulb) atau suhu udara merupakan suhu yang tidak
dipengaruhi oleh uap air yang ada. Pengukuran dilakukan dengan
3. Suhu basah (wet bulb) adalah suhu yang didapat apabila udara didinginkan
pada tekanan konstan sampai jenuh (100% kelembaban) suhu basah diukur
dengan termometer yang diselubungi dengan kain basah. Proses penguapan
terjadi dengan absorpsi kalor laten, sehingga suhu tabung basah selalu lebih
rendah dari suhu tabung kering.
4. Suhu bola (globe) adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola.
5. Clo resistance adalah besaran untuk resistensi pakaian terhadap panas.
7. ISBB (Indeks Suhu Bola Basah) adalah parameter untuk menilai tingkat iklim
kerja yang merupakan hasil perhitungan antara suhu udara kering, suhu udara
basah, dan suhu bola.
9. HSI (Heat Stress Index) adalah perbandingan kebutuhan pendinginan
evaporasi untuk menjaga keseimbangan panas terhadap pendinginan
evaporasi maksimum dari kondisi lingkungan fisik yang digunakan.
10. ET (Effective Temperature) merupakan kombinasi dari suhu kering dan
kelembaban udara. ET juga didefinisikan sebagai suhu atmosfir yang masih
jenuh, tanpa adanya radiasi, yang akan menghasilkan efek yang sama seperti
suasana yang bersangkutan.
4.7. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Thermo-Hygrometer, berfungsi untuk mengukur kelembaban relatif suhu
Gambar 4.2. Thermo-Hygrometer
Spesifikasi:
a. Rentangan Temperatur: 400C – 700C (400F-1580F) b. Temperatur Kelembaban: 20%RH – 90RH
c. Akurasi Temperatur: ± 10C (1,80F) d. Akurasi Kelembaban : ± 5% RH
d. Resolusi: 1%RH, 0,10C/F
e. Pengambilan Sampel: 2 Kali/Detik
f. Tenaga: 2*AAA 1,5V Battery
2. Black Globe Thermometer, berfungsi untuk mengukur suhu globe, suhu
Gambar 4.3. Black Globe Thermometer
Spesifikasi:
a. Akurasi Temperatur Udara: ± 6 %
b. Akurasi Temperatur: a. Dalam Ruangan: 150C - 400C
b. Di luar Ruangan: 150C - 400C
c. Akurasi Temperatur WBGT: ±2 %
d. Tenaga: Baterai 2AAA
e. Ukuran Bola Hitam: 40mm
d. Rentangan Operasi : 00C-500C
3. Anemometer, berfungsi untuk mengukur kecepatan angin.
Spesifikasi:
a. Temperatur Udara: 00C - 500C b. Sensor alat: 1,2 meter
c. Akurasi: ±5%
d. Masa Baterai: 5 Jam
e. Berat: 160 gram termasuk baterai
4. Automatic Blood Pressure, berfungsi untuk mengukur tekanan darah dan
denyut nadi.
Gambar 4.5. Automatic Blood Pressure
Spesifikasi:
a. Akurasi: ±5%
b. Masa Baterai: 250 kali pengukuran
c. Berat: 400 gram termasuk baterai
Gambar 4.6. Termometer Telinga
Spesifikasi:
a.Nama : InstantEarThermometer
b.Tegangan : 3 VDC
c.Catu daya : 0,05 W
d.Sensor : THERMOPILESENSOR : THERMOPILE
e.Ketelitian : 350C - 42,50C f. Suhu Lingkungan: 150C - 400C g. Kelembaban Relatif: 35% - 80%
6. Kuesioner pribadi (personal questionnairre) yang berfungsi untuk
mendapatkan informasi-informasi pribadi operator mengenai kondisi
4.8. Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yang diawali dengan
melakukan identifikasi masalah hingga menghasilkan kesimpulan.
Tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah merupakan langkah pertama yang dilakukan saat
penelitian berlangsung sehingga dapat mengangkat permasalahan secara jelas
dan terarah.
2. Studi literatur
Kajian literatur merupakan bagian dari studi yang bertujuan untuk
mengumpulkan dan menganalisa data sekunder dari instansi terkait, hasil
penelitian, jurnal, dan literatur lain.
