• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korupsi Dalam Pemahaman dan Sikap Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) T2 752013031 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korupsi Dalam Pemahaman dan Sikap Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) T2 752013031 BAB IV"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

59

BAB IV

ANALISA PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB TERHADAP KORUPSI

1. Pendahuluan

Fenomena korupsi bukan menjadi hal yang baru bagi GPIB. Dokumen-dokumen gereja

meliputi Pemahaman Iman, Tata Gereja GPIB menjadi bukti nyata bahwa GPIB turut dalam

memperhatikan masalah korupsi sebagai kepincangan yang sangat menakutkan bagi tatanan

kehidupan sosial. Sebagai sebuah lembaga sangatlah wajar GPIB membuat sebuah aturan yang

sifatnya ialah menata kehidupan warga jemaat dan masyarakat menjadi lebih baik. Bukan hanya

aturan secara sistematis akan tetapi, pembinaan-pembinaan oleh Gereja melalui khotbah,

pastoral, kegiatan seminar juga merupakan tindakan nyata GPIB dalam membina dan

membentuk pribadi-pribadi warga jemaat dan masyarakat menjadi lebih baik dalam menghadapi

tantangan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang juga berdampak pada perubahan

sosial warga jemaat dan masyarakat. Terkait dengan persoalan korupsi, GPIB meyakini bahwa

setiap orang telah diberikan dan diberkati dengan kepunyaan masing-masing dalam bentuk

apapun. Namun, ketika manusia lain mengingini, mengambil, merampas sesuatu yang bukan

menjadi hak miliknya maka tindakan tersebut melanggar Firman Tuhan (Hukum Taurat).

Berangkat dari Pemahaman Iman GPIB juga Hukum Taurat menjadi alasan kuat bagi

GPIB untuk tidak membenarkan tindakan korupsi. Dalam kerangka mewujudkan visi GPIB

“menjadi gereja yang mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaanNya”. Korupsi ialah

bentuk tindakan yang tidak menciptakan damai sejahtera . Oleh sebabnya siapapun dia, berasal

dari golongan manapun tanpa membeda-bedakan ketika didapati melakukan korupsi maka, ia

(2)

60

Sebelum menganalisa lebih dalam tentang bagaimana pemahaman dan sikap GPIB

terhadap korupsi baiknya kita merekonstruksi pola berpikir kita tentang hubungan antara

pemahaman dan sikap. Pemahaman ialah alur berpikir yang diciptakan dan dikonsepkan tentang

sesuatu hal sedangkan, sikap ialah tindakan yang dilahirkan dari alur berpikir yang telah

diciptakan dan dikonsepkan tersebut. Berkaitan dengan analisa pemahaman dan sikap GPIB

terhadap korupsi maka dapat dikatakan pemahaman GPIB tentang korupsi ialah kerangka teoritik

sedangkan, sikap GPIB ialah tindakan praktik yang dilahirkan atas dasar kerangka teoritik

tersebut. Dengannya penulis akan menyampaikan eksplanasi melalui proses analisa berikut ini.

2. Analisa pemahaman GPIB tentang korupsi

Istilah korupsi dalam sebuah lembaga Gereja kurang begitu populer untuk

menggambarkan tindakan penipuan yang dilakukan oleh seseorang. Sebaliknya, istilah mencuri

yang sering dipakai untuk menggambarkan hal tersebut. Oleh Gereja kata mencuri diserap dari

perintah Tuhan (Hukum ke-8) dalam Hukum Taurat, sehingga siapapun yang telah melakukan

tindakan korupsi itu berarti dia telah mencuri. Telah diuraikan dalam bab III bagaimana

perbedaan antara bentuk mencuri dan korupsi. Tidak secara harafiah GPIB memahami perintah

‘Jangan Mencuri’ dalam Hukum Taurat hanya semata-mata sebagai aksi mencuri seperti

pencurian handphone, mobil atau hal lain semacam itu. Namun GPIB membangun konsep yang

dalam tentang bagaimana korupsi itu sendiri

Pada bagian ini juga, akan dilakukan proses identifikasi berdasarkan buah pikir Alatas

tentang korupsi dalam rangka melakukan analisis kritis terhadap pemahaman GPIB sehubungan

(3)

61

Istilah korupsi dipahami sangat dalam oleh GPIB. Lahirnya pemahaman tersebut yang

didasarkan pada pemahaman teologis “Hukum Taurat (Jangan Mencuri)” sesungguhnya telah

melebur bersama pemahaman sosiologis korupsi itu sendiri. Maksudnya ialah, kedua sudut

pandang teologis dan sosiologis terhadap korupsi sudah dikonsepkan dengan baik oleh GPIB.

