• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PENANGGULANGAN MAFIA PERADILAN DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PENANGGULANGAN MAFIA PERADILAN DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISISYURIDIS PENANGGULANGAN MAFIA PERADILAN DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA

Oleh : Irhamy Tauhid

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISISYURIDIS PENANGGULANGAN MAFIA PERADILAN DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA

Oleh : Irhamy Tauhid

Praktik mafia hukum di Indonesia telah berlangsung lama dan dilakukan dengan berbagai modus operandi yang semakin hari semakin canggih. Untuk itu penting melakukan penelitian guna memetakan penyebab mafia hukum di berbagai institusi penegak hukum serta akar permasalahan yang membuat praktik tersebut dapat tumbuh subur. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah penyebab terjadinya mafia peradilan dalam peradilan perkara pidana, bagaimanakah upaya penanggulangan dan faktor-faktor yang menghambat upaya mafia peradilan dalam peradilan perkara pidana.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

(3)

Perbedaan persepsi antara sesama penegak hukum dapat menimbulkan kekacauan dalam upaya mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana yang disebabkan persaingan antara sesama penegak hukum.

Perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendorong lahirnya agen perubahan di lembaga penegak hukum dan peradilan, yakni dengan memastikan orang-orang di posis-posis kunci adalah mereka yang memiliki integritas tinggi, memiliki komitmen serta kemampuan untuk mendorong perubahan.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 6

E. Sistematika Penulisan ………. 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penegakan Hukum Pidana ... 13

B. Tinjauan tentang Mafia Peradilan... 17

C. Tinjauan tentang Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan ….……… 20

1. Penyidikan ………... 20

2. Penuntutan ……….. 23

3. Peradilan ………. 25

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum …………... 27

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….…………..……….. 34

B. Sumber dan Jenis Data ……….…………..……….. 34

C. Penentuan Narasumber ... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ….…..…….……….. 36

(7)

B. Penyebab Terjadinya Mafia Peradilan dalam Proses Peradilan

Pidana ………..……….. 39

C. Upaya Penanggulangan Mafia Peradilan dalam Peradilan Perkara

Pidana ……….…….………... 52

D. Faktor-faktor Penghambat Upaya Penanggulangan Mafia Peradilan

dalam Peradilan Perkara Pidana ………... 64

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………..………. 69

B. Saran ……….……… 70

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi

masyarakat luas di tanah air, yaitu perihal Mafia Peradilan. Mafia Peradilan atau

sebutan lainnya, merupakan permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia,

yang bersembunyi di dalam lembaga hukum itu sendiri. Mafia peradilan atau

mafia hukum memang tidak dapat disangkal keberadaannya, nyata dan ada.

Bahkan sudah masuk dan merasuk kesemua ini dalam struktur aparat hukum.

Mafia peradilan bukan hanya buruk bagi proses penegakan hukum tetapi juga

sangat memperburuk citra Indonesia dimata dunia. Keberadaan para mafia

peradilan memperpanjang daftar komponen yang menjadikan Indonesia sebagai

negara yang tergolong buruk dalam bidang hukum di mata dunia internasional.1

Birokrasi di sektor penegakan hukum mewujud dalam bentuk lembaga kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan. Sedangkan mafia peradilan terdapat dalam sistem

peradilan maupun di luar sistem peradilan. Dalam sistem peradilan misalnya polisi

merangkap menjadi mafia peradilan, demikian pula jaksa maupun hakim yang

merangkap jabatan ilegal sebagai mafia peradilan. Sedangkan di luar sistem

1

(9)

peradilan terdapat pegawai negeri sipil atau birokrat di luar system peradilan

maupun warga sipil yang memiliki hubungan dekat dengan penegakpenegak

hukum yang berada dalam sistem peradilan.2

Mafia peradilan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kelompok advokad

yang menguasai proses peradilan sehingga mereka dapat membebaskan terdakwa

apabila terdakwa dapat menyediakan uang sesuai dengan yang diminta mereka.3

Mafia peradilan eksis karena adanya supply and demand. Rusaknya mental sebagian masyarakat dan aparat memunculkan potensi lahirnya para mafia

peradilan. Mereka yang berurusan dengan hukum mempercayai bahwa hukum

bisa diatur. Mereka yang berurusan dengan polisi pastilah ingin dinilai tidak

bersalah sejak awal. Begitu juga ketika telah diproses oleh jaksa, pastilah berusaha

agar dikenakan pasal dengan tuntutan yang seringan-ringannya. Contohnya, kasus

Gayus Tambunan; jaksa dicurigai oleh satgas pemberantasan mafia hukum telah

terlibat dalam konspirasi perekayasaan kasus yaitu kasus korupsi direkayasa

menjadi kasus penggelapan, akibatnya Gayus Tambunan oleh pengadilan negeri

hanya di putus hukuman 1 tahun, itupun dengan masa percobaan. Serta pada kasus

Gayus terdapat indikasi bahwa hakim Asnun telah terjerat pada lingkaran mafia

peradilan. Praktek transaksi kasus ini juga nampak pada tertangkap basah hakim

Ibrahim pada pengadilan tinggi tata usaha negara saat menerima uang suap dari

seorang pengacara.4

2

Ismantoro Dwi Yuwono, 2010, Kisah Para Markus (Makelar Kasus), Media Pressindo, Jakarta. 2010, hlm. 27

3

(10)

Mafia Hukum mempunyai ranah yang luas. Berbagai penyimpangan dalam

penegakan hukum, baik itu dilakukan oleh pembuat undang-undang maupun oleh

pelaksana penegak hukum, digolongkan sebagai Mafia Hukum. Reformasi hukum

berjalan tidak hanya sekedar pembaharuan perundangundangan, tetapi juga

reformasi hukum harus didukung oleh para penegak hukum di dalamnya.

