• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Interaksi Peradaban Islam-Barat Dalam Perang Salib Terhadap Ide Demokrasi (Studi Deskriptif Masa Renaissance di Eropa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Interaksi Peradaban Islam-Barat Dalam Perang Salib Terhadap Ide Demokrasi (Studi Deskriptif Masa Renaissance di Eropa)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi yang dikenal pada Abad 21 merupakan suatu sistem

pemerintahan. Demokrasi tidak dirancang untuk efisiensi, akan tetapi untuk

pertanggungjawaban akan suatu kebijakan. Pemerintahan yang diktator, kebijakan

dapat diambil tanpa perlu melakukan diskusi yang lama seperti dalam

pemerintahan yang demokratis. Namun, kebijakan dalam pemerintahan yang

demokratis merupakan kepentingan bersama setiap inividu yang berada di

dalamnya karena didasarkan pada suara terbanyak. Dengan kata lain, sekalipun

kebijakan tersebut belum tentu dapat menyelesaikan masalah bahkan merugikan

negara tersebut tetap mendapat dukungan publik.

Ide demokrasi merupakan satu ideologi politik yang berprinsip kepada

persamaan hak, kebebasan dan keadilan. Ide demokrasi ini diwujudkan menjadi

suatu sistem pemerintahan yang digunakan oleh suatu negara dengan adanya

pembagian kekuasaan negara. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin persamaan

hak, kebebasan serta tegaknya keadilan. Demokrasi dikenalkan ke seluruh dunia

pada Abad 21 melalui negara Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia

Kedua sebagai satu gagasan yang menjunjung tinggi persamaan, kebebasan dan

keadilan.

Sejarah negara Amerika Serikat dalam kaitannya dengan ide demokrasi

telah mengalami peristiwa penting yang menjadi pemicu diterapkannya gagasan

tersebut, yaitu Perang Sipil antara negara-negara di utara dan negara-negara di

selatan. Negara di belahan utara menginginkan dihapuskannya perbudakan

(2)

bersikeras mempertahankannya. Karena adanya perbedaan ini, negara-negara di

belahan selatan ingin memisahkan diri dari Negara Perserikatan. Perang

dimenangkan oleh negara belahan utara dan perbudakan dihapuskan. Presiden saat

itu adalah Abraham Lincoln yang sesuai dengan pidatonya menegaskan kembali

bahwa negara-negara di belahan utara dan selatan tetap masih dalam kesatuan

politis, yang pemerintahannya berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Pernyataan presiden tersebut bermakna penegasan tentang persamaan hak

manusia. Sebuah negara dengan pemerintahan yang setiap warga memiliki hak

untuk ikut di dalamnya dalam menentukan berbagai kebijakan-kebijakan yang

ditujukan kepada individu itu sendiri. Adanya nilai-nilai tersebut tidak terlepas

dari sejarah masyarakat Barat pada Abad Pertengahan yang mengalami

perkembangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya filsafat. Para filsuf Barat telah

mengemukakan berbagai pemikiran mereka tentang negara dan sistem

pemerintahan yang terbaik, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu,

dan Jean Jacques Rousseau. Kehadiran para filsuf tersebut beserta pemikirannya

berawal dari gerakan Renaissance.

Menurut catatan sejarah, Renaissance adalah suatu periode yang

berlangsung selama 25 sampai 50 tahun dan secara umum dapat dikatakan

berpusat pada sekitar tahun 1500. Era ini dapat digambarkan sebagai kebangkitan

jenius dari dunia seni, pemikiran, dan literatur yang menarik Eropa keluar dari

kegelapan intelektual di Masa Kegelapan. Renaissance bukan merupakan suatu

evolusi perluasan dari Masa Kegelapan yang terjadi secara alami, namun lebih

merupakan sebuah revolusi budaya; sebuah reaksi atas kekakuan pemikiran dan

tradisi di era sebelumnya.

Secara defenitif, kata “renaissance” bermakna kebangkitan atau kehidupan

kembali. Periode yang dikenal sebagai Renaissance dipandang sebagai suatu

penemuan kembali pencerahan yang terjadi pada masa keemasan peradaban

(3)

sementara di era ini dapat ditemukan banyak orang membaca literatur klasik dan

mempertimbangkan kembali pemikiran-pemikiran klasik, inti sesungguhnya dari

Renaissance melibatkan sejumlah besar inovasi dan penemuan. Banyak

universitas-universitas dibuka di seluruh Eropa, dan ada kebutuhan mendesak

untuk penyebarluasan gagasan.1

1

Megandaru W Kawuran. 2008. Kamus Politik Modern. Yogyakarta: Pura Pustaka. Hlm. 687.

Renaissance merupakan sejarah penting karena era ini dengan segera dan

menyeluruh telah berhasil mempengaruhi jalannya begitu banyak aspek sejarah

peradaban Barat. Dan saat ini, abad 21 telah dipengaruhi oleh peradaban Barat

baik dari ilmu pengetahuan dan teknologi ataupun dari nilai-nilai yang dianut oleh

kebanyakan masyarakat di dunia.

Pada awalnya penulis memahami bahwa kebangkitan masyarakat Barat

(Renaissance) adalah berkat tokoh-tokoh Barat pada abad 12-16 M.

Pemikir-pemikir Barat seperti Copernicus misalnya, dianggap sebagai pencetus

kebangkitan masyarakat Barat tanpa pengaruh peradaban lain. Sebutan Abad

Kegelapan sekitar abad ke 5-10 M di Eropa oleh para ahli sejarah dan ilmuwan

memiliki alasan, yaitu sedikitnya dokumentasi yang dapat memberitahukan

kepada masyarakat Abad 21 tentang keadaan abad tersebut. Bisa dikatakan pada

saat itu begitu kosongnya tradisi ilmiah sampai-sampai hanya segelintir manusia

yang mau menulis. Dan sekitar abad ke 6 M, sebuah peradaban baru muncul yang

berkembang begitu cepat dari daerah padang pasir yang tandus yang jauh dari

wilayah Eropa, yaitu di Hijaz Arab (sebutan untuk semenanjung Arabia). Hanya

dalam waktu kurang dari 25 tahun sesosok manusia, Muhammad bin Abdullah,

mampu membawa kehidupan barbar yang tidak mengenal budaya membaca dan

menulis menuju peradaban yang gemilang di Kota Madinah (sebuah kota yang

dilandasi oleh persamaan hak dan sistem musyawarah). Dalam kepercayaan

(4)

Setelah kematian NabiMuhammad SAW, banyak muslim (sebutan untuk

orang yang memegang ajaran Islam) yang hidup untuk mencari ilmu pengetahuan.

Al-Quran (kitab suci sebagai pedoman hidup bagi muslim) dan Sunnah (segala

perkataan dan perilaku yang dicontohkan oleh Muhammad sebagai pedoman

hidup bagi muslim) menjadi kajian utama.Dalam motivasi menyebarkan ajaran

Islam, melalui perdagangan sampai pada penaklukan peradaban-peradaban lain

yang berkuasa dengan kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya, mereka

mengembangkan ilmu-ilmu keduniaan dari peradaban lain. Terjadi interaksi

peradaban Islam dengan peradaban Persia, India, Cina dan Yunani melalui

Romawi (selanjutnya disebut dengan peradaban Barat).