Secara sederhana, Hukum “Jangan Mencuri” tidak hanya sarat makna teologis akan tetapi sarat

makna sosiologis pula. Ternyata tidak hanya Hukum ke -8, Hukum ke-10 pun demikian. Gereja

melahirkan pemahaman-pemahaman luar biasa tentang korupsi. Kerangka pemahaman GPIB

tentang korupsi tidak menyangkut unsur teologis semata melainkan makna sosiologis korupsi

berdasarkan teori sosiologi Alatas sudah ada di dalamnya. Oleh penulis, gambaran pemahaman

gereja seperti yang telah diuraikan dalam bab III sudah mencakup tiga hal yang dimaksudkan

oleh Alatas yakni pemerasan, penyuapan dan nepotisme.

Berdasarkan uraian pemahaman gereja tentang korupsi dalam bab III yang menyatakan

bahwa korupsi ialah tindakan penyuapan yang secara teologis dilarang oleh Tuhan di dasarkan

atas tafsiran Keluaran 18:21 dan Keluaran 23:8 tentang ‘larangan pengejaran suap dan uang

suap’ dapat digolongkan dalam tipe korupsi defensif. Penyuapan defensif seperti tatkala para

petani Rusia pada abad 18 dan abad 19 menyuap para pejabat untuk melindungi kepentingan

mereka.1 Penyuapan yang baik pihak pemerintah maupun pihak penerimanya secara moral

bersalah.2 Sebagai contoh, penyuapan terhadap seorang hakim agar mendapat vonis yang

menguntungkan. Ini merupakan penyuapan defensif dalam sosiologi korupsi. Bila seorang

penguasa yang kejam menginginkan hak milik seseorang, tidak berdosalah memberikan kepada

penguasa tersebut sebagian harta itu untuk menyelamatkan harta selebihnya.

1

Syed Hussain Alat as, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakart a: LP3ES, 1987),xi.

2

(4)

62

Pemahaman korupsi lainnya adalah nepotisme oleh GPIB juga sangat dekat dengan

konsep sosiologi korupsi Alatas tentang korupsi perkerabatan. Dimana adanya penunjukan yang

tidak sah terhadap teman atau sanak saudara yang memberikan perlakuan yang mengutamakan,

dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka, secara bertentangan dengan norma

dan peraturan yang berlaku.3 Sadar maupun tidak sadar,bentuk korupsi seperti ini banyak

dipraktekkan dalam kehidupan sosial sebuah masyarakat. Dan GPIB memahaminya sebagai

sebuah tindakan korupsi.

Kedua bentuk korupsi di atas merupakan fenomena penyimpangan dalam kehidupan

sosial yang telah menjangkiti bahkan merusak hampir semua sendi kehidupan masyarakat. Hal

yang paling fatal ialah rusaknya moral manusia. Aristoteles lebih memakai istilah “moral

corruption” untuk menggambarkan hal dimaksud. Moral corruption merujuk kepada berbagai

bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem

demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya

sendiri.4 Rusaknya moral sebuah bangsa lebih berbahaya dibandingan dengan hilangnya harta

milik berupa uang. Dalam hal ini, bukan bermaksud mengesampingkan konsep korupsi yang

berkaitan dengan ekonomi, bisnis bahkan juga perbendaharaan sebuah instansi. Akan tetapi,

moral manusia merupakan nilai berharga identitas sebuah bangsa dan negara.

Hukum (Jangan Mencuri & Jangan Mengingini) dititahkan oleh Musa pada saat itu

sebenarnya dilatar belakangi oleh keadaan sosiologis Bangsa Israel. Mulai dari sejarah,

kebudayaan, pemerintahan. Kemudian penulis Kitab Eksodus memasukan nilai-nilai teologis

pada tiap-tiap butir dalam Hukum Taurat “Jangan Mencuri dan Jangan Mengingini” dengan

3

Ibid.,x.

