• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Usia Ibu dan Paritas Ibu dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr.Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Usia Ibu dan Paritas Ibu dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr.Pirngadi Medan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Abortus

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, sebelum janin dapat hidup diluar kandungan (Nugroho, 2011).

Di Amerika Serikat, defenisi abortus terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 minggu, didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Defenisi lain yang sering digunakan adalah pelahiran janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 gram (Leveno, Cuningham, Gant, Alexander, Bloom, Casey, Dashe, Shefield & Yost, 2009).

B. Etiologi dan Faktor Resiko Abortus 1. Etiologi

Harlap dan Shiono (1980, dalam Cuningham, dkk, 2006) mengatakan bahwa lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama, dan setelah itu angka ini cepat menurun. Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas dan usia ibu. Frekuensi abortus yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12 persen pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 persen pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun .

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009), Abortus dapat disebabkan antara lain sebagai berikut :

a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi

(2)

c. Lingkungan endometrium kurang sempurna sehingga suplai zat makanan terganggu

d. Pengaruh teratogenik : radiasi, virus, obat-obatan

e. Kelainan plasenta (oksigenasi, plasenta terganggu, gangguan pertumbuhan janin, kematian)

f. Penyakit Ibu :Pneumonia akut, thypus abdominalis. Kronis : Toksoplasmosis, gangguan endokrin, malnutrisi, keracunan obat, pengaruh toksin, gangguan hormonal yang tidak terkendali, misalnya diabetes mellitus, tirotoksikosis, defisiensi korpus luteum, hipotiroid, kelainan anatomi alat reproduksi : kista ovarium, mioma uteri, faktor psikologis dan stress emosional (Maryunani & Yulianingsih, 2009).

2.Faktor Resiko

Faktor resiko adalah keadaan ibu baik berupa faktor biologis maupun non biologis yang biasanya sudah dimiliki ibu sejak sebelum hamil dan dalam kehamilan mungkin memudahkan timbulnya gangguan lain (Depkes, 2006).

Beberapa faktor resiko diduga merupakan faktor resiko dari kejadian abortus yaitu (Cunningham et al 2006, Prawirohardjo, 2010).

1) Usia Ibu

(3)

tekanan (stress) psikologis, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya abortus (Manuaba,1998).

Menurut Catanzarite (19 sering kali mengalami kondisi kesehatan yang kronik (resiko tinggi). Tentu saja hal itu akan sangat berpengaruh jika wanita tersebut hamil.

Menurut Samsulhadi (2 umur wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur juga semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin lanjut usia wanita, maka resiko terjadi abortus makin meningkat karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya resiko kejadian kelainan kromosom.

Menurut Dr.Nyol (2008, ibu berpengaruh terhadap fungsi ovarium, dimana sel telur yang berkualitas akan semakin sedikit, yang berakibat abnormalitas kromosom hasil konsepsi yang selanjutnya akan sulit berkembang.

Resiko terjadinya abortus spontan meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah paritas, usia ibu, jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya. Abortus meningkat sebesar 12% pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26% pada usia lebih dari 40 tahun. Insiden terjadinya abortus meningkat jika jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya 3 bulan (Cunningham et al, 2006).

Menurut Prawirohardjo (2010) risiko ibu terkena aneoploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.

(4)

bermakna (p=0,004) antara usia ibu dengan kejadian abortus serta ibu dengan kelompok usia <20 dan >35 tahun memiliki resiko 1,9 kali lebih besar dibanding kelompok usia 20-35 tahun.

Penelitian lainnya oleh Nurjaya, Muliaty dan Saniah (2006) di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2006 menyatakan bahwa ibu hamil dengan usia <20 tahun dan >35 tahun mempunyai resiko abortus 3,808 kali lebih besar dibanding ibu hamil dengan usia 20-35 tahun, dan terdapat hubungan bermakna usia terhadap kejadian abortus

2) Paritas Ibu

Menurut Wikjasastro (1999, dalam Taharuddin, 2012, ¶ 6) setiap kehamilan yang disusul dengan persalinan akan menyebabkan kelainan-kelainan pada uterus, dalam hal ini kehamilan yang berulang-ulang menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi kejanin dimana jumlah nutrisi akan semakin berkurang dibanding kehamilan sebelumnya.

(5)

sebelumnya telah melalui bedah caesar sehingga masih perlu untuk tetap memperhatikan kondisi kesehatan ibu selama kehamilan dan saat persalinan.