Sebelum masa Renaissance di Eropa, ketika peradaban Barat masih berada

dalam otoritas Gereja, ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam di Timur Tengah

mengalami perkembangan yang cepat sebagai konsekuensi bagi muslim untuk

mempelajari ilmu pengetahuanberdasarkan wahyu pertama yang berisi perintah

untuk membaca dengan keimanan terhadap adanya Tuhan yang menciptakan

manusia dari segumpal darah dan membaca dengan mengangungkan Tuhan yang

mengajar manusia dengan perantara qolam (pena), yang mengajarkan kepada

manusia apa yang tidak diketahui. Ilmu pengetahuan dipelajari dari penerjemahan

manuskrip Yunani, India dan Cina ke dalam bahasa Arab di Baghdad pada abad

ke 8 M yang melahirkan para astronom, fisikawan, filsuf, ahli matematika, ahli

kimia. Pengetahuan ini kemudian dibawa ke Cordoba (Spanyol) hingga

mempengaruhi masyarakat Barat seperti Thomas Aquinas dan Nicolaus

Copernicus.2

Dalam konteks kelahiran dan perkembangan peradaban Barat itu, Roger

Garaudy menyebut tiga pilar peradaban Barat. Yaitu, peradaban Yunani-Romawi,

Judeo Kristiani, dan Islam.3

2

John Freely. 2011. Cahaya dari Timur: Peran Ilmuwan dan Sains Islam Dalam Membentuk Dunia Barat. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hlm. 328-343.

3

Roger Garaudy. 1984. Janji-Janji Islam terj. Prof. H.M. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 11.

(5)

memberikan dampak bagi masyarakat Barat dalam hal ilmu pengetahuanwalaupun

kebanyakan masyarakat Barat pada awalnyamengatakan bahwa pemikir-pemikir

Barat pada masa Renaissance tidak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Islam pada

abad Pertengahan. Barat selama ratusan tahun menyangkal kontribusi warisan

intelektual peradaban Islam ini. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul banyak

sarjana kritis Barat secara objektif memperlihatkan bahwa Islam ternyata berperan

penting menumbuhkan tradisi keilmuan dan peradaban Barat. Di antara mereka

adalah Roger Garaudy, Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard,

Bertrand Russel, Louis Masignon, dan lain-lain.4

1. Bagaimana pengaruh interaksi peradaban Islam dengan peradaban Barat dalam

Perang Salib terhadap perkembangan ide demokrasi?

Ide demokrasi sebagai gagasan yang berasal dari peradaban Barat yang

kemudian diadopsi oleh seluruh dunia, menjadikan penulis tertarik untuk melihat

bagaimana peradaban Islam mempengaruhi munculnya kembali ide

demokrasidalam peradaban Barat. Penulis melihat dari rentangan waktu, ada

interaksi peradaban Barat dengan peradaban Islam.Dalam hal ini, penulis

membahas interaksi kedua peradaban tersebut dalam Perang Salib karena menurut

penulis telah terjadi interaksi dalam perang tersebut yang kemudian menyebabkan

masyarakat Barat untuk mempertimbangkan kembali tentang otoritas Gereja di

Eropa melalui gerakan Renaissance.

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

4

(6)

C.Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana interaksi peradaban Islam denganperadaban Baratpada Abad

Pertengahan?

2. Bagaimana pengaruh interaksi tersebut terhadap perkembangan ide demokrasi?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat interaksi peradaban Islamdengan peradaban Baratpada Abad

Pertengahan.

2. Untuk melihat pengaruh interaksi tersebut terhadap perkembanganide

demokrasi.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini ditujukan kepada:

1. Ilmu Pengetahuan; tulisan ini diharapkan menjadi sumbangan dalam dunia

ilmu pengetahuan sebagai literatur yang dapat dipertanggungjawabkan

khususnya tentang studi ilmu politik yang berfokus ide demokrasi dalam

peradaban Barat.

2. Departemen Ilmu Politik yang merupakan bagian dari Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara, tulisan ini diharapkan menjadi

bahan yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar di lingkungan

(7)

3. Masyarakat, tulisan ini diharapkan menjadi literatur untuk menambah wawasan

bagi masyarakat yang berminat terhadap studi ilmu politik; agar menambah

wawasan dan informasi mengenai ide demokrasidalam peradaban Barat.

F. Kerangka Teori

1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial diartikan di sini sebagai suatu tindakan timbal balik antara

dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi. Suatu tindakan

timbal-balik, oleh karena itu, tidak mungkin terjadi apabila tidak dilakukan oleh dua

orang atau lebih. Kontak dipandang sebagai tahap permulaan untuk terjadinya

interaksisosial. Kontak merupakan kata serapan dari bahasa Latin, yaitu con atau

cum dan tango. Con diartikan sebagai bersama-sama, sedangkan tango bermakna

menyentuh. Dengan demikian, secara harfiah makna dari kontak adalah

bersama-sama menyentuh.

Interaksi sosial belum terjadi apabila hanya ada kontak tanpa diiringi

dengan komunikasi. Kata komunikasi yang diserap dari bahasa Inggris,

communication, berakar dari perkataan bahasa Latin, yaitu communico memiliki

makna sebagai membagi, communis berarti membuat kebersamaan, communicare

yang maknanya berunding atau bermusyawarah, atau communicatio yang

memiliki arti sebagai pemberitahuan, penyampaian atau pemberian.5

Interaksi sosial dapat dilakukan antar individu dengan individu, individu

dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.Berlangsungnya suatu proses

interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti,

identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri

secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.6

5

Ibid. Hlm. 1-4. 6

SoerjonoSoekanto. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Hlm. 63.

(8)

dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition) dan bahkan

dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).7

Pruitt dan Rubin juga mengemukakan ada tiga fungsi positif dari konflik.

Pertama, konflik sebagai persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial.

Masyarakat menganggap situasi yang dihadapinya tidak adil atau mengganggap

bahwa kebijakan yang berlaku tidak masuk akal biasanya mengalami

pertentangan dengan aturan yang berlaku sebelumnya. Dengan kata lain, jika

kebijakan baru yang dianggap oleh masyarakat tidak masuk akal tersebut

dibatalkan maka konflik dapat dihindari begitu juga dengan perubahan. Kedua,

konflik memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan.

Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu pihak dan

kekalahan di pihak lainnya. Sebaliknya, beberapa sintesis dari posisi kedua belah

pihak yang bertikai --- beberapa di antaranya berupa kesepakatan yang bersifat Ketiga bentuk interaksi tersebut, pertentangan atau konflik adalah bentuk

interaksi yang sesuai dengan penelitian ini, yakni Perang Salib sebagai konflik.

Menurut Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu

“perkelahian, peperangan, atau perjuangan” --- yaitu berupa konfrontasi fisik

antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan

masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan,

ide, dan lain-lain”. dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh

aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu

sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko

kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Sedangkan Pruit dan Rubin

mendefinisikan konflik dengan mengambil suatu makna terbatas berdasarkan

defenisi Webster yang kedua, yaitu konflik berarti persepsi mengenai perbedaan

kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa

aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.

7

(9)

integratif --- yang menguntungkan kedua belah pihak dan memberikan manfaat

kolektif yang lebih besar bagi para anggotanya sering kali terjadi. Ketiga, konflik

dapat mempererat persatuan kelompok. Tanpa adanya kapasitas perubahan sosial

atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yang berbeda, maka solidaritas

kelompok tampaknya akan merosot.8

Ketiga, tidak adanya alternatif yang dapat diterima semua pihak.