3. Perumusan masalah
Perumusan masalah menjabarkan kembali inti dari permasalahan yang
teridentifikasi kemudian menuangkannya ke dalam satu lingkup permasalahan
yang spesifik.
4. Perumusan tujuan penelitian
Penentuan tujuan penelitian sebagai acuan untuk mengarahkan dan
menentukan hasil akhir penelitian.
5. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan
Tahapan proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.8
Studi Lapangan 1. Mengamati Kondisi Lapangan 2. Mengukur suhu udara, kecepatan angin dan denyut nadi operator 3. Informasi pendukung
Studi Literatur 1. Teori Buku
2. Referensi Jurnal Penelitian 3. Langkah-langkah Pengukuran Identifikasi Masalah Awal Adanya Paparan Panas dan Fasilitas Kerja yang Kurang Memadai Sehingga
Menurunkan Peformansi Operator
Analisis Pemecahan Masalah Analisis dan Evaluasi Usulan ruang Quality
Control
SELESAI Perumusan Masalah Pengukuran tingkat kesalahan operator
boiler PT Pacific Palmindo Industri
Mulai
Kesimpulan dan Saran Pengolahan Data
Menggunakan Metode Indeks Suhu Bola Basah untuk menentukan Heat Stress Indeks (HSI) dan Menggunakan pendekatan Antropometri untuk
merancang fasilitas kerja operator
Gambar 4.8. Tahapan Proses Penelitian
1. Data Primer.
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung menggunakan
instrument (alat ukur). Data primer pada penelitian ini terdiri dari: Kuesioner
Paparan panas yang dirasakan operator, Suhu Udara, Kecepatan Angin, Denyut
Nadi Operator, Clo Resistance Pekerja, kuesioner hasil pengisian operator
terhadap kenyamanan termal, Antropometri operator, Jumlah jam kerja dan
jam istirahat operator.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan mengambil dari
dokumen perusahaan. Data sekunder pada penelitian ini terdiri dari: jumlah
operator dan data mesin.
4.9.2. Metode Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Teknik observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan pada perusahaan
secara langsung untuk mengetahui proses bisnis yang dijalankan oleh
perusahaan dan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan terkait dengan
penelitian. Observasi yang dilakukan antara lain melakukan pengukuran Suhu
Basah, Suhu Kering dan Suhu Globe menggunakan metode Lattice Sampling.
2. Teknik wawancara, yaitu dengan melakukan wawancara pada pihak-pihak
terkait di perusahaan sesuai dengan kebutuhan penelitian.
3. Teknik kepustakaan (studi literatur), yaitu dengan mengumpulkan dan
berkaitan dengan pemecahan masalah sesuai dengan permasalahan pada
perusahaan.
4. Pengukuran Suhu Basah, Suhu Kering, dan Suhu Globe menggunakan metode
Lattice Sampling.
4.10. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan dimulai dengan melakukan pengujian
validitas dan reliabilitas untuk menilai apakah responden konsisten menjawab atau
tidak. Kemudian, diukur suhu ruangan, Kecepatan Angin dan Denyut Nadi
Operator. Setelah itu, dengan metode Indeks Suhu Bola Basah ditentukan Heat
Stress Indeks (HSI) sehingga akan dapat diusulkan untuk merancang fasilitas
untuk mereduksi Heat Stress Indeks (HSI), untuk merancang fasilitas kerja
operator digunakan antopometri statis.
4.11. Analisis Pemecahan Masalah
Analisis pemecahan masalah berawal dari analisa nilai dari tingkat
kesalahan operator dan kemudian diberikan usulan perbaikan untuk meningkatkan
produktivitas kinerja operator dengan merancang fasilitas agar lingkungan kerja
bata dengan tebal 10 cm, dinding ini mampu menahan panas maksimum 2,3 jam
Penetuan titik pengukuran dilakukan menggunakan metode lattice sampling.
