• Tidak ada hasil yang ditemukan

prosiding semiloka up

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "prosiding semiloka up"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PROSIDING

Seminar Nasional 2016

Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan

Pemberdayaan Masyarakat di Era ME“

30 November 2016

(3)

PROSIDING

Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan

Pemberdayaan Masyarakat di Era ME“

ISBN : 978-602-61351-0-0 E ISBN : 978-602-61351-1-7

Cover Design :

Ginanjar Rahmawan

Lay Out :

Sri Mulyani

Adhianty Nurjanah

LV. Ratna Devi

Editors:

Dr. Supriyandi

Dr. Endang Sutisna Sulaeman

Dr. Sarah Rum Handayani

Dr. Mulyanto

Suwarno Widodo, MSi

Diterbitkan oleh:

Program Studi Magister dan Doktor Penyuluhan Pembangunan/ Pemberdayaan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hak cipta.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Illahi Rabbi, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehinga Seminar nasional ―Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan di Era MEA‖ dapat terlaksana sesuai dengan rencana. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menghimpun dan merumuskan masukan dari pemangku kebijakan, pakar, praktisi untuk direkomendasikan sebagai arahan dan strategi dalam pengembangan kompetensi fasilitator pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat yang ditunjang oleh kompetensi fasilitator dan kelembagaan merupakan hal penting untuk dikembangkan dalam upaya menguatkan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kerja keras dan tindakan kebijakan terarah secara tepat dalam menentukan kebijakan secara nasional dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Kebijakan tersebut terutama diarahkan pada penguatan kompetensi fasilitator agar dalam memberikan fasilitasi kepada masyarakat dapat dilakukan secara optimal. Demikian juga halnya kebijakan dalam penguatan kelembagaan dengan harapan akan memberikan kemudahan bagi fasilitator alam melaksanakan tugasnya. Antara kompetensi fasilitator dan penguatan kelembagaan akan memberikan sinergi yang sempurna apbila dapat berjalan beriringan dalam proses pemberayaan masyarakat.

Seminar Nasional pengembangan kompetensi fasilitator dan kelembagaan pemberdayaan yang diselenggarakan oleh Prodi S2 dan S3 Penyuluhan Pembangunan/Pemberdayaan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret Surakarta berupaya menjadikannya sebagai wahana untuk mengkomunikasikan dan menyebarkan informasi, pengetahuan dan teknologi hasil penelitian, telaah pustaka dan praktek kegiatan pemberdayaan masyarakat. Kami berharap bahwa Seminar Nasional ini dapat dilaksanakan secara berkesinambungan secara rutin, untuk mengembangkan kompetensi fasilitator dan kelembagaan pemberdayaan.

Hasil seminar diharapkan muncul butir-butir usulan demi kemajuan dalam fasilitasi dan kelembagaan dalam pemberdayaan terhadap masyarakat. Eksplorasi kekayaan sumber daya local sudah tentu perlu didekati melalui aspek ilmiah, sehingga mampu mewujudkan bangsa yang bermartabat dan berdaya saing dalam menghadapi Masyarakar Ekonomi ASEAN.

Surakarta, 30 November 2016

Panitia

(5)

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatu

Yang terhormat para peserta Seminar Nasional ―Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan di Era MEA‖ tahun 2016, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, bahwasanya Prodi S2 dan S3 Penyuluhan Pembangunan/Pemberdayaan Masyarakat, dapat menyelenggarakan acara tersebut dengan lancar.

Tujuan terselenggaranya kegiatan tersebut adalah menghimpun dan merumuskan masukan dari pemangku kebijakan, pakar, praktisi untuk direkomendasikan sebagai arahan dan strategi dalam pengembangan kompetensi fasilitator pemberdayaan masyarakat. Selain itu, acara tersebut juga bertujuan untuk mengkomunikasikan dan menyebarkan informasi, pengetahuan dan teknologi hasil penelitian, telaah pustaka dan praktek kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Kami berharap bahwa Seminar Nasional tersebut dapat dilaksanakan secara berkesinambungan secara rutin, untuk mengembangkan kompetensi fasilitator dan kelembagaan pemberdayaan.

Akhir kata, kami ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut mendukung dan membantu penyelenggaraan Seminar Nasional tersebut, kepada sponsor, peserta, pemakalah, dan tentu juga pada panitia yang telah pekerja keras demi terselenggaranya acara dengan lancar.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatu

Surakarta, 25 November 2016

Ketua Panitia

Dr. Joko Winarno, M.Si.

(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Sambutan Ketua Panitia ... ii

KEYNOTE SPEACH

Peningkatan Kualitas SDM Perguruan Tinggi dalam mendukung kualifikasi Kompetensi Nasional Indonesia

Prof. Dr. John Hendri, M.Si., Ph.D (Sekretaris (Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pendidikan Tingi) ... 1

PEMAKAAH UTAMA

Menyiapkan Dan Mengelola Tenaga Pemberdayaan Masyarakat Yang Profesional Dan Tersertifikasi Dalam Menghadapi MEA

Dr. Prabawa Eka Soesanta, S.Sos.,M.Si (Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan, Kementrain Dalam Negeri) ... 11

Urgensi Asosiasi Profesi Pemberdayaan Masyarakat dalam Mendukung Pembangunan Nasional

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S (Ketua Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan

Indonesia) ... 25

Peran Perguruan Tinggi Dalam Menghasilkan Tenaga Profesional Pemberdayaan Masyarakat Dalam Menghadapi MEA

Dr. Sapja Anantanyu, S.P., Msi (Kepala Program Studi S3 Penyuluhan Pembangunan/

Pemberdayaan Masyarakat) ... 41

PEMAKALAH PENUNJANG

Kelompok : Penyuluhan Pertanian Dalam Arti Luas

1. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat PenerapanTeknologi Pertanian Padi Organik(Studi Kasus Di Kelompok Tani Madya, Dusun Jayan, Desa Kebonagung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta)

