BAB II
KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM BIDANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KONVENSI UNITED
NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003
A.Sejarah Terbentuknya Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003
Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh suatu realitas bahwa korupsi telah
menimbulkan masalah dan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan
masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai
etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan
penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki
hubungan yang sangat erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya
kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga
dalam banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang merupakan bagian
penting sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan
pembangunan yang berkelanjutan negara tersebut19
Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan
fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi,
yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya
sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan
multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara
19
efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis
yang dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan negara,
termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan
lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif.20
Perubahan fokus internasional terhadap isu korupsi awalnya dipicu oleh
beberapa tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara. Tindak
korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara seringkali menimbulkan
dampak buruk khususnya bagi negara berkembang. Hal ini dikarenakan tindak
kejahatan korupsi yang dilakukan pemerintah melebihi kekayaan negara yang
telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.21 Diawali dengan terungkapnya
beberapa kasus tindakan korupsi oleh Transparency International yang dilakukan
oleh Presiden Filipina Ferdinan Marcos pada tahun 1986 yang menyalahgunakan
kekuasaannya sebagai seorang presiden dengan melakukan pencurian penerimaan
negara dan sebagian diinvestasikan dalam bentuk emas batangan. Terhitung mulai
awal Ferdinan Marcos menjabat sebagai Presiden Filipina pada tahun 1965 hingga
1986 Ferdinan Marcos telah mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5
miliar hingga US$10 miliar. Dikarenakan besarnya jumlah kekayaan negara yang
dikorupsi oleh Ferdinan Marcos, Guinnes book of record memasukkannya sebagai
salah satu pencuri kekayaan negara terbesar sepanjang sejarah.22
Tindak korupsi yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dilakukan oleh
Ferdinan Marcos, Mobutu Seseseko yang merupakan Presiden dari Zaire telah
20
Mahrus Ali, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2013, hal. 32-33
21
Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer , Cetakan Pertama, Caps: Yogyakarta, Yogyakarta, 2013.
22Beberapa Pemimpin Terkorup di Dunia
mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5 miliar. Selain itu ada Presiden
Nigeria yakni Sani Abacha yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$2
miliar hingga US$5 miliar, Presiden Yugoslavia Slobodan yang mengkorupsi
kekayaan negaranya sebesar US$1 miliar, Presiden Haiti J.C. Duvailer yang
melakukan korupsi sebesar US$300 juta hingga US$800 juta, Presiden Peru
Alberto Fujimori sebesar US$600 juta, Presiden Ukraina Pavlo Lazarenko yang
mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$114 juta hingga US$ 200 juta, dan
Presiden Nikaragua Arnoldo Aleman yang melakukan korupsi kekayaan
negaranya sebesar US$100 juta.23
Adapun dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang pertama adalah the
ca pture sta te, yang mana korupsi menjadi penghambat dari proses demokrasi dan
dapat menjadi penghambat tercapainya good governance karena korupsi dapat
melemahkan birokrasi sebuah pemerintahan suatu negara, dampak korupsi
berikutnya adalah pada sektor perekonomian. Dalam segi ekonomi negara akan
merasakan secara langsung dampak buruk dari korupsi seperti perkembangan laju
ekonomi negara menjadi terhambat dalam upaya memulihkan perekonomian
negaranya dan jika semua negara memiliki tingkat korupsi yang tinggi maka dapat
mengganggu pemulihan perekonomian global pasca krisis.
Selanjutnya dampak dari tindak korupsi yang dilakukan para pejabat publik
seperti pemerintah berpengaruh terhadap kesejahteraan warganya. Akibat tindak
korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik dapat menggagalkan program
pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan rakyatnya. Besarnya dana
23
yang dikeluarkan untuk sebuah program pembangunan pada kenyataannya tidak
sesuai dengan wujud dari program tersebut.24 Berdasarkan dari beberapa
penjelasan diatas mengenai besarnya dampak korupsi yang dilakukan oleh pejabat
publik diberbagai aspek membuktikan jika korupsi merupakan permasalahan yang
sangat menghambat bagi kemajuan negara. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat
publik negara dapat menghambat proses demokrasi suatu negara, dalam segi
ekonomi korupsi dapat membuat negara terjebak dalam krisis, sedangkan dalam
segi kesejahteraan warga negara korupsi dapat menyengsarakan rakyat akibat dari
gagalnya program pembangunan yang tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Dalam kaitannya dengan besarnya dampak negatif korupsi dan
permasalahan korupsi, maka dari itu untuk dapat menanggapi permasalahan
korupsi pada saat ini yang masuk dalam kategori isu kontemporer dipicu dari
tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, pada akhirnya untuk pertama
kali isu korupsi di angkat kedalam ranah internasional dengan mendapat perhatian
dunia sebagai dari salah satu jenis crime pada tahun 2000.25
Masuknya korupsi kedalam ranah internasional dibuktikan dengan
dikeluarkannya resolusi pada tanggal 4 desember 2000 oleh Majelis Umum PBB
yang menyatakan perlunya peraturan dalam menanggulangi permasalahan korupsi
dalam taraf internasional. Sehingga pada akhirnya berdasarkan usulan tersebut
didirikanlah sebuah Panitia Ad Hoc untuk melakukan negosiasi instrumen a gainst
24
http://jurnal-libre.com/pdf, Ibid. 25
corruption di Wina markas kantor Organisasi Internasional United Nations Office
on Drug a nd Crime (UNODC).26
Naskah Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 telah dinegosiasikan selama tujuh sesi oleh Komite Ad Hoc yang
diselenggarakan antara tanggal 21 Januari 2002 dan tanggal 1 Oktober 2003 dan
pada akhirnya setelah melewati negosiasi yang cukup panjang konvensi United
Na tions Convention Aga inst Corruption (UNCAC) 2003 mulai diberlakukan oleh
organisasi internasional UNODC pada tanggal 14 Desember 2005. Konvensi
UNCAC 2003 disini sebagai perjanjian internasional yang berfungsi untuk
memperkuat hukum nasional masing-masing negara dalam hal pemberantasan
korupsi.
Komitmen masyarakat internasional untuk menentang korupsi ditandai
dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Melawan Korupsi (konvensi United Nations Convention Againts Corruption/
UNCAC 2003) oleh 140 negara di Merida, Meksiko, pada tanggal 9 sampai
dengan tanggal 11 Desember 2003. Sehingga tanggal 9 Desember ditetapkan
sebagai hari Anti Korupsi Sedunia. Konvensi ini sendiri telah diterima secara
resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Setelah
diratifikasi sekurangnya oleh 30 negara, ia berlaku efektif 14 Desember 2005.
Jumlah negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 sampai saat ini adalah
129 negara.27
26Background of United Nation ConventioncAgainst Corruption , Ibid.
27
Memasuki abad 21 ini, salah satu visi masyarakat internasional adalah
semakin kuatnya kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan
praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi
untuk memberantas korupsi dalam Konvensi UNCAC 2003 yang diadakan oleh
PBB. Konvensi UNCAC 2003 ini digelar karena korupsi telah menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di suatu negara dan
memberikan implikasi pula terhadap masyarakat internasional. Selain itu, korupsi
berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta dapat
memperlemah nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan, dan kepastian hukum.
