BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Tidur adalah hal yang sangat penting buat kehidupan karena tidur
memiliki hubungan yang erat dengan kesehatan dan kualitas hidup manusia.
Manusia telah menghabiskan sepertiga hidupnya hanya untuk tidur (Kapur, 2006).
Tidur berguna untuk memulihkan proses biokimia atau biologis yang
secara progresif mengalami penurunan ketika terjaga (Sherwood, 2007).
Tidur yang terganggu mengakibatkan efek merugikan terhadap tubuh
misalnya penurunan daya tahan tubuh, penurunan konsentrasi, kelelahan,
dan pada akhirnya dapat memengaruhi keselamatan diri sendiri dan orang lain.
Menurut National Sleep Foundation pada tahun 2015, kualitas tidur yang baik
berperan terhadap kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang.
Tidur yang lelap dan tanpa gangguan menjadi kebutuhan esensial manusia,
sama pentingnya dengan kebutuhan makan, minum, tempat tinggal dan lain-lain
(Rahayu, 2006).
Mengupayakan kualitas tidur yang baik adalah suatu bentuk kesadaran
terhadap betapa pentingnya tidur dalam kehidupan manusia.
Kualitas tidur dikatakan baik bila seseorang merasa puas terhadap tidurnya
sehingga ia tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah,
lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,
konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan
sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur mencakup
aspek kuantitatif seperti, durasi tidur, latensi tidur, dan aspek subyektif, seperti
tidur yang dalam (Khasanah dan Hidayati, 2012). Kualitas tidur dapat dinilai
pada kedua populasi klinis dan populasi non-klinis, termasuk perguruan tinggi dan
mahasiswa pascasarjana (Brick et al, 2010).
Kualitas tidur yang buruk dapat disebabkan oleh berbagai hal
seperti adanya gangguan tidur pada saat seseorang tidur. Gangguan tidur
dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk dan kondisi ini dicirikan dengan
gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur seorang individu
(Haryono et al, 2009).
Orang yang kurang tidur dapat lebih berisiko lebih mengalami obesitas
dibandingkan orang yang cukup tidur. National Sleep Foundation tahun 2015
mendefinisikan kondisi kurang tidur sebagai durasi tidur < 8 jam pada anak anak
dan <7 jam untuk orang dewasa. Survei yang dilakukan oleh
Schoenborn dan Adams pada tahun 2008 menyatakan bahwa bahwa
sekitar 33% orang dewasa yang tidur < 6 jam mengalami obesitas dan
hanya 22% orang dewasa yang obesitas dengan jam tidur normal.
Penelitian yang dilakukan oleh Knutson et al pada tahun 2011 di Amerika
tentang kualitas tidur pada orang dewasa obesitas menyatakan bahwa kurang tidur
dapat meningkatkan peluang seseorang menderita obesitas dan gangguan
pernafasan saat tidur. Diduga jam tidur yang pendek (rata rata durasi tidur < 6 jam)
menyebabkan penurunan hormon leptin dan peningkatan hormon ghrelin yang
selanjutnya akan meningkatkan nafsu makan sehingga meningkatkan risiko
obesitas. (Becuuti & Pannain, 2011).
Obesitas sendiri adalah masalah kesehatan yang dapat diperburuk kondisinya
oleh kualitas tidur yang buruk. Obesitas dapat diartikan sebagai
penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan yang memberi efek buruk
pada kesehatan (Rahman et al, 2012). Penentuan kadar lemak tubuh tersebut
dapat dilakukan dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT).
Departemen Kesehatan Indonesia mengklasifikasikan obesitas sebagai IMT
World Health Organization (WHO) tahun 2005 memprediksi bahwa
sekitar 1/3 dewasa muda di seluruh dunia akan mengalami kelebihan berat badan
dan 1/10 dari dewasa muda akan mengalami obesitas mulai tahun 2015.
Di Indonesia, prevalensi laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013
mencapai 19,7 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 (7,8%),sedangkan
prevalensi obesitas perempuan dewasa mencapai 32,9 persen, naik 17,5 persen
dari tahun 2010 (15,5%) (Depkes RI, 2013). Sumatera Utara sendiri adalah
salah satu provinsi yang memiliki angka prevalensi obesitas diatas angka prevalensi
nasional (Depkes RI, 2013).
