• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjatuhan Sanksi Pidana Dibawah Batas Minimum Ancaman Hukuman Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penjatuhan Sanksi Pidana Dibawah Batas Minimum Ancaman Hukuman Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya, namun lama-kelamaan disadari bahwa kepanjangan narkoba tersebut keliru, sebab istilah obat berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah obat-obatan yang tidak boleh dijual bebas karena pemberiannya dapat membahayakan bila tidak melalui pertimbangan medis. Jenis obat seperti itu sangat banyak dan sifatnya tidak tergolong narkoba, misalnya antibiotik, obat jantung, obat darah tinggi dan sebagainya. Semua obat berbahaya tetapi bukan narkoba.1

Pemerintah dan rakyat telah melakukan kesalahan dalam memberikan pengertian narkoba. Narkoba yang tepat adalah narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya, karena tidak selamanya narkoba tidak memberikan manfaat. Banyak jenis narkotika dan psikotropika yang memberi manfaat besar bila digunakan dengan baik dan benar dalam bidang kedokteran. Narkotika dan psikotropika dapat menyembuhkan banyak penyakit dan mengakhiri penderitaan. Tindakan operasi (pembedahan) yang dilakukan oleh dokter harus didahului dengan pembiusan dengan menggunakan obat bius yang tergolong narkotika. Orang stres dan gangguan jiwa diberi obat-obatan yang tergolong psikotropika oleh dokter agar dapat sembuh.

1

(2)

Narkotika memiliki berbagai jenis yang dibedakan dalam bentuk golongan I, golongan II dan golongan III. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika, golongan I terbagi dalam beberapa jenisseperti tanaman papaver somniferum L, opium mentah, opium masak, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, tanaman ganja dan lain-lain. Golongan II merupakan narkotika yang memiliki daya aktif kuat tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika mengklasifikasikan jenis golongan II tersebut seperti alfasetilmetadol, alfameprodina, alfametadol, alfaprodina, alfentanil, anileridina dan sebagainya. Golongan III merupakan narkotika yang memiliki daya adiktif ringan tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian, sepertiasetildihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokodeina, etilmorfina, kodeina

dan sebagainya. Keseluruhan golongan yang telah disebutkan di atas tentu saja memiliki kegunaan dan manfaat tertentu, namun di saat yang bersamaan ketiga golongan tersebut dapat berbahaya bagi penggunanya apabila disalahgunakan.2

Penyalahgunaan zat narkotika tentu saja memberikan dampak buruk bagi penggunanya. Penggunaan zat narkotika tertentu dipandang sebagai penyimpangan perilaku yang membahayakan dan merugikan sendiri, keluarga, masyarakat, maupun negara. Pengguna zat narkotika aktif tertentu harus dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Sampai saat ini Indonesia telah mengaturgolongan narkotika dalam bentuk undang-undang, yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976

2

(3)

TentangNarkotika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 TentangNarkotika, dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotikamemberikan ancaman hukuman yang ketat kepada pelaku tindakpidana narkotika, penyalahgunaan narkoba khususnya narkotika di Indonesia sampai saat ini tumbuh subur bahkan dalam tingkat yang mengkhawatirkan.3

Darikasus tindak pidana narkoba tahun 2009-2013 adalah sebagai berikut:4 1. Tahun 2013

Di tahun 2013, terjadipenurunan kasus psikotropika dengan persentase penurunan 6,77% dari 1.729 kasus di tahun 2012 menjadi 1.612 kasus ditahun 2013. Sedangkan peningkatan kasus terbesar yaitu kasus bahan adiktif lainnya dengan persentase kenaikan 60,48% dari 7.917 kasus ditahun 2012 menjadi 12.705 kasus ditahun 2013. Kasus narkotika merupakan kasus terbesar yang terjadi tahun 2013 dengan total 21.269 kasus.