Ukuran departemen Quality Control adalah 15 m (x), 10 m (y), dan 3 m (z). Lebar
(x) dibagi menjadi 5 bagian dengan jarak antar bagian 3 meter, panjang (y) dibagi
menjadi 5 bagian dengan jarak 2 m dan tinggi titik pengukuran diambil pada
ketinggian 1,5 m. Sehingga didapat pertemuan antara baris (x) dan kolom (y)
masing-masing sebanyak sebanyak 3 dan 4 buah, maka 3x4 = 12 titik dengan
penambahan 1 titik di pintu masuk bagian departemen quality control. Sehingga
jumlah titik pengukuran ditetapkan sebanyak 13 titik. Letak titik-titik pengukuran
dapat dilihat pada Gambar 4.9.
BAB V
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1. Heat Loss
Pengukuran Heat Loss data terbagi menjadi dua bagian, yaitu kondisi
termal dan kondisi fisik pekerja. Kondisi termal diukur pada waktu jam kerja
operator, yaitu dari pukul 08.30 hingga 16.30 dengan jam istirahat pukul 12.00
hingga 13.00. Pengambilan data kondisi termal ini dilakukan selama seminggu
(enam hari kerja) dan setiap satu jam sekali. Akan tetapi, data yang ditampilkan
merupakan data rata – rata yang telah diukur dalam seminggu. Hal ini berarti
banyaknya data yang ditampilkan hanyalah 7 buah untuk setiap jam.
5.1.2. Data Kecepatan Angin
Kecepatan angin juga diukur pada 13 titik yang telah ditentukan
sebelumnya pada lantai produksi. Data kecepatan angin yang ditampilkan adalah
kecepatan angin di lantai produksi dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Data Kecepatan Angin di Ruang Quality Control Waktu
(WIB)
Kecepatan Angin (m/s)
Titik 1 Titik 2
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
08.30 1,2 1,25 1,2 1,25 1,23 1,28 1,23 1,2 1,2 1,2
09.30 1,15 1,1 1,15 1,1 1,16 1,22 1,2 1,15 1,15 1,15
Tabel 5.1. Data Kecepatan Angin di Ruang Quality Control (Lanjutan) Waktu
(WIB)
Kecepatan Angin (m/s)
Titik 3 Titik 4
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Titik 5 Titik 6
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Titik 7 Titik 8
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Titik 9 Titik 10
Tabel 5.2. Data Kecepatan Angin di Ruang Quality Control (Lanjutan)
Dari data hasil pengukuran kecepatan angin di ruang quality control, dapat
diketahui bahwa kecepatan angin di lantai produksi sangat rendah, dan secara
umum kecepatan angin setiap jam 08.30 s/d 16.30 tidak memiliki perbedaan yang
cukup signifikan, dengan rata – rata kecepatan angin adalah 0,12 m/s.
5.1.3. Data Kelembaban Udara
Tabel 5.2. Data Rata – Rata Kelembaban di Lantai Produksi
No Waktu Kelembaban (%)
1 08.30 - 09.30 75,68
2 09.30 - 10.30 75,46
3 10.30 - 11.30 75,62
4 11.30 - 12.00 70,50
5 13.00 - 14.00 68,49
6 14.00 - 15.00 67,54
7 15.00 - 16.30 66,11
Rata – Rata 71,34
Grafik kelembaban pada lantai produksi dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.1. Grafik Kelembaban Udara pada Lantai Produksi
5.1.4. Data Suhu Basah, Suhu Kering, dan Suhu Globe
Suhu basah, suhu kering, dan suhu globe juga diukur pada 13 titik yang
telah ditentukan sebelumnya pada lantai produksi. Data suhu basah, suhu kering,
Tabel 5.3. Data Pengumpulan Suhu Basah
Waktu (WIB)
Temperatur Ruang
Titik 1 Titik 2
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Titik 7 Titik 8
Waktu
Tabel 5.4. Data Pengumpulan Suhu Kering
Tabel 5.6. Data Rata – Rata Suhu Basah, Suhu Kering, dan Suhu Globe No Waktu Suhu Basah Suhu Kering Suhu Globe
1 08.30 - 09.30 25,22 29,55 30,13
2 09.30 - 10.30 25,53 29,87 29,43
3 10.30 - 11.30 26,35 30,76 31,03
4 11.30 - 12.00 27,57 31,64 32,48
5 13.00 - 14.00 27,38 33,43 33,99
6 14.00 - 15.00 27,66 32,49 33,67
7 15.00 - 16.30 27,46 32,31 33,26
Grafik suhubasah, suhu kering, dan suhu globe pada ruang quality control
dapat dilihat pada gambar 5.2.
