• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Postkolonial Dalam Konteks Identit (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Postkolonial Dalam Konteks Identit (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI POSTKOLONIAL

DALAM KERANGKA KONSEP IDENTITAS*

Oleh: Gaudensio Angkasa

(Mengajar di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Anggota Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia)

Sebagai studi yang dapat dikatakan baru dalam keilmuan sosial dan humaniora, istilah postkolonialisme menjadi perdebatan yang nampaknya belum selesai sampai saat ini. Frasa postcolonial dalam terjemahan bahasa Indonesia umumnya disebut dengan pasca kolonial atau postkolonial. Definisi sederhana postkolonial adalah sebagai masa setelah kolonialisme. Tetapi pengertian postkolonial itu dapat ditinjau dari sisi lain daripada sekedar tahapan periode sejarah atau dari segi waktu, yaitu dari sisi orientasi ideologis.

A.Pandangan Umum Postkolonial

Teori postkolonial (Martono, 2014:101-132) dapat dikatakan sebagai teori yang dapat digunakan sebagai alat analisis untuk menggugat praktek-praktek kolonialisme yang masih berlanjut atau kolonialisme bentuk baru yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan rasisme, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, budaya subaltern, hibriditas dan kreofisasi bukan dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Makaryk dalam Faruk (2007:14) mendefinisikan postkolonial sebagai kumpulan strategi teoretis dan kritis yang memiliki asumsi untuk mempersoalkan posisi subjek kolonial dan pasca kolonial. Hampir sama dengan Makaryk, Ratna (2008:90) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan postkolonialisme adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Dengan perkataan lain, postkolonial sebagai alat atau perangkat kritik yang melihat bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi yang didalamnya terdapat subjek pascakolonial.

Ratna (2008: 77-78), Budiawan (2010:vi-ix) dan Martono (2014:102-104) secara khusus membedakan istilah dan pengertian antara pascakolonial dengan postkolonial. Baik

(2)

sebagai teori, pos(t)kolonial merupakan sebuah tradisi intelektual dengan batasan-batasan yang bersifat relatif.

Istilah postkolonial adakalanya ditulis dengan menggunakan tanda hubung setelah awalan 'pos'nya, untuk menekankan perbedaan studi postkolonial dengan teori wacana kolonial yang hanya berlaku sebagai salah satu aspek pendekatan dari berbagai pendekatan dan keterkaitan yang seharusnya mewarnai wacana postkolonial (Aschroft 1998:87). Dalam hal ini, postkolonialisme adalah kritik terhadap ideologi (ide atau gagasan) kolonialisme; mengkritik bentuk totalisasi, dominasi dan bentuk kepemimpinan budaya (hegemoni) Barat.

Sebagai ideologi yang mengkritik dominasi budaya Barat, postkolonialisme merupakan bentuk pemikiran baru tentang diferensi budaya. Postkolonialisme menentang universalisme nilai-nilai budaya Barat seperti individualisme, rasionalisme, fungsionalisme dan

materialisme. Apa yang bagi Barat merupakan universalisme, namun bagi masyarakat Timur merupakan imperialisme. Berkaitan dengan hal itu, Barat sedang dan akan terus berusaha mempertahankan superioritas serta kepentingan-kepentingannya dengan cara menunjukkan kepentingan-kepentingan itu seakan-akan sebagai kepentingan "masyarakat dunia" atau global (Huntington 2001:334-335).

Definisi postkolonialisme lebih berguna tidak pada saat ia bersinonim dengan periode historis setelah kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan, tetapi pada waktu dialokasikan sebagai anti atau kritik terhadap pembajakan dan penindasan budaya oleh pihak kolonialis. Dengan demikian, kolonialisme dan imperialisme dalam pengertian ini dapat diartikan sejak dimulainya kekuasaan kolonial memasukkan dirinya dalam ruang budaya bangsa lain sampai sekarang. Istilah postkolonial difokuskan pada produksi budaya masyarakat yang mengalami imperialisme Eropa, dan dipergunakan secara luas dalam bidang sejarah, politik, sosiologi, komunikasi dan analisis ekonomi, karena berbagai bidang tersebut juga dipengaruhi oleh imperialisme. Imperialisme inilah yang tampaknya tetap hidup di tempat ia hidup sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum maupun dalam praktek-praktek politik, ideologi, ekonomi, serta sosial tertentu (Said 1995:40). Imperialisme bentuk baru tersebut

ditandai oleh peniruan model budaya Barat dan konsumsi produk Barat yang dominan. Bahkan oleh penganut Marx, pengaruh Barat yang berkelanjutan dan dialokasikan dalam kombinasi fleksibel bidang ekonomi, politik, militer dan ideologi (tetapi lebih cenderung untuk kepentingan ekonomi) masih dinamakan sebagai kolonialisme, yaitu kolonialisme baru, sementara prosesnya yang disebut sebagai imperialisme baru (Williams 1993:3).