2. Tahun 2009-2013

Jumlah kasus tertinggi yaitu kasus narkotika ditahun 2013 dengan total 21.269 kasus dan jumlah kasus terendah yaitu kasus psikotropika ditahun 2011 sebanyak 1.601 kasus. Kenaikan kasus terbesar yaitu kasus narkotika dari tahun 2009

3

Satya Joewana, M. D, Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan Napza/Narkoba, E/2, edisikedua, (Jakarta: Gramedia, 2005), hal. 79.

4

(4)

ketahun 2010 sebesar 60,66% dan penurunan kasus terbesar yaitu kasus psikotropika dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 86,55%.

Penyalahgunaan narkotika ini juga tidak mengenal umur, berdasarkan data yang ada bahwa kelompok umur pelaku tindak pidana narkotika digolongkan menjadi 5 (lima) golongan umur, yaitu ,<16 tahun, 16-19 tahun, 20-24 tahun, 25-29 tahun dan >29 tahun. Bahwakasus tindak pidana narkoba tahun 2009-2013 adalah sebagai berikut:5 1. Tahun 2013

Ditahun 2013, berdasarkan kelompok usia, tersangka kasus narkoba berusia lebih dari 29 tahun merupakan tersangka paling banyak dengan total 19.023 orang. Sedangkan tersangka paling sedikit merupakan tersangka berusia di bawah 16 tahun dengan jumlah 122 orang.Kenaikan tersangka terbesar yaitu terjadi pada tersangka berusia antara 25-29 tahun dengan persentase kenaikan 56,84%, dari 10.339 orang yang ditangkap di tahun 2012 menjadi 16.216 orang ditahun 2013. Sedangkan penurunan jumlah tersangka hanya terjadi pada tersangka berusia kurang dari 16 tahun dengan persentase penurunan 7,58%, dari 132 orang di tahun 2012 menjadi 122 orang ditahun 2013.

2. Tahun 2009-2013

Jumlah tersangka tertinggi yaitu tersangka berusia lebih dari 29 tahun ditahun 2009 sebanyak 21.374 tersangka dan jumlah tersangka terendah yaitu tersangka berusia di bawah 16 tahun ditahun 2010 sebanyak 88 tersangka.Kenaikan jumlah tersangka terbesar yaitu tersangka narkoba berusia antara 25-29 tahun dari tahun

5

(5)

2012 ke tahun 2013 sebesar 56,84% dan penurunan jumlah tersangka terbesar yaitu tersangka narkoba berusia kurang dari 16 tahun dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 22,12%.

Penerapan hukuman kepada pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika tidak main-main. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika terdapat sejumlah sanksi pidana bagi orang yang menjadi penjual, calo/perantara dalam transaksi/jual beli narkotika. Sanksi-sanksi tersebut berbeda-beda bergantung pada jenis golongan narkotika, beratnya, dan bentuknya (apakah masih dalam bentuk tanaman atau narkotika siap pakai).

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, menanam, memelihara, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotikagolongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah) (Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika.

(6)

dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). (Pasal 112 Ayat 2).

3. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukaratau menyerahkan narkotikagolongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” (Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika).

4. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotikagolongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).” (Pasal 119 ayat (1)UU Narkotika) 5. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

(7)

sedikit Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (Pasal 124 ayat (1) UU Narkotika).

Penegakan hukum pemberantasan narkotika di Indonesia saat ini sedang diuji terkait dengan adanya penerapan batas minimum ancaman hukuman untuk anak pelaku tindak pidana narkotika. Ancaman hukuman tersebut dapat diberikan dengan memberikan hukuman ½ (setengah) dari jumlah minimum sanksi pidana penjara yang ada bahkan dibawah dari setengah jumlah minimum sanksi pidana penjara. Seperti contoh kasus terpidana Selamat Ariadi yang berumur 17 Tahun. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 584/Pid.B/P.A/2013/PN.LP, Selamat Riadi dijatuhi hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juga rupiah). Selamat Riadi terbukti melakukan tindak pidana pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika dengan membawa zat

