BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perubahan dalam perpolitikan Indonesia sejak jatuhnya rezim Soeharto telah
memberikan ruang demokrasi yang sesungguhnya. Hal ini ditandai dengan lahirnya
era Reformasi, di mana Indonesia menjadi negara yang kian menghargai hak-hak
warga negaranya terutama dalam menentukan pemimpinnya. Pemerintahan yang
sebelumnya sentralistik diubah menjadi desentralistik dalam artian pemerintahan
pusat memberikan wewenang kepada daerahnya masing-masing untuk memilih
kepala daerah dan wakilnya. Selain itu juga memberikan ruang demokrasi politik
lokal menjadi terbuka dan bebas dalam menentukan pembangunan di daerahnya
masing-masing.
Ruang demokrasi itu terletak pada implementasi otonomi daerah diatur dalam
UU No. 32 Tahun 2004 yang di dalam penjelasan umumnya diterangkan sebagai
berikut: pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, di
samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Maka pembentukan
daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi,
potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial
politik, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain
yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan
tujuannya.1
1
Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat nyata dan
luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maksudnya otonomi
daerah harus dipahami sebagai perwujudan pertanggungjawaban konsekuensi
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang harus dilaksanakan daerah. Ide dasar dari pemberian otonomi kepada daerah
sejatinya adalah untuk; pertama, meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik; kedua, memelihara hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); ketiga, mengembangkan kehidupan
demokrasi, keadilan dan pemerataan.2
Dalam rangka menjalankan tugas dan kewajiban tersebut, esensi mendasar
dalam kebijakan pelaksanaan otonomi daerah adalah pemberian kewenangan yang
ditetapkan batasan kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Adanya pemberian kewenangan ini tentu merupakan esensi
dasar dalam pelaksanaan otonomi daerah di mana daerah mempunyai cukup
keleluasaan gerak dalam menggunakan potensinya, baik yang berasal dari daerahnya
sendiri maupun dari pemberian pemerintah pusat sesuai dengan kebutuhan daerah
dan kesejahteraan masyarakatnya.3
Di samping itu, perubahan sangat signifikan terhadap perkembangan
demokrasi di daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi adalah pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, dan tidak lagi dilakukan melalui
pemilihan di DPRD. Pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara langsung ini
merupakan konsekuensi perubahan tatanan kenegaraan kita akibat amandemen UUD
2
Agustino Leo. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta, 2009. hal. 26
3
1945. Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur mengenai penyelenggaraan
pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi.4
Dalam konteks itu, kepala daerah yang terpilih nantinya bisa menjalani asas
desentralisasi, karena ia adalah pejabat yang dekat dengan masyarakat lokal dan
diharapkan lebih peka terhadap segala permasalahan daerahnya masing-masing,
karena lebih mengerti segala yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Oleh karena itu,
otonomi daerah mempunyai tanggung jawab terhadap rakyat secara langsung yang
dibebankan kepada kepala daerah terpilih melalui pilkada langsung.
Indonesia adalah salah satu negara didunia yang menerapkan paham
demokrasi dan melaksanakan pemilihan umum didalam melakukan regenerasi
kepemimpinan pemerintahan maupun anggota lembaga legislatif. Di Indonesia,
pasca reformasi tahun 1999, terdapat beberapa perubahan didalam hal pemilu, yang
paling tampak jelas adalah dengan melaksanakan pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung dan pemilihan kepala daerah tingkat I dan II juga secara
langsung, disamping juga ada penambahan satu lembaga perwakilan yang disebut
dengan dewan perwakilan daerah (DPD).
Sumatera Utara merupakan salah satu dari 34 propinsi yang ada di Indonesia
saat ini. Sebagai salah satu propinsi terbesar, Sumatera Utara juga memiliki sejarah
yang panjang dalam perjalanannya. Sumatera Utara telah menjadi salah satu
barometer politik nasional di Indonesia, selain Jakarta, Jawa Timur, dll. Mengapa
Sumatera Utara menjadi salah satu barometer politik nasional di Indonesia? Karena
aktivitas politik yang begitu tinggi di Sumatera Utara, pluralitas dan keberagaman
sosial yang tertata dengan baik, menjadikan Sumatera Utara begitu penting dalam
4
arena politik nasional, disamping juga faktor penduduk yang relatif banyak di
Sumatera Utara.
Tahun 2013, tepatnya tanggal 7 Maret 2013, Sumatera Utara melaksanakan
pemilihan gubernur Sumatera Utara secara langsung. Dalam Pilkada tersebut
terdapat lima calon gubernur yang akan dipilih oleh masyarakat Sumatera Utara,
yaitu :5
Tabel 1.1 Nama Calon Gubernur Sumatera Utara
No.
Urut Calon Gubernur
Calon Wakil
Gubernur Partai Pengusung
1
Gus Irawan Pasaribu
Jabatan terakhir mantan Direktur Utama Bank Sumut
Soekirman
Saat itu menjabat Wakil Bupati Serdang Bedagai
Partai Gerakan Indonesia Raya
Partai Amanat Nasional Partai Bulan Bintang Partai Kebangkitan Bangsa Partai lain (23 partai)
2
Effendi Simbolon
Anggota DPR-RI dari partai DPI-P
Djumiran Abdi
Menjabat Wakil Ketua Kwarda Pramuka
Sumut
PDI Perjuangan Partai Peduli Rakyat Nasional
Partai Damai Sejahtera
3
Chairuman Harahap
Anggota DPR-RI dari partai Golkar
Fadly Nurzal Pohan
Ketua Partai Pembangunan, Sumut
Partai Golkar Partai Persatuan Pembangunan
Partai Pemuda Indonesia Partai Buruh
Partai Republika
4
Amri Tambunan
Saat itu menjabat Bupati Deli Serdang
Rustam Effendy Nainggolan
Mantan Sekda Pemrov Sumut, sebelumnya pernah menjabat Bupati
Tapanuli Utara
Partai Demokrat
5
Gatot Pujo Nugroho
Saat itu menjabat Wakil Gubernur
Sumatera Utara/Pelaksana tugas
Gubernur Sumatera Utara
Tengku Erry Nuradi
Saat itu menjabat sebagai Bupati Serdang
Bedagai
Partai Keadilan Sejahtera Partai Hati Nurani Rakyat Partai Patriot
Partai Bintang Reformasi Partai Kebangkitan Nasional Ulama
5
Kelima calon inilah yang kemudian bertarung secara politik untuk
mendapatkan simpati masyarakat, dengan harapan pada hari pemilihan nanti
masyarakat sumatera utara akan memilih calon tersebut. Kemudian pada tanggal 15
Maret 2013 diumumkanlah hasil pemungutan suara oleh KPU siapa yang
mendapatkan suara terbanyak pada pemilihan gubernur Sumatera Utara periode
2013-2018, dan hasilnya adalah (1) Gatot Pujo Nugroho-Erry Nuradi meraih suara
terbanyak dengan meraih 1.604.337 suara atau 33%, (2) Effendi Simbolon-Jumiran
Abdi dengan 1.183.187 suara atau 24,34%, (3) Gus Irawan-Soekirman yang meraih
1.027.433 suara atau 21,13%, (4) Amri Tambunan-RE Nainggolan yang
mendapatkan 594.414 suara atau 12,23%, dan (5) Chairuman Harahap-Fadly Nurzal
meraih 452.096 suara atau 9,30%.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang merupakan pendukung utama
dari pasangan Gus Irawan Pasaribu – Soekirman dan beberapa partai politik lainnya.