Melemahnya nilai-nilai ini, akan dapat membahayakan kelangsungan dan
keberlanjutan pembangunan (jeopardizing sustainable development). Dalam
praktiknya, korupsi dapat menjadi mata rantai kejahatan yang terorganisasi (crime
orga nized), pencucian uang (money laundering), dan kejahatan ekonomi
(economic crime) lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan besar yang muncul sebagai
akibat dari korupsi ini dapat merusak prinsip-prinsip persaingan sehat (fair
competition) dan menyuburkan persaingan tidak sehat (unfair competition) di
dunia bisnis.28
Sebelum konvensi UNCAC 2003 terbentuk, ada beberapa Konvensi Anti
Korupsi tingkat internasional29 yaitu:
28
Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/15/0801.htm, diakses pada tanggal 23 Maret 2015
29
Diakses dari
1. 1977: The United States Congress oleh Perusahaan-perusahaan yang ada
di Amerika Serikat. Kongres ini mengangkat masalah praktek korupsi
berupa kriminalisasi suap oleh pejabat asing.
2. 1980: Cold War security mempromosikan konvensi anti korupsi tingkat
internasional.
3. 1996: The Inter-American Convention against Corruption yang
merupakan Konvensi Anti Korupsi tingkat regional pertama kali.
4. 1997: The OECD Convention dalam memberantas Suap oleh pejabat
asing (Bribery of Foreign Public Officials).
5. 1998-1999: The Council of Europe yang menghasilkan 2 kesepakatan
anti korupsi yaitu : Hukum Kriminal (Criminal La w); Konvensi Hukum
Sipil (Civil La w Convention)
6. 2000: The UN Convention dalam memberantas Transnational Organized
Crime
7. 2003: The African Union Convention yang membahas masalah
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Konvensi UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) 2003
adalah konvensi anti korupsi pertama tingkat global yang mengambil pendekatan
komprehensif dalam menyelesaikan masalah korupsi. Konvensi UNCAC 2003
terdiri dari delapan bab dengan 71 pasal yang mengharuskan negara-negara
peratifikasi mengimplementasikan isi dari konvensi tersebut. Adapun tujuan
umum dari Konvensi UNCAC 2003 adalah30:
30
a. Memajukan dan mengambil langkah-langkah tegas dalam pencegahan
(strenghthen measures to prevent and combat corruption more efficiently
a nd effectively).
b. Memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama internasional dan
bantuan teknik dalam mencegah dan memerangi perbuatan korupsi,
termasuk pengembalian aset (to promote, facilitate and support
interna tiona l coopera tion a nd technica l a ssista nce in the prevention of
a nd fight a ga inst corruption, including in a sset recovery).
c. Memajukan integritas, pertanggungjawaban, dan hubungan manajemen
publik yang sesuai dengan kepemilikan umum (to promote integrity,
a ccounta bility a nd proper ma nagement of public a ffa irs a nd public
property).
Lingkup Konvensi UNCAC 2003, pembukaan dan batang tubuh yang terdiri
atas 8 (delapan) bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai
berikut31:
a. BAB I : Ketentuan umum, memuat pernyataan tujuan; penggunaan
istilah-istilah; ruang lingkup pemberlakuan; dan perlindungan
kedaulatan.
b. BAB II : Tindakan-tindakan pencegahan, memuat kebijakan dan praktek
pencegahan korupsi; badan atau badan-badan pencegahan korupsi; sektor
publik; aturan perilaku bagi pejabat publik; pengadaan umum dan
pengelolaan keuangan publik; pelaporan publik; tindakan-tindakan yang
31
berhubungan dengan jasa-jasa peradilan dan penuntutan; sektor swasta;
partisipasi masyarakat; dan tindakan-tindakan untuk mencegah pencucian
uang.
c. BAB III : Kriminalitas dan penegakan hukum, memuat penyuapan
pejabat-pejabat publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat publik asing
dan pejabat-pejabat organisasi-organisasi internasional publik;
penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh
pejabat publik; memperdagangkan pengaruh; penyalahgunaan fungsi;
memperkaya diri secara tidak sah; penyuapan di sektor swasta;
penggelapan kekayaan di sektor swasta; pencucian hasil-hasil kejahatan;
penyembunyian; penghalangan jalannya proses pengadilan; tanggung
jawab badan-badan hukum; keikutsertaan dan percobaan; pengetahuan,
maksud dan tujuan sebagai unsur kejahatan; aturan pembatasan;
penuntutan dan pengadilan, dan saksi-saksi; pembekuan, penyitaan dan
perampasan; perlindungan para saksi, ahli dan korban; perlindungan bagi
orang-orang yang melaporkan; akibat-akibat tindakan korupsi;
kompensasi atas kerugian; badan-badan berwenang khusus; kerja sama
dengan badan-badan penegak hukum; kerjasama antar badan-badan
berwenang nasional; kerjasama antara badan-badan berwenang nasional
dan sektor swasta; kerahasian bank; catatan kejahatan; dan yurisdiksi.
d. BAB IV : Kerjasama internasional. memuat ekstradisi; transfer
kerjasama penegakan hukum; penyidikan bersama; dan teknik-teknik
penyidikan khusus.
e. BAB V : Pengembalian aset, memuat pencegahan dan deteksi transfer
hasil-hasil kejahatan; tindakan-tindakan untuk pengembalian langsung
atas kekayaan; mekanisme untuk pengembalian kekayaan melalui
kerjasama internasional dalam perampasan; kerjasama internasional
untuk tujuan perampasan; kerjasama khusus; pengembalian dan
penyerahan aset; unit intelejen keuangan; dan perjanjian-perjanjian dan
pengaturan-pengaturan bilateral dan multilateral.
f. BAB VI : Bantuan teknis dan pertukaran informasi, memuat pelatihan
dan bantuan teknis; pengumpulan, pertukaran, dan analisis informasi
tentang korupsi; dan tindakan-tindakan lain; pelaksanaan konvensi
melalui pembangunan ekonomi dan bantuan teknis.
g. BAB VII : Mekanisme-mekanisme pelaksanaan, memuat konferensi
negara-negara pihak pada konvensi; dan sekretariat. dan pemberantasan
korupsi secara efektif dan efisien.
h. BAB VIII : Ketentuan-ketentuan akhir, memuat pelaksanaan konvensi;
penyelesaian sengketa; penandatanganan, pengesahan, penerimaan,
persetujuan, dan aksesi; pemberlakuan; amandemen; penarikan diri;
penyimpanan dan bahasa-bahasa.