(8)

Hakimkepada Selamat Ariadi merupakan pidana penjara di bawah ancaman paling singkat 4 (empat) tahun.6

Beberapa alasan memutuskan dengan hukuman ½ (setengah) dari jumlah minimum sanksi pidana penjara tersebut adalah didasarkan atas pasal 22 Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yaitu “terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Kemudian Pasal 23 Ayat (1) Nomor 3Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yaitu “Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahandan pasal 26 Ayat (1) Nomor 3 Tahun 1997, yaitu; “pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa”. Dari ketiga pasal di atas, sebenarnya tidak ada pengaturan terkait hukuman ½ (setengah) dari jumlah minimum sanksi pidana penjara dan dapat dikatakan Hakim dalam hal ini membuat suatu terobosan hukum dengan melakukan penerapan hukuman tersebut.7

Apa yang diterapkan oleh judex factiepada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi merupakan keputusan yang cukup berani dengan memberikan hukuman dibawah minimum ancaman hukuman, padahal tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana yang saat ini telah menjadi musuh utama negara ini.

6

Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 369/Pid/2013/PT-Mdn.

7

(9)

Pandangan umum akan menilai putusan yang dilakukan olehjudex factie tidak sejalan dengan semangat pemberantasan narkoba, apalagi dalam hal ini judex factietelah melihat dengan jelas kebenaran fakta materil terkait dengan tindak pidana yang dilakukan Selamat Ariadi.

Hakimmempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsort) sesuai dengan kehendaknya, karena pada asasnya hukum pidana positif Indonesia menggunakan sistem alternatif dalam pencantuman sanksi pidana. Dalam hal penerapan putusan, Hakim melalui pertimbangannya memutuskan suatu perkara berdasarkan minimum sanksi pidana atau pun berdasarkan maksimal bukan dibawah ancaman minimum hukuman. Penerapan dibawah minimum ancaman sanksi pidana telah menyalahi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotikadan inilah yang terjadi dalam Putusanjudex factie terkait dengan perkara Nomor 584/Pid/P.A/2013/PN.LP dan putusan Nomor 369/Pid/2013/PT-Mdn. Namun apakah ini menjadi kesalahan mutlak yang dilakukan oleh judex factie tersebut.

(10)

Penjatuhan batas minimum ancaman hukuman tindak pidana narkotikamenjadi kajian yang menarik sehingga dalam hal ini sangat perlu dan penting untuk diteliti, melihat sejauh mana judex factie menerapkan aturan-aturan yang ada berdasarkan pertimbangannya agar memberikan kepastian hukum dalam proses penegakkan pemberantasan tindak pidana narkotika.8

1. Bagaimanapengaturan hukuman bagi anak dibawah umur pelaku tindak pidana narkotika?

Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut, bagaimanapengaturan hukuman bagi anak dibawah umur pelaku tindak pidana narkotika, bagaimana pertimbangan Hakimdalam menjatuhkan hukuman pidana dibawah batas minimum ancaman sanksi pidana anak pelaku tindak pidana narkotika. Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk karya ilmiah dengan fokus judul adalah“PENJATUHAN SANKSI PIDANA DIBAWAH BATAS MINIMUM ANCAMANHUKUMAN BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan 2 (dua) permasalahan yang akan diteliti, yaitu:

8

(11)

2. Bagaimana pertimbangan Hakimdalam menjatuhkan hukuman pidana dibawah batas minimum ancamansanksi pidana anak pelaku tindak pidana narkotika?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan permasalahan di atas maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukuman bagi anak dibawah umur pelaku tindak pidana narkotika.

2. Untuk mengetahui dan menganalisispertimbangan Hakimdalam menjatuhkan hukuman pidana dibawah batas minimum ancaman sanksi pidana anak pelaku tindak pidana narkotika.