Partai Gerindra sendiri bila dilihat di wilayah Sumatera Utara merupakan partai
politik yang masih tergolong kecil, karena hanya mampu mendapatkan 3 kursi saja
di DPRD Sumatera Utara. Sebagai partai politik yang masih muda bila dibandingkan
dengan PPP, Partai Golkar dan PDI-P, Partai Gerindra ternyata mampu membawa
calon yang mereka dukung dan juga kader yang mereka distribusikan untuk ikut
dalam kompetisi pemilihan gubernur Sumatera Utara 2013. Walaupun dalam
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 ini Partai Gerindra tidak sendiri
dalam mengusung pasangan Gus Irawan – Soekirman, akan tetapi menjadi menarik
untuk dikaji dan diteliti bagimana sebenarnya upaya dan peran sayap Partai Gerindra
Seperti partai politik lainnya, Partai Gerindra memiliki sayap-sayap di tiap
daerah yang tujuannya untuk dapat menggalang suara masyarakat. Berikut ini adalah
daftar lengkap sayap Partai Gerindra saat ini, yaitu :6
1. Gerakan Rakyat Dukung Prabowo (Gardu Prabowo)
2. Tunas Indonesia Raya (TIDAR)
3. Perempuan Indonesia Raya (PIRA)
4. Kristen Indonesia Raya (KIRA)
5. Gerakan Muslim Indonesia Raya (GEMIRA)
6. Sentral Gerakan Buruh Indonesia Raya (SEGARA)
7. Persatuan Tionghoa Indonesia Raya (PETIR)
8. Satuan Relawan Indonesia Raya (SATRIA)
9. Kesehatan Indonesia Raya (KESIRA)
10.Gerakan Masyarakat Sanathana Dharma Nusantara (GEMA SADHANA)
11.Barisan Garuda Muda (BGM)
12.Garuda Muda Indonesia (GMI)
Dari keduabelas sayap partai yang dibentuk oleh Partai Gerindra seperti
disebutkan diatas yang lebih berperan dalam roses pemenangan Gus Irawan Pasaribu
pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 adalah Tunas Indonesia
Raya (TIDAR).
Alasan dalam memilih topik tentang peran sayap partai adalah berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Sayap partai yang dimiliki oleh Partai Gerindra merupakan ujung tombak
partai untuk menggalang suara untuk kepentingan partai.
6
2. Sayap partai yang dimiliki oleh Partai Gerindra merupakan organisasi partai
yang berperan dalam upaya implementasi dan sosialisasi program dan
kebijakan partai.
3. Sayap partai yang dimiliki oleh Partai Gerindra mampu menggali potensi,
kebutuhan dan masalah yang dihadapi partai serta merumuskan solusi dan
langkah-langkah yang efektif, terutama dalam kaitan dengan upaya
pemenangan pemilu.
Untuk melihat dan meneliti lebih mendalam tentang bagaimana sebenarnya
Partai Gerindra dalam meraih suara untuk memenangkan pasangan Gus Irawan
Pasaribu–Soekirman pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013, maka
penelitian ini mencoba mengangkat hal tersebut dalam sebuah penelitian dengan
judul : ”Peran Sayap Partai Gerindra Untuk Meraih Suara Pemilih Dalam
Proses Pemenangan Gus Irawan Pasaribu Pada Pemilihan Gubernur Sumatera
Utara Tahun 2013”.
1.2 Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang dipaparkan di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana profil TIDAR selaku sayap Partai Gerindra selaku partai
pengusung Gus Irawan Pasaribu pada pemilihan gubernur Sumatera Utara
tahun 2013?
2. Bagaimana peran kampanye politik yang dilakukan oleh sayap Partai
Gerindra yaitu TIDAR untuk meraih suara pemilih dalam memenangkan Gus
1.3. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak terlalu melebar dan mengaburkan penelitian, maka
penulis membuat pembatasan masalah penelitian sebagai berikut :
Penelitian ini bersifat mengkaji lebih dalam strategi politik yang dilakukan oleh
TIDAR selaku Sayap Partai Gerindra dalam memenangkan Gus Irawan Pasaribu di
kota Medan pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah
penelitian, adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui profil Partai Gerindra selaku partai pengusung dan
pendukung dalam proses pemenangan Gus Irawan Pasaribu sebagai gubernur
Sumatera Utara periode 2013 – 2018
2. Untuk mengetahui dan menganalisa strategi kampanye politik yang dilakukan
TIDAR selaku Sayap Partai Gerindra selaku partai pengusung dan
pendukung dalam proses pemenangan Gus Irawan Pasaribu sebagai gubernur
Sumatera Utara periode 2013 – 2018.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Berikut ini adalah beberapa manfaat yang penulis dapatkan dalam melakukan
penelitian, yaitu :
1. Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman dan kemampuan
berfikir secara akademis dalam melihat suksesi politik dan strategi politik
2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, terutama dibidang politik, dan
khususnya mengenai partai politik dan strategi suksesi calon kepala
pemerintahan.
