• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembatasan Periodisasi Anggota Lembaga Perwakilan Rakyat T1 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembatasan Periodisasi Anggota Lembaga Perwakilan Rakyat T1 BAB III"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PROFIL LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT

Dalam bab ini akan dibahas mengenai profil lembaga perwakilan rakyat

sejak orde lama, orde baru, hingga saat ini. Bagaimana perkembangan

lembaga perwakilan rakyat dan eksistensinya dari masa ke masa akan dibahas

dalam bab ini. Selain itu akan dibahas pula struktur lembaga perwakilan

rakyat di Indonesia yang terdiri dari MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Keberadaan lembaga-lembaga perwakilan rakyat tersebut diatur dalam UUD

1945 maupun dalam UU MD3. Di dalam bab ini akan dijabarkan fungsi,

tugas dan wewenang dari masing-masing lembaga perwakilan rakyat.

A.

Orde Lama (1945-1966)

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah menetapkan Ir.

Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden,

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang dilaksanakan

dengan Pasal III Aturan Peralihan. Selain jabatan presiden dan wakil

presiden, UUD 1945 masih mengadakan kelembagaan/jabatan lainnya

sebagai pengejahwantahan negara berkedaulatan rakyat. Lembaga-lembaga

itu ialah MPR, DPR, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Mahkamah Agung

(MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jabatan-jabatan tersebut tidak

mungkin diisi bersamaan waktunya dengan mengisi jabatan presiden dan

wakil presiden. Untuk mengatasi kekosongan kelembagaan itu, diadakanalah

(2)

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaanya

dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.”

Akhirnya dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk

menjalankan kekuasaan MPR, DPR dan DPA. Tanggal 29 Agustus 1945,

KNIP dilantik oleh Presiden di Gedung Pasar Baru, Jakarta.1

Keanggotaan KNIP pada awalnya berjumlah 60 orang yang terdiri dari

perwakilan daerah, tokoh masyarakat dan mantan anggota PPKI. Tetapi dalam

perkembangan menjadi 200 orang yang terdiri dari 110 utusan daerah , 60

utusan parpol dan 30 orang ditunjuk oleh presiden. Pada sidang pertama KNIP,

disusun pimpinan yakni Kasman Singodimedjo sebagai Ketua, Sutardjo

Kartohadikusumo sebagai Wakil Ketua I, J. Latuharhary sebagai Wakil Ketua

II dan Adam Malik sebagai Wakil Ketua III.

Berdasarkan ayat (1) Aturan Tambahan UUD 1945, KNIP menjalankan

kekuasaan legislatif dan menetapkan garis-garis besar haluan negara.

Berhubung keadaan saat itu sedang genting karena adanya keputusan Belanda

ingin menjajah Indonesia kembali, maka dibentuk Badan Pekerja KNIP

(BP-KNIP) untuk menjalankan tugas sehari-hari KNIP. BP-KNIP terdiri dari 15

orang dengan Sutan Syahrir sebagai ketua, Mr. Amir Syarifuddin sebagai wakil

ketua dan Mr. Soewandi sebagai penulis (sekretaris). BP-KNIP melaksanakan

1

(3)

tugas, yaitu bersama-sama dengan pemerintah membentuk Undang-undang dan

ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.2

Dengan semangat kebangsaan, lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah yang

merupakan hasil penggunaan hak inisiatif KNIP. Jadi dalam waktu yang relatif

singkat, KNIP telah menghasilkan dua hak inisiatif, yang pertama usul

perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet ministerial dan yang

kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945.3

Seluruh anggota KNIP menjalankan tugasnya sebagai DPR dan MPR

sampai tahun 1949, hingga berdirinya negara Republik Indonesia Serikat. Pada

mulanya KNIP tidak memiliki peraturan tata tertib, baru pada tahun 1949 ada

peraturan tata tertibnya. Peraturan tata tertib tersebut mengatur pula hak-hak

yang dimiliki anggota BP-KNIP, yaitu hak mengajukan usul, hak interpelasi,

hak pengusutan dan hak pertanyaan.4

Pada prinsipnya, KNIP dengan DPR sama-sama lembaga perwakilan

rakyat yang melaksanakan fungsi perwakilan rakyat pada umumnya dan yang

diatur oleh UUD 1945. Hanya saja KNIP mempunyai tugas dan fungsi lain

yakni merangkap fungsi MPR dan DPA.