(3)

siasat perlawanan massa rakyat kecil tanpa politik yang dilakukan dengan gerakan “picisan” untuk mengkaji ulang “politik modern” identitas adiluhung kalangan elite yang (sedang) berkuasa. Siasat tersebut oleh Lubis (2006:201) dapat merubah masyarakat dari yang cenderung terposisikan pada “dua kutub”, dengan identitas tunggal dan komunal menjadi masyarakat yang saling berintegrasi dan bergesekan antar masyarakat yang bersifat lokal dan global secara bersamaan.

Pembicaraan tentang postkolonialisme tidak terbatas pada upaya mencari kemerdekaan sebuah negara tetapi sudah lebih luas. Postkolonial atau pascakolonial, menurut Loomba (2005:15) dapat dipikirkan sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme. Jorge de Alva-seperti dikutip Loomba (2003: 16) melihat pascakolonial sebagai suatu subjektivitas dari perlawanan terhadap wacana-wacana dan

praktik-praktik imperialisme atau kolonialisasi. Postkolonialisme juga tidak hanya terbatas pada upaya perlawanan terhadap pencarian kemerdekaan sebuah negara maupun perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisannya. Oleh karena itu pascakolonialisme tidak dapat dimaknai pada sebuah konsep yang tunggal dan statis (Mooore-Gilbert dalam Faruk,2007:5).

Selain itu pula analisis wacana kolonial dan teori postkolonial ini disimpulkan William sebagai kritik mengenai proses produksi pengetahuan tentang the Other (Williams dan Chrisman, 1994:8). Dalam hal ini budaya berperan sebagai elemen resistan, karena kenyataannya budaya merupakan manifestasi yang bersifat ideologis atau idealis, dari realitas sejarah dan fisik masyarakat (bangsa) yang mengalami dominasi (Cabral 1979:73). Pada budaya terdapat sintesis yang dinamis, yang dibuat dan dibangun oleh kesadaran sosial untuk menyelesaikan konflik pada setiap tahapan evolusi, yaitu konflik yang ditimbulkan oleh adanya pengaruh faktor ekstemal yaitu dominasi dan tekanan dari budaya penjajah, untuk bertahan hidup serta mencari kemajuan.

Dalam budaya terletak kapasitas (tanggung-jawab) untuk membentuk dan menjamin kelanjutan sejarah, dan pada saat yang bersamaan juga memastikan atau menentukan prospek

(4)

Hal inilah yang menjadi kritik pemikiran postkolonial tentang representasi identitas, yaitu untuk mengedepankan atau memulihkan kembali budaya yang tertindas tersebut sebagai identitas yang sesungguhnya dari bangsa yang pernah dipengaruhi oleh proses imperial. Dalam kaitannya dengan keilmuan komunikasi Homi K.Babha membuktikan bahwa sebagai tanda, model kolonialisme selalu bersifat ambigu, polisemik. Karena itu konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan bertentangan.

Said (1995:12) mengatakan disamping suatu praktik, kebudayaan adalah komunikasi dan representasi, bahkan memiliki nilai estetis. Oleh karena itu sejalan dengan pemikiran tentang diferensi budaya tersebut, postkolonialisme menolak pandangan monosentris terhadap pengalaman manusia, dan sebaliknya mengakui dan menghargai keberadaan

pluralisme serta multikulturalisme budaya melalui sinkretisasi dan hibriditas (Mishra 1993:41). Pluralisme kemudian didefinisikan sebagai suatu keyakinan, dimana di dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok politis, ideologis, kultural atau etnis, tidak ada satu kelompok pun yang dominan, yang di dalamnya terdapat penghargaan akan diferensi.

Dalam pluralisme budaya tersebut, diakui adanya keyakinan akan hak hidup dan ruang ekspresi yang sama dan sejajar bagi setiap kelompok budaya yang ada didalamnya. Sementara Multikulturalisme adalah gerakan bagi pengakuan dan penerimaan akan keanekaragaman, perbedaan, dan identitas, khususnya dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai kelompok minoritas, akan tetapi dikuasai oleh kelompok kultural dominan (Piliang 2001:16).

B. Identitas

Isu identitas dan subyektivitas telah menjadi tema utama dalam studi kebudayaan di Barat selama dekada 1990-an, terutama oleh kalangan “rezim tentang diri” (regime of the self). Secara konseptual subyektivitas dan identitas mempunyai hubungan yang erat dan bahkan tidak bisa dipisahkan. Chris Barker kemudian menegaskan, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya (Barker, 2005:170-171).

(5)

(unconscious) seseorang. Identitas inilah kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan.