3. Sebagai literatur yang baru bagi daftar kepustakaan untuk yang tertarik dan
konsentrasi dengan bidang dan permasalahan yang serupa.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Partai Politik
1. Pengertian Partai Politik
Manurut pengertian dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun
2011, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita
yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan
programnya.7
Sigmund Neuman dalam buku karnyanya, Modern Political Parties,
mengemukakan definisi sebagai berikut : partai politik adalah organisasi dari
aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta
7
merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau
golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is
thearticulate organization of society’s active political agents; those who are
concerned with the control og govermental polity power, and who compate for
popular support with other group or groups holding divergent views.)8
Prof. Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Goverments and
Democracy merumuskan bahwa “partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk menjamin dan mempertahankan
pemimpin-pemimpinnya, tetap mengendalikan pemerintahan dan lebih jauh lagi
memberikan keuntungan-keuntungan terhadap anggota partai baik materiil maupun
spiritual”.9
Melihat rumusan-rumusan diatas jelaslah bahwa tujuan partai politik ialah
menguasi negara atau pemerintahan baik secaraparlementer maupun ekstra
parlementer, atau dengan kata lain baik secara konstitusionil yaitu ikut serta dalam
pemilihan umum dan secara inkonstitusional yaitu dengan cara revolusi atau coup
d’etat.10
2. Sejarah Partai Politik
Partai Politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat seperti Inggris
dan Perancis pada akhir abad 18-an. Kegiatan-kegiatan politik dipusatkan pada
kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis
dan Aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap
tuntutan-tuntutat raja. Dengan meluasnya hak pilih, maka kegiatan politk juga berkembang di
8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal. 404
9
Sukarna, Sistem Politik, Alumni, Bandung, 1981, hal. 89
10
luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur
pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Maka
pada akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya
berkembang menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dengan
pemerintah di pihak lain.
Partai semacam ini dalam prakteknya hanya mengutamakan kemenangan
dalam pemilihan umum, sedangkan pada masa antara dua pemilihan umum biasanya
kurang aktif. Partai ini dinamakan patronage party (partai lindungan yang dapat
dilihat dalam rangka patron client relationship), yang juga bertindak semacam
broker. Partai mengutamakan kekuasaan berdasarkan keunggulan jumlah anggota,
maka itu ia sering dinamakan partai massa.
Dalam perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai yang lahir
di luar parlemen. Partai-partai ini kebanyakan bersandar pada suatu asas atau
ideologi atau weltanschauung tertentu sepertisosialisme, fasisme, komunisme,
kristen demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih
ketat. Pemimpin partai yang biasanya sangat sentralitas menjaga kemurnian doktrin
politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya
dan memecat anggota yang menyimpang dari garis partai yang telah ditetapkan.
Pendidikan kader sangat diutamakan dalam partai jenis ini. Partai kader biasanya
lebih kecil dari partai massa.
Pada masa menjelang Perang dunia I telah timbul klasifikasi partai
berdasarkan ideologi dan ekonomi, yaitu partai “kiri” dan “kanan”. Pembagian ini
berasal dari Revolusi Perancis waktu parlemen mengadakan sidang pada tahun 1879.
Para pendukung raja dan struktur tradisional duduk di sebelah kanan panggung
Tabel 1.2 Pembedaan Ideologi “Kiri” dan “Kanan”
Kiri Kanan
Perubahan, kemajuan.
Kesetaraan (equality) untuk
lapi-san bawah.
Campur tangan negara (dalam
kehidupan sosial/ekonomi)
Hak
Status quo
Privilege (untuk lapisan atas)
Pasar bebas
Kewajiban
Menjelang Perang Dunia ke II, ada kecenderungan pada partai-partai politik
di dunia Barat untuk meninggalkan tradisi membedakan antara berbagai jenis partai.
Hal ini disebabkan karena keinginan partai kecil untuk menjadi partai besar dan
menang dalam pemilihan umum, partai-partai itu menyadari bahwa untuk
memenangi pemilu mereka perlu dukungan besar dari pemilih dengan merangkul
pemilih tengah.
Karena perkembangan ini, telah timbul sejenis partai modern yang oleh Otto
Kirchimer disebut partai catch all. Yaitu partai yang ingin menghimpun semaksimal
mungkin dukungan dari bermacam-macam kelompok masyarakat dan dengan
sendirinya menjadi lebih inklusif. Ciri khas dari partai semacam ini adalah
terorganisasi secara profesional dengan staff yang bekerja penuh waktu, dan
memperjuangkan kepentingan umum daripada kepentingan satu kelompok saja.
Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah contoh dari
3. Klasifikasi Sistem Kepartaian
Banyak ahli yang memberikan klasifikasinya tentang partai politik, hanya
saja, yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem kepartaian sebagaimana
dijelaskan oleh Maurice Duverger. Sistem kepartaian (Party System) pertama kali
dijelaskan oleh Maurice Duverger dalam bukunya Political Parties. Duverger
mengklasifikasi sistem kepartaian dalam tiga kategori, sistem partai-tunggal, sistem
dwi-partai, dan sistem multi-partai.
a. Sistem Partai Tunggal
Istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan dipakai baik untuk
partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun
untuk partai yangmempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lain.
Pola partai tunggal terdapat di beberapa negara: Afrika, China, dan Kuba,
sedangkan dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur
terdapat dalam kategori ini. Suasana kepartaian dinamakan non kompetitif karena
semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak
dibenarkan bersaing dengannya.11
Terutama di negara-negara yang baru merdeka, ada kecenderungan kuat
untuk memakai pola partai tunggal karena pimpinan dihadapkan pada kondisi
bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang
berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya. Di Indonesia pada tahun 1945 ada
usaha mendirikan partai tunggal sesuai dengan pemikiran yang pada saat itu banyak
dianut di negara-negara yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan
partai itu akan menjadi “motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah beberapa bulan
11
usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara kongkret. Penolakan ini antara lain
disebabkan karena dianggap berbau fasis.12
b. Sistem Dwi Partai
Dalam sistem ini, partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang
berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah
dalam pemilihan umum). Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum, kedua
partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah duapartai
dan yang sering dinamakan pemilih terapung (floating vote) atau pemilih di tengah
(median vote). Dewasa ini hanya beberapanegara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi
partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Oleh
Maurice Duverger malahan dikatakan bahwa sistem ini adalah khas Anglo Saxon.
Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling ideal dalam
menjalankan sistem dwi partai ini. Partai buruh dan partai konservatif boleh
dikatakan tidak mempunyai pandangan yang jauh berbeda mengenai azaz dan tujuan
politik, dan perubahan pimpinan umumnya tidak terlalu menganggu kontinuitas
kebijakan pemerintahan. Perbedaan yang pokok antara kedua partai hanya berkisar
pada cara serta kecepatan melaksanakan berbagai program pembauran yang
menyangkut masalah sosial, perdagangan dan industri. Partai buruh lebih condong
agar pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan terutama di bidang
ekonomi, sedangkan partai Konservatif cenderung memilih cara-cara kebebasan
berusaha.13
Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti sistem multi partai
yang telah berjalan lama dengan sistem dwi partai agar sistem ini dapat membatasi
12
Sukarna, Op. Cit, hal. 416.