Menurut Mulyati (2003, dalam Firman, 2011) semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami seorang ibu semakin tinggi resikonya untuk mengalami komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Persalinan kedua dan ketiga merupakan persalinan yang aman, sedangkan risiko terjadinya komplikasi meningkat pada kehamilan, persalinan, dan nifas setelah yang ketiga dan seterusnya. Demikian juga dengan paritas 0 dan lebih dari 4 merupakan kehamilan risiko tinggi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2003, dalam firman 2011) di Lima Rumah Sakit di Jakarta mendapatkan ibu hamil yang paritasnya <1 dan >3 mempunyai resiko abortus 1,2 kali dibanding ibu hamil yang paritasnya 1-3 kali, tetapi secara statistik tidak bermakna (p=0,447).

Hasil penelitian lainnya oleh Nurjaya, et al. (2006) di RSIA Siti Fatimah Makassar menyatakan bahwa ibu hamil yang paritasnya >3 mempunyai resiko abortus 5,534 kali lebih besar dibanding ibu hamil yang paritasnya <3 kali, dan terdapat hubungan bermakna paritas terhadap kejadian abortus.

C. Patofisiologi

(6)

spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling lama 2 minggu sebelum perdarahan. Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak dilakukan jika telah terjadi perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari.

Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke-10-12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus.

Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk, ada kalanya kantung amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum), mungkin pula janin telah mati lama (missed aborted). Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses modifikasi janin mengering dank arena cairan amnion menjadi kurang oleh karena diserap (Maryunani & Yulianingsih, 2009)

D. Klasifikasi Abortus

Menurut terjadinya abortus dibagi atas :

1. Abortus Spontan (abortus yang berlangsung tanpa tindakan) a. Abortus Imminens

1) Definisi

(7)

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009) penentuan kehidupan janin dilakukan ideal dengan ultrasonografi, dilihat gerakan denyut jantung janin dan gerakan janin. Keadaan janin sebaiknya segera ditentukan karena mempengaruhi rencana pelaksanaan.

2) Tanda dan Gejala

a) Perdarahan sedikit/bercak

b) Kadang disertai rasa mulas/kontraksi c) Periksa dalam belum ada pembukaan

d) Palpasi : tinggi fundus uteri sesuai usia kehamilan (uterus membesar sebagaimana usia kehamilan)

e) Hasil Tes Kehamilan (+)/positif 3) Penatalaksanaan

a) Tirah baring untuk menambah aliran darah ke uterus dan mengurangi perangsangan mekanis.

b) Periksa tanda-tanda vital

c) Kolaborasi dalam pemberian sedative (untuk mengurangi rasa sakit dan cemas).

d) Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C

e) Bersihkan vulva minimal 2 kali sehari untuk mencegah infeksi. b. Abortus Insipiens

1) Definisi

(8)

2) Tanda dan Gejala

a) Perdarahan banyak disertai bekuan

b) Mulas hebat (kontraksi makin lama makin kuat dan makin sering) c) Ostium uteri eksternum mulai terbuka (serviks terbuka)

d) Pada palpasi : tinggi fundus uteri sesuai usia kehamilan 3) Penatalaksanaan

a) Apabila bidan menghadapi kasus abortus insipiens, segera berkonsultasi dengan dokter kebidanan sehingga pasien mendapat penanganan yang tepat dan cepat.

b) Pada kehamilan >12 minggu, bahaya perforasi terhadap kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dioercepat.

c) Pada kehamilan <12 minggu yang disertai perdarahan adalah pengeluaran janin (kuretase)

d) Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal. Lakukan manual plasenta.

c. Abortus Inkompletus 1) Definisi

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009) abortus Inkompletus adalah perdarahan kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi telah keluar cavum uteri melalui kanalis servikalis.

2) Tanda dan Gejala

a) Perdarahan bisa sedikit atau banyak b) Rasa mulas (kontraksi) tambah hebat

(9)

d) Pada pemeriksaan vaginal, jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari eksternum atau sebagian jaringan keluar

e) Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin dikeluarkan dapat menyebabkan syok.

3) Penatalaksanaan

a) Bila disertai syok karena perdarahan, diberikan infuse cairan fisiologis NaCl atau Ringer Laktat dan transfusi darah segera mungkin.

b) Setelah syok diatasi, dilakukan kerokan dengan kuret tajam dan diberikan suntikan untuk mempertahankan kontraksi otot uterus. c) Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, dilakukan

pengeluaran plasenta secara manual.

d) Diberikan antibiotika untuk mencegah infeksi. d. Abortus Kompletus

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009) mengatakan bahwa abortus komplet adalah abortus dimana seluruh hasil konsepsi telah keluar melalui jalan lahir.

2) Tanda dan Gejala a) Perdarahan banyak

b) Mulas sedikit atau tidak ada (kontraksi uterus) c) Ostium uteri telah menutup

d) Uterus sudah mengecil

(10)

3) Penatalaksanaan

a) Berkonsultasi dengan dokter sehingga tidak merugikan pasien

b) Tidak memerlukan terapi khusus, tetapi untuk membantu involusi uterus dapat diberikan methergin tablet

c) Bila pasien anemia dapat diberikan sulfas ferosus (zat besi) atau transfusi darah

d) Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi vitamin dan mineral e. Missed Abortion

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009, hal. 29) mengatakan bahwa missed abortion adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum 20 minggu, namun keseluruhan hasil konsepsi tersebut tertahan dalam uterus selama 6 minggu atau lebih.