Aris Slamet Widodo, Indardi Rival Chandra Saputra ... 50

2. Masa Depan Penyuluh Wanita Dalam Pembangunan Pertanian Di Indonesia

Kadhung Prayoga ... 61

3. Pemberdayaan Masyarakat Model Ambul (Dalam Perspektif Kearifan Lokal)

Tri Prajawahyudo ... 69

(7)

5. Eksplorasi Topik Iptek Yang Diperlukan Oleh Petani Karet Rakyat Di Kalimantan Barat (Studi Kasus Petani Karet Rakyat di Kabupaten Bengkayang)

Akhmad Rouf dan Budi Setyawan ... 84

6. Teknologi Mesin Pengering Guna Meningkatkan Kualitas Produksi Biji Kakao Di Kabupaten Gunung Kidul

Agus Nugroho Setiawan, Susanawati & Totok Suwanda ... 95

7. Kajian Model Pertanian Perdesaaan Melalui Penerapan Inovasi Teknologi Adaptif di Aceh

Basri A. Bakar, Abdul Azis ... 103

8. Analisis Kebutuhan Informasi Petani Dan Penggunaan Media Informasi Dalam Penyuluhan Di Kabupaten Bogor

Anna Fatchiya, Siti Amanah, Yatri Indah Kusumastuti ... 116

9. Kinerja Lumbung Pangan Di Dusun Botokan Desa Argosari Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul

Retno Wulandari, Francy Risvansuna, Ikhtimah Tri Astuti ... 125

Kelompok : Promosi Kesehatan Masyarakat

1. Meningkatkan Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi

Rahesli Humsona, Tetri Widiyani, Sri Yuliani ... 131

2. Upaya menurunkan kematian ibu hamil melalui pemberdayaan pedagang sayur di wilayah kerja puskesmas Sempu kabupaten Banyuwangi

Jayanti Dian Eka Sari ... 139

3. Kecemasan Ibu Dalam Perkembangan Kehamilan (Studi Eksplorasi Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Kembaran II Banyumas)

Wilis Dwi Pangesti ... 146

4. Analisis proses pembinaan pengguna narkoba di yayasan laras Kota Samarinda tahun 2016

Rosdiana ... 153

5. Model Diseminasi Program Berhenti Merokok Pada Perokok Remaja

Endang Sutisna Sulaeman ... 158

6. Pelaksanaan Promosi Kesehatan Lingkungan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Di Kota Malang

Misbahul Subhi ... 167

Kelompok : Corporate Social Responsibility

1. Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Melalui Program CSR Bank Sampah Mandiri PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant

Adhianty Nurjanah, Ravik Karsidi, Widodo Muktiyo, Sri Kusumo Habsari ... 175

2. Model Pemberdayaan Pondok Pesantren dalam Pengembangan Budaya Kewirausahaan

Slamet Widodo ... 182

3. Program Corporate Social Responsibility PT Perkebunan Nusantara IX Batujamus, Kerjo, kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah

(8)

Kelompok : Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah

1. Kompetensi Remaja Dalam Mengelola UMKM Melalui Periklanan Di Media Sosial

Joko Suryono, Nuryani Tri Rahayu ... 198

2. Pemberdayaan Perempuan Tani Pada Sistem Pertanian Bioindustri Berbasis Gambir

(Uncaria gambir) Di Sumatera Barat Dalam Perspektif Gender

Harmi Andrianyta, Dani Medionovianto, dan Hari Hermawan ... 207

3. Kebijakan Pajak Yang Bijak Untuk UKM Indonesiadi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN

Agus Suharsono, Khusnaini ... 216

4. Strategi Pemberdayaan Petani Dalam Pengelolaan Usahatani Padi Di Kabupaten Cianjur Dan Karawang, Jawa Barat

Dwi Sadono ... 226

5. Fasilitasi Inisiasi Bisnis Puding Hias Untuk Pemberdayaan Masyarakat Kampung Kauman, Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta

Inayati, Sperisa Distantina, Fadilah ... 240

6. Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Di Kabupaten Bantul

Titi Antin, Hermin Indah Wahyuni, Partini ... 246

7. Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) Di Pulau Madura

Ihsannudin ... 253

8. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengembangkan Produktivitas Home Industri Bata Merah

Waluyo Sukatiman, Ida Nugroho Saputro ... 260

9. Pemberdayaan peternak potong melalui formulasi ransum berbasis limbah pertanian di Kecamatan Nguntoronadi, kabupaten Wonogiri

Suwarto, Shanti Emawati, Endang Tri Rahayu ... 266

10. Strategi Pengembangan UMKM Kharisma Jaya Food Sebagai Produsen Keripik Talas Merk Kharisma

Kharisma Nur Khakiki, Reza Safitri ... 273

11. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata Berbasis Ecotourism (Studi di Desa Sumberasri, Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi)

Eko Setiawan ... 284

12. Implementasi Pengembangan Pariwisata Di Pulau-Pulau Kecil Terhadap Masyarakat Pesisir Desa Lihunu, Kecamatan Likupang, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara

Prima Farid Budianto, Edi Susilo, Erlinda Indrayani ... 290

13. Pemberdayaan Perempuan Melalui Kelompok Wanita Tani (KWT) Bagi Aktualisasi Perempuan Di Perkotaan (Studi Kasus KWT Wanita Sejahtera, Muja-Muja, Umbulharjo, Yogyakarta)

Siti Nurlaela ... 299

14. IbM Pengrajin Shuttlecock Di Klaster Cock Surakarta

(9)

Kelompok : Pendidikan Luar Sekolah

1. Peran Pendidikan Luar Sekolah Terhadap Peningkatan Ketrampilan Pemuda Putus Sekolah Di Kabupaten Jember Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean

Novi Haryati ... 314

2. Inovasi Pembelajaran Penyuluhan di Perguruan Tinggi dalam Merespon Masyarakat Ekonomi ASEAN

Siti Amanah ... 323

3. Diagram Jalur Efektivitas Pelatihan Padi di kabupaten Kulon Progo

Sujono ... 332

4. Penguatan Kapasitas Forum Anak Surakarta dalam pengambilan keputusan untuk mendukung partisipasi aktif anak dalam Musyawarah Perencanaan pembangunan

Sri Yuliani, Rahesli Humsona, Sudaryanti ... 339

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Penyuluh Pertanian Dalam Pengembangan Diri Melalui Pendidikan(Kasus Mahasiswa STPP Magelang Jurusan Penyuluhan Pertanian Di Yogyakarta).