Memiliki aspirasi yang tinggi dan berkeyakinan bahwa pihak lain juga memiliki

aspirasi yang tinggi adalah aspek yang diperlukan bagi persepsi mengenai konflik Pada Bab 2 dalam bukunya, Pruitt dan Rubin menjelaskan

sumber-sumber (penyebab, penulis) konflik. Pertama, adanya determinan tingkat

aspirasi. Aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu

dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa

mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau

mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki objek tersebut. Pertimbangan

pertama bersifat realistis, sedangkan yang kedua bersifat idealistis.

Masing-masing pertimbangan dapat timbul melalui bermacam-macam cara, yaitu

berdasarkan prestasi masa lalu, persepsi mengenai kekuasaan, aturan dan norma,

pembandingan dengan orang lain, dan terbentuknya kelompok pejuang (struggle

group).

Kedua, adanya determinan persepsi tentang aspirasi pihak lain. Hanya

karena memiliki aspirasi yang tinggi semata-mata tidak cukup dapat

menyebabkan orang terlibat di dalam konflik. Suatu pihak pun harus percaya

bahwa pihak lain juga memiliki aspirasi yang tinggi, sehingga tidak

memungkinkan kedua belah pihak mencapai aspirasi masing-masing. Bila aspirasi

pihak lain rendah atau bersifat fleksibel, maka aspirasi tersebut tidak dianggap

sebagai ancaman bagi pihak yang bersangkutan, sehingga tidak akan terjadi

konflik.

8

(10)

kepentingan, tetapi itu saja tidak cukup. Suatu pihak juga harus memiliki persepsi

bahwa aspirasi kedua belah pihak tidak kompatibel satu sama lain. Ini adalah

masalah persepsi mengenai alternatif --- yang dapat digunakan untuk mencapai

sebuah keadaan yang dapat diterima semua pihak.9

2. Hakikat Peradaban

Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang

mensinonimkan dua kata kebudayaan (Arab, al-Tsaqafah; Inggris, culture) dan

peradaban (Arab, al-Hadharah; Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu

antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk

ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan,

manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban.

Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama),

dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.

Menurut Koenjtaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga

wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud

kelakukan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud

kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan, istilah peradaban

biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang

halus dan indah. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut

suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa,

sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.10

Penjelasan lebih luas mengenai konsep peradaban, penulis mengacu pada

tulisan Samuel P. Huntington dalam bukunya “Benturan Antarperadaban dan

9

Ibid. Hlm. 21-39. 10

(11)

Masa Depan Politik Dunia”, dia menjelaskan bahwa konsep peradaban dapat

dipahami sebagai berikut.

Pertama, sebuah pembedaan dapat ditemukan di antara pelbagai

peradaban, baik singular (tunggal, penulis) maupun plural (banyak, penulis). Ide

tentang peradaban dikembangkan oleh pemikir Perancis abad XVIII, yang

memperlawankannya dengan konsep “barbarisme.” Masyarakat yang telah

berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif karena mereka adalah

masyarakat urban, hidup menetap, dan terpelajar. Berperadaban adalah baik, tidak

berperadaban adalah buruk. Konsep peradaban menyajikan sebuah ‘tolok ukur’

yang dapat dijadikan acuan dalam memberikan penilaian terhadap pelbagai

(dinamika kehidupan) masyarakat, yang selama abad XIX, orang-orang Eropa

banyak melakukannya melalui upaya-upaya intelektual, diplomatis, dan politis

dalam mengelaborasi kriteria yang diterapkan pada masyarakat-masyarakat

non-Eropa yang dapat mereka anggap sebagai “masyarakat yang telah berperadaban”

dan mereka terima sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tatanan

masyarakat Eropa. Pada saat yang bersamaan, orang-orang mulai berbicara

tentang peradaban dalam konteks plural. Hal ini berarti adanya “penolakan

terhadap suatu peradaban yang dirumuskan sebagai sebuah pandangan hidup, atau

sesuatu yang lebih dari itu” dan sebuah asumsi yang menyatakan bahwa terdapat

tolok ukur tunggal bagi apa yang disebut sebagai ‘berperadaban,’ “tersaring,”

dalam kata-kata Braudel, “untuk sebuah privilege (hak istimewa, penulis) dari

sekelompok orang atau ‘elite’ tertentu.” Sekalipun terdapat pelbagai bentuk

peradaban singular, namun “ia telah kehilangan sebagai identitasnya,” dan sebuah

peradaban dalam pengertian plural dapat saja disebut sebagai “tidak cukup

berperadaban´dalam konteks singular.

Kedua, sebuah peradaban, kecuali di Jerman, adalah sebuah entitas

kultural. Para pemikir Jerman abad XIX membedakan secara tajam antara

masing-masing peradaban dikarenakan pelbagai faktor, seperti faktor-faktor mekanis,

(12)

pandangan hidup, kualitas-kualitas intelektual dan moral yang lebih tinggi dari

suatu masyarakat. Pembedaan ini hanya dapat dijumpai di Jerman, tetapi tidak di

luar Jerman. Beberapa antropolog bahkan telah menarik ke belakang hubungan

antar-kebudayaan dan menyatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan

masyarakat-masyarakat nonurban yang dicirikan sebagai primitf, tidak berubah, sedangkan

masyarakat-masyarakat urban yang telah berperadaban, berkembang dinamis dan

lebih kompleks. Upaya-upaya ini dimaksudkan untuk membedakan antara

kebudayaan dengan peradaban, yang bagaimanapun juga, tidak dapat ditemukan

baik di Jerman ataupun di luar Jerman. Dalam hal ini, sejalan dengan pendapat

Braudel bahwa “tidak mungkin, dalam konteks Jerman, untuk meisahkan

kebudayaan dari bangunan dasarnya, peradaban.”

Seluruh faktor objektif yang merumuskan pelbagai corak peradaban,

bagaimana-pun juga, yang terpenting, pada umunya, adalah faktor agama,

sebagaimana ditekankan oleh orang-orang Athena. Pada tataran yang luas, dalam

sejarah manusia, peradaban-peradaban besar umumnya identik dengan

agama-gama besar dunia; dan orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa

namun berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain, sebagaimana

yang terjadi di Lebanon, Yugoslavia, dan Anak Benua (Subcontinent).

Sebuah hubungan penting yang ada dalam kaitan dengan pembagian

masyarakat dan karakteristik budaya ke dalam pelbagai corak perdaban dan

pembagian mereka melalui karakteristik fisikal ke dalam pelbagai suku bangsa.

Sekalipun demikian, peradaban dan suku bangsa (ras) tidak identik. Orang-orang

yang memiliki kesamaan ras dapat benar-benar terpisahkan melalui peradaban;

orang-orang yang memiliki perbedaan ras dapat dipersatukan melalui peradaban.

Utamanya, melalui dua agama besar, Kristen dan Islam yang mampu menaungi

kelompok-kelompok masyarakat yang berasal dari pelbagai suku bangsa.

Pembedaan krusial antara pelbagai golongan manusia berkaitan dengan nilai-nilai,

keyakinan-keyakinan, institusi-institusi, dan struktur-struktur sosial mereka,

(13)

Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat komprehensif yang tidak satu pun

dari konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya terpahami tanpa mengacu pada

cakupan (wilayah) peradaban. Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya.