Setelah praktik demokrasi liberal secara konstitusional dilakukan melalui

negara Federasi RIS dengan konstitusinya, pada tahun 1950 Indonesia

2

Ibid., h. 9. 3

Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, h. 54-55.

4

(4)

meneruskan sistem demokrasi liberal melalui UUDS 1950. Pada masa UUDS

1950, bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum tahun 1955

berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953. Pemilihan umum ini untuk

memilih keanggotaan lembaga DPR dan Konstituante. Pembentukan

Konstituante merupakan pelaksanaan dari Pasal 134 UUDS 1950 yang

berbunyi “Konstituante (sidang pembuat Undang-Undang Dasar)

bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar

Sementara ini.” Tetapi Konstituante mengalami kesulitan atau kemacetan

dalam melahirkan UUD baru, sementara iu krisis politik semakin meningkat.

Akhirnya Presiden

Soekarno

mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli

1959 yang berisi pembubaran Konstituante, penetapan berlakunya kembali

UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.5

Kembalinya Indonesia ke UUD 1945 tidak mengubah model legislasi.

Padahal dengan menggunakan sistem presidensial, model legislasi seharusnya

berubah dari pola legislasi ketika berlakunya sistem pemerintahan parlementer.

Hal itu terjadi karena ketika kembali ke UUD 1945 fungsi legislasi

dilaksanakan dengan Peraturan Tata Tertib DPR yang secara substansi hampir

tidak berbeda dengan Peraturan Tata Tertib yang dipakai dalam sistem

parlementer. Bedanya, sejak kembali ke UUD 1945, fungsi legislasi

dilaksanakan dengan memberikan kewenangan besar kepada presiden

(concentration of power and responsibility upon the President). Kewenangan

5 Alfian, “Masalah Pelaksanaan Fungsi DPR yang Diinginkan oleh UUD 1945”, dalam

(5)

besar itu terjadi dengan memberi tafsir bahwa kekuasaan membentuk

undang-undang dalam UUD 1945 berada di tangan presiden. Karena itu, DPR hampir

tidak punya peran berarti dalam fungsi legislasi.6

Mengenai DPR, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1

Tahun 1959 yang intinya mengatakan bahwa DPR hasil pemilihan umum tahun

1955 tetap menjalankan tugasnya menurut UUD 1945. Penetapan ini didahului

dengan adanya surat presiden tertanggal 13 Juli 1959 yang ditujukan kepada

ketua DPR. DPR ini hanya bekerja hingga 24 Juni 1960 karena adanya

perselisihan antara pemerintah dengan DPR mengenai penetapan anggaran

belanja negara tahun 1960. Perselisihan inilah yang menyebabkan

dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 tentang

Pembaharuan Susunan Dewan Perwakilan Rakyat.7

Sebagai kelanjutan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960,

dikeluarkanlah Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960 tertanggal 24 Juni

1960 yang mengatur susunan DPR-GR. Kemudian disusul dengan dua surat

Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1959 tentang Pemberhentian Anggota

DPR Tahun 1959 dan Keputusan Presiden Nomor 156 Tahun 1959 tentang

Pengangkatan Anggota-Anggota Baru DPR-GR. Susunan DPR-GR tidak lagi

didasarkan atas perimbangan pemilihan umum 1955, tetapi berdasarkan

jaminan atas adanya kerjasama yang baik antara DPR-GR dengan pemerintah.