4

(5)

63

maksud perintah tersebut datangnya dari Tuhan sehingga siapapun yang melanggar, ia akan

dihukum oleh Tuhan. Makna teologis dalam Hukum Jangan mencuri dan Jangan mengingini

tersebut tidak bisa dilepas pisahkan dari latar belakang sosiologisnya. Bila kita tidak melihat

lebih jauh ke dalam suatu masalah dan tidak mengaitkannya dengan konteks yang tepat, maka

kita akan mudah salah dalam memahami masalah yang dimaksud.5 Pemikiran kritis Alatas inilah,

menurut penulis mendapat perhatian juga dari GPIB dalam membangun cara berpikir yang kritis

terhadap korupsi yang dilihat dalam hukum ke-8 dan ke-10 bahwa hukum tersebut tidak

dititahkan sesegera itu. Ada persoalan-persoalan sosial dalam tatanan kehidupan Bangsa Israel

yang mendorong mengapa Hukum Taurat tersebut harus dititahkan. Inilah yang dimaksudkan

oleh Alatas dengan pemahaman melihat jauh ke dalam konteks terciptanya sebuah masalah.

Sekali lagi korupsi telah menjadi kebiasan sejak zaman lampau. Uraian dalam Bab II

tentang bagaimana Salomo menggunakan kekuasaannya untuk memeras rakyat dari

membengkaknya pajak serta bentuk ketidakadilan lainnya yang dilakukan oleh Salomo menjadi

alarm bagi GPIB bahwa korupsi menjadi tradisi dalam corak birokrasi patrimonial.

Budaya patrimonial adalah salah satu faktor yang dikemukakan oleh Alatas penyebab

terjadinya korupsi. Penulis menggolongkan pemahaman GPIB tentang korupsi ke dalam faktor

tersebut berdasarkan sosiologi korupsi Alatas. Birokrasi patrimonial, menjadi sesuatu yang

membudaya sebagai kelaziman dalam masyarakat, dan memapankan bentuknya dalam sebuah

pemerintahan. Atas hal ini Mansyur Semma mengatakan;

Korupsi menjadi budaya dalam sistem tersebut (birokrasi patrimonial), dimana kekuasaan dan keutamaan, menjadi harga mati bagi kalangan ningrat dan golongannya.6

5

Syed Hussain Alat as, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi,…,xviii.

6

(6)

64

Budaya semacam ini dinilai oleh GPIB telah dipraktekkan oleh Salomo ketika

memimpin bangsa Israel. Salomo memakai kekuatan dan kekuasaannya sebagai peluang untuk

melahirkan bentuk ketidakadilan sosial bagi rakyatnya saat itu. Hal ini terlihat jelas dalam Kitab

1 Raja-Raja 12:4. Ketika Yerobeam mengatakan kepada Rehabeam bahwa “ayahmu telah

memberatkan tanggungan kami” mengindikasikan bahwa rakyat Israel pada saat itu sedang ada

dalam kondisi yang tertekan akibat birokrasi patrimonial Salomo. “Tanggungan yang

memberatkan” bagi Coote merupakan beban yang dipikul oleh rakyat atas kepentingan pribadi

Salomo semata. Salomo diharuskan memelihara lapisan elitnya yang tidak bekerja menghasilkan

bahan makan, sesuatu yang dikerjakan pada umumnya oleh rakyat kecil.7 Selebihnya yang

menjadi alasan lahirnya ketidakadilan sosial oleh Salomo telah diuraikan penulis dalam bab II.

Semua alasan tersebut pada intinya ingin menyatakan bahwa apapun yang dilakukan oleh

Salomo semata-mata hanya ingin memuaskan keinginan pribadi. Hal tersebut dapat dilakukan

olehnya karena, saat itu ia berbesar kepala sebagai seorang pemimpin yang memiliki otoritas

tertinggi. Kekuasaan tertinggi itulah yang dipakai olehnya untuk menindas rakyat bekerja demi

kepentingan pribadi.

