59
BAB IV
ANALISA PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB TERHADAP KORUPSI
1. Pendahuluan
Fenomena korupsi bukan menjadi hal yang baru bagi GPIB. Dokumen-dokumen gereja
meliputi Pemahaman Iman, Tata Gereja GPIB menjadi bukti nyata bahwa GPIB turut dalam
memperhatikan masalah korupsi sebagai kepincangan yang sangat menakutkan bagi tatanan
kehidupan sosial. Sebagai sebuah lembaga sangatlah wajar GPIB membuat sebuah aturan yang
sifatnya ialah menata kehidupan warga jemaat dan masyarakat menjadi lebih baik. Bukan hanya
aturan secara sistematis akan tetapi, pembinaan-pembinaan oleh Gereja melalui khotbah,
pastoral, kegiatan seminar juga merupakan tindakan nyata GPIB dalam membina dan
membentuk pribadi-pribadi warga jemaat dan masyarakat menjadi lebih baik dalam menghadapi
tantangan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang juga berdampak pada perubahan
sosial warga jemaat dan masyarakat. Terkait dengan persoalan korupsi, GPIB meyakini bahwa
setiap orang telah diberikan dan diberkati dengan kepunyaan masing-masing dalam bentuk
apapun. Namun, ketika manusia lain mengingini, mengambil, merampas sesuatu yang bukan
menjadi hak miliknya maka tindakan tersebut melanggar Firman Tuhan (Hukum Taurat).
Berangkat dari Pemahaman Iman GPIB juga Hukum Taurat menjadi alasan kuat bagi
GPIB untuk tidak membenarkan tindakan korupsi. Dalam kerangka mewujudkan visi GPIB
“menjadi gereja yang mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaanNya”. Korupsi ialah
bentuk tindakan yang tidak menciptakan damai sejahtera . Oleh sebabnya siapapun dia, berasal
dari golongan manapun tanpa membeda-bedakan ketika didapati melakukan korupsi maka, ia
60
Sebelum menganalisa lebih dalam tentang bagaimana pemahaman dan sikap GPIB
terhadap korupsi baiknya kita merekonstruksi pola berpikir kita tentang hubungan antara
pemahaman dan sikap. Pemahaman ialah alur berpikir yang diciptakan dan dikonsepkan tentang
sesuatu hal sedangkan, sikap ialah tindakan yang dilahirkan dari alur berpikir yang telah
diciptakan dan dikonsepkan tersebut. Berkaitan dengan analisa pemahaman dan sikap GPIB
terhadap korupsi maka dapat dikatakan pemahaman GPIB tentang korupsi ialah kerangka teoritik
sedangkan, sikap GPIB ialah tindakan praktik yang dilahirkan atas dasar kerangka teoritik
tersebut. Dengannya penulis akan menyampaikan eksplanasi melalui proses analisa berikut ini.
2. Analisa pemahaman GPIB tentang korupsi
Istilah korupsi dalam sebuah lembaga Gereja kurang begitu populer untuk
menggambarkan tindakan penipuan yang dilakukan oleh seseorang. Sebaliknya, istilah mencuri
yang sering dipakai untuk menggambarkan hal tersebut. Oleh Gereja kata mencuri diserap dari
perintah Tuhan (Hukum ke-8) dalam Hukum Taurat, sehingga siapapun yang telah melakukan
tindakan korupsi itu berarti dia telah mencuri. Telah diuraikan dalam bab III bagaimana
perbedaan antara bentuk mencuri dan korupsi. Tidak secara harafiah GPIB memahami perintah
‘Jangan Mencuri’ dalam Hukum Taurat hanya semata-mata sebagai aksi mencuri seperti
pencurian handphone, mobil atau hal lain semacam itu. Namun GPIB membangun konsep yang
dalam tentang bagaimana korupsi itu sendiri
Pada bagian ini juga, akan dilakukan proses identifikasi berdasarkan buah pikir Alatas
tentang korupsi dalam rangka melakukan analisis kritis terhadap pemahaman GPIB sehubungan
61
Istilah korupsi dipahami sangat dalam oleh GPIB. Lahirnya pemahaman tersebut yang
didasarkan pada pemahaman teologis “Hukum Taurat (Jangan Mencuri)” sesungguhnya telah
melebur bersama pemahaman sosiologis korupsi itu sendiri. Maksudnya ialah, kedua sudut
pandang teologis dan sosiologis terhadap korupsi sudah dikonsepkan dengan baik oleh GPIB.