Tentunya para penegak hukum yang bermental baik dan bersih bukan penegak

hukum yang bermentalkan mafia. Selama ini kita hanya terfokus kepada

bagaimana merancang suatu undang-undang atau peraturan yang terlihat begitu

kuat dan mengikat semua pihak. Kita menjadi terlena dan seolah lupa akan

reformasi yang sebenarnya yaitu reformasi mental para penegak hukum.5

Suatu hukum yang dibuat secara baik dan memihak kepada rakyat akan menjadi

tidak berarti apa-apa apabila tidak didukung oleh mentalitas para penegak hukum

tersebut. Sehingga muncul suatu sindiran bersifat sarkasme dalam dunia hukum

“berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan

undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih

baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada di negeri ini”.6

Sementara pada saat yang bersamaan perilaku aparat dalam melaksanakan tugas,

dibatasi oleh kode etik profesi masing-masing. Etika profesi memberikan

pedoman atau tuntunan tingkah laku manusia dalam melaksanakan suatu profesi,

mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan profesi yang baik dan tidak

melakukan profesi sekehendak hati serta pertanggung-jawabannya terhadap

pelaksanaan profesi tersebut. Etika profesi dalam menciptakan atau merealisasi

5

http://blogprajapunya.blogspot.com, diakses 20 Oktober 2012 6

(11)

pelaksanaan profesi yang baik mensyaratkan pemegang profesi memiliki latar

belakang pendidikan yang memadai untuk memperoleh ketrampilan atau keahlian

yang bersangkutan dengan profesinya.

Kode etik adalah norma-norma dan asas-asas yang diterima oleh suatu kelompok

tertentu sebagai landasan ukuran tingkah laku seseorang terhadap profesi yang

dilakukannya, tujuan diadakannya kode etik adalah : 1) Menjunjung tinggi

martabat profesi. 2) Untuk menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggota

sehingga tidak melakukan pelanggaran atau larangan yang bersangkutan dengan

profesi yang dijalaninya.7

Berlandaskan uraian di atas, penulis menemukan urgensi untuk mengkaji tentang

mafia peradilan jika tidak segera dicermati modus operandinya dan

menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Analisis Yuridis

Penanggulangan Mafia Peradilan Dalam Peradilan Perkara Pidana”

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

a. Apakah penyebab terjadinya mafia peradilan dalam peradilan perkara pidana?

b. Bagaimanakah upaya penanggulangan mafia peradilan dalam peradilan

perkara pidana?

c. Apakah faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan mafia

peradilan dalam peradilan perkara pidana?

7

(12)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian

Hukum Pidana. Sedangkan lingkup substansi dalam penelitian ini hanya terbatas

penyebab terjadinya praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses

penyidikan, penuntutan dan penegakan hukum terhadap praktik mafia peradilan

dalam proses peradilan pidana serta faktor-faktor yang menghambat upaya

penanggulangan mafia peradilan. Sedangkan lokasi penelitian penulis mengambil

lokasi di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang

hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis penyebab terjadinya mafia peradilan

dalam proses peradilan pidana.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya penanggulangan mafia peradilan

dalam peradilan perkara pidana.

c. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat upaya

(13)

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana mengenai modus

operandi praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses peradilan pidana.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada

Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai modus operandi praktik

mafia peradilan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.8

Menurut Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari sudut

pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur yaitu kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai institusi pelaksana

peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum

semata-mata, pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat

aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki

8

(14)

mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat

vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.9

Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan

menegakkan hukum pidana” atau ”sistem kekuasaan kehakiman” di bidang

hukum pidana, yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) sub

sistem yaitu:

a. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik)

b. Kekusaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum)

c. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan

pengadilan).10

Suatu kasus yang sedang diproses di pengadilan, sebelum pada pengadilan

biasanya dilakukan terlebih dahulu tahap penyidikan oleh polisi, akan tetapi jaksa

juga berwenang sebagai penyidik di dalam tindak pidana tertentu yang

mempunyai kewenangan khusus berdasarkan hukum acara pidana. Pada proses

penyidikan tersebut para mafia peradilan mempunyai celah untuk masuk dengan

embel-embel untuk membantu tersangka agar tidak ditahan atau sebagainya. Pada

proses penuntutanpun mafia peradilan bisa masuk dan menjelma sebagai malaikat

penolong bagi para tersangka atau terdakwa, biasanya dalam proses penuntutan

mafia peradilan menawari tersangka atau terdakwa untuk membayar sejumlah

uang agar tuntutannya dikurangi atau diperingan. Tidak hanya dalam proses

9

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung. 1996, hlm. 16-18. 10

(15)

penyidikan dan penuntutan saja bahkan proses peradilan pun juga bisa

dipengaruhi oleh mafia peradilan.