Oleh karena Salomo pada saat itu memegang kekuasaan tertinggi maka bangsa Israel

seolah takut dan takluk kepada pemimpinnya yang telah memberatkan tanggungannya kepada

rakyat tersebut. Bangsa Israel memilih tetap ada dalam sikap diam hingga akhirnya para nabi

melihat hal tersebut sebagai bentuk ketidakadilan yang semestinya tidak terjadi. Bangsa Israel

telah dinina bobokan oleh kekuasaan Salomo. Atas dasar inilah Nabi tampil sebagai tangan

kanan Tuhan untuk menentang dan bernubuat atas praktek-praktek ketidakadilan sosial yang

dijalankan oleh Salomo saat itu. Dan masih ada Salomo Salomo baru yang tetap melanggengkan

budaya patrimonial hingga saat ini. Budaya Patrimonial semacam inilah yang dimaksudkan oleh

7

(7)

65

GPIB dalam uraian Bab III oleh penulis. Hanya saja bahasa yang dipakai ialah budaya

menguasai dari sang penguasa suatu birokrasi.

Keadaan yang digambarkan di atas yakni pada masa Salomo menurut hemat penulis

masih dipraktekkan hingga saat ini. Korupsi mengakibatkan lahirnya ketidakadilan sosial.

Kemakmuran hanya dinikmati oleh penguasa tertinggi dan kalangan elit tanpa disadari bahwa

segala sesuatu yang mereka nikmati ialah hak milik orang lain terutama hak-hak rakyat kecil.

Apabila pada masa Bangsa Israel Nabi lah yang berani mengkritik dengan tegas

perbuatan-perbuatan ketidakadilan sosial tersebut maka yang menjadi Nabi masa kini ialah Gereja. Gereja

mestinya memperdengarkan suara kenabian dengan tegas bagi setiap penguasa tertinggi dan para

kalangan elit yang hampir tiap saat didengar oleh publik mempraktekkan ketidakadilan sosial

dengan cara korupsi.

Dari uraian di atas penulis kemudian menganalisis bahwa pemahaman GPIB tentang

korupsi sebenarnya telah mencakup kedua sudut pandang yakni sosiologis berdasarkan teori

sosiologi korupsi Alatas dan juga teologis. Korupsi bukan merupakan persoalan uang dalam hal

ini ekonomi dan bisnis semata tetapi mencakup persoalan sosial, etika dan moral. Cara berpikir

GPIB seperti inilah menjadikan GPIB tidak serta merta menjudge seseorang ketika melakukan

tindakan korupsi berarti ia seutuhnya sosok yang jahat. Benar, kalau GPIB melandaskan cara

berpikirnya pada sumber Alkitab bahwa seseorang (koruptor) telah melanggar ketetapan Hukum

Tuhan. Akan tetapi, GPIB tidak mengabaikan aspek sosiologis tindakan tersebut bisa terjadi.

Oleh karena GPIB adalah sebuah lembaga yang kaya akan nilai-nilai etos maka,

sekalipun GPIB mempertimbangkan aspek sosiologis korupsi ,gereja tetap menyikapinya dalam

pemahaman teologis. Untuk itulah, dalam uraian selanjutnya penulis akan melakukan analisa

(8)

66

3. Analisa sikap GPIB terhadap korupsi

Pemahaman Iman GPIB, Tata Gereja menyangkut Peraturan no 6, juga pembinaan jemaat

merupakan sikap yang diambil oleh GPIB dalam menyikapi persoalan korupsi telah diuraikan

dalam Bab III oleh penulis. Adalah sikap yang tegas sebagai sebuah lembaga dalam membuat

aturan yang dipakai gereja untuk mengatur secara sistem lembaga tersebut berjalan dengan baik

namun juga sebagai nilai tambah dalam menata serta membina pribadi-pribadi warga jemaat dan

masyarakat untuk memahami persoalan-persoalan kehidupan sosial yang kompleks. Sekali lagi,

dengan dibuatnya aturan, secara sistematis GPIB diatur dan dikontrol oleh aturan tersebut.

Dalam hal ini terkait dengan korupsi ‘aturan tentang Perbendaharaan GPIB’ adalah pengontrol.

Aturan no 6 dalam Tata Gereja tersebut ialah senjata bagi GPIB untuk menindaklanjuti apabila

kedapatan Majelis Sinode/Majelis Jemaat melakukan korupsi.