Secara sederhana, Hukum “Jangan Mencuri” tidak hanya sarat makna teologis akan tetapi sarat
makna sosiologis pula. Ternyata tidak hanya Hukum ke -8, Hukum ke-10 pun demikian. Gereja
melahirkan pemahaman-pemahaman luar biasa tentang korupsi. Kerangka pemahaman GPIB
tentang korupsi tidak menyangkut unsur teologis semata melainkan makna sosiologis korupsi
berdasarkan teori sosiologi Alatas sudah ada di dalamnya. Oleh penulis, gambaran pemahaman
gereja seperti yang telah diuraikan dalam bab III sudah mencakup tiga hal yang dimaksudkan
oleh Alatas yakni pemerasan, penyuapan dan nepotisme.
Berdasarkan uraian pemahaman gereja tentang korupsi dalam bab III yang menyatakan
bahwa korupsi ialah tindakan penyuapan yang secara teologis dilarang oleh Tuhan di dasarkan
atas tafsiran Keluaran 18:21 dan Keluaran 23:8 tentang ‘larangan pengejaran suap dan uang
suap’ dapat digolongkan dalam tipe korupsi defensif. Penyuapan defensif seperti tatkala para
petani Rusia pada abad 18 dan abad 19 menyuap para pejabat untuk melindungi kepentingan
mereka.1 Penyuapan yang baik pihak pemerintah maupun pihak penerimanya secara moral
bersalah.2 Sebagai contoh, penyuapan terhadap seorang hakim agar mendapat vonis yang
menguntungkan. Ini merupakan penyuapan defensif dalam sosiologi korupsi. Bila seorang
penguasa yang kejam menginginkan hak milik seseorang, tidak berdosalah memberikan kepada
penguasa tersebut sebagian harta itu untuk menyelamatkan harta selebihnya.
1
Syed Hussain Alat as, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakart a: LP3ES, 1987),xi.
2
62
Pemahaman korupsi lainnya adalah nepotisme oleh GPIB juga sangat dekat dengan
konsep sosiologi korupsi Alatas tentang korupsi perkerabatan. Dimana adanya penunjukan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara yang memberikan perlakuan yang mengutamakan,
dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka, secara bertentangan dengan norma
dan peraturan yang berlaku.3 Sadar maupun tidak sadar,bentuk korupsi seperti ini banyak
dipraktekkan dalam kehidupan sosial sebuah masyarakat. Dan GPIB memahaminya sebagai
sebuah tindakan korupsi.
Kedua bentuk korupsi di atas merupakan fenomena penyimpangan dalam kehidupan
sosial yang telah menjangkiti bahkan merusak hampir semua sendi kehidupan masyarakat. Hal
yang paling fatal ialah rusaknya moral manusia. Aristoteles lebih memakai istilah “moral
corruption” untuk menggambarkan hal dimaksud. Moral corruption merujuk kepada berbagai
bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem
demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya
sendiri.4 Rusaknya moral sebuah bangsa lebih berbahaya dibandingan dengan hilangnya harta
milik berupa uang. Dalam hal ini, bukan bermaksud mengesampingkan konsep korupsi yang
berkaitan dengan ekonomi, bisnis bahkan juga perbendaharaan sebuah instansi. Akan tetapi,
moral manusia merupakan nilai berharga identitas sebuah bangsa dan negara.
Hukum (Jangan Mencuri & Jangan Mengingini) dititahkan oleh Musa pada saat itu
sebenarnya dilatar belakangi oleh keadaan sosiologis Bangsa Israel. Mulai dari sejarah,
kebudayaan, pemerintahan. Kemudian penulis Kitab Eksodus memasukan nilai-nilai teologis
pada tiap-tiap butir dalam Hukum Taurat “Jangan Mencuri dan Jangan Mengingini” dengan
3
Ibid.,x.