5.1.5. Data Pribadi Operator
Data pribadi operator bagian quality control dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Data Pribadi Operator Departemen Quality Control
Operator
5.1.6. Data Denyut Nadi Operator
Denyut nadi operator sebelum dan sesudah bekerja dapat dilihat pada tabel
5.8.
Tabel 5.8. Data Rata – Rata Denyut Nadi Operator Sebelum dan Sesudah Bekerja
Fluktasi denyut nadi sebelum dan sesudah bekerja untuk setiap operator
dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Gambar 5.3. Fluktasi Denyut Nadi Operator Sebelum dan Sesudah Bekerja
5.1.7. Data Suhu Tubuh Operator
Data rata – rata suhu tubuh operator sebelum dan sesudah bekerja dapat
dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Data Rata – Rata Suhu Tubuh Pekerja Sebelum dan Sesudah Bekerja
Operator Suhu Tubuh ( 0
C) Sebelum Sesudah
1 36,4 37,2
Tabel 5.7. Data Rata – Rata Suhu Tubuh Pekerja Sebelum dan Sesudah Bekerja (Lanjutan)
Operator Suhu Tubuh ( 0
C) Sebelum Sesudah
6 36 37
Rata – Rata 36,37 37,13
Grafik peningkatan suhu tubuh masing – masing operator sebelum dan
sesudah bekerja dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4. Grafik Peningkatan Suhu Tubuh Operator Sebelum dan Sesudah Bekerja
5.1.7. Thermal Insulation Clo (Iclo)Operator
Thermal insulation clo dari operator sangat tergantung pada jenis pakaian
yang dikenakan operator. Thermal insulation clo untuk masing-masing pekerja
Tabel 5.9. Jenis Pakaian dan Thermal Insulation Clo (Iclo)Operator
Operator Celana
Dalam Singlet
Kemeja
5.1.8. Data Sensasi Termal dan Preferensi Termal
Data – data Sensasi Termal dan Preferensi termal dari 6 operator bagian
quality control dapat dilihat pada Tabel 5.9.
Tabel 5.10. Data Sensasi Termal dan Preferensi Termal
Operator
Sensasi Termal (2: kuat; 1: cukup kuat; 0: Netral: -1;
cukup lemah; -2: lemah)
Preferensi Termal (2:Jauh lebih hangat; 1: Sedikit lebih hangat; 0: Netral; -1:
Gambar 5.5. Grafik Sensasi Termal
Gambar 5.6. Preferensi Termal
5.1.9. Data Sensasi Aliran Udara dan Preferensi Aliran Udara
Data – data Sensasi Aliran Udara dan Preferensi Aliran Udara dari 6
operator bagian quality control dapat dilihat pada Tabel 5.11.