D. Manfaat Penelitian

Adapundilakukan penelitian ini adalah untuk memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Manfaat teoritis

(12)

2. Manfaat praktis

Penelitian ini memberikan informasi kepada aparat penegak hukum seperti; Advokat, Polisi dan Jaksa. Selain itu juga akan memberi informasi kepada instansi pengawas narkotika seperti Badan Narkotika Nasional ataupun juga kepada lembaga penggiat anti narkoba dan juga kepada masyarakat pada umumnya mengenai kegiatan tindak pidana narkotika di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan pengecekan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian Tentang “Penjatuhan Sanksi Pidana Dibawah Batas Minimum Ancaman Hukuman Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika” belum pernah dilakukan penelitian oleh peneliti-peneliti sebelumnya baik pada aspek pendekatan maupun perumusan masalahnya.

(13)

dilakukan oleh Mala Puspita Sari Br. Ginting, dan “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)”, penelitian yang dilakukan oleh Lidya Carolina Sitepu.

Keempat judul diatas memiliki judul serta pembahasan yang jauh berbeda dengan penilitian proposal tesis ini sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian proposal tesis ini.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian hukum ini sangat penting untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sehingga dapat dipahami dan dimengerti. Teori hukum sendiri dapat juga disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif.Teori mengenai suatu kasus atau permasalahan menjadi bahan perbandingan penulis dibidang hukum, suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. Kata lain dari kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teoritis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis.9

9

(14)

Teori juga disebut dengan seperangkat konsep, batasan dan proporsi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variabeldengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut.Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian proposal tesis ini adalah terkait dengan pembentukan hukum yang ditujukan untuk efektivitas kaedah hukum. Penerapan aturan hukum di dalam suatu kebijakan yang berdaya guna dan memberikan kemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari kerangka pembentukan hukum di dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia yang berorientasi pada keadilan dan kemanfaatan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hukum yang dibuat haruslah disesuaikan dengan perkembangan dinamika dan memperhatikan aspek keadilan dan memberikan perlindungan untuk menciptakan tertib hukum. Fungsi hukum sebagai aturan, penerapan suatu kebijakan hukum tentunya tidak dapat dipisahkan dari efektivitas suatu kaedah hukum. Efektivitas kaidah hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan yang menyangkut dalam membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya ini berada diantara hukum dan moral, hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound.10

Hukumdapat dikatakan sebagairules of conduct for men behavior in a societydan hukum menghilangkan ketidakpastian, hukum memberikan jaminan bagi terjadinya perubahan sosial. Dardji Darmodihardjo dan Sidharta mengatakan bahwa

10

(15)

sebagai suatu sistem hukum mempunyai berbagai fungsi yakni hukum sebagai kontrol sosial. Hukum membuat norma-norma yang mengontrol perilaku individu dalam berhadapan dengan kepentingan-kepentingan individu dan fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik serta berfungsi untuk memperbaharui masyarakat.11

Teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teori-teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang ditawarkan dalam perkembangan hukum mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Dalam perkembangannya, tujuan pemidanaan dan pemidanaan memiliki pandangan-pandangan tersendiri yang mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu dengan berbagai aliran atau penggolongan sebagai berikut.Aliran klasik berfaham indeterminismemengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganutsingle track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran.12

Aliran modern atau aliran positif bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia

11

Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Beahvioral, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hal. 14.

12

(16)

dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.13

Aliran neo klasik beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle ofextenuating circumtances).

Perbaikanselanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Disamping munculnya aliran-aliran hukum

13

(17)

pidana tersebut muncullah teori-teori tentang pemidanaan beserta tujuannya masing-masing yaitu sebagai berikut:14

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel.

Teori absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).

a.Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien).

15

Menurut Vos, bahwa teori pembalasan absolut ini terbagi atas pembalasan subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

14

John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3.