Dalam anilisa ini penulis ingin menganalisis Peraturan no 6 tentang Perbendaharaan

GPIB. Dalam Tata Gereja Peraturan no 6 tersebut dibuat hanya untuk mengatur hal-hal yang

berkaitan dengan harta milik Gereja yang bergerak dan tidak bergerak. Apabila kedapatan hak

milik Gereja hilang akan ada proses-proses selanjutnya berkaitan dengan kasus kehilangan

tersebut. Jika dalam prosesnya majelis sinode atau majelis jemaat didapatkan bersalah karena

melakukan penggelapan, penyelewengan terhadap harta milik Gereja maka, ia dikatakan telah

melakukan tindakan korupsi. Yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimana dengan hak milik

negara?. Menurut hemat penulis, peraturan no 6 tentang perbendaharaan GPIB hanya

mengandung unsur teologis semata dan mengabaikan unsur sosiologis. Jika sikap Gereja yang

ditunjukan pada peraturan no 6 dalam melihat fenomena korupsi yang semakin mengancam

setiap sendi kehidupan bangsa dan negara berdasarkan penggelapan harta milik Gereja semata itu

(9)

67

tersebut hanyalah berlaku bagi Majelis sinode atau Majelis Jemaat. Lalu, bagaimana dengan

warga jemaat dan masyarakat yang melakukan korupsi? bukan sekedar bersentuhan dengan uang

melainkan penyuapan barang, nepotisme seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal-hal ini

sangat dekat dengan kehidupan sosial jemaat dan masyarakat. Bagaimana Gereja dapat berbicara

tentang mewujudkan Damai Sejahtera dan Sukacita bagi seluruh ciptaan-Nya apabila hanya

sebagian ciptaan-Nya yang dikontrol aturan tersebut?

Benar bahwa salah satu sikap GPIB yakni melakukan pembinaan yang rutin setiap

minggunya bagi semua anggota jemaat dan masyarakat menandakan, GPIB turut bertanggung

jawab dalam melihat persoalan sosial yang terjadi. Akan tetapi, pembinaan saja tidaklah cukup

tanpa adanya aturan yang tegas yang bersifat menyeluruh terhadap warga jemaat dan

masyarakat. Sebaliknya, kepincangan pun akan terjadi apabila aturan dalam sebuah sistem telah

dibuat dengan baik namun pembinaan terhadap jemaat dan masyarakat minim. Untuk memiliki

konsep korupsi yang lebih dalam lagi Gereja perlu melakukan pembinaan melalui

khotbah-khotbah mingguan juga dalam pelayanan kategorial. Gereja secara kritis memberikan

pandangan-pandangan baru melalui khotbah-khotbah dengan tidak hanya memperhatikan sisi

dogma saja tetapi, kesemuanya haruslah menyentuh ranah kehidupan sosial warga jemaat dan

masyarakat.

Aturan dan pembinaan keduanya mesti seimbang dalam pelaksanaanya. Korupsi yang

adalah penyuapan oleh Alatas tidak sekedar menyangkut uang tetapi penyuapan barang,

nepotisme, bahkan pemberian hadiah. Kesemuanya menyangkut moral seseorang koruptor.

(10)

68

atau peras-memeras antara pengusaha dan pemangku jabatan publik8 Namun lebih dari itu

moral-moral yang koruptif menjadi ancaman yang hebat lebih dari sekedar korupsi dipandang

sebagai pencurian uang semata. Contohnya nepotisme “oleh karena adanya hubungan

kekeluargaan, diberikanlah kedudukan dalam satu organisasi tertentu tanpa mempertimbangkan

kelayakkan orang tersebut”. Contoh seperti ini bukan menyangkut korupsi dalam bentuk uang.

Melainkan menyangkut terciptanya moral-moral yang rusak. Lalu apakah ada aturan Gereja

mengenai hal ini dalam aturan no 6 dalam Tata Gereja?

Jika negara bisa membuat aturan dalam Undang-undang tidak hanya untuk hak milik

negara yang bergerak dan tidak bergerak tetapi juga mengatur tentang seorang pejabat yang

melakukan korupsi dalam bentuk nepotisme, pemberian hadiah dan hal-hal lain yang berkaitan

maka pejabat tersebut akan disanksikan. Lalu mengapa Gereja tidak bisa membuat aturan

samacam ini? Dalam kenyataannya pasal no 6 tentang Perbendaharaan GPIB ialah aturan yang

hanya berlaku untuk mengatur kas Gereja semata. Tetapi, apakah nepotisme dan pemberian

hadiah termasuk dalam Perbendaharaan Gereja? Penulis berpikir bahwa nepotisme bukan

persoalan perbendaharaan bahkan pemberian hadiah pun tidak selamanya menyangkut uang.