Ina Fitria Ismarlin, Eny Lestari, Sapja Anantanyu ... 347

6. Implementasi Program Decentralized Basic Education Di Kabupaten Jepara (Studi Kasus SDN Sukodono 03 Tahunandan SDN Dorang 2 Nalumsari Kabupaten Jepara)

Ahmad Mardiyanto Prasetyo, Sapja Anantanyu, Eny Lestari ... 359

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlangsungan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) (Studi Kasus Pada Pkbm Nurul Jadid, Desa Banjaranyar, Kecamatan Tanjung Anom, Kabupaten Nganjuk)

Jalil, Ravik Karsidi, Zaini Rohmad ... 368

8. Proses Sosialisasi Dan Persepsi Orang Tua (Nelayan) Dalam Memberikan

Kesempatan Pendidikan Bagi Anak Di Kelurahan Karangsai Kabupaten Tuban Jawa Timur

Muhammad Alhajj Dzulfikri ... 382

Kelompok : Pengembangan SDM Fasilitator Pemberdayaan

1. Pengaruh Komunikasi Terhadap Kinerja Anggota Gabungan Kelompok Tani Torong Makmur Batu-Malang

Moh Sazali Harun ... 389

2. Efektivitas Aktivitas Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Program Penyuluhan Pertanian di Sejumlah UPT PPP di Kabupaten Bandung)

Dika Supyandi, Yayat Sukayat, Rani Andriani ... 397

3. Pola Adaptasi Kehidupan Sosial Budaya Komunitas Masyarakat Adat Mone

La Ode Topo Jers, Sitti Hermina ... 407

4. Manajemen Sumberdaya Komunikasi Dalam Peningkatan Kinerja Pendampingan Program Simantri Di Provinsi Bali

I Dewa Putu Oka Suardi ... 416

5. Model Pemberdayaan Petani Berbasis Kawasan Dalam Mewujudkan Desa Industri Pertanian Mandiri Di Era MEA

(10)

6. Pengembangan Kompetensi Fasilitator dalam Pemanfaatan Limbah Ternak menjadi Biogas(Kasus Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat)

Nurul Dwi Novikarumsari, Siti Amanah, Basita Ginting Sugihen ... 432

7. Urgensi Penyuluhan Pertanian Untuk Peningkatan Mutu SDM Pemuda Pedesaan

Muksin ... 439

8. Pendampingan Teknologi dan Supervisi pelaksanaan pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) di Provinsi Aceh

Abdul Azis, Basri A. Bakar, Yufniati dan Damasus ... 448

9. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.

Emy Farida, Zaini Rohmat, Drajat Tri Kartono ... 457

Kelompok : Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat

1. Sistem Komunikasi Pemerintah dan Kompleksitas Diversifikasi Usaha dalam Budidaya Kambing PE di Purworejo

Tatag Handaka, Hermin Indah Wahyuni, Endang Sulastri, Paulus Wiryono ... 465

2. Peranan Kelembagaan dalam Menentukan Kualitas Sertifikasi SDM Bidang Pariwisata

Riyono Gede Trisoko ... 473

3. Peran Organisasi Petani Dalam Pemberdayaan Swadaya: Kolegial Atau Transaksional (Studi Komparasi Kelompok Tani di Tiga Lokasi di Jawa Barat)

Yayat Sukayat, Dika Supyandi, Achmad Choibar Tridakusumah ... 479

4. Pengembangan Potensi Kelembagaan Sektor Agribisnis Pertanian Di Kabupaten Jepara

Ikhsan Gunawan, Hamdi Sari Maryoni ... 489

5. Penguatan Kelembagaan Pertanian Sebagai Langkah Pencegahan Migrasi Buruh

Widi Artini ... 503

6. Pengembangan Pasar Lelang Sebagai Unit Pengolahan Dan Pemasaran Bokar (UPPB) Di Kabupaten Rokan Hulu, Propinsi Riau

Yulfita „Aini , Eksa Rusdiyana ... 509 7. Kefektifan Program Desa Wisata Kebangsaan Wonorejo Kecamatan Banyuputih

Kabupaten Situbondo dalam Meningkatkan Keberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Ekowisata Taman Nasional Baluran

Arif Pratiwi, Sapja Anantanyu, Kusnandar ... 517

8. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kemandirian Petani Dalam pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Eli Sugianto, Kusnandar, Sapja Anantanyu ... 527

9. Kompetensi dan Kinerja Penyuluh Pertanian PNS dan Swadaya (Kasus di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru, Provinsi Riau)

Marliati Ahmad ... 535

10. Manajemen Tenaga Kerja Pada ―UD Sami Makmur‖ Kabupaten Sidoarjo

(11)

11. Pelaksanaan Peran Ganda Perempuan (Studi Kasus Pada Karyawati di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Jurusan Penyuluhan Pertanian Yogyakarta)

Demi Widi Kurniawati, Sapja Anantanyu, Suwarto ... 552

12. Dinamika Organisasi Pos Penyuluhan Desa (Posluhdes) Bontoa (Studi Kasus Di Desa Tupabiring, Kecamatan Bontoa, Kab. Maros, Prov. Sulsel)

(12)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 158

MODEL DISEMINASI PROGRAM BERHENTI MEROKOK PADA

PEROKOK REMAJA

Endang Sutisna Sulaeman

Program Studi Program Doktor Penyuluhan Pembangunan/Pemberdayaan Masyarakat Pacasarjana Universitas Sebelas Maret

Korespondensi penulis: Endang Sutisna Sulaeman, sutisnaend_dr@yahoo.com

Abstract

The not-on-tobacco program is an evidence-based teen smoking cessation program adopted by the American Lung Association (ALA). The purpose is to describe the model of dissemination include the elements and stages of models designed to expand the range of smoking cessation interventions in teen smoking. Methodology: in the form of a literature review, applying the theory of diffusion innovation, social cognitive theory, and social marketing. Results: Elements of dissemination model include eight, namely: infrastructure, implementers, task accountability, training, critical assessment:, ntervention delivery, incentives, and communications. Phases of dissemination models consists of nine, namely establish major partners and evaluators, review and tailor programmatic needs, establish infrastructure, promote intervention program, conduct training, conduct 3 month check-in, deliver intervention, conduct 6 month check-in, and conduct facilitator 12 month check-in. Conclusion. The nine-phase model has a sound theoretical foundation utilizing critical constructs in intervention diffusion, health behavior, and social marketing. Suggestion: nine-phase model can be applied to the dissemination of teen smoking cessation program.