Konvensi UNCAC 2003 adalah Konvensi Anti Korupsi yang berlaku secara
global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara
korupsi merupakan kejahatan transnasional dan membawa implikasi yang sangat
luas. Korupsi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi, menghambat pembangunan
berkelanjutan, melanggar hak asasi manusia, menggoyahkan keamanan suatu
negara, dan meminimalisasi kesejahteraan bangsa-bangsa. Konvensi UNCAC
2003 menyiapkan 3 (tiga) strategi yang memiliki saling ketergantungan satu sama
lain. Ketiga strategi tersebut adalah kriminalisasi (criminalisation), pengembalian
hasil aset korupsi (asset recovery), dan kerjasama internasional (international
coopera tion).32 Penandatanganan konvensi tersebut memberikan peluang untuk
pengembalian aset-aset para koruptor yang dibawa lari ke luar negeri. Selain itu,
negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini akan terikat untuk
mempidanakan praktek-praktek korupsi, termasuk bermitra dalam pemberian
bantuan teknis dan keuangan dalam pengembalian aset yang dikorup. Pelaksanaan
dari konvensi UNCAC 2003 bisa dilihat dari berhasilnya Filipina, setelah 18
tahun, berhasil menarik uang Presiden Ferdinand Marcos US$ 624 juta (sekitar Rp
5,6 triliun) dari rekening bank Swiss. Peru berhasil menemukan kembali uang
lebih dari US$ 180 juta (sekitar Rp 1,62 triliun) yang dicuri bekas Kepala Intelijen
Polisi Vladimiro Montesinos yang disimpan di Swiss, Kepulauan Cayman, dan
Amerika Serikat. Nigeria berhasil menemukan kembali aset US$ 505 juta (sekitar
Rp 4,5 triliun) di Swiss dari Presiden Jenderal Sani Abacha.33 Keberhasilan dari
negara-negara tersebut tidak lepas dari kerjasama internasional antar negara
korban dengan negara pihak peratifikasi yang lain dalam rangka pengembalian
aset hasil korupsi (asset recovery). Seperti halnya negara berkembang lainnya,
32
http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, Ibid, 33
Indonesia juga merupakan negara dengan masalah korupsi yang sangat kompleks.
Korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu fenomena yang sangat mencemaskan
karena telah semakin meluas. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor
penghambat utama pelaksanaan pembangunan Indonesia dan sangat
membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Di mata internasional, tidak dapat
dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di
dunia.34
Dalam rangka menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi para pembuat
kebijakan telah membentuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme sebagai bentuk semangat reformasi hukum terhadap penegakan hukum
tindak pidana korupsi.35 Untuk menindak lanjuti semangat reformasi hukum ini
lahirlah Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi antara kepolisian,
34
Diakses dari, http://www.transparency.org/survey/#cpi, Diakses tanggal 21 Maret 2015 35
kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya penanganan
kasus-kasus korupsi secara lebih efektif.36
B.Kedudukan Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 Sebagai Sebuah Perjanjian Internasional
Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional
memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan
pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara
menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan,
menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri.
Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu
negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu
negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.
Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum
internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung
kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk
mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian
tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara
-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.
Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia
akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara
umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa
36Ibid
ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum
internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.
Di samping itu walaupun bermacam-macam nama yang diberikan untuk
perjanjian mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang sangat
sederhana, semuanya sama-sama mempunyai kekuatan hukum dan mengikat
pihak-pihak yang terkait. Menurut Myers: ada 39 macam istilah yang digunakan
untuk perjanjian-perjanjian internasional.37 Selanjutnya sesuai hukum
internasional, setiap negara mempunyai hak untuk membuat perjanjian
internasional. Pada dasarnya bagi negara yang berbentuk federal, negara-negara
bagian tidak mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian internasional
karena wewenang tersebut terletak pada pemerintah federal. Namun
kadang-kadang berdasarkan konstitusi, negara bagian untuk hal-hal tertentu dapat
membuat perjanjian internasional.
Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya
diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh
Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional
di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan tanggal 24 Mei 1968 dan dari
tanggal 9 April sampai dengan tanggal 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan
hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention
On the La w of Trea ties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini
mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum
37
internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak
pada Konvensi tersebut.
(1)Defenisi dan Ruang Lingkup
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum
internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:
a) perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat
umum maupun khusus;
b) kebiasaan internasional (international custom);
c) prinsip-prinsip hukum umum (general principles of la w) yang diakui
oleh negara-negara beradab;
d) keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang
telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified
publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional.
Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty)
didefinisikan sebagai:
Sua tu persetujua n yang dibua t a nta r nega ra da la m bentuk tertulis, dan dia tur oleh hukum interna siona l, a pa kah da la m instrumen tungga l a ta u dua a ta u lebih instrumen ya ng berka ita n da n apa pun na ma ya ng diberikan pa danya
.
Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:
menimbulka n ha k da n kewa jiba n pa da Pemerinta h Republik Indonesia ya ng bersifa t hukum publik.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian
internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu
subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan
ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.
Sehubungan dengan itu terdapat dua unsur pokok yang terdapat dalam
defenisi perjanjian internasional tersebut:
(a)Adanya subjek hukum internasional
Negara adalah subjek hukum internasional, par exellence, yang
mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional
seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina .
Kesulitan mungkin timbul bila menyangkut negara-negara federal,
organisasi-organisasi internasional atau gerakan-gerakan pembebasan nasional.
Komisi Hukum Internasional memang mengajukan rancangan mengenai
kemungkinan negara-negara bagian dari suatu negara federal membuat perjanjian
dengan negara-negara lain bila konstitusi federal mengijinkannya dan dalam
batas-batas yang ditentukan. Tetapi usul tersebut ditolak oleh Konferensi yang
menggarisbawahi bahwa permasalahannya lebih banyak bersifat intern suatu
negara dan Konferensi kelihatannya tidak mau melibatkan diri pada masalah yang
cukup peka.
Dalam prakteknya ada konstitusi yang melarang dan ada yang
membiarkannya. Amerika Serikat, Meksiko, dan Venezuela misalnya melarang
yang semula mempunyai sikap yang sama berangsur-angsur melunakkan
posisinya dan memberikan kemungkinan kepada Propinsi Quebec yang berbahasa
Perancis untuk membuat perjanjian kerjasama kebudayaan negara-negara
fra ncophone.38
Disamping itu Konstitusi Uni Soviet 7 Oktober 1977 (Pasal 70),
Konstitusi Jerman 28 Mei 1949 dan Konstitusi Swiss 29 Mei 1974 juga
memberikan wewenang tertentu kepada negara-negara bagian untuk membuat
persetujuan dengan negara-negara lain
Sekarang organisasi-organisasi internasional juga sudah diberikan
wewenang untuk membuat perjanjian internasional. Sebagai contoh perjanjian
antara UNESCO dengan Perancis, 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status
UNESCO di Perancis, antara PBB dengan Pemeritah Amerika Serikat, 26 Juni
1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. Bahkan
juga antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya
yaitu Konvensi yang ditandatangani tanggal 19 April dan 19 Juli 1946 di Jenewa
antara LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dan PBB mengenai penyerahan inventaris dan
gedung dari Organisasi yang pertama kepada PBB.