13
pengaruh partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa
ekses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi partai ini, sesudah
diperkenalkan di beberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari partai yang
merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969.14
c. Sistem Multi Partai
Sistem multi partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland,
Australia, Perancis, Swedia, dan Federasi Rusia. Sistem multipartai, apalagi apabila
dihubungkan dengan sistem parlementer, mempunyai kecenderungan untuk
menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga badan eksekutif sering
lemah dan ragu-ragu. Di lain pihak, partai-partai oposisi pun kurang memainkan
peranan yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk
duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Dalam sistem semacam ini masalah letak
tanggung jawab menjadi kurang jelas. Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan
berbagai jenis sistem multi partai. Sistem ni telah melalui beberapa tahap dengan
bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai tahun 1989 Indonesia berupaya untuk
mendirikan suatu sistem multi partai yang mengambil unsur-unsur positif dari
pengalaman masa lalu, sambil menghindari unsur negatifnya.
1.5.2 Sayap Partai
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari Sayap adalah bagian tubuh
beberapa binatang (seperti burung dan sebagainya) yang digunakan untuk terbang.
Dari pengertian tersebut maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa sayap
14
partai adalah bagian atau anggota tubuh dari partai yang ditempatkan disetiap daerah
dengan tujuan untuk menggalang suara pemenangan Partai Gerindra.
1.5.3 Definisi Pemilih
Memilih ialah suatu aktifitas yang merupakan proses menentukan sesuatu
yang dianggap cocok dan sesuai dengan keinginan seseorang atau kelompok, baik
yang bersifat eksklusif maupun yang inklusif.
Memilih merupakan aktifitas menentukan keputusan secara langsung maupun
tidak langsung. Menurut Surbakti menilai perilaku memilih ialah keikutsertaan
warga Negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat
keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum.15
Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak terlepas dari
pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal perilaku politik merupakan
hasil dari sosialisasi nilai-nilai dari lingkungannya, sedangkan secara internal
merupakan tindakan yang didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki.
Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para
konsestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian
memberikan suaranya kepada konsestan yang bersangkutan.16 Dinyatakan sebagai
pemilih dalam Pilkada yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh
petugas pendata peserta pemilih. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konsituen
maupun masyarakat pada umumnya. Konstiuen adalah kelompok masyarakat yang
15
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Pustaka Utama, 1992, hal. 145
16
merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam
institusi politik seperti partai politik dan seorang pemimpin.17
Pemilih dapat memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih
menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pilkada secara langsung.
Pemberian suara atau vottingsecara umum dapat diartikan sebagai; “sebagai sebuah
proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan
ikut menentukan konsnsus diantara anggota kelompok seorang pejabat maupun
keputusan yang diambil”.18
Pemberian suara dalam Pilkada secara langsung
diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah yang didukungnya atau ditujukan dengan perilaku masyarakat
dalam memilih pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak
terdapat loyalitaspemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin jagoannya.
Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka
menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak
konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.
1.5.4 Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Menurut Ramlan Surbakti, ada dua alasan mengapa kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih secara langsung. Pertama, agar lebih konsisten dengan sistem
pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan presidensial antara lain ditandai
oleh pemilihan kepala pemerintahan secara langsung oleh rakyat. Karena itu
sebagaimana pada tingkat nasional presiden sebagai kepala pemerintahan dipilih
17
Firmanzah,Op. Cit, hal 105
18
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka untuk kepala daerah otonom
juga dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dengan memilih
secara langsung siapa yang memimpin suatu daerah, rakyat yang berhak memilih
dapat menentukan kepala daerah macam apakah yang akan memimpin daerahnya,
dan dapat menentukan pola dan arah kebijakan macam apakah yang akan dibuat dan
dilaksanakan untuk kesejahteraan daerah.
Kedua, untuk menciptakan pembagian kekuasaan yang seimbang dan saling
mengecek (checks and balances) antara DPRD dan kepala daerah/wakil kepala
daerah. Salah satu ciri pemerintahan yang menganut pembagian kekuasaan yang
seimbang dan saling mengecek adalah baik lembaga legislatif maupun eksekutif
sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Keduanya
memiliki kekuasaan yang seimbang dengan tugas dan kewenangan yang berbeda,
keduanya saling mengontrol melalui pembuatan peraturan daerah dan APBD,
keduanya memiliki legitimasi dari rakyat. Dalam bahasa yang sering digunakan oleh
elit lokal, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum untuk menjamin agar kepala daerah menjadi mitra sejajar
dengan DPRD. Dengan begitu interaksi DPRD dan kepala daerah/wakil kepala
daerah diharapkan tidak saja dinamis tetapi produktif bagi kesejahteraan masyarakat
daerah.19
Oleh karena itu, sistem politik memiliki peran penting terutama terkait sistem
pemilihan langsung baik dalam konteks nasional maupun lokal/daerah. David Easton
(2003)20, mengemukakan pendapatnya teoretisi politik pertama yang
memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem
19
Ramlan Surbakti, 2006, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. hal. 4-5
20
selalu memiliki sekurang-kurangnya tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian,
bagian itu saling berinteraksi, saling tergantung dan mempunyai perbatasan yang
memisahkan dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain. Sebagai
suatu sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai bagian-bagian yang
merupakan sistem sekunder dan sub-sub sistem. Bagian tersebut adalah, electoral
regulation, electoral process, dan electoral law enforcement.
Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan
kepala daerah yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi
penyelenggara, calon dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi
masing-masing. Electoral process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung
dengan pemilihan kepala daerah yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan
baik bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan
hukum terhadap aturan-aturan pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi
atau pidana. Ketiga bagian ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses
pemilihan kepala daerah.
Sedangkan kalau dari perspektif praktisnya, kepala daerah adalah jabatan
politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi dan menggerakkan
jalannya roda pemerintahan yang berfungsi sebagai perlindungan, pelayanan publik,
dan pembangunan. Istilah jabatan publik mengandung arti bahwa kepala daerah
menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan
kepentingan rakyat, berdampak kepada rakyat dan dirasakan oleh rakyat. Oleh
karena itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib
mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat. Jabatan
politik bermakna bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan
rakyat dan partai politik. Pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik,
yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai
kepala daerah, baik gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati ataupun
walikota/wakil walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat,
partai politik dan calon kepala daerah.
