Makalah Teori Akuntansi
Normative Accounting Theory – Conceptual Framework of
Accounting
Oleh Kelompok 2:
• Astrid D. Raharjo (1511060108) • Eri Junaidi Zafar (1511060118) • Fajar Noerakbar (1511060097)
Jl. Perbanas, Karet Kuningan, Setiabudi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12940
THE ROLE OF A CONCEPTUAL FRAMEWORK
Proses perjalanan penyusunan Conceptual Framework dimulai pada tahun 1980 dan awal tahun 1990 di USA, Canada, UK dan Australia. Namun pada tahun 1989, proses perkembangan conceptual framework mengalami hambatan dari berbagai faktor, seperti kesulitan dalam pembentukan fundamental issues yang berkaitan dengan measurement dan juga adanya intervensi politik, sehingga prosesnya berjalan dengan lambat. Tetapi pada tahun 2002, terdapat kemajuan yang pesat di dalam proses perkembangan conceptual framework dikarenakan adanya IASB/FASB Convergence Program, dimana dalam program tersebut dibutuhkan sebuah framework yang kuat untuk memandu para pembuat accounting standards dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga pada tahun 2004, IASB dan FASB mulai untuk membentuk sebuah conceptual framework yang lengkap dan konsisten.
Conceptual Framework of Accounting bertujuan untuk membuat sebuah teori akuntansi yang lengkap, konsisten, dan terstruktur. Berikut ini adalah struktur dari
Conceptual Framework itu sendiri didefinisikan oleh FASB sebagai berikut :
“... a coherent system of interrelated objectives & fundamentals that is expected to lead to consistent standards and that prescribes the nature, function and limits of financial accounting and reporting”. Kata ‘coherent system’ dan ‘consistent’ mencerminkan bahwa FASB membuat framework yang teoritis dan non-arbitary, serta kata ‘prescribes’
menunjukkan pendekatan normatif dalam penyusunannya.
Namun meskipun IASB dan FASB telah berusaha untuk menyusun conceptual framework tersebut, tidak semua akuntan memiliki pendapat yang sama terhadap kehadiran
conceptual framework ini. Beberapa akuntan berpendapat bahwa membuat general theory
melalui sebuah conceptual framework tidak diperlukan. Mereka beralasan bahwa mereka dapat tetap bertahan didalam pelaksanaan profesi akuntan tanpa sebuah teori yang secara formal terstruktur.
Pernyataan tersebut memang benar adanya, namun muncul beberapa masalah terkait praktik didalam akuntansi karena tidak adanya general theory of accounting yang terstruktur. Salah satunya adalah, praktik akuntansi dinilai sangat permissive dan tidak konsisten. Tiap-tiap entitas diperbolehkan untuk memilih metode akuntansinya sendiri. Misalnya, perusahaan A menggunakan metode Straight Line Method dalam menghitung depresiasi aset perusahaannya, sedangkan perusahaan lain dapat saja menggunakan metode depresiasi lain seperti Double Declining Method.
Maka dari itu, conceptual framework membawa beberapa manfaat dan peran penting didalam akuntansi, diantaranya yaitu :
1. Financial reporting requirements dapat lebih konsisten dan logis, oleh karena berasal dari sebuah konsep yang jelas, konsisten, dan terstruktur. Misalnya, kini seluruh entitas diharuskan menggunakan fair value dalam penilaian aset-nya, tidak lagi memakai historical cost aset tersebut.
2. Adanya regulations yang dijelaskan didalam conceptual framework memaksa pihak-pihak yang bertanggungjawab harus membuat laporan yang sesuai dengan framework. 3. Pihak-pihak yang menyusun financial report dapat lebih bertanggung jawab terhadap
apa yang dibuatnya, karena seluruh requirements dalam membuat financial report
4. Meminimalisir resiko dari over-regulation.
5. Baik preparers maupun auditors dapat lebih memahami financial reporting requirements yang mereka buat atau periksa.
6. Pengaturan financial reporting requirements dapat lebih economical, karena tiap
issues yang muncul tidak perlu diperdebatkan kembali dari berbagai sudut pandang.
OBJECTIVES OF CONCEPTUAL FRAMEWORK
Tujuan dari conceptual framework adalah untuk memberikan pedoman dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan bertujuan umum (general purposes financial statements).