Pembatasan bagi organisasi internasional untuk mebuat perjanjian jelas
terdapat dalam Pasal 6 Konvensi mengenai perjanjian-perjanjian yang dibuat
antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi-organisasi
internasional yang berbunyi : kapasitas suatu organisasi internasional untuk
38
membua t perja njia n-perja njia n dia tur oleh ketentua n-ketentua n yang releva n da n
orga nisasi tersebut.
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum
tertentu. Ada beberapa bentuk perjanjian internasional salah satunya yaitu
konvensi. Istilah konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan
bersifat multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat
lembaga internasional.39 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional.40
Langkah-langkah yang biasa ditempuh dalam membuat perjanjian internasional adalah
sebagai berikut :
a. Pemberian kuasa resmi kepada orang yang melakukan negosiasi atas
nama negara
Dalam tahap ini ditunjuk suatu perwakilan untuk melakukan
negosiasi. Pemberian kuasa resmi harus dilakukan dengan prosedur yang tepat.
b. Negosiasi dan adopsi
Dalam tahap ini para delegasi tetap mengadakan hubungan dengan
pemerintah masing-masing.
c. Otentikasi dan penandatanganan
39
sistem, ada tujuan yang pasti yang telah dicanangkan oleh para pengambil keputusan, bahwa dalam keputusan yang dibuat setelah mempertimbangkan semua alternatif kemudian memilih alternatif yang paling efektif dan efisisen untuk mencapai tujuan tersebut. Graham T. Allison (et.al), dalam Marry G. Kweit& Robert W. Kweit, Metode dan Konsep Analisa Politik, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hal 188. Bentuk Perjanjian Internasional yaitu: Treaty, Konvensi, Protokol, Persetujuan, Arrangement, Proses Verbal, Statuta, Deklarasi, Modus Vivendi, Pertukaran Nota atau Surat, Ketentuan Penutup (Final Act), Ketentuan Umum, T. May RudY, Hukum Internasional II, Bandung: Refika Aditama, 2001, hal123-126
40
Apabila rancangan final perjanjian internasioanl telah disetujui, berarti
instrumen ini telah siap untuk ditandatangani. Sebelum dilakukan
penandatanganan, rancangan teks tersebut dapat diumumkan. Tahap
penandatanganan biasanya merupakan hal yang paling formal.
d. Ratifikasi
Ratifikasi adalah merupakan persetujuan Kepala Negara atau
pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh
kuasa penuhnya yang ditunjuk dengan sebagaimana mestinya.
e. Aksesi dan addesi
Aksesi dan addesi merupakan cara untuk menyatakan keterikatan
negara pada perjanjian internasional yang tersedia bagi negara-negara yang tidak
ikut serta dalam pembuatan perjanjian internasional.
f. Mulai berlakunya perjajanjian internasional
Menurut ketentuan pasal 24 ayat 1 Konvensi Wina 1969 berlakunya
suatu perjanjian tergantung pada ketentuan perjanjian internasional itu sendiri atau
apa yang telah disetujui oleh negara peserta.
g. Registrasi dan publikasi
Pasal 102 Piagam PBB 1945, menentukan bahwa semua perjanjian
internasional dan persetujuan internasional yang dibuat oleh anggota PBB harus
sesegera mungkin dicatatkan pada Sekretariat PBB dan kemudian akan
diumumkan oleh Sekretariat.
Langkah final proses pembuatan perjanjian internasional adalah
penyatuan ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional negara
pihak. Kemudian diikuti tindakan aplikasi, tindakan administrasi yang diperlukan
dab supervisi oleh organ-organ internasional.
Dalam pelaksanaannya negara-negara peserta ratifikasi akan dihadapkan
pada sejumlah persiapan berupa adanya kesamaan standar internasional dari
hukum nasional yang akan menjadi suatu kendala dalam implementasinya.
Persiapan tersebut berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum
nasional negara yang bersangkutan. Dengan demikian perlu adanya suatu proses
harmonisasi hukum.41
41
Gambar 1
Bagan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Dibawah Wibawa PBB.42
Sumber : Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 82
42
(2)Tahap-tahap Pembuatan Konvensi UNCAC 2003
Proses pembuatan konvensi UNCAC 2003 (United Nations Convention
Aga ints Corruption) dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: Perundingan
(Negotiation), Penandatanganan (Signature), dan Ratifikasi (Ratification).
Pelaksanaan dari tahapan-tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak
singkat sehingga akhirnya sampai pada penyelesaian akhir dari konvensi tersebut
1 Perundingan (Negotiation)
Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang
korupsi (konvensi UNCAC 2003) diawali sejak tahun 2000 di mana Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55, melalui Resolusi
Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000, memandang perlu dirumuskannya
instrumen hukum nternasional antikorupsi secara global. Instrumen hukum
internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang
berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa -Bangsa
membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan
dra ft Konvensi43. Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun
untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir
Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa
43
2 Penandatanganan (Signature)
Konvensi United Na tions Convention Aga ints Corruption (UNCAC)
2003 diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 di Markas
Besar PBB di New York Amerika Serikat. Proses penandatanganan konvensi
tersebut diadakan pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 di Merida
Meksiko. Jumlah negara yang telah membubuhkan tanda tangan adalah 111
negara. Kemudian proses penandatanganan dilanjutkan sampai tanggal 19
September 2005 di Markas Besar PBB dan pada saat itu telah ada 140 negara
yang menandatangani konvensi tersebut. Proses penandatanganan ini sesuai
dengan Pasal 67 Ayat 1 konvensi UNCAC 2003.44
3 Ratifikasi (Ratification)
Kekuatan mengikat konvensi United Nations Convention Againts
Corruption 2003 baru terjadi pada tanggal 15 September 2005 setelah 30 negara
yang telah membubuhkan tanda tangan meratifikasi isi dari konvensi tersebut.
Sampai dengan tahun 2007 ada 129 negara yang telah meratifikasi konvensi
tersebut. Adapun daftar negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi
adalah sebagaimana terlampir.45
Konvensi UNCAC 2003 adalah konvensi untuk menentang korupsi
yang berhasil ditandatangani pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003.
Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB
berdasarkan resolusi No. 57/169. Main point dari isi konvensi tersebut adalah
44
This Convention shall be open to all States for signature from 9 to 11 December 2003 in Merida, Mexico, and thereafter at United Nations Headquarters in New York until 9 December 2005. Diakses dari.http://www.unodc.org/unodc/crime_convention_corruption.html, diakses tanggal 24 Maret 2015
Kriminalisasi, Asset Recovery, Kerjasama Internasional. Dimana isi dari konvensi
UNCAC 2003 bisa saling mendukung satu sama lain. Indonesia ikut
menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia
telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2006 pada tanggal 18
April 2006 sebagai tindak lanjut dari kesepahaman konvensi UNCAC 2003, bagi
terciptanya negara yang bebas dari korupsi. Dengan meratifikasi konvensi
UNCAC Indonesia mempunyai sejumlah kewajiban untuk melakuakan
standarisasi internasional agar konvensi UNCAC 2003 bisa mempunyai kekuatan
pemberlakuan bagi Indonesia. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan konvensi
UNCAC 2003 untuk menyelesaikan masalah korupsi Indonesia yang sudah
melintas batas negara (cross border).