4
63
maksud perintah tersebut datangnya dari Tuhan sehingga siapapun yang melanggar, ia akan
dihukum oleh Tuhan. Makna teologis dalam Hukum Jangan mencuri dan Jangan mengingini
tersebut tidak bisa dilepas pisahkan dari latar belakang sosiologisnya. Bila kita tidak melihat
lebih jauh ke dalam suatu masalah dan tidak mengaitkannya dengan konteks yang tepat, maka
kita akan mudah salah dalam memahami masalah yang dimaksud.5 Pemikiran kritis Alatas inilah,
menurut penulis mendapat perhatian juga dari GPIB dalam membangun cara berpikir yang kritis
terhadap korupsi yang dilihat dalam hukum ke-8 dan ke-10 bahwa hukum tersebut tidak
dititahkan sesegera itu. Ada persoalan-persoalan sosial dalam tatanan kehidupan Bangsa Israel
yang mendorong mengapa Hukum Taurat tersebut harus dititahkan. Inilah yang dimaksudkan
oleh Alatas dengan pemahaman melihat jauh ke dalam konteks terciptanya sebuah masalah.
Sekali lagi korupsi telah menjadi kebiasan sejak zaman lampau. Uraian dalam Bab II
tentang bagaimana Salomo menggunakan kekuasaannya untuk memeras rakyat dari
membengkaknya pajak serta bentuk ketidakadilan lainnya yang dilakukan oleh Salomo menjadi
alarm bagi GPIB bahwa korupsi menjadi tradisi dalam corak birokrasi patrimonial.
Budaya patrimonial adalah salah satu faktor yang dikemukakan oleh Alatas penyebab
terjadinya korupsi. Penulis menggolongkan pemahaman GPIB tentang korupsi ke dalam faktor
tersebut berdasarkan sosiologi korupsi Alatas. Birokrasi patrimonial, menjadi sesuatu yang
membudaya sebagai kelaziman dalam masyarakat, dan memapankan bentuknya dalam sebuah
pemerintahan. Atas hal ini Mansyur Semma mengatakan;
Korupsi menjadi budaya dalam sistem tersebut (birokrasi patrimonial), dimana kekuasaan dan keutamaan, menjadi harga mati bagi kalangan ningrat dan golongannya.6
5
Syed Hussain Alat as, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi,…,xviii.
6
64
Budaya semacam ini dinilai oleh GPIB telah dipraktekkan oleh Salomo ketika
memimpin bangsa Israel. Salomo memakai kekuatan dan kekuasaannya sebagai peluang untuk
melahirkan bentuk ketidakadilan sosial bagi rakyatnya saat itu. Hal ini terlihat jelas dalam Kitab
1 Raja-Raja 12:4. Ketika Yerobeam mengatakan kepada Rehabeam bahwa “ayahmu telah
memberatkan tanggungan kami” mengindikasikan bahwa rakyat Israel pada saat itu sedang ada
dalam kondisi yang tertekan akibat birokrasi patrimonial Salomo. “Tanggungan yang
memberatkan” bagi Coote merupakan beban yang dipikul oleh rakyat atas kepentingan pribadi
Salomo semata. Salomo diharuskan memelihara lapisan elitnya yang tidak bekerja menghasilkan
bahan makan, sesuatu yang dikerjakan pada umumnya oleh rakyat kecil.7 Selebihnya yang
menjadi alasan lahirnya ketidakadilan sosial oleh Salomo telah diuraikan penulis dalam bab II.
Semua alasan tersebut pada intinya ingin menyatakan bahwa apapun yang dilakukan oleh
Salomo semata-mata hanya ingin memuaskan keinginan pribadi. Hal tersebut dapat dilakukan
olehnya karena, saat itu ia berbesar kepala sebagai seorang pemimpin yang memiliki otoritas
tertinggi. Kekuasaan tertinggi itulah yang dipakai olehnya untuk menindas rakyat bekerja demi
kepentingan pribadi.