Lebih lanjut lagi, IASB dan FASB menjelaskan tujuan utama financial reporting
adalah untuk menyediakan informasi keuangan yang berguna kepada users, baik itu investor
maupun creditor. Informasi tersebut akan dipilih berdasarkan dasar kegunaannya dalam proses pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan melaporkan informasi yang berisi :
1. Berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.
2. Berguna dalam menilai prospek arus kas.
3. Berisi tentang sumber daya perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut dan perubahan yang ada di dalamnya.
IASB’s framework lalu dikembangkan lebih lanjut mengikuti jejak FASB. Pada periode 1987-2000, FASB membuat seven concept statement yang mencakup topik-topik berikut:
1. Tujuan dari pelaporan keuangan oleh perusahaan bisnis dan organisasi non-profit.
2. Karakteristik kualitatif informasi akuntansi yang berguna.
3. Unsur-unsur laporan keuangan.
4. Kriteria dalam pengakuan dan pengukuran unsur-unsur.
5. Penggunaan arus kas dan menyajikan informasi nilai dalam pengukuran akuntansi.
Kerangka tersebut menjelaskan konsep dasar dari laporan keuangan yang disusun. Hal tersebut dijadikan sebagai pedoman IASB dalam membangun standar akuntansi dan sebagai panduan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak dijelaskan secara langsung oleh IAS atau IFRS. IASB menyatakan bahwa kerangka tersebut:
Mendefinisikan tujuan dari laporan keuangan.
Mengidentifikasi karakter kualitatif yang membuat informasi dari laporan keuangan berguna.
Mengidentifikasi elemen dasar dari laporan keuangan dan konsep untuk pengakuan dan pengukuran dari laporan keuangan.
Di dalam IAS 8 mensyaratkan bahwa manajemen harus menggunakan kerangka tersebut dalam mengembangkan dan menerapkan aturan akuntansi agar menghasilkan informasi yang :
Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi yang dibutuhkan oleh users.
Reliable.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi yang:
2. Membantu kreditor dan investor yang ada atau potensial, serta users lain dalam menentukan jumlah, waktu dan ketidakpastian cash flow di masa yang akan datang.
3. Mengenai sumber-sumber ekonomi, tuntutan terhadap sumber ekonomi, dan perubahan di dalamnya.
DEVELOPING A CONCEPTUAL FRAMEWORK
Dalam pengembangannya, conceptual framework dipengaruhi beberapa isu, yakni:
Principles-Based and Rule-Based Standard Setting
IASB sendiri bertujuan untuk menciptakan standar yang bersifat principles-based
yang akan mengacu pada conceptual framework untuk lebih lanjut. Maka, konten yang terdapat di dalam conceptual framework akan bersifat ide standar yang menjadi penyokong pengembangan standar dan membantu user untuk menginterpretasikan standar tersebut.
Namun, IASB sendiri memiliki beberapa peraturan yang cenderung bersifat rule-based, dan ini bertentangan dengan tujuan awalnya. Salah satunya adalah IAS 39 (Financial Instruments: Recognition and Measurement). Menurut Christopher Nobes, pakar akuntansi dari University of London, akan lebih baik jika reasons standard menjadi rules-based karena mereka tidak menjadi tidak konsisten dengan conceptual frameworks of standard setters. Perubahan ini sendiri tentu akan membawa benefit lebih banyak, karena dapat memperjelas komunikasi mengenai peraturan dan meningkatkan ketelitian tanpa perlu peraturan yang lebih detail lagi (karena sudah tercantum di standar). Lebih lanjut lagi, Nobes mengidentifikasi enam contoh peraturan yang lebih bersifat rules-based, yakni mengenai lease accounting, employee benefits, financial assets, government grants, subsidiaries dan equity accounting.
Namun, walau memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan diatas, sebuah studi yang dilakukan oleh Securities and Exchange Commission (SEC) pada 2002 (atas perintah Sarbanes-Oxley Act) merekomendasikan penggunaan principles-based, namun standar tersebut wajib memiliki karakteristik:
a. Didasarkan pada conceptual framework yang sudah berkembang dan diaplikasikan secara konsisten.
b. Mencantumkan dengan jelas objective of standard.
c. Menyediakan detail yang cukup dan struktur yang bisa dioperasikan dan bisa diaplikasikan secara konsisten.
d. Meminimalisir penggunaan pengecualian dari standar.
e. Menghindari penggunaan percentage of tests (bright lines) yang membolehkan
financial engineering untuk mencapai technical compliance dengan menghindarkan maksud dari standar itu sendiri.
f. Indonesia sendiri mengadopsi principal-based, dengan acuan besar adalah IFRS dan membuat rules-based yang lebih detail di PSAK. Adopsi ini baru dilakukan di tahun 2012, ketika terjadi perubahan acuan peraturan dari GAAP ke IFRS.