Jadi anggota yang diangkat adalah mewakili golongan politik, golongan karya,

6

Saldi Isra, Op. Cit. h. 152. 7

(6)

dan satu wakil Irian Barat. Pada tanggal 25 Juni 1960 dilantiklah anggota

DPR-GR yang berjumlah 283 orang.

Dalam Keputusan DPR Nomor 8/DPR 45/59 memuat hak-hak anggota

DPR yakni hak bertanya, hak meminta keterangan, hak menyelidiki dan hak

inisiatif mengajukan RUU. Namun dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun

1960, Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 1960, dan Peraturan Presiden

Nomor 32 Tahun 1964, hak bertanya, hak meminta keterangan dan hak

menyelidiki tidak ada lagi. Hal ini disebabkan ketika menetapkan susuan

pimpinan DPR-GR, Presiden meminta agar DPR-GR membantu

Presiden/Mnadataris MPRS/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi. Ini

berarti tidak ada peran DPR-GR atau anggotanya dalam pengawasan.

Umumnya apa yang dilakukan DPR-GR atau anggotanya adalah penegasan

menyokong apa yang dikehendaki oleh Presiden.8

G 30 S/PKI adalah peristiwa yang kemudian menjadi titik balik terjadinya

perubahan revolusioner secara nasional di segala bidang kehidupan. Terhadap

peristiwa tersebut, GR mempunyai sikap yang tegas. Sikap anggota

DPR-GR terlihat dari pernyataan pendapat DPR-GR tentang petualangan “Gerakan

30 September” yang diputuskan dalam persidangan DPR-GR (minus anggota

dari PKI) tanggal 15 November 1965. Sejak saat itu, jumlah anggota DPR-GR

menjadi 237 anggota dan disebut DPR-GR minus PKI. Implikasi lebih lanjut

dari sidang tanggal 15 November 1965 ialah perubahan mendasar dalam

rangka hubungan DPR-GR dengan Presiden. Perubahan mendasar itu ialah

DPR-GR tidak lagi sebagai pembantu Presiden dan DPR-GR mempunyai

8

(7)

hak pengawasan. DPR-GR minus PKI berlaku sampai dengan 19 November

1966. Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan

untuk membentuk dua panitia:

1) Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai

masalah bidang politik.

2) Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi

ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok

pemikiran ke arah pemecahannya.9

B.

Orde Baru (1966-1999)

Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, yang kemudian

dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966, DPR-GR masa

Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke

Orde Baru.

Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai

berikut:

1) Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal

23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.

2) Bersama-sama dengan pemerintah membentuk Undang-Undang sesuai

dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD

1945 beserta penjelasannya.

3) Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan

UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.

9

(8)

Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan Orde

Baru akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa

pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS

No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini

diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang

menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan

diselenggarakan pada tahun 1971.

Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dalam hubungannya dengan

pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda

dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di

setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu

menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang

meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama

masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977,

1982, 1987, 1992, dan 1997.

Sejak Pemilu 1977, pemerintahan Orde Baru mulai menunjukkan

penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi

dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua Partai-partai

(9)

Hal ini diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang

Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima

kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap

Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.

Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan

presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi

dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu

menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya

hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan

hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh

Soeharto.10

C.

Reformasi (1999-Sekarang)

DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam

masa reformasi. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang

kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie,

masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk

mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.

Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk

memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan

dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU

Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan

DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang

10

(10)

lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru. DPR hasil Pemilu 1999,

sebagai bagian dari MPR, telah melakukan amandemen terhadap UUD 1945

sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001

(ketiga), dan 2002 (keempat). Amandemen terhadap UUD 1945 yang

dilakukan pada tahun 1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan

yang kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan

tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD)

dan adanya pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi lembaga

perwakilan rakyat yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR

merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan

representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan

dalam proses legislasi di negara ini. Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja

bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya

amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi

timpang. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD

hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal

tertentu.11

Mulai tahun 2019 mendatang, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 14/PUU-XI/2013 mengamanatkan pemilihan presiden dilakukan secara

serentak dengan pemilihan anggota lembaga perwakilan rakyat. Artinya, dalam

pemilu 2019 mendatang, rakyat akan memilih presiden dan wakil presiden,

11

(11)

DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Hal ini

bertujuan untuk penataan sistem dan jadwal penyelenggaraan Pemilu serentak

yang berorientasi pada penguatan kelembagaan partai politik dan sistem

presidensiil.