Konvensi UNCAC 2003 merupakan sumber hukum internasional yang
merupakan hasil perjanjian yang dinaungi oleh organisasi internasional dibidang
kejahatan internasional dan obat-obatan terlarang yaitu United Nations Office On
Drug a nd Crime (UNODC) yang menjadi subyek hukum internasional dan
menjadi anggota dari masyarakat internasional.46
Konvensi UNCAC 2003 sebagai sumber hukum internasional UNODC
di gunakan sebagai perjanjian internasional yang menjadi sebuah landasan dari
upaya-upaya negara dalam melakukan pemberantasan korupsi ditingkat domestik
maupun global. Perjanjian Internasional UNCAC 2003 ini lebih menyoroti kepada
permasalahan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik suatu negara maupun
pejabat asing yang melakukan korupsi di negara lain. Konvensi UNCAC 2003
46
melihat bahwa korupsi merupakan sebuah wabah yang sangat berbahaya bagi
negara dan masyarakat khususnya didalam negara yang bersistem demokrasi
karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat memberikan efek
buruk yang sangat besar bagi beberapa aspek seperti pelanggaran hak asasi
manusia, mengacaukan program-program pembangunan dengan mengalihkan
dana-dana yang bertujuan untuk pembangunan, korupsi juga dapat melemahkan
pemerintahan sehingga menyebabkan kesenjangan, mengurangi bantuan luar
negeri dan berpengaruh kepada beberapa aspek lainnya.47
C.Kekuatan Mengikat Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003
Adapun kewajiban negara dalam meratifikasi konvensi UNCAC 2003
adalah tidak hanya terbatas pada negara yang menjadi anggota dari organisasi
UNODC yang mana UNODC sebagai organisasi dibawah PBB yang menaungi
Konvensi UNCAC 2003. Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003
selanjutnya wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah tertera didalam
pasal-pasal yang termuat dalam Konvensi UNCAC 2003. Ketentuan tersebut secara
jelas telah di cantumkan dalam Bab I mengenai ketentuan-ketentuan. Indonesia
merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 dan
juga merupakan anggota dari organisasi UNODC. Namun sebelum diratifikasinya
konvensi UNCAC 2003, berdasarkan laporan anti corruption clearing house
(ACCH) sebenarnya terdapat 25 pasal didalam konvensi UNCAC 2003 yang
47
sebelumnya telah ada didalam beberapa kebijakan Indonesia.48 Sedangkan jika di
bedah lagi secara garis besar beberapa pasal konvensi UNCAC 2003 yang
menjadi landasan perubahan kebijakan Indonesia terkait korupsi tahun 2009-2013
pasca konvensi UNCAC 2003 adalah bab II dan bab III. Indonesia sebagai aktor
yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 memiliki hak yang mana juga hak
tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal didalam konvensi
UNCAC 2003. Indonesia menyatakan reservation (pensyaratan) terhadap Pasal 66
ayat (2) konvensi UNCAC 2003 yang mengatur mengenai upaya penyelesaian
sengketa, seandainya jika diperlukan, mengenai penjelasan dan pelaksanaan
konvensi UNCAC 2003 melalui Mahkamah Internasional.
Keputusan ini diambil sebagai sebuah pertimbangan bahwa Indonesia tidak
mau mengakui jurisdiksi yang mengikat secara clematis (compulsory jurisdiction)
dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia telah
sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku.49
Persyartan yang diajukan oleh Indonesia ini merupakan hak bagi setiap
negara berdaulat dalam perjanjian internasional. Selain telah menggunakan hak
nya adapun kewajiban Indonesia untuk menerapkan konvensi UNCAC 2003
kedalam ranah domestik. Hal ini disebutkan dalam Legislative guide for the
implementa tion of the United Na tions Convention aga inst Corruption Second
revised edition 2012 pada bab Structure of the United Nations Convention against
Corruption yang menjelaskan mengenai tujuan dari terbentuknya konvensi
48
ACCH. Bab I: Pendahuluan, diakses dari
http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27925/GAP+Analysis+Indonesia+terhadap+UNCAC.pdf, pada tanggal 6 Marer 2015
49
Berdasarkan dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Ratifikasi
UNCAC 2003, kewajiban negara peserta, dan prinsip perlindungan kedaulatan
yang sangat di utamakan dalam konvensi UNCAC 2003. Untuk mengadopsi
perjanjian internasional kedalam regulasi suatu negara maka Indonesia sebagai
negara berdaulat tentunya memiliki mekanisme yang berbeda.
Dalam prosesnya untuk dapat menerapkan pasal-pasal konvensi UNCAC
2003 kedalam regulasi domestik maka Indonesia harus membuat undang-undang
yang menyatakan telah diratifikasinya konvensi UNCAC 2003 di Indonesia
dengan alasan yang jelas. Sebagai mana yang telah di atur dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Dalam prosesnya,
adopsi konvensi UNCAC 2003 kedalam regulasi korupsi Indonesia ini di awali
dengan ditandatanganinya naskah perjanjian internasional UNCAC pada tanggal
18 Desember 2003 yang kemudian diratifikasi pada tanggal 19 September 2006.50
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dalam mekanisme hukum
internasional menjadi hukum nasional terdapat dua macam cara yaitu dengan
undang-undang atau dengan keputusan Presiden.51
Adapun Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui
undang-undang jika perjanjian internasional mengenai52 :
a) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
50
Ibid. 51
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e) Pembentukan kaidah hukum baru;
f) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Perjanjian internasional yang tidak di sahkan melalui undang-undang
merupakan perjanjian yang tidak berkaitan dengan ke enam permasalahan
tersebut. Proses adopsi dari konvensi UNCAC 2003 ini mulai di laksanakan pada
tanggal 20 Maret 2006 oleh parlemen Republik Indonesia melalui sidang pleno
mengesahkan Undang-Undang. Nomor 7 tahun 2006 mengenai pengesahan
ratifikasi konvensi UNCAC 2003 yang dilaksanakan pada rapat paripurna DPR
RI.53 Hal ini menunjukkan bahwa dalam mekanismenya konvensi UNCAC 2003
di sahkan melalui undang-undang yang harus disetujui DPR RI.
Urusan mengenai korupsi ini di serahkan pada komisi III DPR RI yang
menangani masalah54 :
a. Hukum,
b. Ham, dan
c. Keamanan.
Secara lebih spesifik lagi dalam mekanisme pengadopsian hukum
internasional ke dalam hukum nasional di Indonesia terdapat beberapa rapat
paripurna yang harus dilakukan sampai pada akhirnya ratifikasi konvensi UNCAC
2003 di sahkan oleh Indonesia. Adapun tahapan tersebut antara lain diawali
53
Support to fight against corruption. 2013.Kerangka Acuan Seminar Sehari Sensitisasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) , STRANAS PPK dan INPRES No. 1 Tahun 2013 di
Indonesia, diakses dari
http://www.ti.or.id/media/documents/2013/11/06/t/o/tor_sensitisasi_uncac_jakarta.pdf, diakses tanggal 8 Maret 2015.
