• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKUNTABILITAS ADMINISTRASI DAN HUKUM ATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AKUNTABILITAS ADMINISTRASI DAN HUKUM ATA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

AKUNTABILITAS ADMINISTRASI DAN HUKUM ATAS KEPUTUSAN ADMINISTRASI PEJABAT PEMERINTAHAN

Oleh: Rusma Dwiyana

Abstrak

Konflik yang terjadi di lingkungan aparatur pemerintahan umumnya disebabkan adanya ketidakjelasan kewenangan yang dimiliki oleh para aparatur pemerintahan terutama wewenang pembuatan keputusan-keputusan administrasi yang rawan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keputusan-keputusan administrasi yang abu-abu tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administrasi sehingga perlu diawasi. Jika selama ini sistem akuntabilitas lebih berdasarkan pendekatan pengawasan keuangan/anggaran, maka sudah waktunya untuk juga mengutamakan suatu mekanisme pengawasan akuntabilitas dengan pendekatan administrasi negara dan hukum terutama terhadap diskresi yang dikeluarkan oleh para aparatur penyelenggara pemerintahan. Hal ini amat penting untuk segera dilakukan mengingat salah satu sumber konflik di lingkungan aparatur penyelenggara pemerintahan timbul akibat adanya keputusan administrasi ini demikian juga dengan masalah-masalah korupsi di lingkungan aparatur penyelenggara Negara. Khusus mengenai pengawasan terhadap keputusan administrasi, hal ini bersifat mendesak, berdasarkan fakta pengabaian terhadap penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh keputusan administrasi ini seringkali diabaikan. Pengabaian ini menimbulkan suatu beban yang harus dipikul kembali oleh rakyat, rakyat kembali dirugikan dengan adanya pengabaian penyelesaian ini.

Kata kunci: keputusan administrasi (diskresi, freies ermessen), pertanggungjawaban (responsibility), pertanggunggugatan (accountability)

Pendahuluan

(2)

dari pelaksanaan kewenangan yang tidak jelas. Hal ini sepenuhnya telah lama disadari oleh Weber sebagai bapak reformasi, bahwa konflik merupakan konsekuensi dari tuntutan struktur birokratis terhadap adanya otoritas kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam jumlah yang banyak yang tidak menutup kemungkinan menimbulkan overlapping dan ketidakjelasan kewenangan antar lembaga pemerintahan yang berasal dari atribusi yang digariskan melalui pembagian kekuasan Negara oleh konstitusi, delegasi, dan mandate yang diperoleh adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.

Perubahan struktur pemerintahan di pusat maupun daerah merupakan salah satu pemicu timbulnya konflik dalam lingkungan aparatur penyelenggara Negara di Indonesia.Konflik tersebut bahkan memberi pengaruh terhadap aspek-aspek pemerintahan yang mencakup aspek kelembagaan, sumber daya aparatur maupun ketatalaksanaan. Bahkan lebih jauh lagi konflik-konflik tersebut mempengaruhi eksistensi Indonesia sebagai Negara hukum konstitusional.

Pengakuan terhadap pilihan bahwa Indonesia merupakan Negara hukum dapat dijumpai dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 dan penjelasan UUD 1945, Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Konsekuensi dari penegasan sebagai Negara hukum dalam konteks hukum administrasi Negara, berarti dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan harus selau berlandaskan kepada hukum, terlebih kepada bentuk hukum yang tertinggi yaitu konstitusi (konsekuensi dari Negara hukum konstitusional). Dengan demikian bila terjadi konflik antar penyelenggara administrasi negara yang tidak dapat diselesaikan melalui sinkronisasi di tingkat instansi atasan maka penyelesaian secara hukum harus ditempuh melalui lembaga peradilan.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih cukup banyak konflik di lingkungan aparatur penyelenggara Negara yang terjadi terkesan diabaikan begitu saja baik itu menyangkut konflik di lingkungan aparatur penyelenggara Negara di tingkat pusat, tingkat daerah dalam satu wilayah administrasi ataupun berlainan wilayah administrasi (konflik horizontal), maupun antara penyelenggara Negara tingkat pusat dan daerah (konflik vertikal).

