62 PERBANDINGAN HUKUM PENERAPAN ASURANSI KONVENSIONAL
DAN ASURANSI SYARIAH
Ikawati Muh Rusli Ayyub
Sulwan Pusadan
ABSTRAK
Manusia merupakan makhlukTuhan yang mempunyai kemampuan berfikir berlebih dan kesempurnaan akan organ tubuh ya ng tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Roda kehidupan manusia selalu berputar dan menimbulkan suatu peristiwa-peristiwa yang tidak pasti. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat timbul karena kecerobohan ataupun hal-hal yang diluar dugaan atau gejala alam yang tidak dapat dipastikan kapan datangnya. Asura nsi merupa kan suatu kegiatan ekonomi yang dapat mengatasi atau meringankan resiko tersebut. Penelitian ini membahas tentang bagaimana penerapan atau pelaksanaan, dan kekurangan serta kelebihan pada asuransi konvensional dan asuransi syariah. Asuransi konvensional dan a suransi sya riah merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berguna untuk mengatasi resiko yang dialami oleh manusia. Kedua sistem asuransi ini dipayungi oleh Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta ketentuan umum lainnya. Adapun bentuk tanggungja wab hukumnya yaitu meliputi pertanggungja waban Perdata, pertanggungja waban Pidana da n pertanggungja waban Administra si yang di atur da lam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.
Kata Kunci: Penerapan, Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari resiko, baik menyangkut jiwa maupun harta benda.Munculnya resiko mengenai bentuk dan kapan resiko itu terjadi tidak dapat diduga sebelumnya. Terhadap resiko yang muncul seseorang dapat menghindarinya, menghadapinya, mengalihkan, maupun membagi
terhadap orang atau lembaga lain. Konsep pengalihan resiko dan pembagian resiko inilah yang melahirkan lembaga pertanggungan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan asuransi.
63 membantu masyarakat mengatasi
segala masalah risiko yang dihadapinya, sarana pengumpulan dana yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi masyarakat dan pembangunan ekonomi secara luas serta sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang dihadapi dalam melaksanakan pembangunan bagi sebuah negara.
Di Indonesia Hukum Perasuransian tertulis di dalam KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Peraturan Perundangan Perasuransian tersebut digunakan sebagai dasar acuan pembinaan dan pengawasan atas usaha perasuransian di Indonesia baik itu asuransi konvensional maupun asuransi syariah. Karena usaha perasuransian menyangkut kepentingan masyarakat banyak, khususnya berhubungan dengan dana yang dikumpulkan oleh mereka yang cukup besar dan kadang-kadang berlangsung untuk jangka waktu yang cukup lama maka peraturan mengenai asuransi ini jelas selalu diperlukan
dan memenuhi perkembangan perekonomian masyarakat, terutama kini masalah dengan asuransi syariah, maka RUU asuransi syariah yang kini usaha pengasuransiannya mulai bertambah banyak sangatlah diperlukan adanya.
64 pasal 1774 ayat 2 KUH Perdata)
disebabkan karena dalam perjanjian kemungkinan para pihak secara sengaja atau sadar menjalani suatu kesempatan untung-untungan dimana prestasi timbal balik tidak seimbang.
Di Era modern di negara merdeka Indonesia usaha perasuransian telah banyak di keluarkan peraturan baik yang berupa Undang-Undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan maupun peraturan lainnya. Peraturan yang dibuat sebelum Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ini tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang seperti Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri Keuangan.
Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan non bank yang bergerak dalam bidang usaha (bisnis) pengelolaan dan penanggulangan resiko, pada hakikatnya bertujuan untuk membantu masyarakat dalam mengatasi atau meminimalisir resiko tertentu di masa mendatang yang tidak diharapkan terjadinya, namun dapat berdampak negatif apabila
resiko tersebut benar-benar terjadi.Tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarga, tetapi berasuransi juga sangat penting dijalankan oleh pelaku usaha dalam rangka menanggulangi resiko kerugian pada asset-aset usahanya. Dalam kerangka tujuan yang lebih luas lagi, lembaga asuransi juga mempunyai peranan yang sangat strategis, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkatkan pengerahan dana masyarakat yang berguna bagi pembiayaan pembangunan.1
Selain asuransi umum (Asuransi Konvensional) seperti yang telah ada sebelumnya, dalam industri perasuransian di Indonesia pada saat sekarang ini, juga dikenal adanya asuransi syariah. Yaitu usaha asuransi yang kegiatan operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip syariah, dengan jalan menghindari hal-hal yang di haramkan dalam syariat islam, seperti transaksi gha rar
1
65 (ketidakjelasan), maisir (perjudian),
riba (bunga).2
Asuransi syariah di Indonesia telah ada dan beroperasi sejak tahun 90-an. PT. Asuransi Takafful Keluarga (ATK) yang berdiri pada tahun 1994 menjadi perusahaan asuransi pertama di Indonesia yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Kemudian disusul dengan berdirinya PT. Asuransi Takafful Umum (ATU) pada tahun 1995. Dan sampai akhir tahun 2006, terdapat sekitar 40 perusahaan asuransi syariah. Pada akhir tahun 2010 Dewan Syariah Nasional (DSN), mentargetkan bahwa seluruh asuransi konvensional memiliki cabang yang bergerak pada asuransi dengan prinsip syariah.3
Seperti yang telah diatur dalam Fatwa DSN-MUI, agar akad-akad dalam asuransi sesuai dengan syariah, maka akad yang dilakukan antara perusahaan asuransi syariah dengan peserta terdiri atas akad tijarah dan
2
https://www.journal.stainkudus.ac.i d/index.php/bisnis/artikel/1505.html, di akses Pada 09 Nopember 2016, Pukul 14:15
3
http://www.dokumen.tips/entitas-syariahdocx.html, di akses Pada Tanggal 09 Nopember 2016, Pukul 20:15
akad tabarru’. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan komersial (mencari keuntungan). Dan akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Kemudian, masih menurut ketentuan Fatwa DSN-MUI tersebut, bahwa akad
tijarah yang dimaksud adalah
mudharabah. Sedangkan akad
tabarru’ adalah hibah.
66
Tabarru’ merupakan suatu bentuk keterikatan bersama di antara sesame peserta asuransi syariah untuk saling menanggung resiko yang akan terjadi. Di mana setiap peserta menghibahkan sebagian atau seluruh preminya, yang diniatkan sejak awal secara ikhlas untuk tujuan saling membantu dan tolong-menolong sesama peserta asuransi syariah.
Lain halnya dengan asuransi syariah, di mana dalam operasional asuransi syariah praktik-praktik asuransi yang di dalamnya terdapat unsur-unsur tersebut berusaha untuk dihilangkan. Oleh karenanya permasalahan akad (perikatan) di dalam asuransi syariah menjadi sangat fundamental karena akan menentukan sah tidaknya secara syariah transaksi yang terjadi dalam operasional asuransi syariah. Akad-akad tersebut menjadi pedoman bagi asuransi yang menjalankan kegiatannya berdasarkan prinsi syariah. Melalui akad dan operasional perusahaan yang sesuai dengan syariah, maka aktifitas usaha yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi syariah diharapkan dapat
terhindar dari unsur yang diharamkan islam tersebut.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka timbul permasalahan yang layak diangkat sebagai kajian bahan penulisan ini:
1. Bagaimana penerapan asuransi konvensional dan asuransi syariah?
2. Bagaimana penerapan
pembayaran klaim asuransi konvensional dan asuransi syariah?
BAB II PEMBAHASAN
A. Penerapan Asuransi
Konvensional Dan Asuransi Syariah
1. Penerapan Asuransi
Konvensional
67 tahun. Asuransi memberikan peluang
untuk menukar kerugian yang tidak pasti ini menjadi suatu kerugian yang pasti yakni premi asuransi.4
Mekanisme asuransi
konvensional melahirkan konsep maysir sebagai akibat dari adanya gharar. Wahbah Zuhaili menyimpilkan bahwa transaksi yang mengandung unsur gharar adalah transaksi jual beli yang mengandung resiko bagi salah seorang yang mengadakan akad sehinggah mengakibatkan hilangnya harta. Faktor resiko inilah yang ada dalam asuransi konvensional yang menyebabkan ia mengandung unsur maysir.