Keywords: dissemination, diffusion, teen smoking cessation, nine-phase model

1. Pendahuluan

Sebagai satu dari isu kesehatan masyarakat yang paling mahal di Amerika Serikat adalah merokok (CDC, 2004) menyebabkan lebih dari 400.000 kematian prematur dan $157 milyar kerugian ekonomi per tahun (CDC, 2002). Hampir 4.000 remaja memulai merokok setiap hari dan sekitar seperempat dari siswa sekolah menengah akhir adalah perokok (U.S. Department of Health and Human Services, 2012). Lebih dari setengah jumlah remaja mencoba merokok selama hidupnya (CDC, 2004). Tanpa intervensi efektif, kebanyakan remaja akan merokok sampai mereka dewasa, meningkatkan risiko untuk terkena penyakit kardiovaskular, beberapa jenis kanker (termasuk kanker paru-paru), dan memperburuk kondisi lain (Services USDoHaH, 1994). Untungnya, 65% dari perokok remaja aktif mengatakan bahwa mereka ingin berhenti merokok (Lamkin et al., 1998;

Sussman, 2002). Prevalensi dan efek dari remaja yang merokok disajikan dengan bukti

baru dari keefektifan program penghentian, menunjukkan kebutuhan ambigu untuk intervensi penghentian remaja yang merokok yang disebarluaskan.

(13)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 159

nasional dari American Lung Association (ALA). Artikel ini, menjelaskan alasan dan konseptualisasi dari model tersebut, termasuk dasar teori, dan langkah-langkah operasional dari setiap tahap. Aplikasi model di negara bagian West Virginia (WV) sebagai contoh kasus. Perlu diketahui bahwa remaja WV mempunyai urutan tertinggi dalam merokok di Amerika Serikat. Urutan ke-49 dibandingkan dengan negara bagian lain (America’s Health Rankings. United Health Foundation, 2013; Prevention CfDCa, 2012).

Sembilan tahap model diseminasi dibentuk dari riset sebelumnya oleh tim (Dino et al.,

2001; Horn et al., 2005) dan lainnya mendemonstrasikan secara konsisten bahwa

perubahan membutuhkan bantuan teknik berkelanjutan dan sumber yang mudah dijangkau untuk memandu pengguna melewati proses yang rumit dari diseminasi (Backer, 2000;

Brownson et al., 2006; Glasgow et al., 2003).

2. Tinjauan Pustaka

Konseptualisasi model diseminasi meliputi dua aspek yaitu elemen model dan tahapan-tahapan model diseminasi.

a. Elemen Model Disemenasi

Model ini meliputi delapan elemen, yaitu infrastruktur, pelaksana, pertanggungjawaban tugas, pelatihan, penilaian penting, pemberian intervensi, insentif, dan komunikasi. (a) Infrastruktur: pelayanan yang terkoneksi, fasilitas dan sumber daya untuk diseminasi N-O-T; (b) Pelaksana: Pelaksana kunci meliputi pelatih utama N-O-T, koordinator daerah, dan fasilitator N-O-T. (c) Pertanggungjawaban tugas: semua partisipan dalam proses diseminasi mempunyai fungsi rinci dan tugas menyeluruh. (d) Pelatihan: perolehan pengetahuan, kemampuan, dan kompetensi untuk melaksanakan pelatihan N-O-T (pelatihan pelatih) dan untuk melaksanakan N-O-N-O-T (pelatihan fasilitator). (e) Penilaian penting: menyediakan informasi formatifuntuk mempromosikan pelaksanaan N-O-T. Koordinator regional menyediakan pemeriksaan ulang dengan fasilitator setelah pelatihan untuk menentukan aktivitas yang berkelanjutan dan tingkatan pelaksanaan sejak pelatihan. (f) Pemberian intervensi: pelaksanaan N-O-T sebagai permulaan. (g) Insentif: diperkenalkan selama pelatihan dan pada saat pemeriksaan untuk memotivasi tindakan meningkatkan harapan akanpenghargaan. (h) Komunikasi: dibutuhkan untuk menciptakan dan membagikan informasi antar pengguna, dan partisipan untuk mempromosikan pemahaman timbal balik.

b. Tahapan-Tahapan Model Diseminasi

Tahap-tahap model diseminasi meliputi sembilan tahapan, yaitu:

Tahap 1: Menetapkan Rekan Utama dan Evaluator

Rekan utama harus dapat diwakili oleh seorang atau lebih yang membuat keputusan kunci atau mereka yang memiliki akses langsung pada pembuat keputusan kunci. Teori difusi menyatakan bahwa penting untuk mendapatkan keuntungan stakeholders: (1) bagaimana berkaitan dan bermakna untuk pembuat keputusan kunci dan organisasi dan bagaimana kecocokan dengan tujuan organisasi; (2) dapat membantu organisasi dalam pencapaian tujuan obyektif program, juga kecocokannya; (3) hemat biaya dan konsisten dengan panduan berbasis bukti, kerumitan, dan keuntungan rata-rata; dan (4) menyediakan mekanisme umpan balik untuk mendukung keputusan (Rogers, 1995; Dobbins et al., 2002;

Hancock et al., 2002; Mailbach et al., 2006; Grier et al., 2005). Menurut Mailbach (2006),

(14)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 160

utama adalah bagian dari pembuat keputusan, termasuk seleksi seorang evaluator (Dobbins et al., 2002).