Obesitas dikaitkan dengan berbagai penyakit kronis yang dapat menurunkan
derajat kesehatan dan kualitas hidup seseorang. Obesitas adalah faktor risiko utama
dari gangguan tidur berupa Obstructive sleep apnea (OSA)
(Wheaton et al, 2011). Gejala OSA dibagi menjadi dua, yaitu gejala yang timbul
pada saat tidur berupa mendengkur, tidur tidak nyenyak, hingga terbangun dari tidur
dan gejala pada siang hari berupa rasa lelah saat bangun tidur, sakit kepala
di pagi hari, dan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau lebih dikenal
dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS) (Belliana, 2012).
Akibatnya, pasien OSA tidak memliki durasi tidur yang cukup yang kemudian
akan memperburuk kondisi OSA jika ia adalah orang obesitas.
Hubungan antara durasi tidur yang singkat dan obesitas bersifat dua arah,
yaitu durasi tidur yang pendek akan menyebabkan peningkatan berat badan,
dan kondisi obesitas ini selanjutnya akan memperburuk kualitas tidur.
Hubungan tersebut membentuk lingkaran setan antara kualitas tidur yang buruk
dengan terjadinya obesitas dan OSA (Morselli et al, 2012)
Kualitas tidur yang buruk tidak hanya berkaitan dengan obesitas dan OSA saja,
karena kualitas tidur yang buruk juga dapat menurunkan pengeluaran energi,
baik melalui olahraga atau non-olahraga. Diduga hal ini terjadi akibat penurunan
kadar leptin pada kualitas tidur yang buruk, sehingga dapat mengurangi
akan mengganggu keseimbangan energi dalam tubuh (Beccuti dan Pannain, 2011).
Olahraga yang tidak memadai disertai perilaku sedentari adalah faktor yang dapat
mengakibatkan obesitas (Sherwood, 2007). Hal ini juga didukung oleh hasil
penelitian terdahulu, yang menyatakan bahwa angka kejadian obesitas meningkat
dengan pesat akibat pola hidup tidak aktif (Adiwinanto, 2008).
Kualitas tidur memiliki pengaruh yang besar terhadap sistem hormonal
dan metabolik di dalam tubuh. Kesehatan orang Obesitas yang mengalami OSA
akan semakin buruk akibat hubungan OSA dengan berbagai penyakit kronis
seperti hipertensi, gagal jantung, dan hipertensi pulmonal
(Romero-Corral et al, 2010). Gangguan tidur dan kualitas tidur yang buruk
pada orang obesitas membuat mereka lebih berisiko menderita
diabetes melitus tipe-2 (Liu et al, 2013). Oleh karena itu, kualitas tidur adalah hal
yang penting agar diperhatikan, terutama pada kelompok obesitas.
Informasi tentang kualitas tidur pada kelompok obesitas dapat membantu dalam
upaya pencegahan maupun pengobatan berbagai penyakit kronis yang terkait
dengan kualitas tidur. Berdasarkan permasalahan tersebut, akan dilakukan
penelitian yang akan mengamati dan menilai bagaimana kualitas tidur pada
kelompok obesitas.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, diperlukan penelitian untuk menjawab
pertanyaan : Bagaimanakah kualitas tidur pada kelompok obesitas?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran kualitas tidur
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui :
1.3.2.1. Gambaran kualitas tidur pada kelompok obesitas berdasarkan jenis
kelamin.
1.3.2.2. Gambaran kualitas tidur pada kelompok obesitas berdasarkan usia.
1.3.2.3. Gambaran faktor risiko Obstructive sleep apnea (OSA) pada
kelompok obesitas.
1.3.2.4. Gambaran kebiasaan berolahraga pada kelompok obesitas.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1.4.1. Pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi masukan
dalam mengatasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan obesitas
dan gangguan tidur.
1.4.2. Bagi masyarakat
Hasil penelitian akan memberikan informasi untuk meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan tidur dan
obesitas.
1.4.3. Pengembangan ilmu kedokteran dan peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk
penelitian berikutnya tentang kesehatan tidur dan obesitas yang bersifat