Prof. Mohammad Anas Zarqa mengatakan yang menyebabkan haramnya asuransi konvensional karena adanya unsur gharar yang dapat menimbulkan apa yang disebut dengan al-qumar. Al-qumar sama dengan maysir.
Dalam asuransi konvensional, maysir dapat timbul karena ada dua hal:
4
Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum
Syariah dalam Praktik Upaya
Menghilangkan Gharar, Maysir, dan Riba. (Jakarta:Gema Insani Press, 2005) hlm 4.
a. Sekiranya seseorang memasuki satu premi, ada kemungkinan dia berhenti karena alas an tertentu. Apabila berhenti di jalan sebelum mencapai refreshing period, dia bisa menerima uangnya kembali kira-kira sebesar 20% dan selebihnya hangus.
b. Apabila perhitungan kematian tepat dan menentukan jumlah polis yang tepat, maka perusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam perhitungan maka perusahaan akan rugi.
Akad pada asuransi konvensional terdiri atas yaitu, (1)
akad mu’awadhah ialah suatu
perjanjian dimana pihak yang memberikan sesuatu kepada pihak lain, berhak menerima penggantian dari pihak yang diberinya. Disebut
68 pertanggungan, jika terjadi peristiwa
atau bencana sebagai pengganti dari premi-premi yang telah dibayarkannya.
Ciri lain dari akad pada asuransi
konvensional adalah (2) akad Idz’aan -penundukan. Dalam perjanjian ini terjadi ketidakadilan, karena tidak seimbang, dimana pihak yang kuat adalah pihak perusahaan asuransi. Pihak penanggunglah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung.
Selanjutnya Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa akad asuransi konvensional adalah (3) akad gharah, karena masing-masing dari kedua belah pihak, penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia akan berikan dan jumlah ia akan ambil.
Ciri terakhir dari akad asuransi konvensional adalah (4) akad muldzim. Akad muldzim artinya perjanjian yang wajib dilaksanakan oleh kedua pihak baik pihak penanggung maupun pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung membayar premi-premi asuransi, dan
kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.5
Akad pada asuransi konvensional terdiri atas yaitu, (1) akad
mu’awadhah ialah suatu perjanjian dimana pihak yang memberikan sesuatu kepada pihak lain, berhak menerima penggantian dari pihak yang diberinya. Disebut akad
mu’awadhah karena masing-masing dari kedua belah pihak yang berakad, penanggung dan tertanggung memperoleh pengganti dari apa yang telah diberikannya. Penanggung memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan, tertanggung memperoleh uang pertanggungan, jika terjadi peristiwa atau bencana sebagai pengganti dari premi-premi yang telah dibayarkannya.
Ciri lain dari akad pada asuransi
konvensional adalah (2) akad Idz’aan -penundukan. Dalam perjanjian ini terjadi ketidakadilan, karena tidak seimbang, dimana pihak yang kuat
5
69 adalah pihak perusahaan asuransi.
Pihak penanggunglah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung.
Selanjutnya Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa akad asuransi konvensional adalah (3) akad gharah, karena masing-masing dari kedua belah pihak, penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia akan berikan dan jumlah ia akan ambil.
Ciri terakhir dari akad asuransi konvensional adalah (4) akad muldzim. Akad muldzim artinya perjanjian yang wajib dilaksanakan oleh kedua pihak baik pihak penanggung maupun pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung membayar premi-premi asuransi, dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.6
Dalam pengelolaan dan penaggungan resiko, asuransi syariah tidak memperbolehkan adanya gharar (ketidakpastian atau spekulasi) dan maysir (perjudian). Dalam investasi
6
Ibid
atau manajemen dana tidak diperkenankan adanya riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar, maysir, dan riba adalah area yang harus dihindari dalam praktik asuransi syariah. Dalam upaya menghindari gharar, pada setiap kontrak asuransi syariah harus dibuat sejelas mungkin dan sepenuhnya terbuka. Keterbukaan itu dapat diterapkan dikedua sisi, yaitu baik pada pokok permasalahan maupun pada ketentuan kontrak. Tidak diperbolehkan di dalam kontrak asuransi syariah bila terdapat elemen yang tidak jelas dalam pokok permasalahan dan/atau ruang lingkup kontrak itu sendiri. Di dalam kontrak asuransi syariah tidak diperkenankan adanya jual beli ketidakpastian (gharar) antara satu pihak dengan pihak lainnya.