Dingin
Tabel 5.11. Data Sensasi Aliran Udara dan Preferensi Aliran Udara
Operator
Sensasi Aliran Udara (2: kuat; 1: cukup kuat; 0: Netral: 1; cukup lemah;
-2: lemah)
Preferensi Aliran Udara (2:Jauh lebih kuat; 1:
Sedikit lebih kuat; 0: Netral; -1: Sedikit lebih
lemah; -2: Jauh lebih lemah)
Sebelum (1) Sesudah (2) Sebelum (1) Sesudah (2) Lantai Produksi
1 1 -1 1 2
2 1 -2 1 2
3 0 -1 0 1
4 0 -1 0 1
5 0 -2 0 1
6 1 -1 1 2
Rata - Rata 0,5 -1,333 0,5 1,5
Grafik Sensasi Aliran Udara dan Preferensi Aliran Udara pada ruang quality
Gambar 5.8. Grafik Preferensi Aliran Udara
5.1.11. Data Kondisi Termal dan Efek Lingkungan Kerja
Data – data Kondisi Termal dan Efek Lingkungan Kerja dari 6 operator
bagian quality control dapat dilihat pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12.Data Kondisi Termal dan Efek Lingkungan Kerja
Operator
Kondisi Termal (2: sangat nyaman; 1: cukup nyaman; 0: nyaman: -1; cukup tidak nyaman; -2: sangat tidak nyaman)
Efek Lingkungan Kerja (2: mendukung; 1: cukup mendukung; 0: netral; -1: cukup mengganggu; -2:
mengganggu) Sebelum (1) Sesudah (2) Sebelum (1) Sesudah (2)
Lantai Produksi
1 1 -1 2 1
2 1 -2 2 1
3 0 -1 1 -1
4 0 -1 0 2
Tabel 5.12.Data Kondisi Termal dan Efek Lingkungan Kerja
Operator
Kondisi Termal (2: sangat nyaman; 1: cukup nyaman; 0: nyaman: -1; cukup tidak nyaman; -2: sangat tidak nyaman)
Efek Lingkungan Kerja (2: mendukung; 1: cukup mendukung; 0: netral; -1: cukup mengganggu; -2:
mengganggu) Sebelum (1) Sesudah (2) Sebelum (1) Sesudah (2)
Lantai Produksi
5 0 -2 0 2
6 1 -1 1 2
0,5 -1,333 1 -1,5
Grafik Kondisi Termal dan Efek Lingkungan Kerja pada ruang quality
control dapat dilihat pada Gambar 5.9. dan Gambar 5.10.
Gambar 5.10. Grafik Efek Lingkungan Kerja
5.1.10. Data Kelelahan Tangan, Kelelahan Bahu, Kelelahan Punggung, dan Kelelahan Kaki
Data - data kelelahan tangan, bahu, punggung, dan kaki dari 6 operator
yang bekerja di bagian quality control dapat dilihat pada Tabel 5.13.
Tabel 5.13. Data Kelelahan Tangan, Kelelahan Bahu, Kelelahan Punggung, dan Kelelahan Kaki
Operator
Tabel 5.13. Data Kelelahan Tangan, Kelelahan Bahu, Kelelahan Punggung, dan Kelelahan Kaki (Lanjutan)
Operator
Keterangan (0: Tidak Lelah; 1: Sedikit Lelah; 2: Lelah: 3: Sangat Lelah) Kelelahan Tangan Kelelahan Bahu Kelelahan Punggung Kelelahan Kaki Sebelum
(1)
Sesudah (2)
Sebelum (1)
Sesudah (2)
Sebelum (1)
Sesudah (2)
Sebelum (1)
Sesudah (2)
4 0 3 1 2 0 3 0 2
5 0 2 0 2 0 3 0 2
6 0 3 0 3 0 3 0 2
Rata – Rata 0,333 2,666 0,333 2,5 0,166 2,666 0,166 2,333
Grafik anggota tubuh sebelum dan sesudah bekerja dapat dilihat pada
5.1.11. Uji Statistik Parametrik Korelasi Pearson dan Uji Regresi
Korelasi dan regresi antara temperatur, kelembaban, dan kecepatan angin
dapat di lihat pada Tabel 5.14. sebagai berikut.
Tabel 5.14. Hasil Uji Korelasi dan Regresi Hubungan Korelasi Regresi
(a)
Regresi (b)
Persamaan Ket.
Kelembaban dengan
Temperatur -0,9207 -0,0114 0,3079
Y= -0,014 + 0,379X Sangat lemah Kecepatan
Angin dengan Temperatur
0,5640 0,119 25,3741 Y=0,119 +25,3741X Kuat
Grafik masing-masing hubungan dapat dilihat pada Gambar 5.10 dan
Gambar 5.13.
Gambar 5.14. Grafik Hubungan Temperatur dengan Kecepatan Angin
5.1.11. Data Antropometri
Data antropometri yang diukur terdiri dari Tinggi Polipteal (TPo), Lebar
Pinggul (LP), Jangkauan Tangan (JT), Tinggi Siku Duduk, Rentangan Tangan
(RT), dan Tinggi Bahu Duduk (TBD) Tabel 5.15.