Perkampungan-perkampungan, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis,

nasionalitas-nasionalitas, pelbagai kelompok keagamaan, seluruhnya memiliki

perbedaan kultur pada tingkatan yang berbeda dari heterogenitas kultural. Kultur

dari sebuah perkampunagn di selatan Italia barangkali berbeda dari kultur dari

sebuah perkampungan di utara Italia. Namun, secara umum, keduanya sama-sama

memiliki kultur Italia yang membedakan mereka dari (kultur)

perkampungan-perkampungan Jerman. Komunitas-komunitas Eropa, sebaliknya, akan memiliki

pelbagai budaya yang sama yang membedakan mereka dari komunitas-komunitas

Cina dan Hindu. Orang-orang Cina, Hindu, dan orang-orang Barat, bagaimanapun

juga, bukanlah bagian dari pelbagai entitas kultural yang lebih luas. Mereka

menegakkan peradaban-peradaban. Sebuah peradaban adalah bentuk budaya

paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran yang paling luas dari

identitas budaya kelompok masyarakat manusia yang dibedakan secara nyata dari

makhluk-makhluk lainnya. Ia terdefinisikan baik dalam faktor-faktor objektif

pada umumnya, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan-kebiasaan,

institusi-institusi, maupun identifikasi diri yang bersifat subjektif. Setiap masyarakat

memiliki pelbagai tingkatan identitas: seorang penduduk Roma barangkali akan

mengidentifikasikan diri sebagai orang Roma, orang Italia, seorang Katolik,

seorang Kristen, sebagai orang Eropa, orang Barat. Peradaban memiliki tingkatan

identifikasi yang sangat luas yang dengannya seseorang mengidentifikasikan diri

secara kuat. Peradaban-peradaban besar dimana “kita” berada di dalamnya, secara

kultural menjadikan kita bagai di rumah sendiri dan dibedakan dari “mereka”

yang berada di “luar sana.” Peradaban-peradaban bisa jadi melibatkan pelbagai

kelompok masyarakat dalam jumlah yang besar, seperti peradaban Cina, atau

(14)

Keempat, peradaban-peradaban bersifat fana namun juga hidup sangat

lama; ia berkembang, beradaptasi dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan

manusia, “realitas-realitas yang benar-benar dapat bertahan dalam waktu lama.”

“Keunikan dan esensi utama”-nya adalah kontinuitas historisnya yang panjang.

Peradaban adalah fakta kesejarahan yang membentang dalam kurun waktu yang

sangat panjang.” Kekuasan-kekuasaan berkembang dan jatuh,

pemerintahan-pemerintahan datang dan pergi, peradaban-peradaban tetap ada dan”menopang

kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan bahkan ideologi”.

Kelima, karena peradaban-peradaban merupakan entitas-entitas kultural,

bukan entitas-entitas politis, sehingga tidak berpegang pada tatanan, penegakan

keadilan, kesejahteraan bersama, upaya-upaya perdamaian, mengadakan pelbagai

negosiasi, atau menetapkan “kebijakan-kebijakan” yang biasa dilakukan oleh

sebuah pemerintahan. Komposisi politis peradaban yang begitu bervariasi

menyajikan pembedan-pembedaan di dalam peradaban itu sendiri. Suatu

peradaban bisa saja mencakup satu atau beberapa kesatuan politis.

Kesatuan-kesatuan tersebut dapat berupa negara-kota, kekaisaran-kekaisaran,

federasi-federasi, konfederasi-konfederasi-federasi, atau negara-bangsa. Semua itu merupakan

bentuk pemerintahan.11

3. Hubungan Renaissance dan Ide Demokrasi

Sejarah tentang paham demokrasi itu menarik; sedangkan sejarah tentang

demokrasi itu sendiri menurut Held membingungkan. Ada dua fakta historis yang

penting. Pertama, hampir semua orang pada masa ini mengaku sebagai demokrat.

Beragam jenis rezim politik di seluruh dunia mendeskripsikan dirinya sebagai

demokrat. Namun demikian, apa yang dikatakan dan diperbuat oleh rezim yang

satu dengan yang lain sering berbeda secara substansial. Demokrasi kelihatannya

melegitimasi kehidupan politik modern: penyusunan dan penegakan hukum

11

(15)

dipandang adil dan benar jika ‘demokratis’. Pada kenyataannya tidak selalu

demikian. Dari zaman Yunani kuno hingga sekarang mayoritas teoritikus di

bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi.

Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi

baru-baru ini saja.

Kedua, sementara banyak negara pada saat ini menganut paham

demokrasi, sejarah lembaga politiknya mengungkap adanya kerapuhan dan

kerawanan tatanan demokrasi. Sejarah Eropa pada abad ke-20 sendiri

menggambarkan dengan jelas bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan

yang sangat sulit untuk diwujudkan dan dijaga: Fasisme, Nazisme, dan Stalinisme

hampir saja menghancurkannya. Demokrasi telah berkembang melalui

perlawanan sosial yang intensif. Demokrasi juga sering dikorbankan dalam

perlawanan serupa.

Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik di dalam sistem

politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan

preformasi politik di berbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini:

demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan

studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal

1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satu pun tanggapan menolak “demokrasi”

sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi

politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana

Barat dan Timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi

studi-studi tentang demokrasi.

Permasalahan yang belum sampai pada titik temu di sekitar perdebatan

tentang demokrasi itu adalah bagaimana mengimplementasikan demokrasi itu di

dalam praktik. Berbagai negara telah menentukan jalurnya sendiri-sendiri yang

tidak sedikit di antaranya justru mempraktikkan cara-cara atau mengambil jalur

(16)

sebagai asasnya yang fundamental. Oleh sebab itu, studi-studi tentang politik

sampai pada identifikasi bahwa fenomena demokrasi itu dapat dibedakan atas

demokrasi normatif dan demokrasi empirik. Demokrasi normatif menyangkut

rangkuman gagasan-gagasan atau idealita tentang demokrasi yang terletak di

dalam alam filsafat, sedangkan demokrasi empirik adalah pelaksanaannya di

lapangan yang tidak selalu paralel dengan gagasan normatifnya. Ada yang

menyebut istilah lain untuk demokrasi normatif dan empirik ini, yakni demokrasi

sebagai “essence” dan demokrasi sebagai “preformence”. Dalam ilmu hukum

istilah yang sering dipakai adalah demokrasi “dassollen” dan demokrasi

dassein”. Karena sering terjadinya persilangan antara demokrasi normatif dan

demokrasi empirik itulah, maka diskusi-diskusi tentang pelaksanaan demokrasi

menjadi objek yang senantiasa menarik.

Pada permulaan pertumbuhan demokrasi telah mencakup beberapa asas

dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa lampau, yaitu gagasan mengenai

demokrasi dari kebudayaan Yunani Klasik dan gagasan mengenai kebebasan

beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang

menyusulnya.

Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani Klasik

abad ke-6 sampai abad ke-3 SM merupakan demokrasi langsung (direct

democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat

keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga

negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari

demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam

kondisi sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah

sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk dalam satu

negara-kota). Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara

yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk

(17)

berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung tetapi

bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).

Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat

waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani,

dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki Abad

Pertengahan (600-1400). Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur

sosial yang feodal; yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus

dan pejabat-pejabat agama lainnya; yang kehidupan politiknya ditandai oleh

perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut

perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang

penting, yaitu Magna Charta Piagam Besar 1215.

Sebelum Abad Pertengahan berakhir di Eropa pada permulaan abad ke-16

muncul banyak negara-bangsa (nation-state) dalam bentuk yang modern, maka

masyarakat Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang

mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal

dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah

Renaissance (1350-1650) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti

Itali, dan ReformasiGereja(1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di

Eropa Utara, seperti Jerman, Swiss, dan sebagainya.

Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada

kesusasteraan dan kebudayaan Yunani Klasik yang selama Abad Pertengahan

telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata

diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah masalah-masalah

keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru.

Reformasi serta perang-perang agama yang menyusul akhirnya menyebabkan

manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual

dalam bentuk dogma, maupun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan

(18)

garis pemisah yang tegas antara permasalahan agama dan permasalahan

keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan. Ini dinamakan “pemisahan

antara Gereja dan Negara”.

Kedua aliran pikiran yang tersebut di atas mempersiapkan orang Eropa

Barat memasuki masa “Aufklarung” (Abad Pemikiran) beserta

Rasionalismesekitar tahun 1650-1800, suatu aliran pikiran yang ingin

memerdekakan pemikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja

dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) semata-mata. Kebebasan berpikir

membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang politik. Timbulah gagasan

bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh

raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang

menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas.

Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori

rasionalitas yang umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial).12

4. Pandangan Pemikir Islam tentang Negara

1. Al-Mawardi

Menurut Al-Mawardi, perbedaan bakat, pembawaan, dan kemampuan

antara manusialah yang mendorong bagi mereka untuk saling membantu.

Kelemahan manusia, yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua

kebutuhannya sendiri, dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat,

pembawaan, kecenderungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong

manusia untuk bersatu dan saling membantu, dan akhirnya sepakat untuk

mendirikan negara.

Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Al-Mawardi

ialah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al’Ikhtiar dan imam atau

kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial

12

(19)

atau perjanjian masyarakat atas dasar sukarela, suatu kontrak atau persetujuan

yang melahirkan kewajiban dan hakbagi kedua belah pihak atas dasar timbal

balik. Oleh karena itu, imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk

menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai

kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan

perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan

penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi mengemukakan teori kontraknya itu

pada abad XI, sedangkan di Eropa teori kontrak sosial baru muncul untuk pertama

kalinya pada abad XVI.13

Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan

suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang

dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara para

anggota masyarakat. Tokoh yang mempunyai kekuasaan dan wibawa yang

2. Ibnu Khaldun

Adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup

manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk atau keadaan yang hanya

mungkin hidup dan bertahan dengan bantuan makanan. Sementara itu,

kemampuan manusia (orang) tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhannya akan

makanan.

Manusia supaya hidup perlu makan dan untuk aman harus dapat membela

diri terhadap serangan dari makhluk-makhluk hidup lain. Dua hal tersebut tidak

dapat dilakukan seorang diri, maka diperlukan adanya kerjasama antar sesama

manusia, dan itulah sebabnya mengapa organisasi kemasyarakatan merupakan

suatu keharusan bagi hidup manusia.

13

(20)

memungkinkannya bertindak sebagai penengah, pemisah, dan sekaligus hakim itu

adalah raja atau kepala negara.14

5. Pandangan Pemikir Barat tentang Negara

Teori-teori tentang asal-usul negara dapat dimasukkan ke dalam dua

golongan besar, yakni pertama teori-teori yang spekulatif; dan kedua teori-teori

yang historis atau teori-teori yang evolusionis. Adapun teori-teori yang masuk

kategori teori-teori spekulatif adalah teori perjanjian masyarakat, teori teokratis,

teori kekuatan.

1. Teori Perjanjian Masyarakat

Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial menganggap

perjanjian sebagai dasar negara dan masyarakat. Teori ini dipandang tertua dan

tepenting. Setiap perenungan mengenai negara dan masyarakat, mau tidak mau

akan menghasilkan paham-paham yang mendasarkan adanya negara dan

masyarakat itu pada persetujuan anggota-anggotanya. Persetujuan-persetujuan itu

dapat dinyatakan secara tegas (expressed) atau dianggap telah diberikan secara

diam-diam (tacitly assumed).

Teori perjanjian masyarakat terbukti dapat mempengaruhi pemikiran

politik di benua Eropa sejak Abad Pertengahan sampai ke masa Renaissance dan

terus sampai abad ke-18. Beberapa sarjana yang menganut teori perjanjian

masyarakatantara lain: Richard Hooker, Hugo de Groot (Grotius), Benedictus de

Spinoza, Samuel Pufendorf, Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques

Rousseau, dan Immanuel Kant. Tetapi penulis yang paling berpengaruh mengenai

perjanjian masyarakat ialah Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ. Rousseau.

Teori-teori pejanjian masyarakat didasarkan atas paham, bahwa kehidupan

manusia dipisahkan dalam dua zaman, yakni zaman sebelum manusia bernegara

14

(21)

dan zaman sesudah manusia memasuki hidup bernegara atau zaman yang disebut

Melamed sebagai Staatlosen Zustand dan Staatzustand.

Peralihan dari zaman pra-negara ke zaman bernegara terlaksana dengan

perjanjian yang dibuat dengan sengaja atau tidak dengan sengaja oleh semua

manusia yang pada suatu waktu tertentu bersama-sama mendiami suatu wilayah.

Keadaaan tak bernegara disebut keadaan alamiah (state of nature, status

naturalis), di mana individu hidup tanpa organisasi dan pimpinan, dengan kata

lain tanpa hukumyang mengatur hidup mereka.

Dalam kepustakaan ilmu politik dikenal dan dibedakan dua macam

perjanjian masyarakat, yakni yang disebut perjanjian masyarakat sebenarnya dan

perjanjian pemerintahan. Dengan perjanjian masyarakat yang sebenarnya dibentuk

suatu badan kolektif bersama yang akan menampung individu-individu yang

bersama-sama mengadakan perjanjian itu. Dengan perjanjian masyarakat yang

sebenarnya terbentuklah sociatas atau masyarakat manusia. Perjanjian ini secara

teknis disebut pactum unionis atau pacte d’association (istilah Otto von Gierke),

atau social contract proper dalam bahasa Inggris.

Bersamaan atau kemudian daripada pembentukan masyarakat atau

societas itu diadakan pula perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang

yang diberikan kekuasaan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dihormati dan

ditaati oleh kedua belah pihak, yakni rakyat dan orang atau kelompok orang itu.

Orang atau badan yang dibentuk itu diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan

atas nama rakyat. Perjanjian ini melahirkan pemerintah atau negara. Perjanjian

pemerintahan ini secara teknis disebut pactum subjectionis atau pacte de

government (istilah Rousseau) atau contract of government.15

15

(22)

2. Teori Ketuhanan

Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam

tulisan-tulisan sarjana-sarjana Eropa pada Abad Pertengahan yang menggunakan

teori ini untuk membenarkan kekuasaan raja-raja yang mutlak.Doktrin ketuhanan

lahir sebagai resultante-resultante kontroversial dari kekuasaan politik dalammasa

Abad Pertengahan. Kaum monarchomach, yaitu mereka yang berpendapat bahwa

raja yang berkuasa secara tiranik dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat

dibunuh, menganggap sumber kekuasaan adalah rakyat, sedangkan raja-raja pada

waktu itu menganggap sumber kekuasaan mereka diperoleh dari Tuhan. Negara

dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Raja

dan pemimpin-pemimpin negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak

kepada siapa pun.