70 Riba (bunga) sama sekali
dilarang dibawah hukum syariah dan dibawah pengaturan asuransi syariah. Untuk menghindari riba, dalam asuransi syariah, kontribusi para pesertanya dikelola dalam skema pembagian resiko (risk sharing) dan bukan sebagai premi. Dalam ketentuan asuransi syariah diberlakukan adanya kontrubusi dalam bentuk donasi dengan kondisi atas konpensasi (tabarru).
Resiko adalah bagian dari realitas kehidupan manusia sehingga sulit untuk menghilangkannya dari kehidupan.7
Keuntungan pada asuransi syariah ialah profit (laba) pada asuransi syariah untuk asuransi kerugian, yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan sebagaimana mekanisme yang ada diasuransi konvensional. Tetapi, dilakukan bagi hasil (al-mudharabah) antara perusahaan dengan peserta sebagaimana yang telah diperjanjikan
7
Muhammad Iqbal, Op.Ciit., hlm 2-3
atau menjadi akad di awal ketika baru masuk asuransi syariah.8
2. Perbedaan Asuransi
Konvensional dan Asuransi Syariah.
Berdasarkan pada prinsipnya, kehadiran asuransi, baik asuransi konvensional atau syariah adalah sebagai lembaga atau jasa keuangan yang menghimpun dana masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti datangnya, seperti kecelakaan, kebakaran dan meninggal dunia. Adapun yang membedakan antara keduanya adalah tujuan dan sistem operasionalnya, baik dari segi struktur maupun sistem aturan yang di terapkan, yaitu:9
1. Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan dalam pengelolaan investasi dana. Dewan Pengawas Syariah tidak
8
Ibid hlm 49-50
9
71 ditemukan dalam asuransi
konvensional.
2. Akad yang akan dilaksanakan pada asuransi syariah berdasarkan tolong-menolong (takaful). Sedangkan dalam asuransi konvensional berdasarkan akad jual beli (tadabbuli).
3. Investasi dana pada asuransi syariah berdasarkan psinsip bagi hasil atau mudharabah. Sedangkan dalam asuransi konvensional berdasarkan riba sebagai dasar perhitungan investasi.
4. Pemilik dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelola. Sedangkan pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah menjadi milik perusahaan sehinggah perusahaan bebas menentukan alokasi investasi.
5. Dalam soal pembayaran klaim, pada asuransi takaful, dana
diambil dari rekening tabarru’
(dana kebajikan) seluruh peserta. Jadi sejak awal pesertas sudah
ikhlas bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai untuk menolong peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari dana perusahaan.
6. Pada asuransi syariah takaful keuntungan dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan adalah milik perusahaan.
7. Dalam asuransi syariah tidak mengenal adanya dana hangus walaupun peserta asuransi ingin mengundurkan diri karena adanya satu dan lain hal, dana yang sudah disetor tetap dapat diambil, kecuali sebagian dana yang memang sudah diniatkan
untuk dana tabarru’. Sedangkan
72 B. Penerapan Pembayaran Klaim
Asuransi Konvensional Dan Asuransi Syariah
Klaim asuransi adalah suatu permintaan yang resmi kepada setiap perusahaan asuransi, untuk dapat meminta pembayaran yang mengacu pada ketentuan perjanjian. Klaim asuransi yang telah diajukan akan segera ditinjau oleh beberapa perusahaan untuk mendapatkan validitasnya dan kemudian akan dibayarkan ke pihak yang tertanggung sesudah disetujui.10
1. Pembayaran Klaim Asuransi Konvensional
Asuransi konvensional pembayaran klaim resiko bersumber dari rekening perusahaan, dan murni bisnis. Klaim yang dibayarkan perusahaan adalah bagian dari kewajiban timbal balik yang diatur dalam akad atau perjanjian asuransi, yaitu sebagai konsekuensi penanggung terhadap tertanggung. Dalam asuransi konvensional premi dan sumber pembayaran klaim dan unsur-unsur preminya terdiri atas:
a. Morality table yaitu daftar table kematian berguna untuk
10
Ibid.,
mengetahui besarnya klaim yang kemungkinan timbul kerugian yang dikarenakan kematian, serta meramalkan berapa lama batas umur seseorang bisa hidup. b. Penerimaan bunga (untuk
menetapkan tarif, perhitungan bunga harus dikalkulasi di dalamnya).
c. Biaya-biaya asuransi terdiri dari biaya komisi, biaya luar dinas, biaya reklame, sale promotion,
dan biaya pembuatan polis (biaya administrasi), biaya pemeliharaan, dan biaya-biaya lainnya.