Sejalan dengan perkembangan kejahatan yang begitu pesat di atas, terdapat

elemen-elemen yang tetap di dalam perkembangan kejahatan tersebut.

Elemen-elemen tersebut antara lain adalah :11

1. Elemen Proses Kriminalisasi

2. Elemen Reaksi Sosial/Masyarakat yang Negatif

3. Elemen Pelaku Kejahatan

4. Elemen Penderitaan/Kerugian

5. Elemen Modus Operandi Atau Cara Kejahatan

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teori penegakan

hukum pidana terhadap mafia peradilan. Barda Nawawi Arief mengungkapkan

sebagai berikut: “Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada

hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).12 Oleh karena itu dapat dikatakan tujuan akhir dari politik kriminal ialah perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”.

Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang

pada hakikatnya menjadi bagian integral dari kebijakan social (social policy), kemudian kebijakan ini diimplementasikan ke dalam system peradilan pidana

(criminal justice system), menurut Muladi system peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat

11

I. S. Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing), 2011, hlm. 23.

(16)

untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu (crime containment system), dilain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder (secondary prevention) yaitu mencoba mengurangi kriminalitas dikalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka

yang bermaksud melakukan kejahatan melalui proses deteksi, pemidanaan dan

pelaksanaan pidana.13

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal dapat meliputi ruang

lingkup yang cukup luas. Dari pendapat tersebut di atas, bahwa kebijakan kriminal

secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy). b. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non

penal policy).14

Kedua sarana ini (penal dan nonpenal) merupakan suatu pasangan yang satu sama

lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi

dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat. Sesuai dengan apa yang

menjadi permasalahan makalah ini, maka dari lingkup kajian yang dikemukakan

di atas, fokus perhatian akan lebih terarah pada kajian kebijakan nonpenal.

Penegakan hukum adalah proses pemberlakukan hukum diatur dalam suatu

undang-undang baik undang-undang formal maupun undang-undang materil.

Penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara umum

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum meliputi faktor-faktor hukum itu sendiri,

13Ibid. 14

(17)

faktor penegak hukum, faktor sarana prasarana, faktor masyarakat, dan faktor

budaya masyarakat. Selain itu, efektifitas penegakan hukum senantiasa

dipengaruhi oleh hal-hal seperti :15

1. Infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya,

2. Profesionalisme aparat penegak hukum, dan

3. Budaya hukum masyarakat.

Faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan

esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas

penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas

lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan

masyarakat Indonesia.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep

khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah

yang ingin tahu akan diteliti.16 Adapun Konseptual yang digunakan dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Penanggulangan adalah suatu rancangan program kerja yang sistematis,

berdaya guna untuk meminimalisir atas kejadian tertentu yang dilaksanakan

oleh pemerintah atau masyarakat.17

b. Mafia Peradilan adalah perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif,

kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh actor tertentu (aparat penegak

hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan

15Ibid 16

(18)

kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi

dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum

sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa

keadilan.18

c. Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai

yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang

mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk

menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.19

d. Peradilan Pidana adalah organisasi yang diciptakan oleh Negara untuk

memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum pidana.20

E. Sistematika Penulisan Hukum

Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling

berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah

sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan hukum.

18

http://bemittelkom.blogspot.com diakses 20 Oktober 2012 19

Soerjono Soekanto, Op, Cit., hlm .13. 20

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka

teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum

tentang tindak pidana korupsi.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan

mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan

masalah, yaitu mengenai modus operandi praktik mafia peradilan dalam

memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan serta modus operandi

praktik mafia peradilan ditinjau dari pelanggaran kode etik polisi, jaksa dan

hakim.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisi simpulan yang

diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum Pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan

keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana

menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh

negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang

apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.16

Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi

kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari

penegakan hukum. Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan

hukum oleh petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai

kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum

yang berlaku.17 Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang

menyangkut suatu penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata

manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi

16

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 60 17

(21)

perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap

tindak itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan

kedamaian.

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada

ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku. Gangguan

tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan,

yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola perilaku yang

tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-mata berarti

pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam kenyataan di Indonesia

kecenderungannya adalah demikian. Sehingga pengertian Law Enforcement

begitu populer. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum

sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini

jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan peundang-undangan atau

keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru mengganggu kedamaian dalam

pergaulan hidup masyarakat.18

Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya bagaimana cara

membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang dilakukan oleh

aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah

dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam menangani masalah-masalah

dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan

secara penal (hukum pidana) dan non penal (tanpa menggunakan hukum pidana).