Dari tinjauan organisasi dan manajemen, kepala daerah merupakan figur atau
manajer yang menentukan efektivitas pencapaian tujuan organisasi pemerintahan
daerah. Proses pemerintahan di daerah secara sinergis ditentukan sejauh mana peran
yang dimainkan oleh pemimpin atau manajer pemerintah daerah. Dengan kata lain,
arah dan tujuan organisasi pemerintah daerah ditentukan oleh kemampuan,
kompetensi, dan kapabilitas kepala daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsi
administrasi/manajerial, kepemimpinan, pembinaan dan pelayanan, serta tugas-tugas
lain yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kepala daerah.21
Betapapun fenomena pilkada telah menjadi ikon demokratisasi di Indonesia
Pasca Orde Baru. Selain jumlah pemilihan langsung yang sangat banyak dalam satu
tahun, pelaksanaan pilkada juga diwarnai isu konflik karena berbagai hal yaitu
regulasi, kapasitas penyelenggara, persaingan antar pendukung pasangan calon,
konflik internal partai. Pilkada juga menjadi pertarungan antara para (petahana)
dalam mempertahankan kekuasaan formalnya untuk periode kedua. Oleh karena itu,
ruang demokrasi lokal yang terbuka ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, pilkada
tidak dijadikan ruang konflik politik yang tidak menghasilkan apapun, namun
pilkada adalah prosesdemokrasi yang mesti dijalankan dengan penuh harapan guna
memilih kepala daerah yang sesuai dengan pilihan rakyat.
21
Melalui pilkada langsung, rakyat menentukan calon berdasarkan kredibilitas
dan kapabilitasnya. Publik daerah melihat rekam jejak dan pengabdian mereka pada
daerah itu sendiri. Atas dasar aspek inilah konstituen daerah akan memilihnya.
Apabila di era yang transparan ini dengan dukungan media massa, rekam jejak figur
dengan mudah dapat dilacak. Bagaimanapun perjalanan proses karir sang kandidat,
baik politik, pemerintah maupun karir bisnis akan tergambar dan menjadi
representasi dari jati diri seorang figur kandidat. Menurut Arnold Steinberg, strategi
adalah rencana untuk tindakan. Penyusunan dan pelaksanaan strategi
mempengaruhin sukses atau gagalnya strategi pada akhirnya.
1.5.5 Teori Strategi Politik
Pengertian strategi berasal dari bidang militer. Pemikiran strategis senantiasa
dibutuhkan apabila sekelompok besar orang yang perlu dipimpin dan oleh karena itu
membutuhkan orientasi. Hingga awal industrialisasi pengertian strategi hampir
hanya terbatas pada makna militer. Baru sesudah itu kepemimpinan atas sejumlah
besar orang diperlukan juga di bidang ekonomi. Sejak itu pengertian strategi
memperoleh perluasan makna. Setelah itu terciptalah strategi perluasan yang
diperlukan ke dalam kepemimpinan terencana atas orang-orang dalam suatu
perusahaan. Sedikit demi sedikit pengertian strategi makin diperluas ke berbagai
aspek masyarakat. Tentu saja pengertian ini juga diperluas ke bidang politik, karena
pergerakan massa dalam jumlah besar atau anggota partai politik dan organisasi
untuk mencapai suatu tujuan juga berlaku dalam bidang ini.
Meskipun strategi bisnis merupakan ilmu yang relatif baru, banyak konsep
dan teori dalam ilmu ini berasal dari strategi militer. Strategi militer ini ada
pada tulisan yang dibuat oleh Sun Tzu sekitar tahun 360 sebelum Masehi.
Sementara, kata strategi berasal dari Yunani yaitu strategos, yang terbentuk dari kata
statos yang berarti militer dan - ag yang berarti memimpin. Seiring berjalannya
waktu, pengertian strategi makin diperhalus dan disesuaikan dengan kepentingan
militer, tetapi kemudian juga disesuaikan dengan kepentingan bisnis dan politik.
Strategi menurut Arnold Steinberg adalah rencana untuk tindakan,
penyusunan dan pelaksanaan strategi mempengaruhi sukses atau gagalnya strategi
pada akhirnya. Menurut Carl Von Clausewitz perbedaan antara taktik dan strategi
yaitu : taktik adalah seni menggunakan kekuatan senjata dalam pertempuran untuk
memenangkan peperangan dan bertujuan mencapai perdamaian. Rencana jangka
tersebut adalah strategi. Dalam strategi ini tujuan jangka pendek dicapai melalui
taktik. Namun tanpa strategi, taktik tidak ada gunanya. Jadi strategi adalah rencana
untuk tindakan. Sedangkan penyusunan dan pelaksanaan strategi mempengaruhi
sukses atau gagalnya strategi pada akhirnya.22
Sementara pandangan strategi menurut Donald C. Hambrick dan James W.
Fredrickson, strategi adalah pusat, integrasi konsep yang beorientasi secara eksternal
bagaimana perusahaan mencapai tujuannya.23 Von Clausewitz menjelaskan bahwa
tujuan strategi bukanlah merupakan kemenangan yang nampak di permukaan,
melainkan kedamaian yang terletak di belakangnya. Perencanaan ini sangatlah
penting bagi perencanaan strategi politik. Jadi yang terpenting di sini adalah
mengenali yang tersembunyi dibalik tujuan akhir kemenangan pemilu, atau apa yang
direncanakan dengan pemberlakuan peraturan baru. Strategi itu sendiri memiliki
tujuan yaitu “kemenangan”. Kemenangan akan tetap menjadi fokus, baik tercermin
22
Andrianus Pito, Toni dkk, Mengenal Teori-Teori Politik, Bandung: Penerbit Nuansa, 2006, hal. 196–197
23
dalam mandatnya dalam perolehan tambahan suara. Dalam sebuah kemenangan
pemilu bagi kandidatnya atau dalam mayoritas bagi suatu peraturan. Bagaimana
kemenangan tersebut digunakan merupakan tujuan politik yang ada di balik
kemenangan yang nampak.24
Menurut Carl Von Clausewitz, perbedaan antara taktik dan strategi adalah
sebagai berikut : “Taktik adalah seni menggunakan kekuatan bersenjata dalam
pertempuran untuk memenangkan pertempuran untuk memenangkan peperangan dan
bertujuan mencapai perdamaian. Rencana jangka tersebut disebut dengan strategi.