Tahap 2: Meninjau dan Menyesuaikan Kebutuhan Program

Diseminasi dapat dideskripsikan sepanjang rangkaian kesatuan dari tidak ada adopsi sampai dengan adopsi secara penuh (termasuk stakeholders, koordinator regional dan pelatihan fasilitator, perekrutan remaja, pelaksanaan, dan pelaporan).Pada saat rekan utama menyebarluaskan intervensi seperti N-O-T, biasanya terdapat satu dari beberapa kondisi. Pertama, mereka tidak pernah berusaha untuk menyebarluaskan N-O-T secara umum dan mempunyai keinginan untuk menentukan strategi yang paling efektif. Kedua, mereka mengusahakan beberapa tipe diseminasi tapi serapan dan adopsi mempunyai tingkatan keberhasilan yang bervariasi di tempat dan suasana yang berbeda. Ketiga, semua aspek berhasil. Efek yang diinginkan adalah pengurangan kerumitan dalam rekrutmen fasilitator, pelatihan, pelaporan, dan insentif berlanjut, menyediakan fleksibilitaspada pelaksanaan program, dan menyediakan keuntungan dalam pengurangan hambatan di bawah model.

Tahap 3: Membangun Infrastruktur

Mengidentifikasi dan membangun infrastruktur dalam meningkatkan pelaksanaan program. Menjabarkan infrastruktur sebagai layanan yang saling berhubungan, fasilitas, dan sumber daya yang permanen dalam lokasi geografis tertentu untuk mendukung dan menyebarluaskan intervensi khusus. Mailbach (2006) merujuk pada konsep ini sebagai ―saluran distribusi‖. Divisi pekerja dari diseminasi adalah bagian penting dari infrastruktur diseminasi (USDoHaHSCCI, 2003). Untuk menyebarluaskan infrastruktur, model membagi pekerja ke tiga tingkatan. (1) Infrastruktur rekan utama di tingkat regional: melibatkan infrastruktur dari rekan utama yang menyediakan aset penting. (2) Infrastruktur daerah: ditugaskan untuk satu atau dua mitra utama, atau satu atau dua orang di setiap daerah. (3) Infrastruktur tingkat situs. Situs diartikan sebagai tempat atau lokasi pelaksanaan N-O-T (sekolah atau pusat komunitas). Situs menyediakan aset pelaksanaan seperti ruang pertemuan, mekanisme perekrutan remaja, dan akses untuk fasilitator. Penghalang harus bisa diatasi.

Tahap 4: Mempromosikan Progran Intervensi

Diseminasi program kesehatan masyarakat dimaksimalkan saat pengadopsi potensial: (1) sadar akan kebutuhan kesehatan masyarakat, (2) sadar akan bukti, pendekatan hemat biaya untuk memenuhi kebutuhan, (3) merasakan bahwa program mempunyai keuntungan melebihi pilihan lain yang berkaitan dengan kebutuhan, (4) merasakan keuntungan organisasi dan target populasi untuk program adopsi dengan keuntungan tinggi, dan (5) mempunyai kapasitas untuk melaksanakan intervensi (Dobbins et al.,

2002;USDoHaHSCCI, 2003; Stirman et al., 2004). Faktor ini dapat dibahas melalui

(15)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 161

tingkat daerah; Tempat: pelatihan fasilitator N-O-T dan pelaksanaan N-O-T muncul di daerah-daerah (mudah diakses); Materipromosi: N-O-T menyediakan materi yang siap pakai mencakup pernyataan, brosur, selebaran, media, poster perekrutan, rangkuman praktis berbasis bukti.

Tahap 5: Melakukan Pelatihan

Semua pelatihan mengikuti protokol standar. Selama pelatihan, semua pelaksana menerima daftar tugas mereka.. Melatih koordinator: Pelatihan dilakukan lebih dari dua hari, termasuk pelatihan reguler fasilitator N-O-T atau pelatihan intensif dalam pertanggungjawaban koordinator daerah. Pelatihan fasilitator: koordinator daerah melaksanakan pelatihan fasilitator menurut panduan ALA.Pelatihan dilakukan dengan lima langkah berbeda dari adopsi yang dijelaskan pada teori, pengetahuan, bujukan, keputusan, pelaksanaan, dan konfirmasi difusi inovasi.

Tahap 6: Melaksanakan Pemeriksaan Tiga Bulan

Koordinator daerah mempunyai tanggungjawab bersama dengan fasilitator N-O-T untuk memeriksa dalam tiga bulan setelah pelatihan N-O-T. Monitoring: koordinator daerah memantau fasilitator dengan mengumpulkan data evaluasi proses dan hasil, dengan penekanan pada hambatan pelaksanaan dan perekrutan remaja. Pada tiga bulan setelah pelatihan, fasilitator harus memulai pelaksanaan N-O-T pertama atau merencanakan pelaksanaan. Alat pengumpulan data standar untuk pemeriksaan, dengan pertanyaan mencakup: sudahkah pelaksanaan N-O-T dijadwalkan, apa motede perekrutan yang dipakai, apa hambatan yang ditemukan, apa solusi yang dilakukan? Pelaporan: koordinator daerah bertanggungjawab mengumpulkan data dan pelaporan yang ditemukan pada ALA dan evaluator. Mentoring: mentoring mencerminkan pengumpulan data melalui monitoring. Koordinator daerah menyediakan umpan balik positif atau memujikepada fasilitator yang telah memulai program N-O-T atau yang sudah merencanakan untuk memulai.