Sementara mengeksplorasi tentang identitas adalah menanyakan: bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana orang lain melihat kita? (Barker, 2000:165). Pertanyaan tersebut secara umum membagi identitas menjadi dua kategori utama, yakni pertama: identitas kultural dan identitas politik. Identitas kultural menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness) (Barker, 2005:169-190).

Teoritisi Cultural Studies lainnya, Stuart Hall, dalam artikel yang berjudul The Question of Cultural Identity, mengidentifikasi tiga perbedaan cara yang mengkonseptualisasikan identitas kultural, yaitu (a) subyek pencerahan; (b) subyek sosiologi, dan (c) subyek posmodernisme. Dalam perspektif era pencerahan berkembang gagasan bahwa pribadi dipandang sebagai agen kesatuan yang unik dan bersekutu terhadap Pencerahan (Enlightenment). Hall menuturkan:

The enlightenment subject was ba sed on conception of the human person as a fully

centred, unified individual, endowed with the capa cities of reason, consciousness and action, whose „centre‟ consisted of an inner core …. The essensial centre of the self was a person‟s identity (Hall, 1992:275).

Hall juga menganjurkan bahwa untuk memahami konsep identitas kebudayaan juga erat kaitannya dengan asumsi-asumsi yang berkembang dalam aliran pemikiran esensialisme dan

anti-esensialisme kebudayaan. Dalam buku Identity, Community, Culture, Difference, Stuart Hall berpendapat bahwa identitas budaya bukanlah sesuatu yang jelas dan tanpa masalah karena identitas budaya adalah suatu produk yang tidak pernah selesai, selalu dalam proses pembentukan dan terbentuk dalam suatu representasi. Representasi ini harus berada dalam

(6)

sama. Identitas kultural pada definisi ini, menggambarkan persamaan pengalaman sejarah dan berbagai lambang-lambang budaya yang membuat mereka menjadi satu komunitas yang stabil, tidak berubah dan melanjutkan kerangka acuan dan pemaknaan dibawah perubahan sejarah. Identitas budaya di sini memaksakan orang-orang tersebut sebagai one people yang stabil dan tidak berubah. Identitas di sini adalah identitas yang bersifat esesensialis.

Senada dengan Stuart Hall, Kathryn Woodward menjelaskan bahwa identitas yang bersifat esensialis suggests that there is one clear, authentic set of characteristics which all

shared and which do not alter across time (Woodward, 1997:11). Dengan demikian identitas esensialis dapat dipahami sebagai suatu identitas yang mempunyai satu karakteristik yang sama seperti sejarah dalam satu budaya. Dalam pandangan kaum esensialis, bahwa pribadi-pribadi mempunyai hakekat tentang diri yang disebut identitas, untuk itu kajian postkolonial dari kaum esensialis dalam rangka merumuskan identitas “cenderung” menggunakan argumentasi yang bersifat terposisikan pada dua kutub atau posisi biner. Oposisi biner yaitu sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam pemikiran oposisi biner, Lubis (2006:208) mengatakan seseorang dihadapkan pada salah satu pilihan “ini” atau “itu” sebagai salah satu yang dinyatakan benar. Misalnya : Timur versus Barat, Diri (self) versus Orang lain (the other), Subyektivitas versus Obyektivitas, Masa kini versus Masa lalu, Pengamat (subyek) versus Yang Diamati (obyek) dan seterusnya.

Model berpikir oposisi biner menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, pengamat, subyek dan menceritakan dianggap memiliki posisi ungggul dibandingkan dengan Timur, terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan dan seterusnya. Seperti yang diungkapkan oleh Leela Gandhi (2001:26) bahwa hubungan antara penjajah-terjajah (atau bekas jajahan) adalah hubungan yang hegemoni, penjajahan sebagai kelompok superior dibandingkan pihak terjajah yang inferior.

Hubungan antara penjajah-terjajah yang bersifat hegemoni tersebut, kemudian memunculkan apa yang disebut dominasi dan subordinasi. Pola hubungan seperti demikian kemudian memunculkan lagi gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan mengenai pihak

(7)

Kaum esensialisme berasumsi bahwa deskripsi diri mencerminkan hakekat yang didasari identitas. Dengan demikian akan bisa ditetapkan apa itu hakekat femininitas, maskulinitas, orang Asia, remaja dan semua kategori sosial yang lain. Asumsi ini meyakini bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri. Dalam pandangan mereka, tingkah laku sekelompok orang akan tergantung kepada nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dianutnya. Jadi, untuk mengubah tingkah laku budaya perlu diubah terlebih dahulu seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang menjadi pendoman bagi tingkah laku budaya. Pandangan ini menyatakan sistem dan norma itu adalah sesuatu yang sudah baku, tidak bisa diubah, sehingga jika ada fenomena penyimpangan, tingkah laku manusialah yang dianggap menyimpang dari sistem nilai dan norma yang berlaku.