2. Pembayaran Klaim Asuransi Syari’ah
73 klaim manfaat asuransi. Sedangkan,
tabarru adalah derma atau dana kebajikan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi (life maupun general insurance).11
Berdasarkan Fatwa DSN Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, Klaim merupakan:12
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah
sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru
merupakan hak peserta dan
merupakan kewajiban
11
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah: life and General, Gema Insani (Jakarta:2004) hlm 30.
12 Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Pembayaran klaim pada asuransi syariah yaitu, dana diambil dari rekening tabarru (dana kebajikan) seluruh peserta. Jadi sejak awal peserta sudah ikhlas bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai untuk menolong peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari dana perusahaan. Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tertanggung dapat dikenakan sanksi berupa:
a. Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada tertanggung).
b. Sanksi Pidana. 1. Sanksi Administratif
74 dalam Undang-Undang ini dan
peraturan pelaksanaannya.”13
Sanksi Administratif yang dimaksudkan yaitu tercantum dalam Pasal 71 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 yaitu:
a. Peringatan tertulis;
b. Pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
c. Larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu;
d. Pencabutan izin usaha;
e. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi;
f. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan public, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian;
g. Pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi; h. Denda administratif, dan/atau
13
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
i. Larangan menjadi pemegang saham, pengendali direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, Pengendali, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pada Perusahaan Perasuransian. 2. Sanksi Pidana, yaitu sanksi yang
dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang
Perasuransian, yaitu:
75 Tertanggung, atau Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah), dilanjutkan dengan Pasal 76 menyatakan bahwa: Setiap Orang yang menggelapkan Premi atau Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (5) dan Pasal 29 Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah), kemudian Pasal 78 juga mengatur dan menyatakan bahwa: Setiap Orang yang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
1. Berdasarkan pada penerapan asuransi konvensional dan asuransi syariah, dalam pelaksanaannya asuransi konvensional mengandung unsur
ketidakpastian atau
ketidakjelasan, dan bunga. Sedangkan pada asuransi syariah, tidak memperbolehkan adanya gharar (ketidakjelasan), maysir (perjudian), dan riba (bunga). 2. Pembayaran klaim, pada asuransi
takaful, dana diambil dari
rekening tabarru’ (dana
kebajikan) seluruh peserta. Jadi sejak awal pesertas sudah ikhlas bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai untuk menolong peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari dana perusahaan. B. Saran
76 1. Berdasarkan pada unsurnya,
hendaknya dalam penerapannya asuransi konvensonal haruslah memiliki kepastian atau kejelasan dalam penerapannya, sehingga dapat memberikan kepastian dan tidak memberikan atau menimbulkan kerugian bagi peserta asuransi. Serta pada asuransi syariah, adanya kejelasan mengenai aturan hukum yang melarang adanya unsur gharar, masyir dan riba dalam asuransi syariah.
2. Berdasarkan Pembayaran klaim pada asuransi syariah, meskipun sejak awal peserta sudah ikhlas
77 DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Muhammad Firdaus NH, dkk, Sistem Operasional Asuransi Syariah, Renaisan ITC Cempaka Mas (Beoulevard barat) Blok N-7, (Jakarta, 2005)
Muhammad Iqbal, Asuransi Umum syariah dala m praktik upaya menghilangka n Gharar, Maisir, dan Riba, Gema Insani, (Jakarta:2005)
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah: life and General, Gema Insani (Jakarta:2004)
R. Permata Hastuti A. & F. Milla Fitri, Asuransi Konvensional, Syari’ah & BPJS, (Jogyakarta:2016)
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman
Umum Asuransi Syari’ah.
B. Sumber Lain
http://www.dokumen.tips/entitas-syariahdocx.html