Lalu bagaimana GPIB membina bahkan memperbaiki moral-moral jemaat dan masyarakat yang

tidak bisa terhindar dari masyarakat koruptif hanya melalui khotbah, kegiatan seminar dan

pastoral? Apa yang telah dikhotbahkan mestinya dituangkan juga dalam satu aturan yang

disahkan agar supaya ketika warga jemaat dan masyarakat dibina mereka pun dikontrol oleh

aturan. “Ketika siapapun melakukan nepotisme bahkan pemberian hadiah dalam bentuk apapun

maka, ada sanksi yang telah dibuat dalam sebuah aturan yang sah”.

8

(11)

69

Korupsi pada intinya dapat dipetakan dalam dua cara pandang. Di satu sisi, beberapa

pemikir meletakkan korupsi sebagai berasal dari individu itu sendiri. Di sisi lain korupsi sebagai

sebuah praktik sosial dalam sebuah sistem.9 Sebut saja korupsi dalam ukuran kaum moralis dan

sosialis. Bagi kaum moralis korupsi diartikan sebagai penyimpangan individual, kegagalan moral

di pihak individu yang berwatak lemah dan tidak terlatih dengan baik”. Seseorang melakukan

korupsi tidak lebih karena individu tidak mampu berhadapan langsung dengan realitas di luar

dirinya. Wataknya terbentuk dengan tidak membawa perangkat-perangkat yang bisa

menghindarkannya dari melakukan korupsi.10 Dalam sistem sosialis, korupsi itu ada sebagai

pengecualian atas peraturan dan sebagai gangguan sistem. Korupsi tidak terjadi karena individu

menginginkan dirinya untuk terjebak pada satu keadaan. Justru, keadaan itulah yang telah

membawa dirinya terjebak lebih jauh untuk bergerak menurut kaidah umum. Adanya

ketidaksiapan individu menghadapi realitas di depan matanya, memaksa dirinya untuk tidak

melepaskan begitu saja peluang yang ada.11

Kedua cara pandang ini berbeda tetapi saling melengkapi. Ketika kaum moralis

mengatakan bahwa korupsi berasal dari individu itu sendiri yang mengakibatkan terbentuknya

moral yang buruk maka sikap GPIB dalam hal ini “pembinaan jemaat” merupakan langkah yang

tepat. Akan tetapi, langkah tersebut harus disokong dengan sistem yang memadai seperti apa

yang dimaksudkan oleh kaum sosialis. Sekalipun moral seseorang baik, ketika diperhadapkan

dengan sistem yang kurang baik kemungkinan yang terjadi ialah seseorang bisa saja melakukan

korupsi. Seperti kata Joseph, faktor behavior juga mempengaruhi sebab terjadinya korupsi. Oleh

sebabnya, GPIB mestinya melakukan balance terhadap kedua hal ini. Terutama harus

9

M ansyur Semma, Negara dan Korupsi,…,40.

10

Ibid.

11

(12)

70

dilakukannya penguatan dalam Tata Gereja tentang aturan korupsi sebagaimana yang

dimaksudkan oleh Alatas.

Gereja ialah Nabi masa kini. Kritik para Nabi baik Amos, Yesaya bahkan Yesus dalam

Perjanjian Baru pun sesungguhnya ditujukan bagi penguasa bangsa Israel yang saat itu

mempraktekkan kehidupan sosial yang dangkal dan mewah mestinya menjadi acuan bagi Gereja

untuk mengkritisi bentuk ketidakadilan sosial yang sekarang ini nyata terjadi di negara Indonesia

bukan hanya melalui Pemahaman Iman yang begitu baiknya disusun oleh Gereja dan juga bukan

hanya melalui pembinaan warga Gereja yang tidak bersifat dogmatis tetapi, aturan dalam Tata