Information for Decision Making and The Decision-Theory Approach
Sudah umum diketahui bahwa data akuntansi digunakan untuk proses decision making atau untuk tujuan evaluasi di entitas tertentu. Hal ini diawali dengan fungsi data akuntansi sebagai fungsi stewardship Di masa kini, manajer bertanggung jawab terhadap
equityholders perusahaan. Informasi bagaimana manajer tidak melaksanakan tanggung jawab stewardshipnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi performa manajer dan perusahaan itu sendiri.
Information for decision making secara tidak langsung mencakup lebih luas dari informasi mengenai stewardship. Pertama, karena pengguna dari financial information luas dan mencakup seluruh menyedia sumber daya. Kedua, informasi akuntansi dilihat sebagi
Sedangkan, decision-theory sangat bermanfaat untuk mengecek apakah akuntansi mencapai tujuannya atau tidak. Jika individual systems dapat menyediakan informasi yang berguna, maka teori yang mendasari sistem tersebut dapat dikategorikan efektif, atau valid.
THE DECISION THEORY PROCESS
Secara keseluruhan, dapat dipahami mengapa pengembangan conceptual framework
di level nasional menjadi sangat sulit. Godfrey berpendapat bahwa dalam pengembangannya, conceptual framework harus lebih menitikberatkan pada rasionalisasi penggunaan masa kini dibanding reafirmasi framework di aspek hukum, sosial dan ekonomi dalam fungsi akuntansi. Selain itu, conceptual framework masa kini juga agar mencari lebih dalam dalam mengembangan constitution-based framework untuk akuntansi dibanding fokus pada konsep pondasi hal-hal sehari-hari. Karena, hal-hal tersebut akan lebih sulit dibuat ketika terjadi perbedaan antarnegara.
Jones dan Wolnizer memberi saran agar conceptual framework harus memiliki peran yang penting dalam mengemukakan persetujuannya dalam scope, objectives, qualitative, dan measurement characteristics dari akuntansi yang terpengaruh dengan standard setting. Walau demikian, mereka juga berargumen mengenai konvergensi dengan IASB framework, bahwa hal ini akan menurukan inisiasi dan inovasi dalam pengembangan conceptual framework itu sendiri, karena negara tidak lagi bekerja secara independen.
International Developments: The IASB and FASB Conceptual Framework
Pada Oktober 2004, FASB dan IASB bekerja sama untuk mengembangkan
conceptual framework. FASB menyatakan bahwa project tersebut akan melakukan:
a. Fokus pada perubahan dalam environment sejak orginal frameworks pertama kali diisukan, demikian juga terhadap kelalaian di original frameworks, dengan tujuan
Overall Accounting Theory
Individual Accounting System
Prediction Model of User
untuk dapat menciptakan framework yang berkembang, utuh, dan dapat mencakup
frameworks yang telah ada secara efektif dan efisien
b. Memberikan prioritas untuk menujukan dan mendiskusikan tiap isu di setiap fase yang memiliki kemungkinan menguntungkan Boards dalam jangka pendek; yakni cross-cutting issues yang memberi dampak tertentu dalam project mereka, baik untuk standar baru maupun standar yang sudah direvisi. Sekaligus, tahap dari project
tersebut akan dilakukan secara simultan dan Boards akan mengharapkan keuntungan dari terlaksananya project tersebut
c. Mulanya, mempertimbangkan konsep yang dapat diaplikasikan di private sector business entities. Selanjutnya, Boards akan bergabung dalam mempertimbangkan aplikasi dari konsep tersebut ke private sector not-for-profit organizations. Representatif dari public sector standard-setting Boards akan memonitor projects
tersebut, dan di kasus-kasus tertentu akan mempertimbangkan dampak potensial dari diskusi private sector untuk public entities.
IASB/FASB CONCEPTUAL FRAMEWORK PROJECT
Fase Topik
A Objective and Qualitative Characteristics
B Elements and Recognition
C Measurement
D Reporting Entity
E Presentation and Disclosure, including Financial Reporting Boundaries (Inactive)
F Framework Purpose and Status in GAAP Hierarchy (Inactive)
G Applicability to the Not-for-Profit Sector (Inactive)
Entity vs Proprietorship Perspective
Board merekomendasikan financial report harus dibuat dari perspektif entitas dibanding perspektif dari pemilik. Hal ini disetujui banyak pihak karena pemilik dan entitas secara tegas merupakan dua pihak yang berbeda. Pihak lain menyatakan keberatan karena menganggap Board tidak menyediakan informasi yang cukup untuk membenarkan rekomendasi tersebut (seperti dalam peraturan proprietorship dan parent company perspectives). Maka, perspektif mengenai entitas sudah tercantum di Fase D, sedangkan alternative lain mengenai pemilik masih didiskusikan.