Tahap 7: Memberikan Intervensi

Model ini menyatakan bahwa N-O-T diberikan sebagai materi dalam kurikulum. Fasilitator mempunyai tugas untuk merekrut remaja dan melaksanakan program. Diharapkan tiap fasilitaor melaksanakan > 1 program N-O-T dalam 6 bulan masa pelatihan; > 2 dalam 12 bulan. Kurikulum N-O-T menyediakan rincian luas pada rekrutmen dan pelaksanaan; Koordinator daerah membantu fasilitator dengan tantangan pelaksanaan selama pemeriksaan. Situs pelaksanaan terhubung pada fasilitator terlatih N-O-T. Untuk menghadapi perekrutan dan setiap hambatan diidentifikasi, bertujuan untuk menyediakan mentoring berkelanjutan dan bantuan teknis untuk fasilitator, menambah pelatihan pada rekrutmen, dan menjalin materi promosi. Adopsi dan imlementasi adalah jumlah program N-O-T yang berhasil diberikan untuk remaja.

Tahap 8: Melaksanakan Pemeriksaan Enam Bulan

Monitoring: seperti dalam pemeriksaan tiga bulan, koordinator daerah memantau fasilitator dengan mengumpulkan data evaluasi proses dan hasil, hambatan dan pelaksanaan, dan perekrutan remaja. Diharapkan pada enam bulan setelah pelatihan fasilitator N-O-T menyelesaikan satu program N-O-T. Pemeriksaan 6 bulan mencakup

(16)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 162

termasuk: apakah protokol N-O-T diikuti, hambatan apa yang ditemukan, berapa orang remaja yang terdaftar, berapa remaja yang mengikuti N-O-T, apa penurunan hasil yang ditemui? Fasilitator bisa mengakses laporan melalui internet ataupun surat. Koordinator daerah terlibat dalam penyelesaian masalah tidak dengan pelaksana. Reporting: (lihat Tahap 6). Mentoring: koordinator menyediakan umpan balik positif atau pujian kepada fasilitator yang menyelesaikan program N-O-T; koordinator berurusan dengan fasilitator yang tidak melaksanakan program. Insentif: fasilitaor yang menyelesaikan program N-O-T menerima dorongan dalam bentuk uang. Mereka juga menerima sertifikat. Fasilitator yang menyelesaikan > 1 program N-O-T dalam 6 bulan dianugerahi status ―tembaga‖, sebuah cara untuk mengenali fasilitator N-O-T berpengalaman.

Tahap 9: Melaksanaan Pemeriksaan Fasilitator Dua Belas Bulan

Monitoring: seperti pada pemeriksaan tiga dan enam bulan, koordinator daerah memantau fasilitator N-O-T dengan mengumpulkan data evaluasi proses dan hasil, dengan tekanan dalam hambatan ke pelaksanaan dan rekrutmen. Pertanyaan kunci mencakup: apakah mereka melaksanakan program, apa mereka mengikuti protokol, hambatan apa yang mereka temui, berapa banyak remaja yang terdaftar, berapa banyak remaja yang hadir dan menyelesaikan N-O-T, adakah penurunan hasil yang ditemui? Fasilitator juga ditanyakan tentang masukan untuk pengembangan program. Fasilitaor bisa mengakses laporan menggunakan internet maupun surat. Pemeriksaan 12 bulan adalah critical assessment untuk mengidentifikasi jika fasilitator telah memimpin satu kelompok N-O-T. Pelaporan: koordinator daerah mengumpulkan data dan menganilisis temuan. Mentoring: koordinator regional menyediakan umpan balik positif atau pujian kepada fasilitator yang menyelesaikan program N-O-T. Di akhir tahap 9, fasilitator aktif yang terlatih bersama dihubungkan dengan jaringan fasilitator daerah N-O-T untuk insentifdan komunikasi yang akan datang. Insentif: fasilitator yang menyelesaikan program N-O-T mendapat dirongan dalam bentuk uang. Tambahan, mereka mendapat sertifikat.Fasilitator yang menyelesaikan >1 program menerima status ―tembaga‖. Mereka yang menyelesaikan >2 kali program N -O-T menerima status ―perak‖. Faslitator yang menyelesaikan >4 kali program menerima status ―emas‖.

3. Metodologi

Metodologi yang dipergunakan adalah berupa studi kepustakaan (literature review) artikel Horn et al.(2014) berjudul ―Developing a dissemination model to improve intervention reach among West Virginia youth smokers‖. Model ini mengaplikasikan Teori Difusi, TeoriKognitif Sosial, danPemasaran Sosial. Rogers (1995) menggambarkan pola adopsi yang tergambar dengan kurva S, karakter individu/organisasi sebagai inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan lamban (kaum kolot).Teori difusi menjelaskan lima langkah: (1) mendapat pengertian bagaimana intervensi itu bekerja (pengetahuan); (2) membentuk sikap menyenangkan tentang intervensi (bujukan); (3) melibatkan aktivitas pemimpin pada keputusan untuk menerima (keputusan); (4) menggunakan intervensi (implementasi); (5) mencari penguat untuk implementasi (konfirmasi).

(17)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 163

berkelanjutan dari N-O-T. Insentif mencakup sosial, keuangan, status dan kekuasaan, dan insentif evaluasi diri.

Pemasaran sosial dirancang untuk memfasilitasi adopsi dan pelaksanaan melalui tiga pendekatan: (1) melakukan riset formatif menurut pandangan pengadopsi (contohnyawilayah, sekolah, fasilitator) untuk memahami bagaimana intervensi berbasis bukti (N-O-T) dapat mempromosikan misi stakeholders untuk meningkatkan kemungkinan adopsi; (2) mengembangkan saluran yang dapat dipertahankan (contohnya jaringan regional) untuk mempromosikan dan melaksanakan N-O-T: (3) meningkatkan akses intervensi (contohnya pelaksanaan penyebaran N-O-T). Juga menyertakan empat elemen pemasaran sosial - produk dalam harga minimal; memaksimalkan tempat yang menawarkan program N-O-T menggunakan pengiriman daerah, dan mempromosikan program dengan berbagai saluran di berbagai tingkatan.