Oleh karena Salomo pada saat itu memegang kekuasaan tertinggi maka bangsa Israel
seolah takut dan takluk kepada pemimpinnya yang telah memberatkan tanggungannya kepada
rakyat tersebut. Bangsa Israel memilih tetap ada dalam sikap diam hingga akhirnya para nabi
melihat hal tersebut sebagai bentuk ketidakadilan yang semestinya tidak terjadi. Bangsa Israel
telah dinina bobokan oleh kekuasaan Salomo. Atas dasar inilah Nabi tampil sebagai tangan
kanan Tuhan untuk menentang dan bernubuat atas praktek-praktek ketidakadilan sosial yang
dijalankan oleh Salomo saat itu. Dan masih ada Salomo Salomo baru yang tetap melanggengkan
budaya patrimonial hingga saat ini. Budaya Patrimonial semacam inilah yang dimaksudkan oleh
7
65
GPIB dalam uraian Bab III oleh penulis. Hanya saja bahasa yang dipakai ialah budaya
menguasai dari sang penguasa suatu birokrasi.
Keadaan yang digambarkan di atas yakni pada masa Salomo menurut hemat penulis
masih dipraktekkan hingga saat ini. Korupsi mengakibatkan lahirnya ketidakadilan sosial.
Kemakmuran hanya dinikmati oleh penguasa tertinggi dan kalangan elit tanpa disadari bahwa
segala sesuatu yang mereka nikmati ialah hak milik orang lain terutama hak-hak rakyat kecil.
Apabila pada masa Bangsa Israel Nabi lah yang berani mengkritik dengan tegas
perbuatan-perbuatan ketidakadilan sosial tersebut maka yang menjadi Nabi masa kini ialah Gereja. Gereja
mestinya memperdengarkan suara kenabian dengan tegas bagi setiap penguasa tertinggi dan para
kalangan elit yang hampir tiap saat didengar oleh publik mempraktekkan ketidakadilan sosial
dengan cara korupsi.
Dari uraian di atas penulis kemudian menganalisis bahwa pemahaman GPIB tentang
korupsi sebenarnya telah mencakup kedua sudut pandang yakni sosiologis berdasarkan teori
sosiologi korupsi Alatas dan juga teologis. Korupsi bukan merupakan persoalan uang dalam hal
ini ekonomi dan bisnis semata tetapi mencakup persoalan sosial, etika dan moral. Cara berpikir
GPIB seperti inilah menjadikan GPIB tidak serta merta menjudge seseorang ketika melakukan
tindakan korupsi berarti ia seutuhnya sosok yang jahat. Benar, kalau GPIB melandaskan cara
berpikirnya pada sumber Alkitab bahwa seseorang (koruptor) telah melanggar ketetapan Hukum
Tuhan. Akan tetapi, GPIB tidak mengabaikan aspek sosiologis tindakan tersebut bisa terjadi.
Oleh karena GPIB adalah sebuah lembaga yang kaya akan nilai-nilai etos maka,
sekalipun GPIB mempertimbangkan aspek sosiologis korupsi ,gereja tetap menyikapinya dalam
pemahaman teologis. Untuk itulah, dalam uraian selanjutnya penulis akan melakukan analisa
66
3. Analisa sikap GPIB terhadap korupsi
Pemahaman Iman GPIB, Tata Gereja menyangkut Peraturan no 6, juga pembinaan jemaat
merupakan sikap yang diambil oleh GPIB dalam menyikapi persoalan korupsi telah diuraikan
dalam Bab III oleh penulis. Adalah sikap yang tegas sebagai sebuah lembaga dalam membuat
aturan yang dipakai gereja untuk mengatur secara sistem lembaga tersebut berjalan dengan baik
namun juga sebagai nilai tambah dalam menata serta membina pribadi-pribadi warga jemaat dan
masyarakat untuk memahami persoalan-persoalan kehidupan sosial yang kompleks. Sekali lagi,
dengan dibuatnya aturan, secara sistematis GPIB diatur dan dikontrol oleh aturan tersebut.