Tabel 5.15. Data Antropometri Operator Departemen Quality Control
Operator TPo LP JT TSD RT TBD
1 41 28 71 21 166 57,5
2 43 28,5 76 24 170 59
3 48,4 33,8 88 22 181 60,5
5.2. Penentuan Kategori Beban Kerja15
15
Tarwaka, Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas, (Surakarta: UNIBA Press, 2004), Hal. 111
5.2.1. Metode Penilaian Secara Langsung dengan Pendekatan Fisiologi
Perhitungan beban kerja pada operator dilakukan dengan menggunakan
pendekatan fisiologi, yaitu metode penilaian secara langsung yang rumusnya
adalah:
Dimana:
Y = 1,80411 − 0,0229038 X + 4,71711.10-4 X2
Y = Energi (kkal/menit)
X = Kecepatan denyut jantung (denyut/menit)
Kategori beban kerja berdasarkan konsumsi energi adalah sebagai berikut:
Beban kerja ringan : 100−200 kkal/jam
Beban kerja sedang : >200−350 kkal/jam
Beban kerja berat : >350−500 kkal/jam
contoh perhitungan energi (Y) untuk operator 1 adalah sebagai berikut:
Diketahui: X (DNK) = 88
Maka:
Y = 1,80411 − 0,0229038 X + 4,71711 . 10-4 X2
Y = 1,80411 − 0,0229038 (88) + 4,71711 . 10-4 (88)2
Y = 3,636 Kkal/menit
Hasil perhitungan konsumsi energi dan kategori beban kerja berdasarkan
konsumsi energi untuk masing-masing operator dapat dilihat pada Tabel 5.15.
Tabel 5.16. Hasil Perhitungan Beban Kerja Untuk Tiap Operator
Operator DNK (X) (denyut/menit)
Energi (Y) (kkal/menit)
Energi (Y) (kkal/jam)
Kategori Beban Kerja
1 88 3,636 218,75 Sedang
2 102 4,375 262,536 Sedang
3 100 4,230 253,850 Sedang
4 99 4,159 249,592 Sedang
5 95 3,885 233,126 Sedang
6 75 2,739 164,382 Ringan
Rata – Rata 232,695 Sedang
5.2.2. Metode Penilaian secara Tidak Langsung dengan %CVL
Perhitungan % Cardiovascular Load (%CVL) merupakan suatu
perhitungan untuk menentukan klasifikasi beban kerja berdasarkan peningkatan
denyut nadi kerja yang dibandingkan dengan denyut nadi maksimum. Dari
perhitungan % CVL tersebut akan dibandingkan dengan klasifikasi
yang telah ditetapkan sebagai berikut :
< 30% = Tidak terjadi kelelahan
Hasil rekapitulasi perhitungan %CVL yang ditunjukkanpada Tabel 5.17.
Tabel 5.17. Rekapitulasi Perhitungan %CVL
5.3. Perhitungan ISBB (Indeks Suhu Bola Basah)
WBGT (Wet Bulb Globe Temperatur) sering disebut juga dengan ISBB.
Perhitungan ISBB terbagi menjadi 2 bagian, yaitu perhitungan ISBB di luar
ruangan dengan panas radiasi dan perhitungan ISBB di dalam ruangan (tanpa
panas radiasi).
Untuk ISBB dengan panas radiasi, digunakan rumus:
ISBB = 0,7 suhu basah alami + 0,2 suhu bola + 0,1 suhu kering16
Perhitungan ISBB dihitung pada jam kerja operator quality control pada PT
Pacific Palmindo Industri dengan menggunakan rumus ISBB dengan radiasi. Hal Sedangkan, rumus ISBB tanpa radiasi digunakan rumus
ISBB : 0,7 suhu basah alami + 0,3 suhu bola
16 Parsons, K.C, 2007,
ini disebabkan karena ruangan quality control bersebelahan dengan stasiun
pemasakan sehingga uap panas dapat menembus celah ventilasi pada ruangan
quality control. Contoh perhitungan ISBB pada ruang quality control pada jam
08.30 – 09.30 adalah sebagai berikut:
Diketahui: Suhu Basah = 25,220C Suhu Globe = 29,550C Suhu Kering = 30,130C Maka:
ISBB = 0,7 suhu basah alami + 0,2 suhu bola + 0,1 suhu kering
ISBB = 0,7 . 25,22 + 0,2 . 29,55 + 0,1 . 30,13
ISBB = 26,570C
Perhitungan dengan cara yang sama seperti di atas, maka dilakukan
perhitungan ISBB untuk waktu kerja lain hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.18.
Tabel 5.18. Hasil Perhitungan ISBB
No Waktu Suhu Basah Suhu Kering Suhu Globe ISBB
1 08.30 - 09.30 25,22 29,55 30,13 26,57
2 09.30 - 10.30 25,53 29,87 29,43 26,78
3 10.30 - 11.30 26,35 30,76 31,03 27,70
4 11.30 - 12.00 27,57 31,64 32,48 28,87
5 13.00 - 14.00 27,38 33,43 33,99 29,25
6 14.00 - 15.00 27,66 32,49 33,67 29,22
5.3.1. Perhitungan Persentasi Jam Kerja dan Jam Istirahat
Perhitungan jumlah jam kerja dan jam istirahat merupakan lanjutan dari
perhitungan ISBB, yaitu dengan menggunakan nilai hasil perhitungan ISBB dan
membandingkannya dengan standar yang telah ada. Adapun acuan standar
yangdigunakan adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor:
Kep-51/51/MEN/1999. Dengan menggunakan data hasil perhitungan kategori
beban kerja dan ISBB, maka dihubungkan persentasi jam kerja dan jam istirahat
sesuai dengan standar di atas dapat dilihat pada Tabel 5.19.
Tabel 5.19. Nilai Ambang Batas Sesuai Dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep/51/51/MEN/1999
Indeks Suhu Bola Basah
(ISBB) Pengukuran Waktu Kerja Setiap Jam
Beban Kerja
Waktu Kerja Waktu Istirahat Ringan Sedang Berat
30 26,7 25 Beban Kerja Terus Menerus (8 Jam/Hari) -
28 28 25,9 75 25
29,4 29,4 27,9 50 50
37,2 31,1 30 25 75
Sumber: Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep-/MEN/1999
Karena hasil perhitungan ISBB tidak terdapat pada tabel, maka dilakukan
interpolasi untuk mendapatkan persentasi waktu kerja dan waktu istirahat.
Perhitungan interpolasi untuk jam kerja adalah sebagai berikut:
Dik: Xn = 28 yn = 0,75
Xn+1 = 29,4 yn+1 = 0,5
Maka, untuk mencari nilai y digunakan rumus:
(X – Xn)
Jadi, y = 0,75 +
(
28,2 – 28) = 0,714Dari hasil interpolasi, maka didapatkan persentasi jam kerja adalah sebesar
71,4%. Dengan demikian, maka persentasi jam istirahat adalah 28,6%.
5.3.2. Perhitungan Dubois Area17
Dubois area atau sering disebut dengan body surface area dari tiap
operator dapat dihitung dengan rumus:
AD = 0,202 x W0,425 X H0,725
Dengan:
AD = Dubois Body Surface Area
W = Berat Badan (kg)
H = Tinggi Badan (m)
Hasil perhitungan Dubois Area dapat dilihat pada Tabel 5.20.
Tabel 5.20. Hasil Perhitungan Dubois Area Tiap Operator
Operator Jenis Kelamin
Umur (Tahun)
Berat Badan
(Kg)
Tinggi Badan (m)
Dubois Area (m2)
Tabel 5.20. Hasil Perhitungan Dubois Area Tiap Operator (Lanjutan)
Operator Jenis Kelamin
5.4. Pengolahan Antropometri
5.4.1. Perhitungan Rata-rata, Standar Deviasi, Nilai Maksimum dan Minimum
Sebelum merancang meja kursi yang akan mempermudah kerja operator
quality control dalam kegiatan penyortiran, maka perlu dilakukan pengolahan data
sesuai antropometri tubuh manusia yang berkaitan dengan produk tersebut. Data
antropometri yang digunakan dalam rancangan meja kursi ini adalah:
1. Tinggi Polipteal (TPo)
Dimensi ini digunakan untuk menentukan tinggi kursi.
2. Lebar Pinggul (LP)
Dimensi ini digunakan untuk menentukan diameter tempat duduk.
3. Jangkauan Tangan (JT)
Dimensi ini digunakan untuk menentukan lebar meja.