Kedua, definisi identitas kultural adalah identifikasi yang dibentuk oleh sejarah dan unsur-unsur kebudayaan. Sebaliknya, terdapat pula pandangan bahwa identitas sepenuhnya merupakan kebudayaan, yang dibentuk berdasarkan ruang dan waktu. Ini merupakan pandangan kaum anti-ensensialisme yang menjelaskan bahwa bentuk-bentuk identitas senantiasa berubah dan berkaitan dengan kondisi sosial dan kebudayaan. Identitas adalah konstruksi-konstruksi yang tidak saling berkaitan, makna-maknanya senantiasa berubah mengikuti ruang dan waktu, serta penggunaannya.

Defenisi kedua ini memposisikan identitas budaya dengan mengakui adanya persamaan dan perbedaan. Identitas yang bersifat non-esensialis ini fokus kepada perbedaan dan juga persamaan karakteristik. Dalam pengertian yang kedua ini, Hall (1990) juga mengatakan bahwa identitas budaya adalah persoalan tentang bagaimana seorang membentuk dirinya seperti sebagai becoming dan being (Cultural Identity and Diapora dalam Identity, Community, Culture, Difference, hal.53). Identitas budaya masuk ke dalam dunia masa depan sekaligus dunia masa lalu.

(8)

inside us on which history has made no fundamental mark…It has its histories – and histories have their real, material and symbolic effects.” (Stuart Hall, 1993: 227)

Hall menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang kaku dengan karakteristik tetap yang tidak berubah dari zaman ke zaman. Identitas adalah sesuatu yang terus-menerus dibentuk dalam kerangka sejarah dan budaya, sesuatu yang diposisikan pada suatu tempat dan waktu, sesuai dengan konteks. Pencarian identitas seseorang selalu terkait dengan permasalahan bagaimana orang itu berusaha menempatkan dirinya (positioning) dalam suatu lingkup masyarakat yang telah menempatkan dirinya dalam lingkup lain (being positioned).

Hal ini juga berkaitan erat dengan persamaan dan perbedaan dalam identitas budaya. Perbedaan dan persamaan inilah ada dalam cakupan identitas budaya. Identitas juga dipaparkan oleh Hall sebagai suatu hal yang selalu berubah dan tidak pernah tetap. Oleh

karena itu, seseorang dapat mengalami perubahan identitas seiring dengan kehidupannya. Identitas kultural disini kemudian mengandung identitas politik, yaitu politik penentuan posisi dalam masyarakat tertentu. Secara implisit, Bhaba (dalam Sutrisno dkk. ed, 2004:145-146) juga berpendapat bahwa identitas kultural bukanlah identitas bawaan yang dibawa sejak lahir dari kekosongan. Identitas kultural bukanlah entitas yang sudah ditakdirkan. Pandangan tentang oposisi biner “penjajah” dan “terjajah” tidak lagi sebagai yang terpisah satu dari yang lain dan masing-masing berdiri sendiri. Sebaliknya, pendapat Bhaba menganjurkan bahwa negosiasi identitas kultural mencakup perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus yang pada saatnya akan menghasilkan pengakuan timbal balik akan perbedaan budaya.

Relasi budaya-budaya, termasuk “penjajah” dan “terjajah”, berada dalam interpendensi dan konstruksi subjektivitas yang mutual. Menurut Bhaba, budaya dan sistem budaya terbentuk dalam ruang ketiga. Interpendensi itu mengambil wajah dalam hibriditas. Hibriditas identitas, memunculkan diri dalam budaya, bahasa, ras dan sebagainya. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, cultural studiesmemaknai identitas sebagai sebuah ‘entitas’ yang dapat diubah menurut sejarah, waktu dan ruang tertentu. Lebih lanjut, Stuart Hall

menjelaskan bahwa identitas kebudayaan sebagai representasi adalah tidak permanen karena merupakan produksi atau konstruksi yang tidak lengkap, tetapi selalu dalam proses perubahan dan dibentuk dari dalam kelompok.

(9)

transformasi dan pembedaan (difference). Williams dalam Barker (2005:50-55), mendefinisikan konsep kebudayaan sebagai budaya yang dibentuk oeh makna dan praktik. Kebudayaan adalah pengalaman yang hidup: teks, praktik dan makna bagi semua orang ketika mereka menjalani hidupnya. Kebudayaan tidak menggambarkan kondisi material kehidupan, sebaliknya apapun tujuan praktik budaya, sarana produksinya tidak terbantahkan lagi selalu bersifat materi. Jadi makna kebudayaan yang hidup harus dieksplorasi di dalam konteks syarat produksi mereka, sehingga menjadi bentuk kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup.