Dalam hal ini terkait dengan korupsi ‘aturan tentang Perbendaharaan GPIB’ adalah pengontrol.
Aturan no 6 dalam Tata Gereja tersebut ialah senjata bagi GPIB untuk menindaklanjuti apabila
kedapatan Majelis Sinode/Majelis Jemaat melakukan korupsi.
Dalam anilisa ini penulis ingin menganalisis Peraturan no 6 tentang Perbendaharaan
GPIB. Dalam Tata Gereja Peraturan no 6 tersebut dibuat hanya untuk mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan harta milik Gereja yang bergerak dan tidak bergerak. Apabila kedapatan hak
milik Gereja hilang akan ada proses-proses selanjutnya berkaitan dengan kasus kehilangan
tersebut. Jika dalam prosesnya majelis sinode atau majelis jemaat didapatkan bersalah karena
melakukan penggelapan, penyelewengan terhadap harta milik Gereja maka, ia dikatakan telah
melakukan tindakan korupsi. Yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimana dengan hak milik
negara?. Menurut hemat penulis, peraturan no 6 tentang perbendaharaan GPIB hanya
mengandung unsur teologis semata dan mengabaikan unsur sosiologis. Jika sikap Gereja yang
ditunjukan pada peraturan no 6 dalam melihat fenomena korupsi yang semakin mengancam
setiap sendi kehidupan bangsa dan negara berdasarkan penggelapan harta milik Gereja semata itu
67
tersebut hanyalah berlaku bagi Majelis sinode atau Majelis Jemaat. Lalu, bagaimana dengan
warga jemaat dan masyarakat yang melakukan korupsi? bukan sekedar bersentuhan dengan uang
melainkan penyuapan barang, nepotisme seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal-hal ini
sangat dekat dengan kehidupan sosial jemaat dan masyarakat. Bagaimana Gereja dapat berbicara
tentang mewujudkan Damai Sejahtera dan Sukacita bagi seluruh ciptaan-Nya apabila hanya
sebagian ciptaan-Nya yang dikontrol aturan tersebut?
Benar bahwa salah satu sikap GPIB yakni melakukan pembinaan yang rutin setiap
minggunya bagi semua anggota jemaat dan masyarakat menandakan, GPIB turut bertanggung
jawab dalam melihat persoalan sosial yang terjadi. Akan tetapi, pembinaan saja tidaklah cukup
tanpa adanya aturan yang tegas yang bersifat menyeluruh terhadap warga jemaat dan
masyarakat. Sebaliknya, kepincangan pun akan terjadi apabila aturan dalam sebuah sistem telah
dibuat dengan baik namun pembinaan terhadap jemaat dan masyarakat minim. Untuk memiliki
konsep korupsi yang lebih dalam lagi Gereja perlu melakukan pembinaan melalui
khotbah-khotbah mingguan juga dalam pelayanan kategorial. Gereja secara kritis memberikan
pandangan-pandangan baru melalui khotbah-khotbah dengan tidak hanya memperhatikan sisi
dogma saja tetapi, kesemuanya haruslah menyentuh ranah kehidupan sosial warga jemaat dan
masyarakat.
Aturan dan pembinaan keduanya mesti seimbang dalam pelaksanaanya. Korupsi yang
adalah penyuapan oleh Alatas tidak sekedar menyangkut uang tetapi penyuapan barang,
nepotisme, bahkan pemberian hadiah. Kesemuanya menyangkut moral seseorang koruptor.
68
atau peras-memeras antara pengusaha dan pemangku jabatan publik8 Namun lebih dari itu
moral-moral yang koruptif menjadi ancaman yang hebat lebih dari sekedar korupsi dipandang
sebagai pencurian uang semata. Contohnya nepotisme “oleh karena adanya hubungan
kekeluargaan, diberikanlah kedudukan dalam satu organisasi tertentu tanpa mempertimbangkan
kelayakkan orang tersebut”. Contoh seperti ini bukan menyangkut korupsi dalam bentuk uang.