Primary User Group
Board menujukan primary user group untuk tujuan umum financial reporting adalah untuk penyedia modal masa kini dan potensial. Penyedia modal mencakup equity investors,
lenders, dan penyedia jasa kredit lain. Namun, ada juga pihak yang mengkhawatirkan bahwa beragamnya jenis primary group dapat kelewat menyederhanakan hubungan antara entitas dan individual users. Responden lain mengkhawatirkan fokus dari primary user group dan efeknya terhadap pihak lain, seperti saat amal dan corporate governance monitoring group.
Decision Usefulness and Stewardship
Berdasarkan Boards, tujuan dari financial reporting harus “cukup luas untuk mencakup semua keputusan yang dibuat oleh equity investors, lenders, dan kreditor lain dengan kapasitas mereka sebagai capital providers, termasuk keputusan alokasi sumber daya dan keputusan yang dibuat untuk menjaga dan mempertinggi nilai investasi mereka”. Pendapat ini disetujui banyak pihak, namun juga mendapat sanggahan dari pihak-pihak lain karena dikhawatirkan tujuan dari stewardship tidak cukup ditekankan, ketika fungsi
financial statements untuk menyediakan info bagi pengguna dan dapat memprediksi masa depan terlalu ditekankan. Menurut Whittington, fungsi stewardship terlalu dikesampingkan. Padahal di negara-negara Eropa, stewardship adalah kunci dari corporate governance dan peraturan perusahaan.
IASB Framework mencantukam empat prinsip qualitative characteristics, yakni
understability, relevance, reliability, dan comparability. Sedangkan dalam Exposure Draft
dicantumkan bahwa qualitative characteristics yang membuat informasi menjadi berguna adalah relevance, faithful representation, comparability, verifiability, timeliness, dan
understability, dan pervasive constraints dari financial reporting adalah materiality dan
cost. Selain itu, qualitative characteristics juga dibedakan menjadi fundamental (relevance, faithful representation) atau enhancing (comparability, verifiability, timeliness, dan
understability) tergantung bagaimana mereka memberi dampak terhadap laporan keuangan.
Banyak pihak yang menyetujui hal ini, namun banyak juga yang menyarankan agar
understability dan verifiability lebih ditinggikan porsinya, demikian juga untuk substance over form, true and fair view, dan transparency. ED menolak konsep pruedence karena tidak konsisten dengan konsep neutrality. Whittington sendiri sangsi terhadap penghapusan
pruedence karena pentingnya pruedence dalam menahan management opportunism,
IASB dan FASB harus membuat progress dalam conceptual framework karena hal ini fundamental dalam mengembangkan standar dan menjadi penyokong dalam upaya konvergensi peraturan. Selain itu, Boards juga perlu membuat pengukuran untuk konsensus dan mendukung objectives of financial reporting dan qualitative characteristics of financial information dapat mengeluarkan framework chapters yang dapat diketrima di konstituen.
A CRITIQUE OF CONCEPTUAL FRAMEWORK PROJECTS
Conceptual framework yang telah ada ternyata menuai kritik dari berbagai negara, Kritik-kritik tersebut memiliki analisis yang menjelaskan alasan mereka mengeluarkan kritik. Pertama, conceptual framework harus menggunakan pendekatan yang scientific,
sehingga validasi framework harus dapat dijelaskan secara logis dan empiris. Selanjutnya, pendekatan secara profesional yang berfokus untuk menyarankan tindakan terbaik dengan melakukan tindakan yang profesional.
standar akuntansi seharusnya dapat meminimalisasi ketidakkonsekuenan dan ketidaksamaan yang muncul dari penilaian-penilaian yang berbeda.