(22)

1. Upaya Non Penal (Preventif)

Upaya penanggulangan secara non penal ini lebih menitikberatkan pada

pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan

tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya:

a. Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna

mencegah hubungan antara pelaku dengan objeknya dengan sarana

pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas.

b. Mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat criminal dengan

perbaikan lingkungan.

c. Penyuluhan kesadaran mengenai tanggung jawab bersama dalam

terjadinya kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam

penanggulangan kejahatan

2. Upaya Penal (Represif)

Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan

yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada

pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana

yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan,

penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari

politik kriminil.19 Fungsionalisasi hukum pidana adalah suatu usaha untuk

menaggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional untuk

memenuhi rasa keadilan dan daya guna.20

19

Sudarto, Op., Cit., hlm. 113. 20

(23)

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif menegakkan hukum pidana harus

melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang

sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang merupakan suatu jalinan

mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara

pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah:21

a. Tahap Formulasi

Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa

kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan

perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan

daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislaif.

b. Tahap Aplikasi

Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat

penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian

aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan

peraturan-peraturan perundangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat

undang-undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang

teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap

yudikatif.

c. Tahap Eksekusi

Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat

pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas

menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat

(24)

undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan

pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang telah

ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam

pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan

pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya

guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau

proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktivitas yang terputus yang bersumber

dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang

mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai

tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.22

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga

dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.

22

(25)

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.23

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan

esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas

penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas

lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan

masyarakat Indonesia.

1. Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum

dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya

undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar

undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut

antara lain:

a. Undang-undang tidak berlaku surut.

b. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

c. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum, apabila pembuatnya sama.

(26)

e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan

berlaku terdahulu.

f. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

g. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan

spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian

ataupun pembaharuan (inovasi).24

2. Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya

mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan

sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat

diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada

penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum,

Halangan-halangan tersebut, adalah:

a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain

dengan siapa dia berinteraksi.

b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit

sekali untuk membuat proyeksi.

d. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,

terutama kebutuhan material.

e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan

konservatisme.

(27)

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan

sikap-sikap, sebagai berikut:

a. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

b. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang

ada pada saat itu.

c. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

d. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai

pendiriannya.

e. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu

urutan.

f. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.

g. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.

h. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam

meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

i. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri

dan ihak lain.

j. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran

dan perhitingan yang mantap.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan

hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain,

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik,

(28)

fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa

adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum

menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya

untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut :

a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.

c. Yang kurang-ditambah.

d. Yang macet-dilancarkan.

e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.25

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu,

maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat

Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan

bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum

sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum

senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan(sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari

hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa

yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:

(29)

a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

b. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

C. Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana.

Membicarakan penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia di dalamnya

dan dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak

bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri

janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan)

hukum itu. Janji dan kehendak seperti itu, misalnya adalah untuk memberikan hak

kepada seseorang untuk memberikan perlindungan kepada seseorang untuk

mengenakan pidana kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan

sebagainya26. Jadi penegakan hukum dapat dilakukan oleh manusia, dimana

karena penegakan hukum ini dilakukan dan ditujukan pada tingkah laku manusia

maka perlu diketahui bagaimanakah tingkah laku manusia tersebut.

Tingkah laku manusia itu terikat pada berbagai hal, patokan yang terdapat di luar

seseorang itu. Ikatan tersebut sedemikian juga sehingga ia tidak dapat

mengabaikannya dengan kata lain dalam tingkah lakunya di masyarakat seseorang

itu akan berorientasi kepada berbagai hal dan patokan tersebut di atas. Jadi sulit

diterima bahwa tingkah laku orang dalam masyarakat itu adalah bebas, melainkan

26

(30)

sebaliknya yaitu didisiplinkan oleh pembatasan-pembatasan tersebut di atas. Jadi

manusia berbuat bisa dikatakan karena adanya ikatan dan respon dari

lingkungannya27.

Dalam hukum pidana manusia berbuat melakukan perbuatan pidana dikarenakan

dirinya sendiri dan konsep ini yang dianut oleh aliran teori pemidanaan absolut

atau teori pembalasan, atau seseorang melakukan perbuatan pidana dikarenakan

dari dirinya yang dipengaruhi oleh di luar dirinya juga dan konsep ini dianut oleh

aliran teori pemidanaan relatif atau teori tujuan.

Jadi dalam perbuatan pidana massal, maka dapat dilihat bahwa perbuatan pidana

yang dilakukan disebabkan berbagai macam fakta yang mempengaruhi diantara

ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan lain-lain. Maka tidak dapat kita

pungkiri bahwa massa melakukan perbuatan pidana dikarenakan adanya pengaruh

yang ada di luar dirinya yaitu karena lingkungan. Sehingga dalam penanganannya

tidak dilihat hanya sebatas apa yang dilanggar dan kenapa ia melanggar tetapi

juga bagaimana upaya pencegahannya baik secara umum atau secara khusus.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum (sanksi) pidana

merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, sampai

saat ini pun hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu

sarana politik kriminal.28 Sebagaimana realita yang terjadi bahwa perbuatan

pidana yang dilakukan secara massal juga menggunakan hukum pidana dalam

upaya penanggulangannya karena memang masalah yang menjadi

kewenangannya. Namun selama hukum pidana digunakan selama ini juga hukum

27Ibid

., hlm. 12 28

(31)

pidana tidak/kurang dapat menanggulanginya sendiri karena memang hukum

pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk menanggulangi kejahatan. Hal

tersebut diantaranya juga diungkapkan oleh 29:

1) Wolf Middendorf menyatakan bahwa sangatlah sulit untuk melakukan

evaluasi terhadap efektivitas dan “general deterrence” itu tidak diketahui. Kita

tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan

akibat. Orang mungkin melakukan kejahatan/mungkin mengulanginya lagi

tanpa hubungan dengan ada tidaknya Undang-Undang/Pidana yang

dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua,

kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah

perbuatan-perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.