Melainkan menyangkut terciptanya moral-moral yang rusak. Lalu apakah ada aturan Gereja
mengenai hal ini dalam aturan no 6 dalam Tata Gereja?
Jika negara bisa membuat aturan dalam Undang-undang tidak hanya untuk hak milik
negara yang bergerak dan tidak bergerak tetapi juga mengatur tentang seorang pejabat yang
melakukan korupsi dalam bentuk nepotisme, pemberian hadiah dan hal-hal lain yang berkaitan
maka pejabat tersebut akan disanksikan. Lalu mengapa Gereja tidak bisa membuat aturan
samacam ini? Dalam kenyataannya pasal no 6 tentang Perbendaharaan GPIB ialah aturan yang
hanya berlaku untuk mengatur kas Gereja semata. Tetapi, apakah nepotisme dan pemberian
hadiah termasuk dalam Perbendaharaan Gereja? Penulis berpikir bahwa nepotisme bukan
persoalan perbendaharaan bahkan pemberian hadiah pun tidak selamanya menyangkut uang.
Lalu bagaimana GPIB membina bahkan memperbaiki moral-moral jemaat dan masyarakat yang
tidak bisa terhindar dari masyarakat koruptif hanya melalui khotbah, kegiatan seminar dan
pastoral? Apa yang telah dikhotbahkan mestinya dituangkan juga dalam satu aturan yang
disahkan agar supaya ketika warga jemaat dan masyarakat dibina mereka pun dikontrol oleh
aturan. “Ketika siapapun melakukan nepotisme bahkan pemberian hadiah dalam bentuk apapun
maka, ada sanksi yang telah dibuat dalam sebuah aturan yang sah”.
8
69
Korupsi pada intinya dapat dipetakan dalam dua cara pandang. Di satu sisi, beberapa
pemikir meletakkan korupsi sebagai berasal dari individu itu sendiri. Di sisi lain korupsi sebagai
sebuah praktik sosial dalam sebuah sistem.9 Sebut saja korupsi dalam ukuran kaum moralis dan
sosialis. Bagi kaum moralis korupsi diartikan sebagai penyimpangan individual, kegagalan moral
di pihak individu yang berwatak lemah dan tidak terlatih dengan baik”. Seseorang melakukan
korupsi tidak lebih karena individu tidak mampu berhadapan langsung dengan realitas di luar
dirinya. Wataknya terbentuk dengan tidak membawa perangkat-perangkat yang bisa
menghindarkannya dari melakukan korupsi.10 Dalam sistem sosialis, korupsi itu ada sebagai
pengecualian atas peraturan dan sebagai gangguan sistem. Korupsi tidak terjadi karena individu
menginginkan dirinya untuk terjebak pada satu keadaan. Justru, keadaan itulah yang telah
membawa dirinya terjebak lebih jauh untuk bergerak menurut kaidah umum. Adanya
ketidaksiapan individu menghadapi realitas di depan matanya, memaksa dirinya untuk tidak
melepaskan begitu saja peluang yang ada.11
Kedua cara pandang ini berbeda tetapi saling melengkapi. Ketika kaum moralis
mengatakan bahwa korupsi berasal dari individu itu sendiri yang mengakibatkan terbentuknya
moral yang buruk maka sikap GPIB dalam hal ini “pembinaan jemaat” merupakan langkah yang
tepat. Akan tetapi, langkah tersebut harus disokong dengan sistem yang memadai seperti apa
yang dimaksudkan oleh kaum sosialis. Sekalipun moral seseorang baik, ketika diperhadapkan
dengan sistem yang kurang baik kemungkinan yang terjadi ialah seseorang bisa saja melakukan
korupsi. Seperti kata Joseph, faktor behavior juga mempengaruhi sebab terjadinya korupsi. Oleh
sebabnya, GPIB mestinya melakukan balance terhadap kedua hal ini. Terutama harus
9
M ansyur Semma, Negara dan Korupsi,…,40.
10
Ibid.