Dalam kaitannya dengan identitas kultural masyarakat Indonesia, bahwa konsep identitas kultural membuka kemungkinan untuk mengkaji tidak hanya bagaimana masyarakat Indonesia menopang identitas kultur mereka sambil mengadopsi banyak nilai-nilai yang

bukan Indonesia, tetapi juga bagaimana sebagian mereka dapat melakukan akulturasi total dan menerima suatu identitas yang bukan Indonesia melainkan identital kultural koloni, seperti yang pernah dialami bangsa ini. Selain itu pula konsep identitas kultural berkaitan erat dengan peristiwa komunikasi yang menggunakan simbol, tanda dan lambang-lambang komunikasi. Oleh karena itu bagaimana masyarakat Indonesia memaknai lambang tersebut pada tataran ilmu komunikasi dapat dimaknai pula sebagai sebuah identitas budaya.

Identitas mengenai diri merupakan konsepsi yang diyakini seseorang tentang dirinya, sementara harapan atau pandangan orang lain terhadap diri seseorang akan membentuk identitas sosial (Barker, 2009: 173). Meskipun terdapat dua pemisahan tersebut sebagai pribadi yang utuh seseorang harus memiliki seluruh aspek sosial dan kultural, sehingga identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi kultural (Barker, 2009: 174). Dari pemikiran Barker di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa identitas seseorang secara meliputi pandangan diri terhadap diri sendiri dan bagaimana orang lain memandang diri tersebut, bersifat personal sekaligus sosial.

Membicarakan identitas yang muncul dalam negoisasi dengan teori postkolonial berarti membicarakan identitas postkolonial. Dalam negoisasi tersebut identitas postkolonial

melakukan penguakan dan resistensi terhadap kepalsuan yang dibubuhkan kepadanya sekaligus menghadirkan ke-liyan-an (otherness) dirinya (Sinaga, 2004: 8-9). Culture and Imperialism (1993) karya Edward Said menyebutkan bahwa konstruksi mengenai “diri”

(10)

Said (1985: 7) menunjukkan bahwa budaya Eropa memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur. Identifikasi dunia Timur oleh Barat merupakan bagian upaya Barat untuk mengidentifikasi dirinya sendiri. Identifikasi pribumi sebagai “rendah” oleh Barat, berarti juga bahwa Barat mengidentifikasi dirinya sebagai “tinggi”. Perbedaan antara Barat dan Timur tersebut dalam teori Barker (2009: 174&176) merupakan upaya pengidentifikasian diri dan hal tersebut akan menjadi identitas jika mampu dilanggengkan narasinya. Pelanggengan narasi tentang diri dalam hal ini dapat berarti kolonialisme.

Bhabha (dalam Loomba, 2003:230) berpendapat bahwa penjajah dan terjajah tidak idependen satu sama lain, keduanya justru bersifat relasional. Relasi-relasi postkolonial itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi. Identitas-identitas kolonial itu, baik dari sisi penjajah maupun terjajah, tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu resistensi.

Hal inilah yang menurut Faruk (2007:6), menegasikan identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah, karena itu konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan bahkan bertentangan. Ruang ini (Rutherford, 1990:211), adalah ruang negosiasi, ruang dimana “all forms of culture in a process of hibridity”. Oleh karena itu, Burke (2009:34) menafsirkan arti

hibriditas seperti berada dalam “jungle of concepts competing of survival”, atau dengan defenisi Darmawan (2014:26) terminologi hibriditas seperti berada dalam hutan konsep-konsep yang saling berkompetisi untuk bertahan. Pendapat Bhabha tersebut mematahkan klaim kaum nasionalis maupun kolonialis tentang diri yang tunggal (self), sekaligus memberi peringatan agar tidak menafsirkan perbedaan kultural dalam kerangka yang reduktif dan absolut.

Bhabha (1994: 66) menegaskan bahwa problem identitas dalam postkolonialisme

(11)

lebih lanjut Barker (2009: 140) menjelaskan bahwa representasi bukanlah mimesis, bukan penjiplakan atas kenyataan yang sesungguhnya, representasi adalah ekspresi estestis, sebuah rekonstruksi dari situasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, Hutcheon (dalam Ratna, 2008: 123) memaparkan semua bentuk representasi,baik literal, visual, oral, maupun kultural pada umunya, baik budaya tinggi maupun budaya massa, didasarkan atas pesan ideologis tertentu sehingga tidak lepas dari masalah sosial politis. Representasi tidak melukiskan suatu dunia sebagaimana adanya, melainkan membangunnya.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan sebagai perwakilan pada dasarnya representasi tidak berbeda dengan simbol, tanda dan lambang, yang secara defenitif berarti mewakili sesuatu yang lain, sebagai pengganti objek faktual. Perbedaannya, apabila simbol, tanda dan lambang lebih bersifat arbiter, maka representasi juga lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis

(Ratna, 2008:123).