Gereja juga mestinya dikritisi lebih baik guna menciptakan damai sejahtera seturut dengan apa

yang dimakni oleh GPIB sendiri. Semestinya GPIB bertanya dalam diri bahwa apabila GPIB

telah bersikap, lalu mengapa hingga kini praktek korupsi sebagai wujud ketidakadilan sosial

semakin menjadi-jadi? Pertanyaan ini haruslah mendapat perhatian yang lebih dari GPIB serta

harus bersikap dengan kritis terhadap setiap persoalan sosial yang terjadi. Setidaknya bukan

menghilangkan praktek korupsi secara meyeluruh melainkan dengan adanya sikap kritis GPIB

membantu mengurangi praktek korupsi yang telah menjadi gumulan bersama setiap umat Tuhan

Mengacu pada analisa tersebut, penulis kemudian melahirkan sebuah pemahaman yakni

korupsi yang melahirkan ketidakadilan sosial sesungguhnya telah menciptakan

golongan-golongan yang berbeda. Dalam hal ini sang penguasa dan yang dikuasai sebut saja golongan-golongan atas

dan golongan bawah. Oleh karena golongan atas yang memegang kekuasaan tertinggi tentu

memiliki kesempatan dengan memakai kekuasannya tersebut untuk mempraktekkan korupsi.

Sehingga yang menjadi korban disini ialah golongan bawah dalam hal ini rakyat kecil. Rakyat

kecil tidak bisa berbuat apa-apa selama kekuasaan tertinggi ada di tangan penguasa yang salah

(13)

71

maka bagi penulis korupsi ialah bentuk sikap yang tidak mengasihi sesama padahal

sesungguhnya di hadapan-Nya semua ciptaan ialah sama tanpa membedakan status sosial dalam

sebuah tatanan kehidupan berjemaat dan bermasyarkat.

4. Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas. Bagi penulis sikap GPIB tidak sejalan dengan

pemahamannya tentang korupsi. GPIB membangun satu pola pikir yang baik tentang korupsi

akan tetapi, apa yang dipahami oleh GPIB tidak terlihat dalam sikapnya. Korupsi tidak hanya

berpengaruh pada dunia ekonomi sebuah instansi saja melainkan praktek korupsi telah merusak

moral setiap orang yang memberikan dirinya dalam dunia korupsi tersebut dengan melakukan

tindakan-tindakan nepotisme, penyuapan, pemberian hadiah dan hal-hal lain yang berkaitan.

Gereja mesti bersikap berdasarkan apa yang telah dipahami baik secara sosiologis maupun

teologis.

Gereja tidak hanya membina jemaat dan masyarakat tetapi Gereja juga mesti

menciptakan sistem-sistem yang baik untuk mewujudkan visi GPIB yang sebenarnya. Ketika

GPIB hanya sebatas memahami namun, tidak menyikapi dengan seutuhnya anggaplah saja

Gereja menghidupkan kembali istilah “No action talk only”. Semestinya apa yang dipahami

Gereja, itulah yang membentuk gereja bersikap dengan menciptakan aturan-aturan yang tegas

yang tidak hanya secara implisit tetapi haruslah eksplisit. Sebab ketika sebuah aturan hanya

berkisar pada ranah implisit semata sejujurnya Gereja akan sulit menciptakan damai sejahtera

Referensi

Dokumen terkait

baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang

Fokja Peng;ula:m Barang cian Jasa Lai'rnya ULP Dims Kesehatan Kabupaten leb<xrg. Nama dan alamat p,erumhaan, selaku penyedia

Untuk pasien, tiap puskesmas dipilih 10 pasien (6 puskesmas × 10 orang = 60 orang sedangkan di tiap rumah sakit dipilih 40 pasien yang tersebar di 4 spesialis dasar (dalam,

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Arus listrik

Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan tantangan yang dihadapi oleh relawan Yayasan Rumah Impian Indonesia (The Dream

Harus disadari pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai strategis, yang antara lain mliputi: (a) Mempunyai poteni

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan stek pucuk bagian atas dengan media tanah+pasir (2:1, v/v) menghasilkan persen berakar, panjang akar, dan jumlah

Tradisi lisan dalam sektor pertanian tersebut adalah ritual pemuliaan padi mulai mencangkul tanah, menebar bibit padi ( tandur) , menyiangi rumput, dan memanen padi