15

(18)

kesalahan pelaku, sementara pembalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku didunia luar. Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori

absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan .16

Nigel Walker menjelaskan bahwa ada dua golongan penganut teori retributive

yaitu: Teori retributif murniyang memandang bahwa pidana harussepadan dengan kesalahan. Teori retributif tidak murni, teori ini juga masih terpecah menjadi dua yaitu: 17

• Teori retributiveterbatas (the limiting retribution). Yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.

16

Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004), hal. 7.

17

(19)

• Teori retributive distribusi (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa harus ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi.

b. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)

Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Menurut Muladi tentang teori ini bahwa: pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat.

Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu

(20)

menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.18

Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen ”terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.” Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan. Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

18

(21)

mengenai cara berpikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.

c. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan

absolut(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana dikemudian hari.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List dengan pandangan sebagai berikut :

1. Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.

2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.

(22)

itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya adalah memberikan pemidanaan.

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu pemidanaan tidak dapat dihindari. Teori ini di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam penjatuhan pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat/pelaku yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut adalah :19

19

Nani Nurrachman, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2004), hal.13.

(23)

1. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.

2. Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana.

Kelemahan teori tujuan :

1. Dapat menimbulkan ketidak-adilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang, hal mana bertentangan dengan keadilan.

2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.

3. Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.

(24)

menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.Van Bemmelan pun menganut teori gabungan, ia menyatakan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.

Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.

(25)

lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat. Menurut Vos ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.” Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana .20

Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum), anak harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa.

20

(26)

Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak(UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi hak anak yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak. Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Dalam kasus anda, karena anak tersebut berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana.

(27)

si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga.

Hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak, misalnya adalah pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti

probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi kejadian, motif, gambaran mengenai seriusitaskasus, kondisi tersangka. Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan dan rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa disebut vonis) apa yang terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari kembali ke orang tua, pidana bersyarat, pidana dengan keringanan hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak negara dan anak sipil.

(28)

untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat.21

Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah hakim anak, sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih merupakan pertimbangan hukum semata, yang mendasarkan keputusannya pada apakah si anak

Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan

diskresi(sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara atau rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk diganti dengan program pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum. Selama proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta agar anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah.

21

Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum ; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme),

(29)

bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat seriusitas perbuatannya, dan catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan kedalam proses pidana selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan, dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling terakhir.

2. Kerangka konsep

a. Hukuman berasal dari kata straf yang merupakan suatu istilah dari bahasa Belanda. Menurut Amdi Hamzah istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana.22

b. Anak adalah seseorang yang sudah mencapai 8 (delapan) tahun namun belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah.23

c. Tindak pidana di dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah strafbaarfeit.

Strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Van Hamel mengatakan “strafbaarfeit

22

Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannta Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010) , hal. 1.

23

(30)

adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.24

d. PertimbanganHakim adalah suatu tahapan dimana majelis Hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan/dakwaan, eksepsi yang dituangkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil yang mencapai batas minimal pembuktian.25

e. Menjatuhkan hukuman adalah menghukum yang memiliki arti membiarkan orang menderita atau susah sebagai balasan atas pelanggaran yang telah dilakukannya.26

f. Sanksi pidana adalah salah satu bentuk dari sanksi hukum, yakni akibat tertentu yang dapat (seharusnya) dikenakan kepada seseorang karena perbuatannya yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam kaidah hukum pidana.27

g. Penerapan sanksi pidana memiliki arti suatu implementasi atau pelaksanaan atas sanksi hukum.28

h. Narkotika adalah bentuk murni maupun campuran atau sediaan-sediaan yang berasal dari tanaman candu (papaversomniferum), ganja (cannabis) dan koka (erythroxylon), juga termasuk dalam golongan narkotika adalah bahan lain baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis, yang dapat dipakai sebagai

Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009), hal. 236.

(31)

penggantimorfin atau kokaina, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti pethidina, metadon dan lain-lain29

i. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

.

30

j. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.31

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

Penelitian proposal tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Jenis metode penelitian yuridis normatif berguna untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu dan juga dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang tertentu.Sifat dari metode penelitian tesis ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum dalam hal ini yang berkaitan

29

Anonim,“Mengenal Narkoba dan Bahayanya”,

dala oktober2014.