Dengan demikian, bila komunikasi dapat dipahami sebagai jalinan hubungan antar manusia dengan menggunakan simbol, tanda dan lambang, maka teori representasi identitas kultural ini dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana penggunaan simbol, tanda dan lambang tersebut diantara masyarakat Indonesia yang kemudian dapat merepresentasikan identitas kultural mereka. Seluruh peristiwa komunikasi yakni tanda, lambang, bahasa, perilaku masyarakat dan media, baik yang tersirat maupun yang tampak sangat nyata pada intinya merupakan hubungan yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu objek sekaligus subjek yang memiliki bentuk yang kompleks, spesifik dan kontradiktif. Gagasan peristiwa komunikasi adalah relasi yang saling berhubungan satu sama lain, bukanlah suatu strategi dan bukan pula dilokalisasi. Masyarakat dan budaya yang sebenarnya memainkan segala fungsi komunikasi; budaya yang ada pada kelompok, organisasi dan negara menggambarkan masyarakat yang ada di dalamnya.

Keseluruhannya itu akan menciptakan pengetahun tentang budaya yang kemudian memungkinkan lahirnya kekuasaan dan dominasi. Prinsip perbedaan dan persamaan suatu teori dapat kita amati dan teliti dalam masyarakat dan budaya. Suatu teori dengan teori yang

(12)

C. Identitas Hybrid

Dalam budaya, hibriditas mengacu pada pertemuan dua budaya atau lebih yang kemudian melahirkan sebuah budaya baru, akan tetapi budaya lama tidak ditinggalkan. Hibriditas sebenarnya menunjuk pada penciptaan transbudaya baru yang ada dalam wilayah pertemuan yang dihasilkan melalui kolonialisasi (Ashcroft, et.al., 1998:55).

Salah satu tokoh dalam kajian postkolonial, Homy Babha, membangun defenisi hibiriditas atas fondasi pemikiran Edward Said dan Fanon (Darmawan: 2014:27). Hibriditas diawali ketika batasan-batasan yang ada dalam sebuah sistem atau budaya mengalami pelenturan, sehingga kejelasan dan ketegasan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan atau

tidak dapat dilakukan mengalami pengaburan, yang pada akhirnya menghasilkan suatu ruang baru.

Menurut studi Orientalism Said, kecenderungan studi Eropa terhadap Asia bersifat Eropasentris dan oposisi biner. Orientalism mengacu pada kesimpulan bahwa orang terjajah (Timur) merupakan subjek yang diam dan dibawah kuasa Eropa. Pemaknaan Barat atas Timur adalah gambaran yang homogen, baku dan merendahkan. Sedangkan Fanon dalam Black Skin White Skin, Babha belajar bahwa dari sisi orang yang dijajah ada hasrat untuk menjadi sama, sekaligus takur terhadap penjajah. (Darmawan: 2014:27).

Suatu sistem tersendiri yang ‘Hibrid’, dimana menurut Bhabha merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Hybriditas sebagai salah satu konsep kunci dalam studi postcolonial adalah konsep yang relatif baru (Budiawan,2010:viii; Burke,2009:1). Meski baru, hibriditas diinterpretasikan dalam terminologi yang bermacam-macam. Ada yang menafsirkan itu sebagai sinkretisme, akomodasi, pencampuran. Dalam hibriditas, biasanya identitas lama tidak begitu saja menghilang, meskipun identitas kultural baru akan kuat mempengaruhi

(13)

Bhaba menambahkan bahwa postkolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek hibridasi, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru bagi sekelompok orang dalam relasi sosial dan politik mereka (Bhaba, 2004:113-114). Namun, hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabilisasi temporer kategori budaya (Barker, 2005:210). Konsep liminalitas Bhabha (2007:5) digunakan untuk mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Selain itu pula dapat dilihat sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus. Kondisi

terbelah/terpecah ini menjadikan subjek selalu berada pada the liminal space between cultures, di mana garis pemisah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.

Terminologi dunia ketiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam teori hibriditas Bhabha. Bhabha (1994:84-92) menemukan “mimicry” sebagai bukti bahwa yang terjajah tidak selalu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk melawan. Konsep mimicry digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimicry tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut.

Hal ini terjadi karena mimicry mengindikasikan makna yang tidak tepat dan juga salah tempat. Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Mimicry, dengan demikian adalah tanda dari artikulasi ganda yang merupakan suatu strategi a prropriate tapi bersamaan dengan itu juga

inaprropriate, sehingga memuat mimicry tidak pernah menghasilkan suatu identitas yang seragam, identik dan takluk dibawah kekuasaan penjajah. (Darmawan:2014:28)

Dengan demikian, mimicry bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi

penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegaskan dominasinya. (Martono, 2013:125-126). Dari mimicry inilah terlihat bahwa ia adalah dasar sebuah identitas yang hibrid (Moore and Gilbert 1997:55)

(14)

kaum penjajah, sedangkan mereka juga ingin mempertahankan perbedaannya. Mimicry muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni perbedaan tersebut merupakan proses pengingkaran.