Dalam strategi ini tujuan-tujuan jangka pendek dicapai melalui taktik. Namun tanpa
strategi, taktik ini tidak ada gunanya.25
Menurut David Horowitz, Art Of Political War memiliki 6 (enam) prinsip,
yaitu :
1. Politik adalah perang dengan peralatan lain
2. Politik adalah perang merebutkan posisi
3. Dalam politik yang menang biasanya adalah sang agresor
4. Posisi didefenisikan dengan kekuatan dan harapan
5. Senjata politik adalah simbol ketakutan dan harapan
6. Kemenangan selalu berada di pihak rakyat
Manajemen politik adalah sebuah seni dan keterampilan tentang perebutan
kekuasaan dan alatnya bukanlah mainan anak-anak, dan instrumennya yang disebut
dengan ketakutan dan harapan bisa berupa senjata tajam.26
Dalam merumuskan strategi, Sun Tzu menjelaskan bahwa dalam pemilihan
strategi harus ada hal-hal tertentu yang diprioritaskan, selanjutnya ia berpendapat
24
Schroder, Peter, Strategi Politik, Jakarta: Friedrich-Noumann-Stiftung, 2004, hal. 4
25
Andrianus Pito, Op. Cit, hal. 621
26
bentuk yang lain dalam memimpin perang adalah menyerang strategi lawan,
kemudian yang terbaik berikutnya adalah menghancurkan aliansi lawan, berikutnya
adalah menyerang tentara lawan, sedangkan yang paling buruk adalah menduduki
kota-kota yang dibentengi lawan. Untuk dapat menyerang lawan, maka strategi
lawan tersebut harus dapat dikenali terlebih dahulu. Oleh karena itu pengenalan atas
pihka lawan sangatlah penting. Jika tidak, kita tidak akan dapat mengenali lawan.
Penyerangan strategi lawan berarti secara terus menerus mengganggu jalannya
pelaksanaan strategi lawan, sehingga lawan tidak bisa merealisasikan strateginya.
Dalam sepak bola hal ini dikenal dengan istilah gangguan dini yang menyebabkan
pola permainan tidak dapat dibangun.27
Tabel 1.3 Strategi Politik Menurut Peter Schroder
Strategi Ofensif Strategi Defensif
Strategi Memperluas Pasar (Strategi Persaingan)
Strategi Mempertahankan Pasar (Strategi Pelanggan, Strategi
Multiplikator)
Strategi Menembus Pasar (Strategi Pelanggan)
Strategi Menutup/Menyerahkan Pasar (Strategi Lingkungan Sekitar)
Sumber : Peter Schroder, Strategi Politik, 2003
Strategi ofensif selalu dibutuhkan, misalnya apabila partai ingin
meningkatkan jumlah pemilihnya atau apabila pihak ekselutif ingin
mengimplementasikan sebuah proyek. Dalam kedua kasus tersebut harus ada lebih
banyak hak orang yang memiliki pandangan positif terhadap partai atau proyek
tersebut, sehingga kampanye dapat berhasil. Yang termasuk strategi ofensif adalah
strategi memperluas pasar dan strategi menembus pasar. Pada dasarnya, semua
27
strategi ofensif yang ditetapkan saat kampanye pemilu harus menampilkan
perbedaan yang jelas dan menarik antara kita dan partai-partai pesaing yang ingin
kita ambil alih pemilihnya. Didalam strategi ofensif yang digunakan untuk
mengimplementasikan politik yang harus dijual atau ditampilkan adalah perbedaan
terhadap keadaan yang berlaku saat itu serta keuntungan-keuntungan yang dapat
diharapkan daripadanya.
Strategi defensif menurut Peter Schroder akan muncul ke permukaan,
misalnya apabila partai pemerintah atau koalisi pemerintahan yang terdiri atas
beberapa partai ingin mempertahankan mayoritasnya atau apabila pangsa pasar ingin
dipertahankan. Selain itu strategi defensif juga dapat muncul pabila sebuah pasar
tidak akan dipertahankan lebih lanjut atau ingin ditutup, dan penutupan pasar ini
diharapkan membawa keuntungan sebanyak keuntungan.
1.5.6 Teori Kampanye Politik
Kampanye politik dalam suatu pemilihan umum adalah bagian dari
demokrasi, meskipun kritik yang disampaikan melalui karikatur sering memberikan
kesan tidak baik, tetapi kampanye pemilu tidak dapat dianggap sebagai tidak legitim
ataupun tidak bermoral. Kampanye pemilu merupakan instrumen yang sah, dimana
kelompok kepentingan politik berupaya menjelaskan kebenaran tujuannya kepada
masyarakat umum. Kampanye politik mendapatkan legitimasi dari arti pemilu itu
sendiri, karena pemilu adalah fondasi kebebasan individu.
Menurut Arnold Steinberg, kampanye politik adalah cara yang digunakan
warga negara dalam demokrasi untuk menentukan siapa yang akan memerintah
mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan
resmi. Setiap kampanye politik adalah suatu usaha hubungan masyarakat.28
Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye
selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku
(behavioral), yaitu :
1. Kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada
tataran pengetahuan atau kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan
adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya
pengetahuan khalayak terhadap isu tertentu.
2. Pada tahap berkutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah
untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian dan keberpihakan
khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye.
3. Pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah perilaku
khalayak secara kongkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya
tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye.29
Menurut Charles U. Larson, cara kampanye dibagi kedalam tiga kampanye
yaitu :
1. Product iriented campaign (comercial campaign atau corporate campaign) atau
kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di dunia bisnis.
Motivasi yang yang mendasarinya adalah keuntungan finansial. Cara yang
ditempuh adalah dengan memperkenalkan produk dan melipatgandakan
penjualan sehingga didapatkan keuntungan yang diharapkan.
28
Steinberg, A., 1981. Kampanye Politik Dalam Praktek, PT Intermasa, hal 1
29
2. Candidate Oriented Campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat,
umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu
jenis kampanye ini dapat juga disebut sebagai political campaigns (kampanye
politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat
terhadap kandidat-kandidat yang diajukan oleh partai politik agar dapat
menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan melalui proses pemilihan
umum.
3. Ideologically or cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang
berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan sering kali berdimensi
perubahan sosial.30
Larson juga menjelaskan dengan model five stages development model. Pada
model ini digambarkan bagaimana tahapan kegiatan kampanye harus dilalui sebelum
akhirnya kegiatan tersebut berhasil atau gagal mencapai tujuan. Tahap kegiatan
tersebut meliputi identifikasi, legitimasi, partisipasi, penetrasi dan distribusi.