30

Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

31

(32)

dengan Penjatuhan Sanksi Pidana Di bawah Batas Minimum Ancaman Hukuman Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika.32

Penelitian hukum normatif ini juga menggunakan beberapa pendekatan yang diantaranya pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan pembahasan yang diteliti di dalam proposal tesis ini. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan undang-undang, atau antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain.33

Pendekatan undang-undang dimaksudkan bahwa perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis, hal ini dilakukan karena perundang-undangan merupakan titik fokus dari penilitan tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai ciri-ciri:34

a. Comprehensive: norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis.

32

Soerdjono Soekantor dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal.13.

33

C. F. G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Penerbit Alumni, 1994), hal.140.

34

(33)

b. All-inclusive: bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada sehingga tidak akan ada kekosongan hukum.

c. Systematic: disamping bertautan antara satu dengan lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara hirarki.

Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan kajian terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kasus ini dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di luar negara lain. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau

reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.35

Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan Hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi. Kasus yang ditelaah dalam proposal tesis ini adalah yang berkaitan dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan atas penjatuhan sanksi pidana di bawah batas minimum ancaman hukuman bagi anak pelaku Tindak Pidana Narkotika.36

35

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum & Empiris. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 185.

36

(34)

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini ini adalah menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukumtersier.37

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusanHakim. Dalam penelitian ini yang menjadi data primer tersebut adalah:

- Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 369/Pid/2013/PT-Mdn. - Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 349/Pid.Sus.A/2013/PN.Stb. - Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 443/Pid.Sus.A/2014/PN.Stb. - Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 444/Pid.Sus.A/2014/PN.Stb. - Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 445/Pid.Sus.A/2013/PN.Stb. - Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika.

- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

- Undang-Undang Nomor3 Tahun 1997 TentangPengadilan Anak.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti; buku, skripsi, tesis, disertasi, hasil penelitian lain yang relevan dengan penelitian, naskah akademik, pidato pengukuhan guru besar.

37

(35)

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti; kamus hukum,

encyclopedia dan lain-lain.38

Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data disebut sebagai kegiatan memberikan telaah yang dapat berarti mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah dikuasai.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian proposal tesis ini adalah menggunakan studi dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berupa data sekunder yang ditabulasi kemudian disistemasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Keseluruahn data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi.

4. Analisis Data

39

38

Johnny Ibrahim, Op. Cit, hal.296.

39

Referensi

Dokumen terkait

9 PRIBADI GINTING MUNTE BRIGADIR/80120200 BANIT BINKAMSA SMA TAMTAMA - INSTRUKTUR

Menimbang bahwa untuk mendapatkan anak/perempuan Terdakwa telah menawarkan pekerjaan kepada Hesti Winarni untuk mencari anak/perempuan untuk dijadikan PSK (Pekerja Seks

Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, di mana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar.Biasanya anak penyandang tunagrahita

Pada komponen ketiga ini merupakan bagian kontrol yang berfungsi sebagai pengendali utama di mana aplikasi pada smartphone akan memberikan instruksi kepada

Mitra bersama anggota peternak lele dan masyarakat sekitar telah mendapat bantuan modal investasi usaha mikro (kecil/rumah tangga) pada mitra, khususnya peralatan

Pada sistem ini menggunakan Real Time Clock untuk mengatur timer penenggelaman 2 menit, penirisan 1 menit, pengapungan 57 menit.. Serta menggunakan sensor

Hal ini pun begitu menyulitkan tatkala terlebih pada orang-orang yang gagap akan teknologi, karena banyak perusahaan yang sekarang ini menaruh minat untuk

Pr ȇ kawis ingkang dipunr ȇ mbag wonten ing panaliten inggih punika (1) kados pundi strukuripun naskah Babad Gědhongan ingkang nyakup lapis bunyi, lapis arti,