Kadang dalam prakteknya sulit menetapkan jumlah (lamanya) pidana yang

sangat cocok dengan kejahatan dan kepribadian si pelanggar karena tidak ada

hubungan logis antara kejahatan dan jumlah lamanya pidana. Sehingga

menurut middendorf bahwa “kita masih sangat sedikit mengetahui tentang apa

yang membuat seseorang terpidana kembali melakukan/tidak melakukan

aktivitas kejahatan.

2) Danal R. Taft dan Ralph W. England pernah juga menyatakan bahwa

efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum merupakan

salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan

pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok inkres dan

pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien

dalam mengatur tingkah laku manusia dari pada sanksi hukum.

(32)

3) Karl O. Christiansen menyatakan bahwa : “pengaruh pidana terhadap

masyarakat luas sulit diukur, pengaruh tersebut (maksudnya pengaruh dalam

arti “general prevention”) terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang

berbeda misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (Strengthening the colective solidarity), menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi/meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya.

Melihat komentar-komentar para ahli tersebut dan dikontekskan dengan upaya

penanggulangan penal selama ini apakah sudah mencapai tujuan dan cita-cita

hukum pidana itu sendiri. Apakah selama ini efektif atau tidak, memang tidak bisa

kita ukur tapi dapat dirasakan bersama bagaimana perbuatan pidana yang

dilakukan secara massal khusus pada jumlah massa yang tidak jelas berapa

jumlahnya, akhir-akhir ini semakin marak dan dikatakan oleh pakar sosiologi

Satjipto Raharjo sudah menjadi wabah sosial, dimana-mana terjadi dari kota-kota

hingga pelosok tanah air. Sehingga hal tersebut diperlukan penanggulangan yang

integral tidak hanya melalui hukum pidana saja (penal) tetapi juga dengan

penanggulangan yang lain, karena dengan adanya hukum pidana saja orang-orang

bukan takut untuk melakukan perbuatan pidana tapi malah semakin marak terjadi

dimana-mana seolah-olah perbuatan tersebut legal untuk dilakukan. Jadi karena

keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan maka dibutuhkan

(33)

kemanusiaan tetapi juga sebagai permasalahan sosial dan banyak faktor yang

mempengaruhi terjadinya kejahatan.

Menurut Sudarto karena terjadinya kejahatan disebabkan penyebab yang sangat

kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, maka wajar hukum pidana

mempunyai keterbatasan kemampuan untuk menanggulanginya dan menurutnya

penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan satu gejala (“kurieren am symptom”) dan bukan penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Jadi keterbatasan hukum pidana selama ini juga disebabkan oleh sifat/hakikat dan

fungsi dari hukum pidana itu sendiri, karena sanksi hukum pidana bukanlah obat

(remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, melainkan sekedar untuk mengatasi gejala/ akibat dari penyakit. Dengan kata lain sanksi hukum

pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif “melainkan hanya sekedar

“pengobatan simptomatik” dan dengan pengobatan simptomatik berupa “sanksi

pidana” ini masih mengandung banyak kelemahan sehingga masih selalu

dipersoalkan keefektifannya30.

Jadi karena diperlukan upaya penanggulangan kejahatan secara integral baik dari

sisi kemanusiaan maupun dari sisi sosial maka menurut G.P. Hoefnadels upaya

penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan31 :

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application)

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan

30Ibid

., hlm. 72

(34)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat media massa (influencing, Views of society on crime and punishment/mass media).

Upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 yaitu : lewat jalur

“penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana)

dimana point b dan c masuk/dikelompokkan pada upaya non penal32. Upaya

penanggulangan dengan “penal” lebih menitik beratkan pidana sifat “refressive

(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.33 Dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan, “Perbuatan

apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan Sanksi apa saja sebaiknya

digunakan/dikenakan kepada si pelanggar”.

Masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan

kriminal dengan kebijakan sosial/kebijakan pembangunan nasional. Dengan

pemikiran kebijakan hukum pidana harus pula dilakukan dengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan yang integral tidak hanya dalam hukum pidana tetapi

juga pada pembangunan hukum pada umumnya.34

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)

pidana pada hakekatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan

masyarakat. Sehingga wajar apabila kebijakan/politik hukum pidana yang

merupakan bagian integral dari kebijakan/politik sosial (social policy).35

32Ibid . 33

Ibid., hlm. 12 34Ibid

., hlm. 29 35

(35)

Secara konkrit kebijakan dengan menggunakan hukum pidana berkorelasi erat

dengan aspek kriminalisasi yang pada asasnya kriminalitas merupakan proses

penetapan suatu perbuatan sebagai yang dilarang dan diancam pidana bagi yang

melanggar.36 Menurut Sudarto dalam menghadapi masalah kriminalisasi harus

diperhatikan hal-hal sebagai berikut 37:

1. Tujuan hukum pidana harus memperlihatkan tujuan pembangunan nasional

yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil

spirituil berdasarkan Pancasila, maka penggunaan hukum pidana bertujuan

untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penggagasan terhadap

tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman

masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah ditanggulangi dengan hukum

pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan

yang mendatangkan kerugian (materiil dan/spirituil) atas warga masyarakat. 3. Harus memperhatikan dan memperhitungkan prinsip-prinsip biaya dan hasil

(Cost and benefit principle).

4. Memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan

penegak hukum jangan sampai kelampauan beban tugas.

Penggunaan sarana penal seharusnya lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan

limitatif, dengan kata lain sarana penal tidak harus dipanggil/digunakan dalam

setiap produk legislatif. Dalam menggunakan penal, Nigel Walker pernah

36Ibid

., hlm. 37

(36)

mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” (the limiting principles) yang

sepatutnya mendapat perhatian antara lain38 :

1. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan

2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak

merugikan/membahayakan.

3. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai satu tujuan yang dapat

dicapai lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan.

4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari

pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan pidana itu sendiri.

5. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengundang sifat lebih berbahaya

daripada perbuatan-perbuatan yang akan dicegah.

6. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat

dukungan kuat dari publik.

Masalah sentral yang kedua dari penanggulangan dengan penal adalah masalah

penjatuhan sanksi/pemidanaan. Konsep pemidanaan yang berorientasi pada orang

(konsep pemidanaan individual/personal) lebih mengutamakan filsafat

pembinaan/perawatan si pelaku kejahatan (the treatment of effenders) yang melahirkan pendekatan humanistik, ide individualisasi. Pidana dan tujuan

pemidanaan yang berorientasi pada perbaikan si pembuat (yaitu tujuan

regabilitasi, rekomendasi, reeduksi, resosialisasi, readaptasi, sosial, reintegrasi sosial, dan sebagainya)39.

38

Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 78 39Ibid

(37)

Penanggulangan kejahatan dengan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada

sifat-sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum

kejahatan terjadi namun walaupun demikian sebenarnya penanggulangan dengan

“penal” juga merupakan tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat

sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Sasaran utama dari penanggulangan

non penal” adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya

kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada

masalah-masalah/kondisi-kondisi sosial secara langsung/tidak langsung dapat

menimbulkan/menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut

politik kriminal secara makro dan global, maka upaya non-penal menduduki

posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal40.

Sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula dalam

berbagai kongres PBB mengenai The Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders, salah satu hasil kongres tersebut menyebutkan41:

a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas

lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang.

b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan

sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

c. Penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara ialah ketimpangan sosial,

diskriminasi ras dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah

pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar

penduduk.

40

(38)

Salah satu aspek kebijakan sosial yang tidak kalah patut mendapat perhatian ialah

penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individu sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga

(termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja).42 Jadi beberapa masalah

kesehatan dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab

timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi

semata-mata dengan penal dan disiniah keterbatasan jalur penal, dan oleh karena itu harus

ditunjang oleh jalur non penal. Jadi dalam mewujudkan suatu kebijakan kriminal

yang integral dibutuh upaya penanggulangan kejahatan baik dari jalur penal

maupun non penal.

D. Tinjauan Tentang Mafia Peradilan

Ilmu hukum maupun kamus istilah hukum tidak diketemukan tentang pengertian

mafia peradilan. Di dalam penulisan hukum ini penulis memberikan batasan

pengertian dengan memberikan uraian secara etimologi. Berikut ini merupakan

uraian mengenai arti dari mafia peradilan. Atas dasar arti kata-kata tersebut maka

menurut kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud dengan mafia adalah

perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Sedangkan

pengertian mafia peradilan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah

kelompok advokad yang menguasai proses peradilan sehingga mereka dapat

membebaskan terdakwa apabila terdakwa dapat menyediakan uang sesuai dengan

yang diminta mereka.

42Ibid

(39)

Pelatihan Anti Mafia Peradilan yang diselenggarakan KP2KKN dirumuskan

definisi mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif,

kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh actor tertentu (aparat penegak hukum

dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui

penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan

hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan

rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan.43

Menurut Leo Tukas Leonard mendefinisikan mafia peradilan sebagai aktivitas

yang terjadi di lingkungan peradilan termasuk jual beli putusan pengadilan.

Sedangkan menurut Komite Penyelidikan dan Pemberantasan KKN,

mendefinisikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis,

terstruktur, konspiratif dan kolektif yang dilakuakan oleh actor aparat penegak

hukum dan masyarakat umum, dimana masyarakat umum demi mencapai

tujuannya menggunakan penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum

sehingga terjadi simbiosis mutalisme antara masyarakat dan aparat penegak

hukum yang melakukan penyalahgunaan wewenang, tindakan mal administrasi

dan perbuatan melawan hukum.44

Akibat dari mafia peradilan adalah sangat luar biasa sehingga sebagai suatu

bentuk Tindak Pidana Korupsi, mafia peradilan merupakan kejahatan yang luar

biasa (extra ordinary crime) dan berdampak bagi timbulnya kejahatn yang lain (bersifat kriminogen) dan viktimogen (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan), dan yang pasti lembaga peradilan dan aparat penegak

43

(40)

hukum menjadi invalid, tidak independen, kriminogen dan yang jelas merugikan bagi para masyarakat pencari keadilan.45

Mafia Peradilan tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Jika bias dibuktikan berarti

bukan “mafia” namun kejahatan biasa. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia,

mafia adalah suatu organisasi kriminal yang hampir menguasai seluruh aspek

kehidupan masyarakat. Istilah mafia merujuk pada kelompok rahasia tertentu yang

melakukan tindak kejahatan terorganisasi sehingga kegiatan mereka sangat sulit

untuk dilacak secara hukum. Istilah mafia disini menunjuk pada adanya suasana

yang sedemikian rupa sehingga perilaku, pelayanan, kebijaksanaan maupun

keputusan tertentu akan terlihat secara kasat mata sebagai suatu yang berjalan

sesuai dengan hukum padahal sebetulnya tidak. Dengan kata lain mafia peradilan

ini tidak akan terlihat karena mereka bisa berlindung dibalik penegakkan dan

pelayanan hukum. Mereka akan tampil seolah olah sebagai pahlawan keadilan.