54
dengan di usulkan rancangnya undang-undang yang berisi mengenai
penjelasan/keterangan maupun naskah akademis yang berasal dari Presiden dan
kemudian disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR RI melalui surat
pengantar Presiden yang selanjutnya di sampaikan dalam bentuk tertulis kepada
pimpinan DPR RI dengan surat pengantar Presiden serta Menteri yang mewakili
presiden dalam mengkaji Rancangan Undang-Undang (RUU). Dalam rapat
paripurna selanjutnya yang mana RUU diterima oleh pimpinan DPR RI ditindak
lanjuti dengan mempublikasikan kepada seluruh anggota. Publikasi RUU
dilakukan oleh instansi yang membuat, dan ditindaklanjuti dengan RUU dibahas
dalam tingkat dua pembicaraan DPR RI oleh Menteri yang mewakili Presiden.55
Kemudian hasil dari adopsi regulasi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003
yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 di tugaskan kepada lembaga milik
negara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang
memiliki peran penting dalam penerapan konvensi UNCAC 2003. Hal tersebut
dikarenakan KPK merupakan salah satu lembaga yang berhubungan langsung
dengan pemberantasan korupsi. Pemilihan Indonesia memberikan tugas dan
tanggung jawab kepada KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2000 yaitu KPK sebagai state auxiliary body yaitu lembaga khusus menangani
korupsi. Selain itu latar belakang dibentuknya KPK adalah sebagai salah satu dari
solusi untuk dapat menangani dan meningkatkan pemberantasan korupsi yang
selama ini masih menjadi permasalahan krusial bagi Indonesia.56
55
Pembuatan Undang-Undang, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/tentangdpr/pembuatan-undang-undang, diakses pada tanggal 20 Maret 2015
56
Namun, dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana korupsi, KPK
tetap melakukan kerjasama dengan institusi dalam negeri.
KPK Sebagai lembaga khusus berperan penting sebagai bagian dari
keberhasilan adopsi regulasi korupsi ini khususnya korupsi yang dilakukan oleh
para pejabat publik, maka dari itu KPK memiliki tanggung jawab serta kewajiban
untuk melaksanakan pelaksanaan konvensi UNCAC 2003 di Indonesia.57 Didalam
sistem operasi konsep hukum internasional, court/institution merupakan prosedur
terakhir yang dapat menjelaskan mengenai adopsi regulasi konvensi UNCAC
2003 yang dipengaruhi dari faktor-faktor domestik. Dalam komponen ini
menjelaskan mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara peserta
konvensi UNCAC 2003 dalam menyelesaikan tindak kejahatan korupsi pada
tingkat internasional sebagai bentuk penerapan konvensi UNCAC 2003.
Upaya-upaya tersebut berdasarkan konsep hukum internasional Charllote Ku dan Paul
F.Dheil dapat berbentuk forum dan aturan berfungsi untuk mengontrol yang
nantinya akan diadili oleh lembaga pengadilan internasional yang dibentuk secara
permanen. Konvensi UNCAC 2003 hingga saat ini hanya menggunakan
Interna tiona l Court Of Justice atau Mahkamah Internasional dalam
menyelesaikan sengketa dua atau lebih negara peserta mengenai penerapan
konvensi yang tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan yang telah
ditentukan. Hal tersebut diatur dalam pasal 66 ayat dua mengenai penyelesaian
sengketa.58
57
ACCH. Bab I: Pendahuluan, Ibid
Namun dalam hal ini Indonesia tidak menginginkan adanya intervensi dari
Interna tiona l Court Justice (ICJ) terhadap permasalahan korupsi jika suatu saat
terjadi. Ketidak-inginan Indonesia merupakan hak bagi negara yang mana negara
dapat membatasi dampak dari ICJ dengan membuat persyaratan.59
D.Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Konvensi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
1) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi yang Diatur dalam Konvensi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin dalam
pembukaan (preambule) konvensi UNCAC 2003. Konvensi yang yang telah di
ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya
menyatakan bahwa:
“ Concerned about the seriousness of problems a nd threa ts posed by corruption to the sta bility a nd security of societies, undermining the institutions a nd va lues of democracy, ethica l va lues a nd justice a nd jeopa rdizing susta ina ble development a nd the rule of la w;”
("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan
oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga
dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan
pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")
Perbuatan-perbuatan yang dilarang atau dikriminalisasi dalam substansi
konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 secara
59
garis besar terdiri dari empat hal yaitu; (a) tindak pidana korupsi penyuapan
pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials); (b) tindak
pidana korupsi terhadap memperdagangkan pengaruh (trading in ifluence); (c)
tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit
enrichment); dan (d) tindak pidana korupsi penyuapan di sektor swasta (bribery in
the priva te sector).
Perta ma, tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik
nasional (bribery of national public officials) diatur dalam ketentuan Pasal 15
yang berbunyi:
Ea ch sta te pa rty sha ll a dopt such legisla tive a nd other mea sures a s ma y be necessa ry to esta blish a s crimina l offences, when committed intentiona lly: (a ) the promise, offering or giving, to a public officia l, directly or indirectly, of a n undue a dva ntage, for the officia l himself or herself or a nother person or entity, in order tha t the officia l act or refra in from a cting in the exercise of his or her officia l duties; (b) the solicita tion or a ccepta nce by a public officia l, directly or indirectly, of a n undue a dva nta ge, for the officia l himself or herself or a nother person or entity, in order tha t the officia l a ct or refra in from acting in the exercise of his or her officia l duties.
Jadi, yang dikriminalisasi adalah dengan sengaja melakukan tindakan
berupa janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada
pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat publik itu
sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak
melaksanakan tugas resminya; dan permintaan atau penerimaan manfaat yang
tidak semestinya oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk
pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak
bertindak melaksanakan tugas resminya. Terhadap penyuapan pejabat-pejabat
diatur dalam ketentuan Pasal 16. Sedangkan mengenai penggelapan,
penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat
publik diatur dalam ketentuan Pasal 17 konvensi UNCAC 2003.
Kedua, tindak pidana korupsi berupa memperdagangkan pengaruh
(trading in influence). Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 18, yang
pada pokoknya melarang perbuatan yang dilakukan dengan sengaja berupa; (a)
janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada pejabat
publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, agar pejabat publik
atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada
dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga
pemerintah atau lembaga publik Negara Pihak untuk kepentingan penghasut asli
perbuatan itu atau untuk orang lain; dan (b) permintaan atau penerimaan manfaat
yang tidak semestinya oleh pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau
tidak langsung, untuk dirinya atau orang lain agar pejabat publik atau orang itu
menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud
memperoleh manfaat yang tidak semsetinya dari lembaga pemerintag atau
lembaga publik Negara Pihak.