Teori ketuhanan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori ketuhanan

yang langsung dan teori ketuhanan tidak langsung. Pengertian teori ketuhanan

yang langsung adalah untuk menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam negara itu

langsung berasal dariTuhan. Dan adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak

Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan.

Adapun yang dimaksud dengan teori ketuhanan yang tidak langsung ialah

manakala bukan Tuhan sendiri yang memerintah melainkan raja atas nama Tuhan.

Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia. Dengan doktrin tersebut

diusahakan agar kekuasaan raja mendapatkan sifatnya yang suci (dalam arti

“Ketuhanan”), sehingga pelanggaran terhadap kekuasaan raja merupakan

pelanggaran terhadap Tuhan.16

Dalam teori kekuatan negara yang pertama adalah hasil dominasi dari

kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara terbentuk dari

3. Teori Kekuatan

16

(23)

penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari suatu

kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah dimulailah

proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante positif dari sengketa

dan penaklukan. Dalam teori kekuatan, faktor kekuatanlah yang dianggap sebagai

faktor tunggal dan terutama yang menimbulkan negara. Negara dilahirkan karena

pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pendiri negara

itu.

Menurut Hobbes, syarat penting untuk menjadi seorang raja adalah orang

yang fisiknya kuat melebihi yang lainnya agar dapat mengatasi segala kekacauan

yang timbul dalam masyarakat. Demikian pula pendapat Machiavelli, bahwa

seorang raja harus kuat dan caranya untuk mengatasi segala kekacauan yang

dihadapi negara, ia dapat mempergunakan segala alat yang menguntungkan

baginya. Kalau perlu alat yang dipergunakan boleh melanggar perikemanusiaan.

Menurut teori kekuataan ekonomi sebagaimana yang dinyatakan oleh

Marx, yang menganggap bahwa negara itu merupakan alat kekuasaan bagi

segolongan manusia di dalam masyarakat untuk menindas golongan lainnya guna

mencapai tujuannya. Marx mengaggap ada pertentangan kelas di dalam

masyarakat karena adanya perbedaan kekuatan ekonomi, yakni kaum yang

ekonominya kuat dan kaum yang ekonominya lemah. Pertentangan antara dua

kelas itu ditujukan untuk merebut kekuasaan negara sebab negara adalah alat

kekuasaan.17

6. Doktrin Ide Demokrasi Modern

1. John Locke (1632-1704)

Menurut Locke, keadaan bebas merdeka (state of liberty) bukanlah

keadaanbebas sekehendaknya (not a state of license). Manusia tidak berkebebasan

untuk menghancurkan dirinya atau makhluk lain karena keadaan alam kodrat

17

(24)

mempunyai hukum alam yang mengatur, yang tak lain ialah rasio. Locke lantas

percaya bahwa rasio mengajarkan pada semua manusia agar tidak mengganggu

sesamanya atas rights of life, libertyandproperty (yaitu hak-hak asasi yang

meliputi kehidupan, kemerdekaan, hak milik). Rasio yang tidak membolehkan

manusia untuk mengganggu sesamanya itu disimpulkan dari keyakinan Kristen

bahwa semua manusia adalah milik Tuhan. Atas pemikirannya ini, Locke

dipandang sebagai bapak Hak-Hak Asasi.

Menurut Locke, masyarakat pertama adalah antara suami dan istri, yang

merupakan awal masyarakat antara orang tua dan anak-anak, selanjutnya

masyarakat antara tuan dan hamba. Namun demikian, semuanya itu masih belum

membentuk masyarakat politis. Masyarakat politis atau sipil barulah terbentuk

manakala setiap orang dengan berkesepakatan dengan orang-orang lain

ditundukkan pada kekuasaan politis atas persetujuan mereka sendiri, dan melalui

persetujuan itulah dibentuk sebuah masyarakat agar terpelihara kehidupan yang

tenteram dan damai serta dapat menikmati rights of life, liberty and property. Atas

pemikiran di muka, Locke dipandang sebagai eksponen teori masyarakat sipil.

Pada teori itu sudah tersimpul social contract (kontrak sosial, perjanjian

masyarakat), yaitu manusia-manusia dalam persekutuan setuju menyerahkan

natural rights (hak-hak alamiah) kepada masyarakat. Namun menurut Locke, sifat

penyerahan adalah tidak sepenuhnya. Kemudian, masyarakat (one body politic)

yang dibentuk oleh persekutuan itu membentuk pemerintah (one government),

yang tugas utamanya adalah menjaga hak milik dan melindungi hak kebebasan

warga. Atas pemikiran ini, Locke dipandang sebagai eksponen “teori jaga malam

oleh pemerintah”.

Locke meyakini bahwa perjanjian yang berlangsung itu adalah pactum

union (perjanjian penyatuan) dari orang-orang yang bebas, sederajat dan

bergabung dalam persekutuan. Pada perjanjian ini, hak dan status kebebasan

(25)

masyarakat membentuk pemerintah dan menyerahkan kekuasaan kepada

pemerintah, orang-orang masih mempunyai hak-hak dan status kebebasan.

Betapapun juga, pemerintah memegang kekuasaan politik yang terbatas, yaitu

dibatasi konstitusi.

Locke yakin bahwa melalui konstitusi dan pembatasan kekuasaan,

Leviathan yang perkasa pun tak akan hidup lama. Adanya penyerahan kekuasaan

dari masyarakat kepada pemerintah menunjukkan sifat tidak langsung dan asas

konstitusional dari perjanjian masyarakat. Sebagai konsekuensinya, apabila

pemerintah yang diserahi kekuasaan itu adalah seorang monarch atau raja maka

ada monarki konstitusional. Namun bila pemerintah itu tak lain adalah mayoritas

itu sendiri, maka ada demokrasi konstitusional. Jelaslah bahwa doktrin Locke

mengenai perjanjaian masyarakat merupakan jalinan dari doktrin-doktrin

liberalisme, konstitusionalisme, dan pembatasan kekuasaan. Sistem doktrin itulah

yang hingga kini masih diyakini kebenarannya untuk diimplementasikandan

bahkan ditransplantasikan ke berbagai negara di dunia, tentu saja dengan berbagai

variasi serta modifikasinya.

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa alih-alih menggunakan istilah

state untuk menyebut negara, Locke baru mengenal istilah commonwealth atau

persemakmuran yang merupakan padanan kata Latin, civitas. Menurut dia,

Commonwealth adalah suatu independent community, sedangkan bentuknya

ditentukan menurut kriteria kekuasaan tertinggi untuk membuat undang-undang,

sehingga dapat diperoleh bentuk-bentuk sebagai berikut:

1. Demokrasi sepenuhnya (prefectdemocracy) yaitu apabila kekuasaan

mayoritas atau masyarakat dapat menggunakan kekuasaan itu dalam

membuat undang-undang dan dalam melaksanakan undang-undang

(26)

2. Oligarki (oligarchy), yaitu apabila mayoritas itu dapat meletakkan

kekuasaan membentuk undang-undang di tangan beberapa orang yang

terpilih dan pewaris-pewaris mereka atau pengganti-pengganti mereka.