Dopuch dan Sunder berpendapat bahwa conceptual framework yang dikeluarkan oleh FASB tidak cukup membantu dalam menyelesaikan isu kontemporer pada measurement dan
disclosure. Menurut mereka, terdapat tiga isu yang masih ambigu:
1. Definisi liabilities masih terlalu umum sehingga sulit untuk menentukan posisi deferred taxes.
2. Conceptual framework mendukung dua prinsip akuntansi yang bertolak belakang yaitu full cost dan successful efforts. Pada prinsip successful efforts, perusahaan diperbolehkan untuk mengkapitalisasi hanya beban-beban yang berkaitan dengan penemuan lokasi tambang minyak dan gas alam yang berhasil, jika terjadi penemuan lokasi tambang yang tidak terdapat minyak dan gas alam, maka beban tersebut dikurangi langsung terhadap pendapatan pada periode tersebut. Sedangkan, untuk full cost, semua beban yang berkaitan dengan penemuan lokasi tambang minyak dan gas alam baru (tanpa memperhatikan hasilnya) boleh dikapitalisasi.
3. Tidak menyelesaikan masalah estimasi.
Ontological and Epistemological Assumptions
Tujuan dari pembentukan conceptual framework adalah untuk menghasilkan laporan keuangan yang objektif dan tidak bias. Maksud dari tidak bias atau netral adalah kualitas informasi yang menghindari penggunanya mengarahkan pada kesimpulan yang memberikan keamanan pada kebutuhan atau keinginan tertentu. Solomon menjelaskan kebebasan dari bias sebagai financial map making, dimana suatu peta yang baik adalah peta yang dapat menunjukkan seluruh fakta yang ada.
ternyata benar adanya, bahwa conceptual framework tidak pernah secara resmi diuji kebenarannya berdasarkan bukti logis dan empiris karena isi dari conceptual framework itu sendiri merupakan opini dari badan atau individual yang berkuasa. Hal ini mengarahkan projek conceptual framework pada pendekatan hypothetico-deductive. Pendekatan ini mempengaruhi asumsi epistemologi dan asumsi metodologi mengenai pengujian kebenaran serta tindakan yang paling sering dilakukan oleh peneliti akuntansi.
Circularity of Reasoning
Dalam sudut pandang yang dangkal terhadap conceptual framework mengindikasikan bahwa paling tidak akuntan mengikuti satu jalur ilmiah, yaitu menarik kesimpulan dari prinsip dan praktik yang disamaratakan. Namun, banyak pula negara yang conceptual framework-nya ditandai dengan adanya internal circularity, maksudnya satu kualitasnya, bergantung pada kualitas aspek yang lain. Namun, tidak dituliskan diperlukannya kondisi tertentu untuk mencapai berbagai kualitas tersebut. Sehingga tidak terdapat arahan yang spesifik mengenai cara pencapaian kondisi yang seharusnya.
Bermacam-macam kerangka konseptual yang dimiliki negara ditandai oleh adanya
internal circularity. Contohnya adalah pada information qualities pada laporan keuangan yang bergantung pada kriteria quality lainnya. FASB framework mencoba untuk membuka atau menjastifikasi circularity tersebut dengan merujuk pada keinginan dari seorang akuntan yang memiliki banyak pengetahuan untuk menginterpretasikan laporan keuangan tersebut.
An Unscientific Disipline
Stamp (1981):
“Until we are sure in our minds about the nature of accounting, it is fruitless for the profession to invest large resources in developing a conceptual framework to support accounting standards”
science adalah positive discipline, hal yang dapat dideskripsikan dan memiliki karakteristik bebas dari nilai konsep.
Positive accounting adalah penjelasan atau penalaran untuk menunjukkan secara ilmiah kebenaran pernyataan atau fenomena akuntansi seperti apa adanya sesuai fakta. Teori ini bertujuan menjelaskan meramalkan, dan memberi jawaban atas praktik akuntansi. Di samping itu, teori ini juga meramalkan berbagai fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana interaksi antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata. Validitas teori akuntansi positif dinilai atas dasar kesesuaian teori dengan fakta atau apa yang nyatanya terjadi (what it is). Sedangkan normative accounting adalah penjelasan atau penalaran untuk menjustifikasi kelayakan suatu perlakuan akuntansi paling sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, sehingga lebih menjelaskan praktik-praktik akuntansi yang seharusnya berlaku (it should be).
Pendekatan positive accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai sains. Sedangkan pendekatan normative accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai
art. Hingga saat ini, positive accounting theory masih dalam proses yang dapat dijadikan dasar dalam proses pembentukan akuntansi menjadi sains.
Positive Research
Tujuan utama dari dibuatnya conceptual framework adalah untuk menyediakan informasi keuangan yang dapat membantu pengguna menentukan economic decision. Namun, sekarang riset pasar meragukan kemampuan data akuntasi yang dipublikasikan untuk mempengaruhi harga saham. Beberapa teknik akuntansi digunakan untuk memanipulasi keadaan pasar. Tujuan dari conceptual framework adalah untuk meyakinkan pengguna laporan keuangan dapat mendapatkan informasi yang berguna untuk proses pengambilan keputusan.