Gambar 1.1 Model Perkembangan Lima Tahap Fungsional
Sumber : Antar Venus, Manajemen Kampanye, 2004
30
Venus, A., Op. Cit, hal. 11 Identifikasi
Legitimasi
Partisipasi
Penetrasi
Model ini dijelaskan sebagai berikut :
1. Tahap identifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kkampanye yang
dengan mudah dikenali oleh khalayak. Hal-hal yang umum digunakan
sebagai identitas politik adalah simbol, warna, lagu atau jingle, seragam dan
slogan.
2. Tahap berikutnya adalah legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi
diperoleh ketika seseorang telah masuk dalam daftar kandidat anggota
legislatif, atau seorang kandidat presiden memperoleh dukungan yang kuat
dalam polling yang dilakukan lembaga independen.
3. Tahap ketiga partisipasi. Tahap ini dalam praktiknya sulit dibedakan dengan
tahap legitimasi, karena ketika seseorang mendapatkan legitimasi, pada saat
yang sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak,
partisipasi ini bersifat nyata (real) atau simbolik. Partisipasi nyata
ditunjukkan oleh keterlibatan orang-orang dalam menyebarkan pamflet,
brosur atau poster. Sementara partisipasi sombolik bersifat tidak langsung,
misalnya ketika anda menempelkan stiker nama partai tertentu dibelakang
mobil anda atau sekedar mengenalkan kaos partai yang dibagikan gratis.
4. Tahap penetrasi. Pada tahap ini seorang kandidat telah hadir dan mendapat
tempat di masyarakat. Seorang juru kampanye misalnya telah berhasil
menarik simpati masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa ia adalah
kandidat yang terbaik dari sekian kandidat yang ada, dengan menggunakan
media massa untuk menyiarkan dan memberitakan secara luas dangan
harapan untuk lebih memperkuat keyakinan masyarakat.
5. Terakhir adalah tahap distribusi. Pada tahap ini tujuan kampanye umumnya
mereka inginkan, tinggal sekarang bagaimana mereka membuktikan
janji-janji mereka pada saat kampanye dengan harapan bahwa periode kedepan dia
dapat dipilih kembali oleh masyarakat.
Nowak dan Warneyrd memberikan model kampanye yang dikenal dengan
model Nowak dan Warneryd, yaitu :
Gambar 1.2 Model Kampanye Nowak dan Warneryd
Sumber : Antar Venus, Manajemen Kampanye, 2004
Pada model kampanye Nowak dan Warneryd terdapat delapan elemen
kampanye yang harus diperhatikan, yakni :
1. Efek yang diharapkan.
Efek yang ingin dicapai harus dirumuskan terlebih dahulu secara jelas,
dengan demikian penentuan elemen lainnya akan dengan mudah dilakukan.
Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu mengagung-agungkan
efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai menjadi tidak jelas dan
tidak tegas.
2. Persaingan komunikasi.
Agar suatu kampanye menjadi efektif, maka perlu diperhitungkan suatu
potensi gangguan dari kampanye yang bertolakbelakang (counter campaign).
3. Objek komunikasi.
Objek kampanye biasanya dipusatkan pada satu hal saja, karena untuk objek
yang berbeda menghendaki metode komunikasi yang berbeda. Ketika objek Efek Yang
Diharapkan n
Titik Tolak Persaingan Komunikatif Objek
Target Populasi
Kelompok Penerima
Faktor Yang Dimanipulasi Pesan
Saluran/Media Komunikator
kampanye telah ditentukan, pelaku kampanye akan dihadapkan lagi pada
pilihan apa yang akan ditonjolkan atau yang ditekankan pada objek tersebut.
4. Populasi target dan kelompok penerima.
Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran
pesan dapat lebih mudah dilakukan maka penyebaran lebih baik ditujukan
kepada opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target. Kelompok
penerima dan populasi target akan diklasifikasikan menurut sulit atau
mudahnya mereka dijangkau oleh pesan kampanye. Mereka yang tidak
membutuhkan atau tidak terterpa pesan kampanye adalah bagian dari
kelompok yang sulit dijangkau.
5. Saluran (The Chanel)
Saluran digunakan dapat bermacam-macam tergantung karakterisik
kelompok penerima dan jenis pesan kampanye. Media dapat dijangkau
hampir seluruh kelompok, namun bila tujuannya adalah mempengaruhi
perilaku maka akan efektif bila melakukan melalui saluran antar pribadi.
6. Pesan (The Message)
Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok yang
menerimanya, pesan juga dapat dibagi kedalam tiga fungsi, yakni :
a. Menumbuhkan kesadaran
b. Mempengaruhi
c. Memperteguh dan meyakini penerima pesan bahwa pilihan atau
tindakan mereka adalah benar.
7. Komunikator/penerima pesan
Komunikator dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang
8. Efek yang dicapai
Efek kampanye yang meliputi efek kognitif (perhatian, peningkatan
pengetahuan dan kesadaran), afektif (berhubungan dengan perasaan, mood
dan sikap) dan konatif (keputusan bertindak dan penerapan).31
Kampanye Politik dalam pemilu jika dilakukan tanpa perencanaan adalah
seperti perjalanan kearah yang tidak jelas tanpa peta dan kompas. Artinya, hampir
bisa dipastikan orang si pelaku perjalanan tidak akan sampai di tempat yang dituju.
Dalam melakukan kampanye, harus memiliki rencana kampanye yang mencakup dua
belas hal berikut ini, yaitu :
1. Meneliti dan menganalisa lawan politik dan perencanaan kampanyenya,
komposisi demografi dan gaya hidup pemilih, cara-cara perilaku sosial dan
politis mereka, dan juga kelebihan dan kelemahan pihak sendiri.
Tujuannya untuk mengetahui apa kira-kira yang akan menyebabkan
kekalahan dan dalam kondisi bagaimana kampanye akan dimulai.
2. Penelitian jajak pendapat secara kuantitatif. Hasil dari penelitian opini publik
tidak perlu berasal dari lembaga peneliti yang mahal.
Yang penting adalah kita tahu dimana posisi partai kita. Artinya, kita tahu
apa yang sedang berkembang, dimana pihak lawan menunjukkan
kelemahannya, tema atau isu-isu apa saja yang sedang panas dan yang dapat
dimanfaatkan sebagai kendaraan bagi tujuan kita. Apakah data-data tersebut
berasal dari profesor yang kita kenal atau dari lembaga komersial yang besar,
itu kurang penting. Yang terpenting adalah independensi sumber yang
memberikan fakta nyata tanpa kepentingan strategis.
31
3. Aliansi politik
Perlu dibentuk koalisi klasik didalam dan diluar partai politik, misal dengan
perkumpulan dekat, dan klub lobi, dan kelompok-kelompok kepentingan
serta media yang berpihak pada kita. Yang juga perlu dicari adalah tokoh
terjun sendiri kedalam kampanye atau yang dapat memobilisasi orang lain.