Ambivalensi mimicry terlihat dalam tatanan berikut ini, pertama, mimicry adalah suatu strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan ‘The Other’ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimicry juga merupakan ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat pada fungsi strategis kekuatan dominasi kolonial. Pada prakteknya, mimicry juga mengusung paham mockery, meniru tetapi juga memperolok-olok (Bhabha, 2004: 86). Menurut Darmawan (2014:28),

mockery adalah upaya meng-copy penjajah, yang kemudian berubah menjadi parodi.

Tindak mimicry (peniruan identitas) oleh terjajah melahirkan hibridisasi yang berada dalam ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebut Bhabha (2004: 1-4) sebagai liminal space, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang seperti twilight zone. Darmawan (2014:29) menyatakan ruang ketiga adalah cara mengartikulasikan, menginterupsi, menginterogasi, dan mengungkapkan bentuk baru makna kultural sehingga menghasilkan bata yang kabur. Area remang-remang ini menjadi jalan setapak yang menghubungkan terjajah dan penjajah atau jaringan ikat yang membangun perbedaan antara mereka, si Hitam dan si Putih. Di tempat ini semua perbedaan antara mereka dipamerkan, diperlihatkan. Tempat itu akhirnya menandai perbedaan kedudukan mereka, perbedaan identitas mereka.

Bhaba menolak pendapat Said yang mengesankan bahwa wacana kolonial semata-mata milik penjajah dan seragam (Richard King, 2001:56). Young (2001:107) menambahkan, ‘He (Bhabha) showed how colonial discourse of whatever kind operated not only a s an instrumental construction of knowledge but also according to the a mbivalent protocols of

fantasy and desire.’ Bagi Bhabha (2004:42), wacana kolonial merupakan hasil dari proses hibridisasi yang dipicu oleh benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan pribumi. Wacana kolonial karenanya memiliki ketegangan mendalam yang mengakibatkan hubungan antara

(15)

Belanda yang memegang kekuasaan berusaha agar wacana kolonial menguntungkan kedudukan mereka. Oleh karenanya, mereka melakukan seruan-seruan tentang keunggulan jatidiri dan budaya mereka sekaligus menyusun seruan berkebalikan untuk pribumi. Alatas (1980:91) secara khusus meneliti teks orientalisme yang ada di Hindia Belanda, Malaysia dan Filipina. Keengganan pribumi bekerja di ladang/bidang pendukung kapitalisme menghasilkan mitos pribumi malas, tukang kredit, peminum, pemadat, pencuri. Mitos tersebut ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme. Dengan mitos dan stereotip, kolonisator merasa berhak mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka.

“Citra Superioritas” sebagaimana “citra inferioritas” menjadi bagian dari konsep“fixity” wacana kolonial. Fixity diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis dan kultural dalam wacana kolonial. Keberhasilan “fixity” menyebabkan terjajah memasuki situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha membentuk identitas mereka mengikuti “citra superioritas”. (Bhabha, 2004: 82). Dikaitkan dengan tema penelitian, perilaku mimicry akan dianalisis pada berbagai hal, seperti upacara agama, tradisi, bahasa, kehidupan sosial, dan bentuk-bentuk komunikasi lain. Oleh karena itu teori ini menjadi relevan untuk menganalisis representasi identitas kultural masyarakat Larantuka dalam kerangka postkolonial.

(16)

Daftar Pustaka

Aschort, B., et.al. 1998. Key Concepts in Postcolonial Studies. London: Routledge

Anderson, Benedict. 1999. Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-Usul dan Penyeba ran Nasionalisme (terj). Yogyakarta. Pustaka Pelajar-Insist

Alatas, S.H. The Myth of the lazy natives atau Mitos Pribumi Malas, Citra Orang Ja wa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial, (terj). Akhmad Rofi’ie. Jakarta : LP3ES, 1988.

Barker, Chris. 2000, Cultural Studies, Theory and Practice. London. Sage Publications Ltd. __________. 2005. Cultural Studies (terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana

__________. 2013. Cultural Studies (terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana

Berger, Charles, et.al. (eds). 2014. Handbook Ilmu Komunikasi (terj). Bandung. Nusa Media Bhabha, Homi. K. 1995. Cultural Diversity and Cultural Differences, dalam Ashcroft, B.,

et.al (eds). The Postcolonial Studies Reader. London. Routledge

_____________. 1994. The Location of Culture. London and New York. Routledge _____________. 2004. The Location of Culture. London and New York. Routledge _____________. 2007. The Location of Culture. London and New York. Routledge