The Conceptual Framework as A Policy Document
Sebuah cara yang dapat digunakan untuk melihat conceptual framework menjadi
tujuannya. Ijiri juga mengungkapkan bahwa dalam akuntansi, teori dan policy bercampur menjadi satu, tidak seperti ilmu pengetahuan lainnya.
Menurut Tinker, terdapat cara lain untuk mengesahkan tingkat teoritikal yaitu dengan pendekatan deskriptif. Deskriptive theories adalah usaha untuk menemukan hubungan yang sebenarnya terjadi. Panalaran Induktif biasanya disebut dengan teori deskriptif. Pendekatan deskriptif memiliki implikasi untuk menentukan apakan conceptual framework merupakan refleksi dari nilai professional.
Buckley memiliki policy model melalui pendekatan konstitusional, dimana prinsip-prinsip yang berlaku berasal dari kebenaran, sama seperti cara FASB menentukan
conceptual framework. Pendekatan konstitusional sesuai dengan pernyataan bahwa akuntansi bergantung pada kepercayaan di kejadian yang sebenarnya.
Chamber mengungkapkan:
“all we have as fundamental or basic is a set of proposition that are more or less arbitrary established, or which are plain dogmas. There is no body of ideas or knowledge by reference to which we can judge whether or not the proposition are preferable to others,
we must simply accept them.”
Kirk berpendapat bahwa standard yang dibuat berdasarkan consensus adalah bagian dari memeprcayai standar yang merupakan ketentuan dan terbentuk karena persetujuan. Beliau mengembangkan bahwa sebuah conceptual framework disajikan untuk kepentingan publik karena merupakan pendekatan konseptual. Sedangkan standard yang dibuat berdasarkan consensus tidak digunakan untuk kepentingan publik, karena merupakan pendekatan politik. Hal ini menjadi masalah karena kepentingan publik diwakili oleh pengguna dengan kebutuhan yang bertentangan. Sedangkan menurut pendapat Miller,
standard yang dibuat menurut consensus hanya akan menghasilkan ketidakkonsistenan.
Professional Values and Self-Preservation
Gerboth berpendapat:
“of necessity, accountants makes many judgments. And when they do, their decision may differ from those that other accountants would make. But that does not make the decision arbitrary. Accountant’s freedom is not freedom to decide as they please. Their personal responsibility for the decision forces a diligent search for the best obtainable approximation of accounting truth, and that responsibility leaves no room for arbitraries.”
Conceptual frameworks tidak bekerja di dalam ruang sosial dimana terdapat urusan manusia yang sangat kompleks. Judgement sebagian besar ada karena terdapat professional value. Greenwood menganggap ini merupakan nilai dari resinalitas dimana terdapat komitmen pada objektivitas. Dia juga menambahkan itulah yang menyebabkan tidak adanya hal teoritikal atau teknis yang dianggap tidak tertandingi hanya karena hal tersebut pernah diterima dan dilakukan.
Demski merupakan orang yang paling tidak setuju dengan adanya normative accounting standards, karena beliau menemukan bukti matematis dimana tidak ada standar.
Konsep tersebut sesuai dengan pendekatan konstitusional dari Buckley yang menunjukkan adanya monopol-seeking behavior dari seorang professional. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya kompleksitas standard konsep yang ada dan menyebabkan publik bergantung pada akuntan dan auditor untuk menyiapkan dan menginterpretasikan isi laporan keuangan.
“viewing conceptual framework project as constituting a strategic manoeuvre to assist in socially constructing the appearance of a coherent differentiated knowledge base for accounting standard, thus legitising standards and the power, authority, and self regulation of the accounting profession, may help in explaining why conceptual framework projects are continually undertaken by the profession.”
CONCEPTUAL FRAMEWORK FOR AUDITING STANDARD
juga mempertanyakan kompatibilitas dari pelayanan auditing dan consulting, dan merekomendasikan pemisahan untuk kedua tipe pelayanan ini dengan tujuan untuk menjaga independensi dari auditor.