11
70
dilakukannya penguatan dalam Tata Gereja tentang aturan korupsi sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Alatas.
Gereja ialah Nabi masa kini. Kritik para Nabi baik Amos, Yesaya bahkan Yesus dalam
Perjanjian Baru pun sesungguhnya ditujukan bagi penguasa bangsa Israel yang saat itu
mempraktekkan kehidupan sosial yang dangkal dan mewah mestinya menjadi acuan bagi Gereja
untuk mengkritisi bentuk ketidakadilan sosial yang sekarang ini nyata terjadi di negara Indonesia
bukan hanya melalui Pemahaman Iman yang begitu baiknya disusun oleh Gereja dan juga bukan
hanya melalui pembinaan warga Gereja yang tidak bersifat dogmatis tetapi, aturan dalam Tata
Gereja juga mestinya dikritisi lebih baik guna menciptakan damai sejahtera seturut dengan apa
yang dimakni oleh GPIB sendiri. Semestinya GPIB bertanya dalam diri bahwa apabila GPIB
telah bersikap, lalu mengapa hingga kini praktek korupsi sebagai wujud ketidakadilan sosial
semakin menjadi-jadi? Pertanyaan ini haruslah mendapat perhatian yang lebih dari GPIB serta
harus bersikap dengan kritis terhadap setiap persoalan sosial yang terjadi. Setidaknya bukan
menghilangkan praktek korupsi secara meyeluruh melainkan dengan adanya sikap kritis GPIB
membantu mengurangi praktek korupsi yang telah menjadi gumulan bersama setiap umat Tuhan
Mengacu pada analisa tersebut, penulis kemudian melahirkan sebuah pemahaman yakni
korupsi yang melahirkan ketidakadilan sosial sesungguhnya telah menciptakan
golongan-golongan yang berbeda. Dalam hal ini sang penguasa dan yang dikuasai sebut saja golongan-golongan atas
dan golongan bawah. Oleh karena golongan atas yang memegang kekuasaan tertinggi tentu
memiliki kesempatan dengan memakai kekuasannya tersebut untuk mempraktekkan korupsi.
Sehingga yang menjadi korban disini ialah golongan bawah dalam hal ini rakyat kecil. Rakyat
kecil tidak bisa berbuat apa-apa selama kekuasaan tertinggi ada di tangan penguasa yang salah
71
maka bagi penulis korupsi ialah bentuk sikap yang tidak mengasihi sesama padahal
sesungguhnya di hadapan-Nya semua ciptaan ialah sama tanpa membedakan status sosial dalam
sebuah tatanan kehidupan berjemaat dan bermasyarkat.
4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas. Bagi penulis sikap GPIB tidak sejalan dengan
pemahamannya tentang korupsi. GPIB membangun satu pola pikir yang baik tentang korupsi
akan tetapi, apa yang dipahami oleh GPIB tidak terlihat dalam sikapnya. Korupsi tidak hanya
berpengaruh pada dunia ekonomi sebuah instansi saja melainkan praktek korupsi telah merusak
moral setiap orang yang memberikan dirinya dalam dunia korupsi tersebut dengan melakukan
tindakan-tindakan nepotisme, penyuapan, pemberian hadiah dan hal-hal lain yang berkaitan.
Gereja mesti bersikap berdasarkan apa yang telah dipahami baik secara sosiologis maupun
teologis.
Gereja tidak hanya membina jemaat dan masyarakat tetapi Gereja juga mesti
menciptakan sistem-sistem yang baik untuk mewujudkan visi GPIB yang sebenarnya. Ketika
GPIB hanya sebatas memahami namun, tidak menyikapi dengan seutuhnya anggaplah saja
Gereja menghidupkan kembali istilah “No action talk only”. Semestinya apa yang dipahami
Gereja, itulah yang membentuk gereja bersikap dengan menciptakan aturan-aturan yang tegas
yang tidak hanya secara implisit tetapi haruslah eksplisit. Sebab ketika sebuah aturan hanya
berkisar pada ranah implisit semata sejujurnya Gereja akan sulit menciptakan damai sejahtera