(3)

1. Landasan Konsep: Fries Ermessen, Diskresi

Sebelum membahas lebih jauh mengenai diskresi, terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan diskresi itu sendiri, mengapa diskresi itu diperlukan, siapa saja yang memiliki kewenangan dalam membuat diskresi serta apakah suatu diskresi itu perlu dibatasi.

Diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas1. Ada berbagai definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai diskresi diantaranya:

Sjachran Basah berpendapat bahwa2:

”..., tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai..., melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan tugas-tugas servis publiknya yang sangat kompleks, luas lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum”.

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi adalah:

1. ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur negara;

2. dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan;

3. kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.

Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD

(4)

1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai.

Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis). Kebebasan bertindak ini sudah tentu menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya menyimpangi asas legalitas dalam arti. Sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi.

Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan oleh Sjahran Basah sebelumnya, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.

Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi. Menurut para pakar sebagaimana tersimpulkan dalam buku Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara3, maka subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Argumentum yang dikedepankan sehubungan dengan hal ini adalah bahwa eksekutiflah yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada di lingkungan pemerintahan (eksekutif). Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari

(5)

adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK), surat penetapan, dll.

2. Akuntabilitas Administrasi dan Hukum (Administrative Accountability and Legal Accountability)

Selain pandangan yangmengatakan bahwa diskresi diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum, ada pandangan lain yang berpendapat bahwa diskresi menimbulkan suatu kekacauan politik yang berbuntut pada lahirnya korupsi4. Kekacauan politik dalam hal ini adalah konflik yang timbul akibat dikeluarkannya suatu diskresi. Konfllik tersebut umumnya terkait dengan adanya wewenang pembuatan diskresi oleh Aparatur Pejabat Pemerintahan yang rawan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Banyaknya diskresi yang dikeluarkan oleh Aparatur Pejabat Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugasnya tersebut, kemudian berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi (lihat table 1).

Tabel 1 Laporan PerDepartemen Perkara Tata Usaha Negara Periode Januari – April 2005 yang Diwakili Kejaksaan

No. Instansi Jumlah Diselesaikan Dalam Proses

1. Presiden 28 1 27

2. BUMN 4 1 3

3. Dep. Dalam Negeri 107 8 99

4. Dep. Kehutanan 11 - 11

5. Kejaksaan Agung 2 2

-6. Depdiknas 7 1 6

7. DepKominfo 1 - 1

8. Dep. Pertanian 4 - 4

9. BPN 12 - 12

(6)

10. Deparpostel 1 - 1

11. Kanwil PU 6 - 6

12. Dep. Agama 1 - 1

13. Dep. Sosial 1 - 1

14. Sekretariat Negara 3 - 3

15. Komisi Pemilihan

Umum 3 - 3

16. Dep. Pariwisata 1 - 1

17. Dep. Perhubungan 3 1 2

18. BKKBN 2 - 2

19. Dep. Luar Negeri 1 1

-20. Meneg Lingkungan

Hidup 1 - 1

Jumlah 199 15 184

Sumber : Kejaksaan Agung, 2005.

Melihat rawannya potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan (resposibility) sekaligus dipertanggunggugatkan (accountability). Fesler and Kettl sebagaimana dikutip oleh Raymond Cox, menyatakan bahwa tanggung gugat (accountability) merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah (responsibility) hal ini dapat dilihat dalam pendefinisian yang mereka berikan mengenai tanggung jawab pemerintah sebagai berikut:

Bureaucratic responsibility has two elements. One is accountability: faithful obedience to the law, to higher officials' directions, and to standards of efficiency and economy. The other is ethical behavior: adherence to moral standards and avoidance even of the appearance of unethical actions. The two elements overlap and are generally compatible, but not always. Morality may call for disobedience to supervisors or reporting of supervisors' unethical behavior to their superiors, to legislators, or to the public5

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Fesler and Kettl tersebut maka

responsibility terdiri atas:

1. kepatuhan terhadap hukum, perintah atasan, dan standar akan efesiensi dan ekonomi

(7)

2. batasan-batasan etika, mengacu pada standar moral guna menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak beretika.