Mautz dan Sharaf mengembangkan lebih jauh teori audit melalui A Statement of Basic Auditing Concept (ASOBAC) yang dikeluarkan oleh American Accounting Association. ASOBAC berfokus pada process mengumpulkan dan mengevaluasi data dan bukti-bukti. Namun pada tahun 1980, fokus debat secara teoritis berfokus pada struktur dan cara perhitungani dalam hal mengumpulkan bukti dan proses evaluasi. Knecehel menjelaskan ini sebagai pertumbuhan pesat pada praktik audit, peningkatan teknologi, dan kebutuhan untuk mengurangi biaya pada audit proses.
Pada tahun 1990, Knechel menghadapi hambatan tan tantangan baru bagi proses formulasi audit, hambatan ini mencakup tekanan dari klien pada auditor untuk mengurangi biaya dan memberikan nilai yang lebih. Hal ini membuat praktik audit menjadi lebih bergantung pada memeriksa sistem kontrol klien dan juga mencari dan mengumpulkan bukti dari financial statement yang dibuat sendiri oleh sistem tersebut, dibandingkan dengan
direct testing pada transaksi dan account balance. Hal ini mengurangi substantive test dan
sample sizes, yang dapat membuat adanya resiko bisnis audit.
Resiko bisnis audit adalah suatu bentuk audit yang mempertimbangkan resiko klien sebagai bagian dari proses audit evidence (1970). Audit risk model meminta auditor untuk memperhatikan resiko dari opini audit yang tidak sepantasnya sebagai fungsi dari inherent risk, resiko dimana sistem kontrol dari klien tidak dapat mencegah dan mendeteksi kesalahan tersebut, dan resiko dimana prosedur audit pun tidak dapat mendeteksi kesalahan tersebut.
‘Internal control – integrated framework’ by the Committee of Sponsoring Organization (COSO), dikeluarkan pada tahun 1992. Report ini membuat auditor menjadi lebih sadar dan peduli terhadap hubungan antara internal control dan pengadaan audit itu sendiri. Klien dengan internal control yang baik dianggap lebih memiliki resiko yang rendah untuk terjadi fraud dan error, dan hal ini mendukung dalam kemungkinan untuk mengurangi sumber data, biaya audit, dan harga pengauditan untuk klien tersebut.
Commission on Fraudulent Financial Reporting’ atau dikenal juga dengan ‘The Treadway Commission’ di tahun 1985. Komisi ini disponsori oleh 5 professional association, yaitu: AICPA, AAA, FEI, IIA, IMA. Tujuan komisi ini adalah melakukan riset mengenai fraud
dalam pelaporan keuangan (fraudulent on financial reporting) dan membuat rekomendasi yang terkait dengannya untuk perusahaan publik, auditor independen, SEC, dan institusi pendidikan.
Walaupun disponsori oleh 5 professional association, tapi pada dasarnya komisi ini bersifat independen dan pihak yang duduk di dalamnya berasal dari beragam kalangan: industri, akuntan publik, Bursa Efek, dan investor. Nama ‘Treadway’ sendiri berasal dari nama ketua pertamanya yaitu James C. Treadway, Jr.
Komisi ini mengeluarkan report pertamanya pada tahun 1987. Isi dari report tersebut merekomendasikan dibuatnya report komprehensif tentang pengendalian internal
(integrated guidance on internal control), lalu dibentuklah COSO, yang kemudian bekerjasama dengan Coopers & Lybrand untuk membuat report tersebut.
Coopers & Lybrand mengeluarkan report itu pada 1992, dengan perubahan minor pada 1994, dengan judul ‘Internal Control – Integrated Framework’. Report ini berisi definisi umum internal control dan membuat framework untuk melakukan penilaian (assessment) dan perbaikan (improvement) atas internal control. Report ini memiliki kegunaan salah satunya adalah untuk mengevaluasi FCPA compliance di suatu perusahaan.
Resiko bisnis audit menekankan pada ancaman untuk model bisnis klien dari kompleksitas lingkungan bisnis dan resiko bisnis yang mengarahkan pada resiko audit. Perubahan kunci konseptual yang bisnis audit resiko tunjukkan ke auditor adalah perlunya untuk memikirkan hubungan kausal dari model bisnis klien dan operasi ke rekening keuangan, dan bukan untuk berpikir dalam hal kesalahan akuntansi terlebih dahulu.
Berdasarkan sumber lainnya, Risiko audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikenakan pendapat wajar tanpa pengecualian, namun pada kenyataannya laporan tersebut disajikan salah secara material. Audit tidak dapat diharapkan untuk mengungkapkan semua kesalahan laporan keuangan yang material. Audit terbatas pada pemilihan sampel, dan kesalahan yang disembunyikan dengan sangat rapi sulit ditemukan. Karenanya ada risiko bahwa audit tidak akan mengungkapkan kesalahan yang materil dalam laporan keuangan.