4. Promosi
Tujuannya komunikasi yang terbiayai dan terkontrol sesuai anggaran. Iklan
di koran, plakat, iklan di radio dan TV, iklan di bioskop, iklan di situs
internet (direct mailling); semua ini membutuhkan kesiapan para agen
(kegiatan ini sering disebut dengan briefing, tahap perancangan dan
penolakan konsep, tahap produksi alat-alat promosi dan iklan dan juga tahap
penempatan. Artinya, membeli tempat pemasangan iklan dan durasi iklan.
Kegiatan ini harus dilakukan pihak profesional.
5. Kampanye di jalan-jalan dan events
Langkah ini diartikan sebagai aksi basis atau aktivitas partai yang
terorganisasi, dengan atau tanpa selebriti, stan-stan informasi, aksi telepon,
canvassing dari rumah ke rumah, kegiatan ini tidak hanya membutuhkan
manajemen personal para profesional tetapi juga pembantu sukarela dan
biaya logistik yang besar.
6. Humas
Fokus humas adalah komunikasi yang terjadi dengan cara memberikan
informasi dan pengaruh kepada media independen. Tujuannya adalah agar
informasi tentang parpol masuk kedalam redaksi siaran berita dengan
diberikan kepada ide-ide spontan juru bicara partai, tapi harus mengikuti
keseluruhan strategi komunikasi.
7. Koordinasi dan perencanaan waktu untuk kandidat
Bagian ini berarti mendefenisikan aturan-aturan terhadap persetujuan dan
penolakan agenda termasuk masing-masing tujuan politik dan komunikatif.
Setidaknya harus dipersiapkan sebuah sistem dan logistik setelah undangan
diterima atau ditolak.
8. Perencanaan keuangan
Bukan hanya berarti membuat kas penerimaan dan pengeluaran yang
sederhana, tetapi juga harus membuat defenisi yang tepat tentang tugas-tugas
tertentu dalam kas dan waktu masuk dan keluarnya uang.
9. Pengumpulan dana
Komunikasi adalah kegiatan yang tidak murah. Siapa yang sebelum atau
selama kampanye mengumpulkan sumbangan-sumbangan kecil secara
sistematis, maka ia akan dapat menambahkan modal dananya dari segelintir
sumbangan besar, subsidi dan iuran anggota.
10.Administrasi dan pembukuan
Merupakan tim-tim kecil yang harus ditata dengan baik. Artinya, ada
kegiatan rutin kantor, asisten dan manajemen office dan selain itu kewengan
yang jelas dalam menjalankan pembukuan keuangan (bendahara).
11.Mobilisasi pada hari pemilihan
Penyelesaian akhir harus disiapkan dengan tepat agar mendapatkan hasil
12.Perencanaan waktu
Untuk semua isu/tema, promosi, aksi PR, fundraising, dan keuangan
tujuannya tidak boleh ditentukan pada satu waktu, namun harus dibuat jadwal
yang pasti kapan tujuan tersebut akan dicapai.32
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini mendeskripsikan data-data
yang ada yang didapat dari hasil wawancara dengan narasumber dan kemudian
dilakukan analisis sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan
diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. Metodologi kualitatif dipilih
guna memperoleh pemahaman yang otentik dari pengalaman orang-orang yang
berhubungan erat dengan topik penelitian, dalam hal ini ada pengalaman dari sayap
Partai Gerindra Kota Medan.
Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang berlandaskan
fenomenologi dan paradigma konstruktivisme dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan. Sementara ciri-ciri penelitian kualitatif yaitu mengkonstruksi realitas
makna sosial budaya, meneliti interaksi peristiwa dan proses, melibatkan
variabel-variabel yang komplek, memiliki keterkaitan erat dengan konteks, melibatkan
peneliti secara penuh, memiliki latar belakang alamiah, menggunakan sampel
purposif, menerapkan analisis induktif, mengutamakan makna di balik realitas dan
mementingkan pertanyaan “mengapa” daripada“apa”.33
32
Venus, A., Op. Cit, hal. 9-12
33
1.6.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah sumber subjek dari mana data dapat
diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuisioner atau wawancara dalam
pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang
merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis
maupun lisan. Sumber data berupa responden ini dipakai dalam penelitian
kuantitatif.
Sedangkan sumber data dalam penelitian kualitatif, posisi narasumber sangat
penting, bukan hanya sekedar memberi respon melainkan juga sebagai pemilik
informasi. Karena itu informan (orang yang memberi informasi, sumber informasi,
sumber data) atau disebut subjek yang diteliti, karena ia bukan saja sebagai sumber
data, melainkan juga aktor yang ikut menentukan berhasil tidaknya suatu penelitian
berdasarkan informasi yang diberikan.
Sumber data dalam penelitian ini penulis diperoleh melalui cara berikut,
yaitu :
1. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan
atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, di mana pewawancara dan informan sebagai narasumber terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara
mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.34 Wawancara
digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi
pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga untuk
34
mengetahui hal-hal dari narasumber yang lebih mendalam. Berikut adalah nama
informan yang akan penulis wawancarai untuk penelitian ini, yaitu :
Tabel 1.4 Nama Informan
No. Nama Jabatan
1 Drs. INDRA BAKTI Wakil Sekretaris DPD
2 RUDI LUBIS Wakil Sekretaris DPD
4 YUNDI FAUZA,SE Ketua TIDAR SUMUT
Sumber : Data Partai Gerindra Medan
2. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan buku-buku
tentang ilmu politik dan pemilihan kepala daerah juga catatan-catatan, arsip-arsip
yang dimiliki oleh Partai Gerindra sebagai partai pengusung Gus Irawan Pasaribu.
1.6.3 Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan informasi dan data yang menyangkut masalah penelitian
ini maka penelitian dilakukan di DPD Partai Gerindra yang beralamat di Jl. Kapt.
Patimura No. 342 Medan.
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, masalah penelitian, kerangka teori,
BAB II : GAMBARAN UMUM PARTAI GERINDRA
Bab ini akan membahas tentang profil Partai Gerindra, TIDAR Partai
Gerindra dan gambaran umum Pemilihan Gubernur Sumatera Utara
2013.
BAB III : PERAN SAYAP PARTAI GERINDRA
Bab ini akan membahas tentang penyajian data dan fakta yang didapat
dari tempat penelitian selain itu juga melakukan pembahasan dan
analisis dari data-data tersebut.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan yang diperoleh dari bab sebelumnya dan