1.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

MPR diatur dalam BAB II Pasal 2 dan Pasal 3 UUD 1945. MPR terdiri

dari anggota DPR dan DPD, yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur

lebih lanjut dengan undang-undang. Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 (UU MD3) mengatur keanggotaan MPR.

Ketentuan mengenai MPR baik dalam UUD 1945 maupun UU MD3

menjelaskan beberapa hal penting. Pertama, keanggotaan MPR merupakan

anggota dari dua institusi yang berbeda dan mandiri. Kedua, institusi tersebut

memiliki tugas, wewenang, dan alat kelengkapan sendiri. MPR adalah

lembaga yang berdiri sendiri dan bersifat permanen bukan joint session DPR

dan DPD. Ketiga, anggota MPR dipilih oleh rakyat dalam pemilu dan tidak

diangkat seperti pada era sebelum UUD 1945 diubah.12

Tugas dan wewenang MPR mengalami perubahan yang sangat

signifikan setelah terjadi perubahan UUD 1945. Sebelum amandemen, MPR

merupakan lembaga tertinggi Negara. Kekuasaannya tidak terbatas. Namun

12

(12)

setelah perubahan, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara dan

kewenangannya juga terbatas.13

Wewenang MPR tercantum dalam Pasal 4 UU MD3, yakni:

a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;

c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;

e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Sedangkan tugas MPR tercantum dalam Pasal 5 UU MD3, yakni:

a. memasyarakatkan ketetapan MPR;

b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;

c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan

d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

13

(13)

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

DPR diatur dalam BAB VII Pasal 19 sampai Pasal 22B UUD 1945.

Anggota DPR terdiri dari 560 orang yang dipilih melalui pemilihan umum.

DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai

lembaga negara. Pasal 69 UU MD3 menyebutkan ada 3 fungsi yang dimiliki

DPR yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang bersama

dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Fungsi anggaran

adalah fungsi menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja

negara (APBN) bersama dengan presiden. Dan fungsi pengawasan adalah

fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD 1945, UU dan

peraturan pelaksanaannya. Ketiga fungsi ini dijalankan dalam kerangka

representasi rakyat dan juga untuk mendukung upaya pemerintah dalam

melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:

menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas); menyusun dan membahas

Rancangan Undang-Undang (RUU); menerima RUU yang diajukan oleh DPD

(terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran

dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah); membahas RUU yang diusulkan

oleh Presiden ataupun DPD; menetapkan UU bersama dengan Presiden; dan

menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang

(14)

anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang: memberikan persetujuan atas

RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden); memperhatikan pertimbangan

DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama;

menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara yang disampaikan oleh BPK; dan memberikan persetujuan

terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang

berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan

negara. Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan

wewenang: melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan

kebijakan pemerintah; dan membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan

yang disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi

daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA

dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama).

Selain tugas dan wewenang DPR yang berkaitan dengan ketiga fungsinya,

ada pula tugas dan wewenang DPR lainnya yakni: menyerap, menghimpun,

menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat; memberikan persetujuan

kepada Presiden untuk: (1) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian

dengan Negara lain; (2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi

Yudisial; memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal: (1) pemberian

amnesti dan abolisi; (2) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta

besar lain; memilih Anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;