Termasuk dalam kategori memperdagangkan pengaruh adalah
penyalahgunaan fungsi. Pasal 19 konvensi UNCAC 2003 mengatakan bahwa,
dikatakan sebagai penyalahgunaan fungsi atau jabatan, dalam arti, melaksanakan
atau tidak melaksanakan suatu perbuatan, yang melanggar hukum, oleh pejabat
publik dalam pelaksanaan tugasnya, dengan maksud memperoleh manfaat yang
functions or position, tha t is, the performa nce of or fa ilure to perform a n a ct, in
viola tion of la ws, by a public officia l in the discha rge of his or her functions, for
the purpose of obta ining a n undue a dva ntage for himself for herself or for a nother
person or entity).
Ketiga, tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment). Ketentuan Pasal 20 konvensi UNCAC 2003
menyatakan, bahwa:
Subject to its contitution a nd the funda menta l principlesof its lega l system, ea ch Sta te Pa rty sha ll consider a dopting such legisla tive and other mea sures a s ma y be necessa ry to establish a s a crimina l offence, when committed intentiona lly, illicit enrichment, tha t is, a significa nt increa se in the a ssets of a public officia l tha t he or she ca nnot rea sona bly expla in in rela tion to his or her la wful income.
Perbuatan memperkaya diri, dalam arti, penambahan besar kekayaan
pejabat publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan
dengan penghasilannya yang sah yang dilakukan dengan sengaja merupakan
perbuatan yang dilarang.
Keempa t, tindak pidana penyuapan di sektor swasta (bribery in the
priva te sector). Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam substansi Pasal 21 dan
Pasal 22 konvensi UNCAC 2003 yang berisi larangan penyuapan di sektor swasta
dan larangan penggelapan kekayaan di sektor swasta. Pasal 21 menyatakan,
bahwa Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil
tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan,
jika dilakukan dengan sengaja dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau
perdagangan: (a) janji, penawaran atau pemberian, secara langsung atau tidak
atau bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor swasta, untuk dirinya atau
untuk orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya, bertindak atau tidak
bertindak, dan (b) permintaan atau penerimaan, secara langsung atau tidak
langsung, manfaat yang tidak semsetinya oleh orang yang memimpin atau
bekerja, dalam jabatan apapun, dibadan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk
orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya bertindak atau tidak bertindak.
Pasal 22 menyatakan, bahwa:
Ea ch Sta te Pa rty sha ll consider a dopting such legisla tive and other mea sures as ma y be necessa ry to esta blish a s a crimina l offence, when committed intentiona lly in the course of economic, fina ncia l or commercia l a ctivities, embezzlement by a person who directs or works, in a ny capa city, in a priva te sector entity of a n property, priva te funds or securities or a ny other thing of va lue entrusted to him or her by virtue of hir or her position.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas, Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya
yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,
dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, penggelapan oleh
orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor
swasta, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang
berharga yang dipercayakan kepadanya karena jabatannya.
2) Negara-Negara yang Telah Meratifikasi Konvensi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
Penandatanganan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum bagi
tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Pengesahan
demikian dinamakan ratifikasi.
Ratifikasi suatu perjanjian adalah suatu prosedur yang secara progresif
dimulai pada pertengahan abad ke- XIX. Sebelumnya utusan yang diberi
kekuasaan penuh oleh raja dapat menandatangani perjanjian dan langsung
mengikat negara secara definitif. Menurut Grotius tanda tangan saja sudah cukup.
Kemudian dengan mundurnya monarki absolut dan berkembangnya
prinsip-prinsip demokrasi maka dirasa perlu untuk memeriksa lagi perjanjian yang telah
dibuat dan yang telah ditandatangani oleh utusan-utusan raja tersebut. Selanjutnya
tandatangan itu saja tidak cukup untuk mengikat negara. Sesudah itu harus ada
ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi itu negara dapat diikat secara definitif oleh
suatu perjanjian.
Penandatanganan konvensi UNCAC 2003 pada tanggal 9 sampai dengan
11 Desember 2003 dan diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB
berdasarkan resolusi No. 57/169. Penandatanganan konvensi ini dilakukan oleh
140 negara dan 129 negara telah meratifikasi isi dari konvensi tersebut.
Indonesia merupakan negara pihak ke-57 yang menandatangani konvensi
UNCAC 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 dan meratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention
Aga inst Corruption 2003 pada tanggal 18 April 2006. Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tindakan
pengesahan tersebut dilaksanakan melalui proses pembuatan undang-undang oleh
Indonesia yang menimbulkan kewajiban hukum bagi setiap lembaga atau individu
di Indonesia.60
Gambar 2. Negara-negara yang telah menandatangani Konvensi UNCAC
2003 dan status ratifikasinya sampai dengan 12 November 201461
United Nations Convention Against Corruption
Signature and Ratification Status as of 12
November 2014
Signatories: 140
Parties: 174
Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html
60
Diakses dari,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20 INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUP SI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 12 Mei 2015
61
Tabel 1. Daftar negara yang telah menandatangani dan meratifikasi
Konvensi UNCAC 2003, beserta tanggal nya62
Country Signature Ratification, Acceptance (A),
Bosnia and Herzegovina 16 Sep 2005 26 Oct 2006
Brazil 9 Dec 2003 15 Jun 2005
Brunei Darussalam 11 Dec 2003 2 Dec 2008
Bulgaria 10 Dec 2003 20 Sep 2006
62
Burkina Faso 10 Dec 2003 10 Oct 2006
Central African Republic 11 Feb 2004 6 Oct 2006
Chile 11 Dec 2003 13 Sep 2006
Dominican Republic 10 Dec 2003 26 Oct 2006
Ecuador 10 Dec 2003 15 Sep 2005
Egypt 9 Dec 2003 25 Feb 2005
El Salvador 10 Dec 2003 1 Jul 2004
Estonia 12 Apr 2010 a
European Union 15 Sep 2005 12 Nov 2008 AA
Fiji 14 May 2008 a
Finland 9 Dec 2003 20 Jun 2006 A
France 9 Dec 2003 11 Jul 2005
Gabon 10 Dec 2003 1 Oct 2007
Georgia 4 Nov 2008 a
Germany 9 Dec 2003 12 Nov 2014
Ghana 9 Dec 2004 27 Jun 2007
Greece 10 Dec 2003 17 Sep 2008
Guatemala 9 Dec 2003 3 Nov 2006
Guinea 15 Jul 2005 29 May 2013
Guinea-Bissau 10 Sep 2007 a
Guyana 16 Apr 2008 a
Haiti 10 Dec 2003 14 Sep 2009
Honduras 17 May 2004 23 May 2005
Hungary 10 Dec 2003 19 Apr 2005
Iceland 1 Mar 2011 a
India 9 Dec 2005 9 May 2011
Indonesia 18 Dec 2003 19 Sep 2006
Iran (Islamic Republic of) 9 Dec 2003 20 Apr 2009
Iraq 17 Mar 2008 a
Ireland 9 Dec 2003 09 Nov 2011