Program inti N-O-T terdiri dari 10 sesi selama 50 menit yang dilakukan seminggu sekali untuk 10 minggu berurutan, dengan pilihan 4 sesi penguat tambahan. Program inti dibimbing oleh fasilitator terlatih, biasanya dari dalam sekolah remaja. Fasilitator harus orang yang tidak merokok atau mantan perokok yang bisa berhubungan dengan remaja, dan mau bekerja dengan kepemimpinan administrasi sekolah atau organisasi komunitas untuk merekrut remaja dan mempromosikan program di sekolah dan organisasinya. Fasilitator N-O-T bertanggung jawab untuk merekrut remaja ke dalam program, mencakup kurang lebih 3-10 partisipan. Remaja layak untuk mendaftar jika mereka pernah menggunakan satu atau lebih rokok dalam 30 hari belakangan, memiliki ketertarikan untuk berhenti, dan secara sukarela mengikuti program.

4. Hasil dan Pembahasan

Riset menunjukkan bahwa N-O-T hemat biaya (Dino et al., 2008), bisa diadopsi, dan cocok untuk diseminasi (Glasgow et al., 2003). Study N-O-T antara tahun 1998 sampai tahun 2003 menunjukan angka penurunan ada sebesar 15-19% (Horn et al., 2005), ditengah laju tertinggi yang dilaporkan di literatur (Sussman, 2002). Setiap Regional Education Services Agencies (RESAs) mempunyai sedikitnya 40 fasilitator terlatih; sekitar 700 fasilitator dilatih antara tahun 2000 sampai tahun 2005 (Program TTRR, 2008). Memperluas dari fasilitator profesional kesehatan masyarakat dan kesehatan sekolah yang melayani remaja, sedikitnya 84% dari fasilitator potensial belum pernah dilatih di N-O-T

(Rogers, 1995), mencakup <16% dari implementerpotensial. Penilaian juga membantu

untuk mengerti partisipan N-O-T WV.

Sampel akhir remaja program N-O-T setelah memberi pengecualian program bukan intervensi (contohnya kelas kesehatan), pengguna tembakau minim asap, dan bukan perokok sebesar N=1.008 (39). Pendaftaran program N-O-T meningkat enam kali lipat selama waktu evaluasi, dengan jumlah partisipan terbesar (n=246) pada 2004 dan terendah pada 2000 (n=41) (39). Program mendaftar sedikit lebih banyak wanita (53,8%) daripada pria (46,2%) dari 2000 sampi 2005 (39). Rata-rata umur 15,8 (SD=14). Remaja memakai rata-rata sekitar 14,5 rokok saat hari efektif (SD=13,2) dan 20,5 pada akhir pekan (SD=20,7). Partisipan mulai merokok sekitar umur 10 (SD=2,8). Dari keseluruhan, analisis 18,0% remaja telah berhenti merokok. Di samping itu, analisis aturan sub sampel (N=750) menemuan ada 24,1% remaja telah berhenti merokok. Dari remaja yang tidak berhenti merokok, 67% dilaporkan telah mengurangi jumlah rokok yang dipakai.

(18)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 164

kami: (1) kurangnya keseragaman pengambilan keputusan antar stakeholders, (2) komunikasi dan pemahaman yang tidak konsisten dari hambatan diseminasi, (3) distribusi tenaga kerja yang tidak rata (satu orang tidak bisa melaksanakan semua yang dibutuhkan dalam diseminasi), (4) promosi program yang tidak sistematik, (5) rendahnya ketaatan setelah pelatihan, rekrutmen, isu penyimpangan diantara remaja N-O-T, (6) tidak ada tugas yang seragam dalam monitoring fasilitator, (7) tidak konsisten dan tidak taat dalam pelaporan, (8) rendahnya dorongan di daerah, sekolah, atau lokasi, dan (9) kurangnya ketekunan dari asisten.

Dino et al. (2001) danHorn et al. (2005) mengindikasikan bahwa infrastruktur yang

diidentifikasi secara jelas atau jaringan distribusi penting untuk diseminasi efektif dan keberlanjutan program jangka panjang. Faktor penerimaan budaya dalam pemakanan rokok, komunitas pedesaan dan keadaan geografi, dan keterbelakangan ekonomi usaha perlawanan yang kuat untuk program pengontrolan tembakau menyeluruh di WV (United

States Census Bureau, 2014). Hasil dari West Virginia Youth Tobacco Survey dari tahun

2000 sampai 2011 menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah pada remaja umur 14-18 tahun yang melapor bahwa mereka pernah merokok, dibawah 74% pada tahun 2000 ke angka 50% pada tahun 2011 (Prevention CfDCa, 2012;Center WVHS, 2011).

5. Kesimpulan dan Saran

Model sembilan tahap memiliki dasar teori yang menggunakan konstruksi penting dalam penyebaran intervensi, perilaku kesehatan, dan pemasaran sosial. Pengembangan dan pelaksanaan menerangkan pelajaran kunci yang bisa diaplikaskan pada program penghentian kebiasaan merokok di kalangan remaja. Beberapa pelajaran kunci bisa diaplikasikan untuk diseminasi pada program penghentian penggunaan rokok di kalangan remaja. Fokus utama dari model ini adalah untuk kembali memusatkan pertanggungjawaban dan mengijinkan untuk lokasi kontrol (koordinator daerah).

Daftar Pustaka

Andreasen AR, 1995, Marketing Social Change. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers, pp. 348.

Anesetti-Rothermel A, Noerachmanto N, Horn K, Dino G, 2012, Beyond reach and effectiveness evaluating the not-on-tobacco (NOT) program in West Virginia from 2000 to 2005. Health Promot Pract, 13(4), pp. 506–14.

America’s Health Rankings. United Health Foundation, 2013, Available

from: www.americashealthrankings.org.

Backer TE, 2000, The failure of success: challenges of disseminating effective substance abuse prevention programs. J Community Psychol, 28(3), pp.363–73.

Bandura A, 1991, Social cognitive theory of self-regulation. Organ Behav Hum Decis Process, 50, pp. 248–87

Brownson RC, Kreuter MW, Arrington BA, True WR, 2006, Translating scientific discoveries into public health action: how can schools of public health move us forward? Public Health Rep, 121(1), pp. 97–103.