Media masa akan ikut mengelu-elukannya sebagai pemberantas korupsi padahal

yang dielu-elukan adalah aktivis atau penegak hukum yang sedang berada dalam

pengaruhnya mafioso, si aktor intelektualis korupsi.

Masyarakat menjadi sulit untuk mengenali mana penegak hukum yang jujur yang

tidak terpengaruh oleh mafioso dengan penegak hukum yang sudah

terkontaminasi. Kekaburan ini telah mengecoh masyarakat sehingga masyarakat

memberi pujian kepada yang tampil sebagai pemberantas korupsi ketika yang

sebenarnya yang dipuja itu sedang melakukan korupsi besarbesaran. Oleh karena

45

(41)

itu mafia peradilan bisa hidup secara terhormat ditengahtengah masyarakat tanpa

bisa disentuh oleh hukum.46

Adapun orang yang berperan sebagai mafia peradilan adalah oknumoknum:

1) Polisi.

2) Jaksa.

3) Hakim lain.

4) Panitera.

5) Pegawai pengadilan.

6) Pengacara.

Jadi intinya siapa saja yang melancarkan pelaku tindak pidana ke aparat hukum

dapat disebut sebagai mafia peradilan. Di tangan polisi dan jaksa, Pasal-Pasal

dalam undang-undang telah mempunyai nilai jual yang tinggi. Sementara hakim,

dalam membuat putusan ia ibarat koki dan putusan adalah hidangannya. Dalam

membuat hidangannya, hakim melihat dulu apa pesanannya, baru kemudian

meramu argumenargumen hukumnya. Hasil ramuannya inilah yang bernilai jual

tinggi. Tidak penting apakah argumen hukumnya masuk akal atau tidak, yang

penting pemesannya merasa bahagia ketika mengunyah-ngunyah hidangannya.47

46

(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka

digunakan pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan Yuridis Normatif

adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data

dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta

peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan

penulisan skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada data sekunder. Data

sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca,

mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen,

kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan

yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang

(43)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli,

RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan RUU Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

tentang pelaksanaan KUHAP.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur,

Kamus, Internet, Makalah dan lain-lain.

C. Penentuan Narasumber

Pada penelitian ini teknik penentuan sampel yang digunakan adalah Purposive

Sampling dan Proporsional Sampling. Teknik pengambilan sampel ini dipakai

dengan tujuan untuk lebih memenuhi keterwakilan sampel yang diambil terhadap

populasi. Sedangkan narasumber dalam penelitian ini adalah para pihak yang yang

(44)

peradilan pidana. Adapun narasumber yang telah ditentukan dalam penelitian ini

responden sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu :

1. Hakim dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang

2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang

3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan cara mendokumentasi

bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian yang dimaksud. Penulis

mengumpulkan bahan hukum yang ada hubungannya dengan masalah yang akan

diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Teknik pengumpulan bahan

hukum yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen

atau bahan pustaka yaitu pengumpulan bahan hukum sesuai tujuan kajian

penelitian. Penulis mengumpulkan bahan hukum dari peraturan

perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, karangan ilmiah, literasi

resmi serta pengumpulan bahan hukum melalui media internet.

2. Prosedur Pengolahan Data

Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun penelitian

lapangan kemudian diproses, diteliti kembali dan disusun kembali secara seksama.

(45)

a. Editing (pemeriksaan data)

Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun primer, dilakukan

pemeriksaan untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan tersebut sudah

cukup dan benar.

b. Klasifikasi (pengelompokan data)

Data yang sudah terkumpul dikelompokan sesuai dengan jenis dan sifatnya

agar mudah dibaca selanjutnya dapat disusun secara sistematis.

c. Sistematisasi Data (penyusunan data)

Data yang sudah dikelompokkan disusun secara sistematis sesuai dengan

pokok permasalahan konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam

menganalisis data.

E. Analisis Data

Proses analisis adalah merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas

pertanyaan perihal pembinaan dan hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian.

Dalam proses analisis rangkaian data yang telah disusun secara sistematis dan

menurut klasifikasinya, diuraikan, dianalisis secara kualitatif yaitu dangan cara

merumuskan dalam bentuk uraian kalimat, sehingga merupakan jawaban.