3. Monarki (monarchy), yaitu apabila kekuasaan membentuk

undang-undang di tangan satu orang.

4. Monarki turun-temurun (hereditarymonarchy), yaitu apabila

kekuasaan membentuk undang-undang di tangan satu orang dan

pewaris-pewarisnya.

5. Monarki elektif (electivemonarchy), yaitu apabila kekuasaan

membentuk undang-undang di tangan satu orang, tetapi pada saat

kematiannya, kekuasaan untuk menunjuk pengganti kembali kepada

mayoritas.

Bagi Locke, tujuan besar pembentukan masyarakat adalah menikmati

properties dan sarananya adalah undang-undang. Badan legislatif diunggulkannya

sebagai kekuasaan tertinggi, keramat dan tak dapat diubah. Itulah sebabnya Locke

hampir senantiasa menentang hak pengadilan untuk memutuskan bahwa tindakan

legislatif itu tidak konstitusional (Michael H. Hart, 2003: 256). Tak

mengherankan kalau dia yakin bahwa penetapan kekuasaan legislatif adalah

pelestarian masyarakat dalam suatu commonwealth.

Locke kemudian menunjukkan adanya tiga kekuasaan commonwealth,

yaitu;

1. Kekuasaan legislatif (legislative power), yaitu kekuasaan untuk

membuat undang-undang. Inilah kekuasaan tertinggi dan dipisahkan

dari kekuasaan eksekutif.

2. Kekuasaan eksekutif (executive power), yaitu kekuasaan yang harus

(27)

telah dibuat dan tetap berlaku. Bagi Locke, hak pengadilan adalah

bagian dari kekuasaan eksekutif.

3. Kekuasaan federatif (federative power), yaitu kekuasaan untuk

berperang dan berdamai, mengadakan liga dan perserikatan, serta

melakukan transaksi dengan orang atau masyarakat di luar

commonwealth. Kekuasaan ini berbeda dari kekuasaan eksekutif,

namun keduanya tidak dapat dipisahkan.

Doktrin Locke berpengaruh besar pada rakyat Inggris, sarjana-sarjana

Perancis dan Amerika Serikat. Para perantau Inggris yang berangkat ke benua

Amerika dengan menumpang kapal Mayflower telah mempraktikkan ajaran Locke

dengan serta merta. Di Perancis, Rousseau mengembangkan doktrin ajaran

contarct social meskipun pada alur yang bebeda, yaitu menopang demokrasi dan

kebebasan absolut tetapi tidak menganjurkan revolusi; sedangkan Montesquieu

memerlukan diri datang ke Inggris untuk meninjau monarki konstitusional dan

sekembalinya ke Perancis mengembangkan teori kekuasaan yang memisahkan

kekuasaan yudisial dari kekuasaan eksekutif. Di Amerika Serikat, Jonathan

Mayhew (1720-1766) dan John Adams (1798-1801) melancarkan doktrin no

taxation without representation (tiada pajak tanpa perwakilan) pada tahun 1765;

sedangkanthe Founding Fathers of United States memasukkan gagasan-gagasan

penting seperti all men created free and equal dan unalienable rights dalam

Declaration of Independence (1776).18

Bagi Montesquieu, negara dan hukum tumbuh melalui proses sosial yang

menyejarah. Negara ialah hasil perkembangan masyarakat. Maka, masyarakatlah

yang primer, bukan negara. Hukum (undang-undang) negara merupakan

penjelmaan saja dari hukum (kebiasaan) masyarakat yang sudah berlangsung

2. Charles de Montesquieu (1689-1755)

18

(28)

lebih lama. Maka, hukum masyarakat itulah yang primer, bukan undang-undang.

Jelaslah bahwa paham hukum Montesquieu amat maju untuk ukuran zamannya,

yaitu yuridis historis-sosiologis.

De L’Esprit des Lois merupakan karya terbesar Montesquieu yang berisi

ajaran mengenai sistem pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip yang

dikandungnya dan ajaran pemisahan kekuasaan-kekuasaan negara. Menurutnya,

sistem pemerintahan dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu:

1. Pemerintahan monarkis, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh satu

orang berdasarkan asal-usul keturunan (misalnya raja, kaisar, ratu)

dengan berlandaskan undang-undang sebagai pedoman menjalankan

pemerintahan. Satu orang pemimpin negara berkuasa berdasarkan

prinsip honneur atau kehormatan. Dalam perkembangan suatu negara,

dapat terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab satu orang

kepada orang-orang tertentu berdasarkan prinsip tadi, sehingga mereka

itu memperoleh hak-hak istimewa untuk menjalankan misi negara

dengan baik dan seimbang. Maka, pemerintahan monarkis ini

kadang-kadang dikenali sebagai pemerintahan aristokratik, yaitu pemerintahan

yang dipegang oleh sekelompok orang yang berasal dari golongan

aristokrasi dengan berlandaskan undang-undang sebagai pedoman

menjalankan pemerintahan.

2. Pemerintahan despotis, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh

seorang raja tanpa berlandaskan undang-undang atau aturan tertulis

yang berkepastian. Hukum yang berlaku disesuaikan dengan kehendak

pribadi sang raja dan cenderung represif. Pemimpin negara yang

berkuasa berdasarkan prinsip ketakutan. Pemerintahan kediktatoran ini

mengkonsepkan para bawahan tanpa kecuali berada dalam suasana

pengabdian pada raja, sedangkan rakyat diperlakukan sebagai

(29)

3. Pemerintahan republik, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh rakyat

untuk menjamin terwujudnya kebijakan yang berpihak pada publik dan

berlakunya hukum undang-undang atas diri rakyat sendiri.

Pemimpin-pemimpin negara merupakan pilihan rakyat berdasarkan prinsip

kebajikan. Maka, pemimpin-pemimpin itu mengakui kebebasan politik

rakyat dan tunduk pada konstitusi. Apabila rakyat tidak mampu

mematuhi hukum undang-undang yang pada dasarnya penjelmaan

kebiasaan rakyat itu sendiri, maka lambat laun negara mengalami

kemunduran dan kehancuran.

Montesquieu mengagumi Inggris yang menurut pengamatannya selama 18

bulan di sekitar tahun 1732 merupakan monarki konstitusional dan dapat dicontoh

sebagai model pemerintahan terbaik. Inggris memang menyatakan diri sebagai

monarki konstitusional sesudah bangkitnya GloriusRevolution (1688-1689).

Monarki konstitusional merupakan bentuk campuran pemerintahan monarki dan

pemerintahanrepublik. Monarki konstitusional yaitu kerajaan

yangpemerintahannya dipegang oleh seorang raja yang tidak mampu bertindak

sewenang-wenang karena terdapat konstitusi yang mengatur serta membatasi

kekuasaan politik raja, dan pemerintahan itu mengakui serta menghormati

hak-hak kebebasan politik rakyat. Jelaslah bahwa paham politik Montesquieu ialah

liberalisme.