Census.gov. United States Census Bureau, 2014, West Virginia Quick Facts [Internet], Available from: http://quickfacts.census.gov/qfd/states/54000.html

(19)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 165

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2002, Annual smoking-attributable mortality, years of potential life cost, and economic costs – United States, 1995–1999. Morbidity Mortality Weekly Report, 51(14), pp. 300–3.

Centeres for Disease Control and Prevention (CDC), 2004, Youth risk behavior surveillance survey. Morb Mortal Wkly Rep Surveill Summ 53 (SS-02), pp. 1–96.

Center WVHS, 2011, 2007 & 2009 West Virginia Youth Tobacco Survey Report 2011.

Dino GA, Horn KA, Goldcamp J, Maniar SD, Fernandes A, Massey CJ, 2001, Statewide demonstration of not on tobacco: a gender-sensitive teen smoking cessation program. J Sch Nurs, 17(2), pp. 90–7.

Dino G, Horn K, Abdulkadri A, Kalsekar I, Branstetter S, 2008, Cost-effectiveness analysis of the not on tobacco program for adolescent smoking cessation. Prev Sci, 9(1), pp. 38–46.

Dobbins M, Ciliska D, Cockerill R, Barnsley J, DiCenso A, 2002, A framework for the dissemination and utilization of research for health-care policy and practice. Online J Knowl Synth Nurs, E9(1), pp. 149–60.

Glasgow RE, Lichenstein E, Marcus AC, 2003, Why don’t we see more translation of health

promotion research to practice? Rethinking the efficacy-effectiveness transition. Am J Public Health, 93(8), pp. 1261–7.

Grier S, Bryant C, 2005, Social marketing in public health. Annu Rev Public Health, 26, pp. 319– 39.

Hancock L, Abhold J, Gascoigne J, Altekruse M, 2002, Applying social norms marketing to tobacco cessation and prevention: lessons learned from three campaigns. The Report on Social Norms: Working Paper #6. Little Falls, NJ: Paper-Clip Communications.

Horn K, Jarrett T, Anesetti-Rothermel A, O’Hara Tompkins N, Dino G, 2014, Developing a dissemination model to improve intervention reach among West Virginia youth smokers, Frontiers in Public Health, Public Health Education and Promotion, Vol. 2, No. 101. Pp. 1-13 Horn K, Dino G, Goldcamp J, Kalsekar I, Mody R, 2005, The impact of not on tobacco on teen smoking cessation: end-of-program evaluation results, 1998 to 2003. J Adolesc Res, 20(6), pp. 640–61.

Kerner J, Rimer B, Emmons K, 2005, Dissemination research and research dissemination: how can we close the gap? Health Psychol, 24(5), pp.443–6.

Lamkin L, Davis B, Kamen A, 1998, Rationale for tobacco cessation interventions for youth. Prev Med 27 (5 Pt 3), pp. A3–8.

Lomas J, 1993, Diffusion, dissemination, and implementation: who should do what? Ann N Y Acad Sci 703, pp. 226–35;

Mailbach EW, Van Duyn MAS, Bloodgood B, 2006, A marketing perspective on disseminating evidence-based approaches to disease prevention and health promotion. Prev Chronic Dis, 3(3), pp. A97.

Massey CJ, Horn KA, Lacey-McCracken A, Goldcamp J, Kalsekar I, 2003, Recruitment barriers

and successes of the American Lung Association’s not-on-tobacco Program. J Sch

Health, 73(2), pp.58–63

Prevention CfDCa, 2012, State Tobacco Activities Tracking and Evaluation System (STATE) – Detailed Report 2010.

Program TTRR, 2008, An Evaluation Report of the Not On Tobacco Program in West Virginia, 2000-2005. Morgantown, WV: West Virginia University, Prevention DoT.

Prue C, Lyon Daniel K, 2006, Social marketing: planning before conceiving preconception care. Matern Child Health J, 10, pp. S79–84.

Rogers E, 1995, Diffusion of Innovations. 4th ed. New York, NY: The Free Press.

Services USDoHaH, 1994, Preventing Tobacco Use Among Young People: A Report of the Surgeon General. Rockville: DHHS Publication.

Stirman S, Crits-Christoph P, DeRubeis R, 2004, Achieving successful dissemination of empirically supported psychotherapies: a synthesis of dissemination theory. Clin Psychol Sci Pr, 11, pp. 343–59.

(20)

SEMINAR NASIONAL 2016 Surakarta 30 November 2016

“Pengembangan Kompetensi Fasilitator dan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat di era MEA”| 166

U.S. Department of Health and Human Services, 2012, Preventing Tobacco Use Among Youth and Young Adults: A Report of the Surgeon General. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

1) Fokus sasaran: balita pada rumahtangga miskin, terutama balita laki-laki berusia 1- 3 tahun dengan jenis kelamin laki-laki, dengan tetap tidak mengabaikan balita perempuan. 2)

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa

Lingkup pekerjaan : Melakukan inventarisasi data infrastruktur industri pengguna energi panas bumi, melakukan evaluasi terhadap data yang terkumpul dan selanjutnya

Adanya variasi waktu penahanan yang diberikan pada briket batok kelapa muda pada proses pirolisis fluidisasi bed menggunakan media gas argon, mampu memperbaiki

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan karunia-Nya tesis yang berjudul “ANALISIS TENTANG KONSOLIDASI TANAH PADA DESA

Through-line objective disebut juga sebagai tujuan utama yang hasilnya dapat dilihat di akhir cerita sedangkan beat, scene and act of objective adalah cara seseorang dalam

Dengan dikembangkannya aplikasi Alat Musik Tradisional Jawa Tengah dengan metode single marker dan markerless 3D objek tracking, serta dilakukan pengujian aplikasi

Setelah melalui proses evaluasi dan analisa mendalam terhadap berbagai aspek meliputi: pelaksanaan proses belajar mengajar berdasarkan kurikulum 2011, perkembangan