USINFO.GOV mendefinisikan akuntabilitas pemerintah sebagai berikut6:

Government accountability means that public officials -- elected and un-elected -- have an obligation to explain their decisions and actions to the citizens. Government accountability is achieved through the use of a variety of mechanisms -- political, legal, and administrative -- designed to prevent corruption and ensure that public officials remain answerable and accessible to the people they serve. In the absence of such mechanisms, corruption may thrive.

Definisi yang diberikan oleh USINFO.GOV tersebut setidaknya memberikan cakupan-cakupan yang harus dipenuhi dalam akuntabilitas pemerintahan, yaitu setidaknya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. kewajiban dari pejabat publik baik pejabat politik maupun karier terhadap keputusan maupun tindakan yang telah mereka ambil. Kewajiban untuk menjelaskan ini dilakukan melalui mekanisme;

2. mekanime akuntabilitas dapat ditempuh secara politik, legal, ataupun administratif.

Dengan demikian, pejabat public memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakan mereka melalui mekanisme akuntabilitas baik itu secara politik, legal maupun administrative. Lebih lanjut dijelaskan dalam web yang sama bahwa yang termasuk dalam mekanisme akuntabilitas hukum meliputi:

Ethics statutes and codes of conduct for public officials, outlining unacceptable

practices;

Conflict of interest and financial disclosure laws, requiring public officials to divulge

the source of their income and assets so that citizens may judge whether the actions of those officials are likely to be influenced improperly by financial interests;

(8)

"Sunshine" laws, providing the press and the public access to government records

and meetings;

Citizen participation requirements, dictating that certain government decisions must

include input from the public; and

Judicial review, providing courts the power to review the decisions and actions of

public officials and agencies.

Mekanisme akuntabilitas administratif berupaya untuk menjamin pejabat publik baik yang berada dalam lingkungan kementerian ataupun instansi pemerintahan lain tetap berada dalam proses administrasi yang telah ditetapkan daan memastikan bahwa segala tindakan dan keputusan yang diambil memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Mekanisme administratif ini dapat dilakukan melalui:

 Institusi ombudsman, dalam hal ini ombudsman lebih berperan sebagai institusi yang mendengarkan dan menyampaikan keluhan masyarakat kepada institusi atau pejabat publik atas tindakan ataupun dikeluarkannya suatu keputusan administrasi yang dirasakan telah menimbulkan kerugian kepada masyarakat (Agency ombudsmen, responsible for hearing and addressing citizen complaints);

 Badan auditor independent yang mengawasi akan penggunaan dana public dari tanda-tanda penyalahgunaan (Independent auditors who scrutinize the use of public funds for signs of misuse);

 Pengadilan administrasi sebagai institusi judisial yang menyelesaikan sengketa atas keputusan-keputusan administrasi yang dikeluarkan oleh pejabat public (Administrative courts, that hear citizens' complaints about agency decisions);

 Perangakat peraturan mengenai etika yang berfungsi sebagai pelindung/whisleblowers (Ethics rules protecting so-called whistleblowers -- those within government who speak out about corruption or abuse of official authority --from reprisals).

(9)

memiliki kelengkapan mekanisme akuntabilitas administrasi sebagaimana halnya mekanisme akuntabilitas di Amerika. Eksistensi ombudsman di Indonesia hadir melalui Komisi Ombudsman Nasional yang telah terbentuk sejak tahun 2000, keberadaan badan auditor independent diwakili oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenal dengan KPK, demikian pula halnya dengan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai institusi penyelesaian sengketa antara pemerintah dan masyarakat yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya ataupun tidak dikeluarkannya suatu keputusan publik serta perangkat peraturan mengenai whistle blower yang telah dimiliki oleh Negara kita.