Jenis Resiko Audit, yaitu :
1. Resiko Bawaan (Inherent Risk), yaitu kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji yang material. Biasanya resiko ini telah ada dari awal dikarenakan sifat bisnis dari entitas yang bersangkutan.
2. Resiko Pengendalian (Control Risk), merupakan resiko yang baru akan muncul dan terdeteksi pada saat pemeriksaan internal control. Entitas yang rentan akan fraud biasanya internal controlnya lemah.
3. Resiko Deteksi (Detection Risk), adalah resiko yang muncul karena auditor tidak mampu menemukan kesalahan dikarenakan kurang menggunakan tehnik atau prosedur
CONCEPTUAL FRAMEWORK – IFRS
IFRS - Kerangka konseptual dibagi menjadi 3 level
• First Level = Basic objective
• Second Level = Karakteristik keuangan dan Unsur Iaporan keuangan • Third Level = Recognition, measurement, and disclosure concepts
First Level
Basic objective - Untuk memberikan informasi keuangan tentang entitas pelapor yang berguna untuk investor sekarang dan potensial, lenders dan kreditur lain dalam pengambilan keputusan dalam kapasitasnya penyedia modal.
1. Karakteristik kualitatif
IASB mengidentifikasi karakteristik kualitatif informasi akuntansi untuk
membedakan informasi yang lebih baik (lebih berguna) dan lnformasi yang inferior (kurang bermanfaat) untuk keperluan pembuatan keputusan.
Fundamental qualities:
a. Relevance:
Predictive Value: membantu meramalkan hasil-hasil yang akan diperoleh di masa-masa yang akan datang.
Confirmatory Value: membantu mengkonfirmasi kebenaran ekpektasi
Free from error: informasi laporan keuangan bebas dari kesalahan. Enhancing qualities:
a. Comparability: Laporan keuangan harus dapat dibandingkan dengan laporan keuangan dari perusahaan lain yang sejenis atau dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau juga sering disebut dengan consistency
b. Verifiability: laporan keuangan harus dapat diverifikasi oleh akuntan-akuntan lain dengan metode-metode yang sama, dapat diuji.
c. Timeliness: laporan keuangan disajikan secara tepat waktu yaitu sebelum keputusan akan dibuat.
d. Understandability: Harus dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti masalah akuntansi dan bisnis atau oleh orang-orang yang ingin mempelajari dan menganalisa informasi yang disajikan.
2. Unsur-unsur laporan keuangan
a. Assets: manfaat ekonomi masa datang
c. Expenses: aliran keluar atau penggunaan/penghabisan assets
Third Level
Recognition, measurement, and disclosure concept
Asumsi Dasar
a. Economic entity: Perusahaan merupakan entitas ekonomi yang terpisah dan berbeda dari pemiliknya dan unit bisnis lainnya.
b. Going concern: Perusahaan dianggap sebagai entitas yang memiliki kelangsungan hidup yang berkelanjutan sehingga perencanaan atas pembuatan laporan keuangan masa kini dan yang akan datang dilaksanakan terus-menerus.
c. Monetary unit: uang adalah common denominator
b. Periodicity: Untuk tujuan laporan keuangan, sebuah entitas bisnis dibagi ke dalam periode-periode akuntansi.
c. Accrual basis of accounting: transaksi dicatat dalam periode di mana peristiwa terjadi.
Prinsip Dasar
a. Measurement
Cost - penyajian secara wajar dari jumlah yang dibayarkan untuk barang yang diterima.
Fair value - jumlah nilai dimana aset dapat ditukarkan antara pihak-pihak yang berpengetahuan dan bersedia dalam arm‘s length transaction.
lASB telah mengambil langkah yang memberikan perusahaan pilihan untuk menggunakan nilai wajar sebagai dasar untuk pengukuran aset keuangan dan kewajiban keuangan.
b. Revenue recognition
Pendapatan harus diakui apabila kemungkinan besar bahwa manfaat ekonomi masa depan akan mengalir ke perusahaan dan pengukuran dapat dilakukan secara andal.
c. Expense recognition
d. Full disclosure
Memberikan informasi yang penting dalam jumlah cukup yang dapat mempengaruhi penilaian dan keputusan dari pengguna informasi.
Constraint
a. Biaya: biaya dan penyediaan mformasi harus mempertimbangkan manfaat yang dapat ditimbulkan dari menggunakannya.