2) Tanda dan Gejala a) Djj tidak terdengar

b) Mulas sedikit, ada keluaran dari vagina c) Uterus tidak membesar tetapi mengecil d) Tes kehamilan negatif

e) Amenhore berlangsung terus f) Biasanya terjadi pembekuan darah 3) Penatalaksanaan

a) Yang harus diperhatikan adalah bahaya adanya hipofibrinogenemia sehingga sulit untuk mengatasi perdarahan yang terjadi.

(11)

c) Bila kadar fibrinogen normal, segera lakukan pengeluaran jaringan konsepsi dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam

d) Pada kehamilan < 12 minggu dilakukan pembukaan serviks uteri dengan laminaria selama kurang lebih 12 jam ke dalam kavum uteri e) Pada kehamilan > 12 minggu pengeluaran janin dengan pemberian

infus intravena oksitosin

f. Abortus Infeksius dan Abortus Septik 1) Definisi

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009) abortus infeksius adalah suatu abortus yang telah disertai komplikasi berupa infeksi, baik yang diperoleh dari luar rumah sakit maupun yang terjadi setelah tindakan di rumah sakit.

Abortus septik adalah adanya abortus yang merupakan komplikasi disertai infeksi genitalia, sering dikaitkan dengan tindakan abortus tidak aman sehingga dapat menyebabkan perdarahan hebat.

2) Tanda dan Gejala

a) Kanalis servikalis terbuka b) Ada perdarahan

c) Demam

d) Takhikardia (denyut jantung cepat) e) Perdarahan berbau

f) Uterus membesar dan lembek g) Nyeri tekan

(12)

3) Penatalaksanaan

a) Perbaiki keadaan umum

b) Pemberian terapi antibiotika (penisilin, metronidazol, ampisilin, streptomycin dan lain-lain) untuk menanggulangi infeksi

c) Peningkatan asupan cairan

d) Bila perdarahan banyak, dilakukan pemberian transfuse darah g. Abortus Habitualis

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009, hal. 29) mengatakan bahwa abortus habitualis adalah abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih oleh sebab apapun.

2) Penatalaksanaan

a) Memperbaiki keadaan umum b) Istirahat yang cukup

c) Terapi hormone progesteron, vitamin

d) Kolaborasi untuk mengetahui faktor penyebab 2. Abortus Provokatus (abortus yang sengaja dibuat)

a. Abortus Provokatus Medisinalis 1) Definisi

Abortus Provokatus Medisinalis adalah abortus yang dilakukan dengan indikasi medis yaitu demi menyelamatkan nyawa ibu.

2) Syarat-syaratnya

(13)

b) Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi)

c) Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

d) Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.

e) Prosedur tidak dirahasiakan f) Dokumen medik harus lengkap. b. Abortus Provokatus Kriminalis

1) Definisi

Aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (illegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu.

E. Komplikasi Abortus

Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi dan syok.

1. Perdarahan

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.

2. Perforasi

(14)

perlu lakukan histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luas cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan – tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi

3. Infeksi

Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan teknik asepsis dan anti septic. Pada aboortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti dengan syok.

4. Syok

Referensi

Dokumen terkait

[r]

It was a small step for schools like Pennsyl- vania State University to go from running television courses for 2,500 students in 1960 to setting up TV classrooms around the state..

• Apabila mengalami kesulitan dalam mencari naskah yang ingin disitasi maka dapat dapat memilih menu “Go To Mendeley ”. • Akan tampil menu “My Library” pada aplikasi

enunjuk pada Berita Acara Hasil P elelangan paket Rehabilitasi Bendung dan Saluran Talang Desa Ngadiwarno Kecamatan Sukorejo Nomor: 027 / 17 / 2.35.1 / ULP tanggal 26

cancers of the liver. Ringe B, Pichlmayr R, Wittekind C, Tusch G. Surgical treatment of hepatocellular carcinoma: experience with liver resection and transplantation in 198

Hal itu setidaknya dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi Deni Heriyanto dan Ade Tirta Kamandanu, dua orang yang telah dan masih berkiprah sebagai atlit Pencak

Perhitungan  debit  air  dilakukan  untuk  mengetahui  laju  aliran  puncak  pada  Sistem  Drainase  .  Metode  yang  digunakan  untuk  memperkirakan  laju  aliran 

Yang membuat kurangnya tenaga pengereman pada sistem simulasi,seperti kerusakkan yang terjadi padamaster cylinder, kebocoran pada pipa dan flexible hoose, kotornya