Montesquieu lantas menganjurkan Perancis untuk membina kestabilan

politik melalui golongan-golongan agama, aristokrat dan parlemen untuk

menjalankan fungsi-fungsinya yang tertentu dan berbeda-beda. Tujuan utama

golongan-golongan itu ialah mewujudkan keseimbangan antara wewenang raja

dan kebebasan rakyat. Wewenang raja meliputi hak-hak istimewa itu jangan

sampai menjadi arbitrer, sedangkan kebebasan rakyat jangan sampai menjadi

(30)

Jalan untuk mewujudkan gagasan itu adalah separation de pouvoir atau

pemisahan kekuasaan berupa kuasa eksekutif, legislatif, dan yudisial. Pemisahan

kekuasaan itu pada gilirannya diistilahi oleh Immanuel Kant sebagai trias politica

atau tiga kuasa politik dalam karyanya, Rechtslehre (Science of Right,

Jurrisscientia).

Berdasarkan separation de pouvoir itu, kekuasaan negara harus dipisahkan

menjadi tiga, yaitu:

1. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan yang meliputi kegiatan

melaksanakan undang-undang, menjaga keamanan negara, serta

menetapkan keadaan damai dan perang. Kekuasaan ini sebaiknya

merupakan urusan raja karena mampu bertindak lebih baik daripada

beberapa orang.

2. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan membentuk, memperbaiki, serta

mengamandemen undang-undang. Kekuasaan ini sebaiknya

merupakan urusan parlemen atau dewan perwakilan rakyat karena

rakyat melalui wakilnya dapat menjadi penentu atas hukum

undang-undang yang pada gilirannya digunakan sebagai sarana untuk

mengatur rakyat itu sendiri.

3. Kekuasaan yudisial, yaitu kekuasaan yang menerapkan serta

mempertahankan undnag-undang, dan mengadili

pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang. Kekuasaan ini

sebaiknya bukan merupakan urusan raja dan parlemen, melainkan

badan tersendiri dan terpisah yang beranggotakan hakim-hakim.

Montesquieu meyakini bahwa badan tersendiri itu tidak mungkin

mengganggu stabilitas negara dan sewenang-wenang sebab hakim hanyalah

corong dari undang yang tidak dapat mengubah atau menambah

(31)

bounce qui pronounce les paroles de la loi, mulut yang hanya mengucapkan

kata-kata peraturan undang-undang. Undang-undang itu sendiri hanya merupakan

penjelmaan secara tegas dan sadar dari kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat.

Montesquieu menaruh perhatian pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam

masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan itu pulalah yang sesungguhnya mampu

menopang hak-hak kebebasan politik rakyat.19

7. Nilai-Nilai Dalam Ide Demokrasi Modern

Di Perancis, ajaran negara hukum dikembangkan berdasarkan dua unsur,

yaitu pemisahan kekuasaan dan hak-hak dasar, sedangkan ajaran kedaulatan

rakyat akan dikukuhkan oleh pemikir politik berikutnya, Jean Jacques Rousseau.

Henry B. Mayo dalam bukunya Introduction to Democratic Theory

memberi defenisi demokrasi sebagai sistem politik sebagai berikut:A democratic

political system is one in which public policies are made on a majority basis, by

representatives subject to effective popular control at periodic elections which are

conducted one the principle of political equality and under conditions of political

freedom(dalam bahasa Indonesia, sistem politik yang demokratis ialah di mana

kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang

diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang

didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana

terjaminnya kebebasan politik).

Lebih lanjut B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi didasari oleh

beberapa nilai, yakni: (1)menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara

melembaga (institutionalized peaceful settlement of conflict); (2) menjamin

terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang

berubah (peaceful change in a changing society); (3)menyelenggarakan

pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers); (4) membatasi

19

(32)

pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion); (5) mengakui

serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat

yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku;

dan (5) menjamin tegaknya keadilan.

Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa

lembaga sebagai berikut.Pertama, pemerintahan yang bertanggung jawab.Kedua,

suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan

kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan

umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk

setiap kursi.Ketiga, suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai

politik.Keempat, pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.

Kelima, sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan

mempertahankan keadilan.

Hampir semua teoritisi –bahkan sejak zaman klasik– selalu menekankan

bahwa sesungguhnya yang berkuasa dalam demokrasi itu adalah rakyat atau

demos/populous. Oleh karena itu, selalu ditekankan peranan demos yang

senyatanya dalam proses politik yang berjalan. Paling tidak, dalam dua tahap

utama: pertama, agenda setting, yaitu tahap untuk memilih masalah apa yang

hendak dibahas dan diputuskan; kedua, deciding the outcome, yaitu tahap

pengambilan keputusan.20

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalahmetode deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan

masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada.

Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu

G. Metodologi Penelitian

20

(33)

gejala atau fenomena.21Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis

penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang

ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan

variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada

penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa

seperti yang dilakukan pada penelitian eksplanatif yang berarti tidak dimaksudkan

untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.22

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif yang

menekankan pengkajian sumber pengumpulan datanya yang berprinsip pada studi

kepustakaan. Metode kualitatif deskriptif dapat dipergunakan untuk menyelidiki

lebih mendalam mengenai konsep dan ide. Konsep dan ide yang pernah ditulis

dalam literatur, dokumen, dan buku akan dapat dikaji dengan melihat kualitas dari

tulisan itu.

Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang

tidak diperoleh dari prosedur statistik atau bentuk hitungan. Penelitian kualitatif

mengacu kepada berbagai cara pengumpulan data yang berbeda, yang meliputi

pengumpulan data lapangan, observasi, ataupun library research.23

Penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder, yaitu data yang

diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbabagai sumber yang telah ada seperti

2. Teknik Pengumpulan Data

21

Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 42.

22

Sanafiah Faisal. 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 20.

23

(34)

buku, majalah, jurnal, literatur dan dokumen resmi. Dengan demikian teknik

pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research). Kegiatan

ini dilakukan untuk memperoleh data yang berbentuk keterangan atau informasi

tertulis, baik yang bersifat akademis maupun administratif. Praktisnya, kegiatan

studi pustaka dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan sejumlah

informasi yang berkaitan dengan topik yang diteliti.

3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif,

dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh

gambaran jelas tentang objek yang diteliti dan kemudian dilakukan penarikan

kesimpulan. Dalam penelitian ini,interaksi peradaban Islam-Barat dalam Perang

Salib pada Abad Pertengahan yang mempengaruhi munculnya ide demokrasi

kembali di Eropa melalui gerakan Renaissance dianalisa berdasarkan

sumber-sumber kajian kepustakaan yang ada. Kajian ini dilakukan dengan terlebih dahulu

memahami interaksi sosial, Renaisance, peradaban Islam, peradaban Barat dan ide

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat kota, berkepentingan terhadap tersedianya ruang terbuka hijau dengan berbagai fungsi ekologisnyai. Masyarakat pendatang, yang cenderung memanfaatkan ruang terbuka

Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini dibatasi pada Pengaruh Model Think Talk Write

Jika terjadi kondisi sakit atau kecelakaan, pekerja mendapatkan manfaat sebesar Rp 300.000 (maksimum untuk satu klaim per orang dan per manfaat per tahun). Manfaat/ tunjangan

[r]

Controllership merupakan suatu pokok yang semakin dikenal dan harus diorganisasikan denagan tepat, agra pengendalian akuntansi dapat berfungsi dan data statistic dapat

[r]

PBR akan meningkatkan transparansi penetapan subsidi dan HTJL Dengan konsep PBR akan diperjelas tentang berapa sebenarnya kebutuhan biaya operasional penyediaan listrik

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang diangkat adalah : Adakah hubungan antara prestasi belajar pendidikan agama Islam terhadap akhlak