Bos , Paul R,. 2005. Nagi music and community Belonging and displacement in Larantuka, eastern Indonesia dalam Hae kyung Um. 2005. Diasporas and Interculturalism in Asian Performing. New York. Routledge Curzon

Budiawan (ed). 2010. Ambivalensi: Post-Kolonia lisme membedah musik sampai agama di Indoensia. Yogyakarta. Jalasutra

Burke, P., 2009. Cultural Hybridity. Cambridge. Polity Press

Darmawan, Darwin. 2013. Tesis: Identitas Hibrid Orang Cina Indonesia Kristen: Ketegangan dan Negosia si antara Kecinaan, Keindonesiaan dan Kekristenan. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada

Darmawan, Darwin. 2014. Identitas Hybrid Orang Cina. Yogyakarta. Gading Publishing Erniwati. 2011. China Padang dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau: dari Revolusi

Sampai Reformasi. Jakarta. Universitas Indonesia

Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam Sa stra Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Kusno, Abidin. 2000. Behind the Postcolonial: Architecture, urban space and colonial culture in Indonesia, London-New York: Routledge.

Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta. Qalam

(17)

________. 1992. The Questions of Cultural Identity dalam S. Hall, D. Held & T. McGrew (eds.), Modernity and Its Futures, London. Edward Arnold

________. 1993. Miniminal Selve dalam A. Gray dan J.McGuigan (eds) Studying Culture. London. Edward Arnold

Huntington, Samuel P. 2001. Benturan antar Pera daban. Yogyakarta. Qalam.

Kerlinger. Fred N. 2004. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Universitas Gadjahmada

Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pa scakolonialisme, (terj). Hartono Hadikusuma. Yogyakarta. Bentang Budaya

______________. 2005. Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta. Pustaka Indonesia Satu

Lukito, Martin Sinaga. 2004. Identitas Postkolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKIS

Mishra, Vijay, Bob Hodge. 1993. What is Post Colonialism dalam Colonial Discourse and Post-colonial Theory. Textual Practise, 1991. London: Harvester Wheatsheaf hal.41 Mishra, Vijay. 2007. The Literature of the Indian Diaspora Theorizing the Diasporic

Imaginary. London: Routledge.

Moore, B. and Gilbert. 1997. Postcolonial Theory: Contexts, Practice, Polities. London: Versco

Piliang, Yasraf Amir. 2001. Perkembanqan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya terhadap Tatanilai Seni Rupa. Makalah Seminar. Bandung: ITB. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Said, Edward W. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat.

Bandung. Mizan

Sutrisno, Mudji; Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta. Kanisius

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung Alfabeta

Supriyono, J. 2004. Mencari Identitas Kultur Indonesia dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds). Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta. Kanisius.

Sianipar, Gading. 2004. Mendefinisikan Pascakolonialisme dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto ( eds). Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta. Kanisius.

(18)

Williams, Patrick and Laura Chrisman. 1994. Colonial Discourse and Postkolonial Theory: an Introduction dalam Colonial Discourse and Postkolonial Theory: a Reader, Patrick William and Laura Chrisman, ed,. New York: Harvester Wheatsheaf,hlm.1-20

_________________________________. 1994. Colonial Discourse and Postkolonial Theory: an Introduction dalam Colonial Discourse and Postkolonial Theory: a Reader, Patrick William and Laura Chrisman, ed,. New York: Harvester Wheatsheaf,hlm.392-401

Woodward, K. 1997. Motherhood: Identities, Meanings and Myths dalam K. Woodward, ed,. Identity and Difference. London and Tousand Oaks, CA. SAGE

Yudha, I Putu Putra Kusuma. 2014. Tesis: Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Bali. Universitas Udayana.

Young, Robert J. C.. Postcolonialism and Historical Introduction. Oxford: Penerbit Blackwell , 2001

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun dengan

pengembangan dakwah persyarikatan Muhammadiyah di Dana Mbojo.. 15 tokoh Muhammadiyah “Muma” menjadi sosok yang dihargai dan dihormati oleh seluruh elemen masyarakat,

SKPD : DINAS PSDA

Jika frekuensi gaya paksa (frekuensi gempa) sama dengan atau mendekati frekuensi natural sistem (frekuensi natural pada bangunan), maka sistem akan berosilasi

Hasil penelitian menunjukkan hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi anak usia 1-2 tahun di Posyandu Pala VII Notoprajan Yogyakarta bahwa diantara

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam yang bertujuan untuk menganalisis SDM perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa di

terdapat 60% belum menunjukkan sikap kerjasama, sementara 40% anak sudah terlihat memiliki sikap kerjasama yang diharapkan dimiliki oleh anak. Hal ini dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh persepsi kemudahan, persepsi kegunaan, dan kepercayaan terhadap nilai kesenangan dan minat beli ulang pada pelanggan