Sedangkan dalam pengambilan kesimpulan dan hasil analisis tersebut penulis

berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil

kesimpulan atas fakta-fakta yang bersifat khusus lalu diambil kesimpulan secara

(46)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan analisa terhadap permasalahan yang diteliti, maka pada akhir

penulisan hukum ini penulis akan menyampaikan simpulan dan saran. Dalam

simpulan dan saran ini akan dimuat suatu ikhtisar berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan sebagai berikut :

1. Penyebab terjadinya mafia peradilan dalam peradilan perkara pidana antara

lain adalah Kekuasaan penyidikan, Kekusaan penuntutan, Kekuasaan

mengadili. Pada tahap penyidikan Mafia peradilan menggunakan modus

menjanjikan kepada tersangka bahwa ia dapat merekayasa kasus dengan

menawarkan pasal-pasal ringan dalam menjerat kasus pidana yang telah

dilakukan oleh terperiksa. Pada tahap penuntutan, didalam proses ini modus

operandi mafia peradilan adalah berkonspirasi dengan oknum jaksa untuk

tidak menuntut pasal-pasal yang memberatkan, tidak menuntut hukuman

maksimal. Pada tahap Peradilan Mafia peradilan melobi hakim dengan cara

mengajak oknum hakim tersebut ke tempat yang telah disepakati guna

membahas nasib terdakwa yang sedang diproses dipengadilan, karena putusan

hakim merupakan tahap terakhir dalam proses peradilan. Disini mafia

(47)

undang-undang menjadi peradilan yang berjalan menurut keinginan mafia

peradilan.

2. Upaya penanggulangan mafia peradilan dalam peradilan perkara pidana

dilakukan dengan menciptakan birokrasi yang membentengi timbulnya mafia

peradilan, mengembangkan substansi penegak hukum yang bermoral dan

menggagas budaya hukum, dan membangun partisipasi masyarakat dalam

membrantas mafia peradilan. Dengan upaya-upaya tersebut, struktur peradilan

yang sederhana tersebut kejahatan mafia peradilan bisa diminimalisir.

Memberantas mafia peradilan bukanlah perkara yang mudah karena sifat,

jaringan, dan praktiknya yang terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra

keras untuk menyelesaikan persoalan mendasar ini yang diyakini telah

menjadi faktor penyebab utama atas bobroknya penegakan hukum di

Indonesia.

3. Faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan mafia peradilan dalam

peradilan perkara pidana dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor substansi

hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Perbedaan persepsi antara sesama

penegak hukum dapat menimbulkan kekacauan dalam upaya mencapai tujuan

dari sistem peradilan pidana yang disebabkan persaingan antara sesama

penegak hukum.

B. Saran

1. Perlu disusun dan diundangkan undang-undang Pengawas Eksternal

Kepolisian, Kejaksaan dan Pemasyarakatan (lembaga pengawas dan

(48)

dilakukan revisi undang-undang dan peraturan terkait untuk penguatan

lembaga pengawas eksternal (undang-undang Kepolisian, Komisi Yudisial,

Kejaksaan dan Pemasyarakatan).

2. Satuan Tugas (Satgas) pemberantasan mafia hukum hendaknya dapat berjalan

secara efektif untuk memberantas mafia peradilan dengan cara menambah

perwakilan di daerah dengan program operasi yang jelas dan perlu di

sosialisasikan pada masyarakat.

3. Perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendorong lahirnya agen perubahan di

lembaga penegak hukum dan peradilan, yakni dengan memastikan

orang-orang di posisi-posisi kunci adalah mereka yang memiliki integritas tinggi,

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung.

Arief, Barda Nawawi, 2006, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Harahap, M. Yahya 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP,

Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Kuffal, HMA., 2008, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press,

Malang.

Mertokusumo, Sudikno, 1993, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya Di Indonesia, Alumni, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Mulyadi, Lilik, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambatan, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2001, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Sinar Baru, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

---. 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yuwono, Ismantoro Dwi, 2010, Kisah Para Markus (Makelar Kasus), Media Pressindo, Jakarta.

(50)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP

http://bemittelkom.blogspot.com

http://blogprajapunya.blogspot.com

http://izzuljustitia.wordpress.com

http://www.suaraislam.com

http://www.p2d.org

http://sudiknoartikel.blogspot.com

http://kuncupmuda.blogspot.com

http://brimobpolri.wordpress.com

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui daya dukung dan kualitas air perairan Danau Lido pada kegiatan budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung. Metode

[r]

Membawa dokumen asli atau fotocopy yang dilegalisir untuk semua berkas sesuai dengan Dokumen Penawaran dan Isian Kualifikasi Saudara. Menyerahkan berkas-berkas asli penawaran dan

Maka untuk memenuhi persyaratan tersebut, penulis mencoba untuk menerapkan ilmu yang telah penulis dapat di bangku kuliah ke dalam bentuk skripsi yang berjudul

Adapun judul tesis ini yakni, “Peran Auditor Independen Dalam Melakukan Pemeriksaan Laporan Keuangan Perseroan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Pemegang Saham Dari Itikad Buruk

Tujuan dari conceptual framework adalah untuk meyakinkan pengguna laporan keuangan dapat mendapatkan informasi yang berguna untuk proses pengambilan keputusan..

Variabel yang berada pada prosedur pertama tidak akan dikenal oleh program utama atau prosedur lain1. Namun variabel dari program utama (A dan B) akan dikenal oleh prosedur kedua

Penelitian ini menggambarkan bahwa sebagian besar mahasiswa studi akhir Fakultas Keperawatan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya mengalami stres sedang dalam