Namun demikian kelengkapan perangkat mekanisme akuntabilitas administrasi ini pada dasarnya belum bekerja secara optimal. Mekanisme akuntabilitas administrasi di Amerika memang telah menyentuh ranah diskresi namun di Indonesia pengawasan atas keputusan administratif pemerintahan selama ini berada dalam pengaturan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) dan peraturan-peraturan yang sifatnya internal. Pengaturan terhadap diskresi selama ini belum diatur secara tegas, padahal potensi permasalahan hukum dan administrasi yang ditimbulkan cukup besar. Oleh sebab itu, sistem Pengawasan Akuntabilitas yang telah ada perlu dilengkapi dengan sistem yang dapat mengawasi dan menilai akuntabilitas penetapan Keputusan-keputusan Administrasi Pejabat Pemerintahan termasuk diskresi dari sudut hukum dan administrasi negara.

Untuk mengakomodir hal tersebut, sebenarnya perihal pengaturan diskresi (dan juga keputusan administrasi pemerintahan) telah dicoba dituangkan dalam Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP). Melalui Pasal 1 ayat (5) RUU AP tersebut, diskresi didefinisikan sebagai kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat.

(10)

1. tidak bertentangan dengan hukum dan HAM;

2. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3. wajib menerapkan asas-asas pemerintahan yang baik; 4. tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

RUU AP ini –pun memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme pertanggungjawaban menurut RUU AP ini adalah mekanisme pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan. Menurut RUU AP Pasal 25 ayat (3) dinyatakan: Pejabat Administrasi Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi. Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

Penutup

(11)

merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar adanya diskresi itu sendiri.

Dalam rangka mendukung penerapan akuntabilitas yang aktif tersebut, maka perlu kiranya untuk segera dikembangkan suatu sistem pelaporan dan pengawasan akuntabilitas hukum dan administrasi terhadap diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi pemerintahan, dalam suatu bentuk Laporan Akuntabilitas Hukum dan Administratif Keputusan Pejabat Publik.

Referensi

Douglas F. Morgan, "Administrative Discretion and Bureaucratic Statesmanship: Serving the Public Interest", http://www.eli.pdx.edu

Laporan Kejaksaaan Agung, Laporan PerDepartemen Perkara Tata Usaha Negara Periode Januari – April, Kejaksaan Agung 2005

http//www.USINFO.GOV.com

Patuan Sinaga, Hubungan antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam SF. Marbun, ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, 2001

Saut P. Panjaitan, Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara, dalam SF. Marbun, ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, 2001

Raymond Cox, Creating A Decision Architecture, //www.spaef.com

Gambar

Tabel 1 Laporan PerDepartemen Perkara Tata Usaha Negara Periode Januari – April

Referensi

Dokumen terkait

Tahap pertama yaitu preparasi sampel, daun salam dan daun jambu air dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Daun salam dan daun jambu air menjadi kering dalam jangka waktu 7

Dengan menggunakan data provinsi di pulau Jawa dan Sulawesi antara tahun 2010 hingga 2013 serta melihat ukuran desentralisasi dengan proxy yang digunakan adalah

Dikatakan Marten Abat (51), Ketua Adat Pampang bahwa konflik ini muncul karena adanya paham yang berbeda antara Dayak Kenyah Pampang dengan pihak lain dalam hal kepemilihan lahan..

Kode Etik Bidan adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap bidan dalam rangka menjalankan tugas profesinya di masyarakat dan yang memberikan tuntunan serta

Usia terbanyak pasien yang mengalami aspirasi benda asing adalah kelompok usia anak-anak dengan rentang usia 6 bulan sampai 13 tahun sebanyak 18 orang dan 2 orang pasien berusia

Data awal yang berwujud kata-kata dan tingkah laku perbuatan yang telah dikemukakan dalam penelitian yang terkait dengan layanan bimbingan kelompok untuk meningkatkan

Tabel 2.2.a Pengungkapan Risiko Kredit - Tagihan Bersih Berdasarkan Sisa Jangka Waktu Kontrak - Bank secara Individual.. (dalam

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana analisis potensi kebangkrutan dengan menggunakan metode Altman Z-Score pada perusahaan manufaktur sub sektor