(15)

yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden; dan memilih 3 (tiga)

orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden.14

3.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Perubahan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menghapuskan unsur utusan

golongan dan mengubah utusan daerah menjadi DPD. Penghapusan golongan

menurut Bagir Manan, lebih didorong oleh pertimbangan pragmatik daripada

konseptual. Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua,

cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang

diangkat dengan yang mengangkat. Perubahan sistem utusan daerah

dimaksudkan agar lebih demokratik dan meningkatkan keikutsertaan daerah

dalam penyelenggaraan sehari-hari praktik negara dan pemerintahan,

disamping sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah.15

DPD diatur dalam BAB VIIA Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945. DPD

terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. DPD

merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga

negara. Anggota DPD berjumlah 132 orang dengan komposisi 4 orang setiap

provinsi.

Pasal 248 UU MD3 menyebutkan fungsi DPD yaitu:

a. pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;

b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan

14

http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang dikunjungi pada tanggal 5 Agustus 2016 pkl 19.10.

15 Ni’matul Huda,

(16)

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; serta

d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Sedangkan wewenang dan tugas DPD tercantum dalam Pasal 249 UU

MD3, yakni:

a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;

b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;

h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan

(17)

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

DPRD terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang

dipilih melalui pemilihan umum. DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat

daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Di tingkat provinsi terdapat DPRD Provinsi dan di tingkat kabupaten/kota

terdapat DPRD Kabupaten/Kota.

DPRD mempunyai tiga fungsi yakni:16

a. fungsi legislasi. Yang dimaksud dengan fungsi legislasi adalah legislasi

peraturan daerah (Perda) di tingkat provinsi untuk DPRD Provinsi yang

dibahas bersama Gubernur dan Perda kabupaten/kota untuk DPRD

Kabupaten/Kota yang dibahas bersama Bupati/Walikota;

b. fungsi anggaran. Yang dimaksud dengan fungsi anggaran adalah fungsi

DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk menyusun dan menetapkan

APBD yang di dalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi DPRD;

c. fungsi pengawasan. Yang dimaksud dengan fungsi pengawasan adalah

fungsi DPRD untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, Perda

serta kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Daerah.

Sedangkan tugas dan wewenang DPRD, yaitu:17

a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat

persetujuan bersama;

b. menetapkan APBD bersama dengan kepala daerah;

16

T.A.Legowo, dkk., Op. Cit., h. 240-241. 17

(18)

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan

perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan

pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan

kerjasama internasional di daerah;

d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah kepada

Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;

e. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah

terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan

daerah;

f. meminta laporan keterangan pertanggugjawaban kepala daerah dalam

Referensi

Dokumen terkait

Potensi perairan yang sangat luas di Indonesia sangat mendukung untuk pengembangan biofuel dari mikroalga.Walaupun sejumlah jenis mikroalga telah dikembangkan untuk

Sebaliknya, hubungan antara nilai tukar dollar terhadap rupiah bisa saja berpengaruh positif bila investor berasal dari luar negeri dan menggunakan mata uang asing

*) Semua dokumen adalah softcopy dari dokumen asli atau fotocopy legalisir (discan dalam bentuk JPEG maksimal ukuran 1000 kb/1 MB) yang diunggah di akun

Terkait dengan pilar 3 tersebut, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) pada tahun 2015 memfokuskan terhadap 5 (lima) kegiatan utamanya, yaitu (1) penyiapan

Setiap santri telah memiliki tingkat keterampilan membaca teks bahasa Arab klasik yang cukup baik, dilihat dari sistem pembelajaran yang focus pada kajian kitab

Untuk dapat menciptakan program acara yang berkualitas dan dapat diterima oleh pemirsa, sebuah stasiun televisi harus mampu membaca tren, isu dan polemik yang

◉ Inverted index adalah sebuah struktur data index yang dibangun untuk memudahkan query pencarian yang memotong tiap kata (term) yang berbeda dari suatu daftar

Karena garis tegak lurus ditarik dari tepi atas dan tepi bawah setiap interval, maka diperoleh gambar persegi panjang-persegi panjang yang saling berimpit pada salah satu