Israel 29 Nov 2005 4 Feb 2009
Italy 9 Dec 2003 5 Oct 2009
Jamaica 16 Sep 2005 5 Mar 2008
Japan 9 Dec 2003
Jordan 9 Dec 2003 24 Feb 2005
Kazakhstan 18 Jun 2008 a
Kenya 9 Dec 2003 9 Dec 2003
Kuwait 9 Dec 2003 16 Feb 2007
Liechtenstein 10 Dec 2003 8 Jul 2010
Namibia 9 Dec 2003 3 Aug 2004
Nauru 12 Jul 2012 a
Nepal 10 Dec 2003 31 Mar 2011
Netherlands 4 10 Dec 2003 31 Oct 2006 A
New Zealand 10 Dec 2003
Nicaragua 10 Dec 2003 15 Feb 2006
Niger 11 Aug 2008 a
Nigeria 9 Dec 2003 14 Dec 2004
Norway 9 Dec 2003 29 Jun 2006
Oman 9 Jan 2014
Pakistan 9 Dec 2003 31 Aug 2007
Palau 24 Mar 2009 a
Panama 10 Dec 2003 23 Sep 2005
Papua New Guinea 22 Dec 2004 16 Jul 2007
Paraguay 9 Dec 2003 1 Jun 2005
Peru 10 Dec 2003 16 Nov 2004
Philippines 9 Dec 2003 8 Nov 2006
Poland 10 Dec 2003 15 Sep 2006
Portugal 11 Dec 2003 28 Sep 2007
Qatar 1 Dec 2005 30 Jan 2007
Republic of Korea 10 Dec 2003 27 Mar 2008
Romania 9 Dec 2003 2 Nov 2004
Russian Federation 9 Dec 2003 9 May 2006
Rwanda 30 Nov 2004 4 Oct 2006
Saint Lucia 25 Nov 2011
Sao Tome and Principe 8 Dec 2005 12 Apr 2006
Saudi Arabia 9 Jan 2004 29 April 2013
Senegal 9 Dec 2003 16 Nov 2005
Serbia 11 Dec 2003 20 Dec 2005
Sierra Leone 9 Dec 2003 30 Sep 2004
United Arab Emirates 10 Aug 2005 22 Feb 2006
United Kingdom of Great Britain
and Northern Ireland 5
United Republic of Tanzania 9 Dec 2003 25 May 2005
United States of America 9 Dec 2003 30 Oct 2006
Uruguay 9 Dec 2003 10 Jan 2007
Uzbekistan 29 Jul 2008 a
Vanuatu 12 Jul 2011 a
Venezuela (Bolivarian Republic
of)
10 Dec 2003 2 Feb 2009
Viet Nam 10 Dec 2003 19 Aug 2009
Yemen 11 Dec 2003 7 Nov 2005
Zambia 11 Dec 2003 7 Dec 2007
Zimbabwe 20 Feb 2004 8 Mar 2007
Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html
E. Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam
upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan
dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum
timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang
berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama
berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para
koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah
Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam
kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nations
Convention Aga inst Corruption-UNCAC 2003) dan Konvensi PBB Tentang
Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (United Nations Convention on
Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan kepentingan
Indonesia secara berkesinambungan.
Dalam melaksanakan kerjasama internasional di bidang pemberantasan
korupsi disadari bahwa kerjasama tersebut hendaknya didasarkan pada
prinsip-prinsip saling menghormati, persamaan derajat, dan hubungan baik antar bangsa
serta hukum internasional yang berlaku, dengan memperhatikan kebutuhan
nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku. Kerjasama
internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan
Piagam PBB khususnya dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam
PBB.
Konvensi PBB Menentang Korupsi (konvensi UNCAC 2003) yang
dirundingkan selama kurun waktu 2002-2003 telah diterima oleh Majelis Umum
PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota
masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18
Desember 2003. Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal
9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai
konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia
akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki melakukan
langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi.
Sebagai perwujudan komitmen tersebut Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk merancang, mengembangkan, dan melaksanakan sebuah Rencana Aksi
Rencana Aksi Nasional ini dimaksudkan sebagai acuan dalam menyusun program
pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 khususnya Indonesia,
wajib bekerja sama dalam masalah-masalah kejahatan sesuai dengan ketentuan
pasal 44 sampai pasal 50 Konvensi ini. Sepanjang perlu dan sesuai dengan sistem
hukum nasional masing-masing, Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk saling membantu penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata
dan admistratif yang berkaitan dengan korupsi.
Dalam masalah-masalah kerja sama internasional, dalam hal kriminalitas
ganda dianggap sebagai persyaratan, maka hal itu dianggap sebagai telah dipenuhi
tanpa memperhatikan apakah undang-undang Negara Pihak yang diminta
menempatkan kejahatan itu ke dalam kategori kejahatan yang sama atau
menyebut kejahatan itu dengan istilah yang sama seperti di negara pihak yang
meminta, jika perbuatan yang mendasari kejahatan yang menjadi alasan
permintaan bantuan adalah kejahatan menurut undang-undang kedua Negara
Pihak (Pasal 43 konvensi UNCAC 2003).
Kerjasama Internasional (International Cooperation) dalam memerangi
kejahatan korupsi yang semakin canggih, terorganisir, dan bersifat transnasional,
kerjasama antar negara menjadi pilihan utama. Ada tiga prinsip kerjasama yang
menguntungkan dan non intervensi. Ada lima bentuk kerjasama yang bisa
dilakukan yang diatur dalam konvensi UNCAC 2003 yaitu :63
1. Ekstradisi (Konvensi UNCAC 2003 Art. 44)
Tabel 2. Perjanjian-Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan
Beberapa Negara64
4. Indonesia -
Konvensi UNCAC 2003 menyebutkan bahwa ekstradisi adalah sebuah
proses formal di mana seorang tersangka kriminal dalam hal ini menyangkut
masalah tindak pidana korupsi yang ditahan oleh suatu pemerintah bisa
diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka
tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Konsensus
dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban
sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada
dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan
keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu
jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah
menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya. Perjanjian
ekstradisi ini pula ditekankan dalam konvensi UNCAC 2003.
a) Pasal ini berlaku bagi kejahatan-kejahatan menurut konvensi UNCAC
2003 ini jika orang yang diminta untuk diekstradisikan berada di
wilayah negara pihak yang diminta, dengan ketentuan bahwa
kejahatan yang menjadi dasar permintaan ekstradisi itu dapat dihukum
menurut hukum nasional negara pihak yang meminta dan negara
pihak yang diminta.65
b) Menyimpang dari ketentuan ayat 1, negara pihak yang hukumnya
membolehkan, dapat mengabulkan ekstradisi untuk kejahatan yang
diatur dalam Konvensi ini yang menurut hukum nasionalnya tidak
dapat dihukum.
c) Jika permintaan ekstradisi meliputi beberapa kejahatan yang terpisah,
dan sekurang-kurangnya satu dari kejahatan itu dapat diekstradisi
menurut pasal ini dan kejahatan lainnya tidak dapat diekstradisi
dengan karena alasan jangka waktu penghukumannya tetapi
65
Diakses dari,
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&u rl=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadData