• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teti Zubaidah *, Bulkis Kanata **, Niken Arumdati***

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Teti Zubaidah *, Bulkis Kanata **, Niken Arumdati***"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

* Teti Zubaidah, ST.,MT., Pengajar pada Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Mataram ** Bulkis Kanata, ST., MT., Pengajar pada Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Mataram *** Niken Arumdati, ST., Alumni Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Mataram

Sanggahan dan diskusi tentang tulisanini harus sudah diserahkan ke redaksi sebelum 30 September 2007

HASIL-HASIL AWAL PEMANTAUAN

KEBERADAAN ANOMALI GEOMAGNET EKSTREM DI PULAU LOMBOK:

PENENTUAN POLA VARIASI ANOMALI GEOMAGNET UNTUK PREDIKSI

TERJADINYA GEMPA TEKTONIK DI DAERAH PATAHAN

Preliminary Results of Monitoring

The Existence of Extreme Geomagnetic Anomaly In Lombok Island:

Determination of Geomagnetic Anomaly Variations to Predict Tectonic

Earthquakes Occurrence in The Subduction Zone

Teti Zubaidah*, Bulkis Kanata**, Niken Arumdati***

ABSTRAK

Sebuah penelitian lanjut untuk memprediksi terjadinya gempa tektonik secara sistematik di sepanjang zona patahan (subduction zone), yang bersesuaian dengan daerah yang memiliki pola anomali geomagnet ekstrem (nilai intensitas geomagnetik puncak sebesar 55.525,9 nT atau anomali geomagnet sebesar 11.194,24 nT) di pulau Lombok – NTB tengah dilaksanakan. Penelitian berjangka panjang yang merupakan kerjasama antara kelompok peneliti dari Jurusan Elektro FT Unram, dan komunitas peneliti kebumian pada institusi GeoForschungsZentrum (GFZ) Potsdam – Germany, serta Laboratorium Fisika Bumi – Departemen Fisika – Institut Teknologi Bandung, akan menerapkan dua metode geofisika (geomagnet dan geolistrik) secara terpadu untuk memperoleh tingkat akselerasi pertambahan nilai anomali geomagnetik, serta gambaran karakteristik fisis dan geologis tanah/batuan daerah tersebut, berikut kencenderungan pergerakan struktur lapisan tanah bawah permukaan. Hal ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya gempa tektonik, sehingga upaya pemberian peringatan dini (early warning system) dapat dilakukan serta akibat-akibat fatal yang ditimbulkan dapat diminimalisir.

Makalah ini akan menguraikan hasil-hasil sementara yang telah dicapai dalam penelitian tersebut, khususnya penerapan metode geomagnetik, berupa pola gradien horizontal, variasi harian (diurnal variation), dan anomali setempat pada titik-titik yang hendak dijadikan acuan (Base Station) dalam pengukuran geomagnetik berikutnya. Kesimpulan sementara yang dapat dihasilkan berupa pemilihan Titik BS-1 sebagai titik Base Station terbaik (berdasarkan kriteria gradien magnetik horizontal minimum), serta rekomendasi penempatan sensor pada ketinggian yang lebih tinggi. Selain itu didapatkan pula dugaan pola umum anomali geomagnetik pulau Lombok, yakni anomali rendah di bagian Utara, anomali tinggi (maksimum) di bagian tengah, dan kembali rendah bahkan mencapai nilai negatif di bagian Selatan. Hasil ini bersesuaian dengan kondisi geologis yang dihipotesakan dalam penelitian ini.

Kata-kata kunci: Anomali geomagnetik, variasi harian, gradien magnetik, base station

ABSTRACT

An advance research to predict tectonic earthquake events systematically along the subduction zones, which coincides with the extremely high geomagnetic anomaly zones (with the maximum geomagnetic intensity value of 55,525.9 nT or the geomagnetic anomaly value of 11,194.24 nT) in Lombok Island, is being conducted. This research is a joint cooperation between researcher team from Electrical Engineering Department of Mataram University, geophysical research community at GeoForschungsZentrum (GFZ) Potsdam – Germany, and Geophysical

(2)

Laboratory of Technology Institute of Bandung. Two geophysical methodologies (i.e. Geomagnetic and Geo-electric) will be applied, to get the acceleration of the growth of geomagnetic anomaly value, the physical – geological characteristics of the soil and the rock, and the trend of subsurface structure movement. These can be used to predict tectonic earthquake event, furthermore to give the early warning system and to minimize the fatal risk of natural hazards.

This paper will report the preliminary results of that research, especially geomagnetic method, including horizontal gradient pattern, diurnal variation, and local anomaly on the alternative Base Station points that will be used in the further geomagnetic measurements. At this moment we can conclude that BS-1 is the best Base Station to be chosen (based on minimum magnetic horizontal gradient criteria). We also recommend of placing the sensor as high as possible. Another result is a supposing of general geomagnetic anomaly pattern in Lombok Island, i.e. low anomaly in the North, high (maximum) anomaly in the middle, also low anomaly and supposed that will be more decreased in the Southerners areas. These results are well matched with the hypothetically geological condition that being used in this research.

Key words: Geomagnetic Anomaly, Diurnal variation, Magnetic gradient, Base Station

PENDAHULUAN

Peningkatan intensitas terjadinya gempa bumi tektonik di Indonesia dalam satu dekade ini, menuntut upaya nyata ke arah penerapan metode ilmiah yang tepat untuk

memprediksi gempa tektonik secara

sistematik. Daerah yang paling rawan terjadi gempa tektonik adalah sepanjang zona patahan/ subduction zone (Petersen et al., 2007) sebagaimana dalam Gambar 1, yang bersesuaian dengan daerah yang memiliki pola anomali geomagnet tinggi hasil rekaman satelit CHAMP, 9 Agustus 2000 – 25 April 2005 (Maus et al., 2006) pada Gambar 2.

Gambar 1.Daerah rawan gempa tektonik sepanjang zona patahan/Subduction zone di

Indonesia (Petersen et al., 2007)

Spektrum warna dalam Gambar 2 tersebut menunjukkan tinggi rendahnya anomali geomagnetik yang diakibatkan oleh struktur lapisan tanah dan bebatuan pada kerak bumi, yang terekam dalam data satelit CHAMP pada ketinggian 50 km di atas permukaan bumi. Anomali geomagnet di pulau Lombok ditunjukkan dengan warna biru pekat,

merupakan salah satu daerah dengan

intensitas tertinggi (berkisar –150nT).

Gambar 2. Peta anomali geomagnetik wilayah Asia Tenggara: hasil pengamatan Satelit CHAMP

periode 9 Agustus 2000 – 25 April 2005 (Maus et al., 2006)

(3)

Keberadaan anomali geomagnet ekstrem di pulau Lombok - NTB yang terlihat sangat jelas dalam peta tersebut, secara nyata telah diketemukan pula dalam riset-riset pendahuluan yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari Jurusan Elektro Fakultas Teknik Unram (Zubaidah et al., 2005a; Zubaidah et al., 2005b; Zubaidah et al., 2005c), sebagaimana diperlihatkan dalam peta isogam pada Gambar 3. Gambar 4 merupakan tampilan kontur anomali geomagnetik dalam bentuk 3D. Kedua gambar tersebut diolah berdasarkan data yang dihasilkan melalui pengukuran pada 59 titik sampel dalam wilayah sigian seluas 25 x 30 km2. Keduanya menunjukkan nilai intensitas geomagnetik puncak sebesar 55.525,9 nT (anomali geomagnet sebesar 11.194,24 nT), suatu besaran yang tidak wajar, mengingat harga geomagnetik teoritis (IGRF) untuk daerah ini hanya berkisar 45.000 nT (Langlais dan Mandea, 2000).

400000 405000 410000 415000 9035000 9040000 9045000 9050000 9055000 9060000 400000 405000 410000 415000 9035000 9040000 9045000 9050000 9055000 9060000 400000 405000 410000 415000 9035000 9040000 9045000 9050000 9055000 9060000 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 5500 6000 6500 7000 7500 8000 8500 9000 9500 10000 10500 11000 11500 12000

Gambar 3.Peta anomali geomagnetik pulau Lombok wilayah Mataram dan sekitarnya dalam 2D

(Zubaidah et al., 2005a; Zubaidah et al., 2005b; Zubaidah et al., 2005c)

Gambar 4.Peta anomali geomagnetik pulau Lombok wilayah Mataram dan sekitarnya dalam 3D.

Dalam penelitian ini akan dilakukan

pemantauan keberadaan anomali

geomagnetik secara rutin dan kontinyu di wilayah tersebut (serta perluasannya kearah selatan), sehingga tingkat akselerasi pertambahan nilai anomali geomagnetik daerah tersebut dapat ditentukan. Hal ini

nantinya dapat dimanfaatkan untuk

memprediksi kemungkinan terjadinya gempa

tektonik, sehingga upaya pemberian

peringatan dini (early warning system) dapat dilakukan serta akibat-akibat yang fatal dapat diminimalisir. Penelitian-penelitian dengan metode serupa terbukti dapat memprediksikan beberapa kejadian gempa tektonik besar, antara lain di Loma Prieta-California tahun 1989 dan 1997, pulau kreta Yunani tahun

1991, Kamchatka-Rusia tahun 1996,

Kagoshima-Jepang tahun 1997, dan tahun 2002 berturut-turut di JiJi-Cina, Italia serta Taiwan (Hayakawa, 2002).

TINJAUAN PUSTAKA

Terdapat beberapa hasil penelitian penting dengan metode pengamatan ground-based yang mendukung ide bahwa bumi dapat membangkitkan sinyal anomali elektrik maupun magnetik sebelum terjadinya gempa bumi. Penelitian yang paling penting telah dilakukan oleh Fraser-Smith et al. (1990)

yang, secara hampir tidak sengaja,

mendeteksi perubahan ekstrem medan

magnet bumi frekuensi sangat rendah (ULF) di dekat epicentrum gempa bumi dengan magnitude 7,1 skala Richter di Loma Prieta – California pada tanggal 17 Oktober 1989. Kenaikan amplitude sinyal ULF (frekuensi 0,5 – 2,010 Hz) mulai terdeteksi sekitar satu bulan sebelum terjadinya gempa bumi melalui alat yang ditempatkan di Corralitos (7 km dari epicentrum). Sekitar dua pekan sebelum kejadian gempa bumi, noise yang terdeteksi

semakin kuat. Akhirnya beberapa jam

sebelum gempa bumi, terjadi kenaikan tajam pada sinyal yang terdeteksi dengan frekuensi 0,01 – 0,5 Hz, yang meningkat secara kontinyu sampai waktu terjadinya gempa bumi (dan hilangnya catu daya pada alat). Dalam hal ini gangguan Atmospheric bukan menjadi penyebab timbulnya noise, dan tampak jelas bahwa sinyal yang terdeteksi tersebut benar-benar berasal dari perubahan medan magnet bumi setempat.

(4)

Sinyal anomali magnetik sebagai penanda gempa bumi dari hasil pemantauan dengan metode pengamatan satellite-based telah dilaporkan pula dalam beberapa literatur, sebagaimana dua buah studi penting berikut. Studi pertama dilakukan oleh Rusia pada kejadian gempa bumi tanggal 19 Maret 1979, yang melaporkan bahwa satelit Intercosmos-19 telah mendeteksi perubahan sinyal ELF dan VLF di ionosphere dengan frekuensi 800 Hz dan 4650 Hz dari 8 jam sebelum sampai dengan 3 jam sesudah kejadian gempa bumi (Larkina et al., 1989). Sinyal anomali dengan amplitudo tinggi tersebut terdeteksi antara lintang 2° dan bujur 60° dari titik epicentrum gempa bumi. Studi kedua dilaporkan oleh Serebryakova et al. (1992), yang menganalisa sinyal ELF/VLF yang teramati oleh satelit COSMOS-1809 sesudah kejadian gempa bumi tahun 1988 di Armenia. Radiasi noise pada frekuensi dibawah 450 Hz teramati secara kontinyu selama 12 dari 13 phase orbital sekitar lintang 6° dari epicentrum. Radiasi tersebut teramati sampai beberapa jam sebelum terjadinya gempa susulan di dekat epicentrum gempa utama.

Selain dari itu, Uyeda et al. (2004) melaporkan bahwa IFREQ (International Frontier Research Project on Earthquakes)

telah berhasil membuktikan dapat

digunakannya variasi sinyal geomagnetik ULF sebagai penanda kejadian gempa bumi. Berbagai riset seismo-electromagnetic lain juga tengah berlangsung, seperti halnya yang dilaksanakan oleh the Research Center for Earthquake Prediction Disaster Prevention Research Institute di Kyoto University Jepang (http://www.rcep.dpri.kyoto-u.ac.jp/).

METODE PENELITIAN

Untuk dapat mengamati perubahan nilai geomagnetik secara rutin dan kontinyu, terlebih dahulu harus ditetapkan titik yang akan dijadikan acuan pengukuran (Base Station). Data geomagnetik yang dihasilkan di Base Station ini nantinya berfungsi sebagai data koreksi harian (diurnal variation) terhadap nilai-nilai geomagnetik yang terukur pada titik-titik sampel. Penetapan lokasi Base Station yang tepat merupakan suatu keharusan, dengan mengacu pada standar IAGA, yang mempersyaratkan gradien magnetik horizontal kurang dari 3 nT/m.

Berdasarkan pola anomali pada

Gambar 3 dan Gambar 4, diprediksikan bahwa wilayah selatan pulau Lombok memiliki nilai anomali yang semakin rendah, bahkan mungkin negatif. Daerah perbatasan antara nilai anomali positif dan negatif inilah yang selanjutnya akan ditelusuri, sebagai daerah

patahan yang berpotensi memunculkan

gempa bumi.

Untuk itu diambil 3 (tiga) buah lokasi alternatif Base Station (BS-1, BS-2 dan BS-3), yang terletak di sebelah selatan daerah pengukuran RSD 2005 (yang ditandai dengan kotak kuning), tepatnya di daerah Sekotong Lombok Barat, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Lokasi titik pengukuran acuan di wilayah Sekotong Lombok Barat (BS-1, BS-2, BS-3)

Lokasi tersebut dipilih berdasarkan kriteria utama sebagai daerah yang bebas noise (cukup jauh dari permukiman penduduk, saluran transmisi listrik, bandara, dan sumber-sumber induksi magnetik lainnya), sehingga hasil pengukuran dapat dijadikan acuan untuk pengukuran berikutnya di lokasi-lokasi lain. Selain dari itu perlu juga mempertimbangkan elevasi (berkaitan dengan kemungkinan Tsunami) dan kemudahan akses. Kondisi topografis ketiga titik tersebut sebagaimana dalam Gambar 6.

Gambar 6. Kondisi topografis titik pengukuran acuan

(5)

Sebelum pengukuran dilaksanakan, pada setiap titik dibuat Grid pengukuran sebagaimana Gambar 7, yakni 10 x 10 m2, dengan spasi 1 x 1 m2, sehingga terdapat 121 titik pengukuran. Titik (0,0) dijadikan Base Station relatif, dengan sumbu-x mengarah ke Timur dan sumbu-y mengarah ke Utara.

Gambar 7.Grid pengukuran 10 x 10 m2 spasi 1 x 1 m2

Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan alat Proton Magnetometer G-856 (Geometrics), dengan akurasi 0,1 nT, sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 8. Pengukuran di lapangan masih bersifat semi manual, karena data-data harus terlebih dahulu dicatat dengan tangan, dan selanjutnya diinput secara manual ke dalam komputer untuk dapat diolah lebih lanjut. Dengan demikian diperlukan setidaknya 4 (empat) orang untuk dapat melakukan pengukuran dengan alat tersebut, sebagaimana tampak pada Gambar 9.

Gambar 8. Alat ukur yang digunakan: Proton Magnetometer G-856 (Geometrics)

Gambar 9. Pelaksanaan pengukuran geomagnetik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran pada ketiga lokasi

tersebut telah dilakukan berturut-turut pada tanggal 12-14 Agustus 2006, masing-masing dalam dua kali pengambilan data (pada pagi dan sore hari, dengan ketinggian sensor yang

berbeda). Hal ini dilakukan untuk

mengantisipasi variasi harian selama

berlangsungnya pengukuran, serta untuk melihat pengaruh ketinggian sensor terhadap hasil pengukuran. Hasil-hasil pengukuran yang telah diolah dituangkan dalam bentuk plot gradien horizontal (relative terhadap Titik (5,5)), disertai dengan nilai variasi harian yang terukur pada Titik (0,0) sepanjang waktu

pelaksanaan pengukuran, sebagaimana

terdapat dalam Gambar 10, Gambar 11 dan Gambar 12.

Selanjutnya harga anomali setempat juga perlu dihitung, untuk dapat mengetahui kelayakan lokasi tersebut sebagai Base Station. Dengan memperhatikan besarnya variasi harian pada saat pengukuran, maka

untuk menghitung anomali setempat

dipergunakan data yang memiliki variasi harian minimum, yakni data BS-1 dan BS-2 yang diambil pada waktu sore hari, dan data BS-3 yang diambil pada pagi hari. Hasil plot anomali setempat pada ketiga lokasi tersebut, baik dalam 2D maupun 3D sebagaimana diperlihatkan berturut-turut dalam Gambar 13 sampai dengan Gambar 18.

(6)

Gambar 10. Plot gradien magnetik horizontal di titik BS-1

Gambar 11. Plot gradien magnetik horizontal di titik BS-2

Gambar 12, Plot gradien magnetik horizontal di titik BS-3

Gambar 13. Anomali geomagnetik titik BS-1 dalam 2D

Gambar 14. Anomali geomagnetik titik BS-2 dalam 2D

Gambar 15. Anomali geomagnetik titik BS-3 dalam 2D

(7)

Gambar 16. Anomali geomagnetik titik BS-1 dalam 3D

Gambar 17. Anomali geomagnetik titik BS-2 dalam 3D

Gambar 18. Anomali geomagnetik titik BS-3 dalam 3D

Berdasarkan hasil-hasil pengukuran

dapat disimpulkan bahwa Titik BS-1

merupakan titik yang paling layak dipilih sebagai Base Station. Selain dari itu, karena

pengukuran yang dilakukan dengan

meletakkan sensor pada ketinggian 1,8 m selalu memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan ketinggian 0,6 m, maka

untuk pengukuran berikutnya

direkomendasikan peletakan sensor pada ketinggian yang lebih tinggi, berkaitan dengan upaya minimalisasi pengaruh gradien lokal.

Selanjutnya untuk lebih memperjelas besarnya harga anomali yang diperoleh dalam setiap titik BS relatif terhadap titik BS lainnya, dibuat pula peta isogam gabungan baik dalam 2D maupun 3D, sebagaimana Gambar 19 dan Gambar 20. Dalam peta tersebut terlihat jelas bahwa Titik BS-1 dan BS-2 yang terletak di sebelah Utara cenderung memiliki harga anomali yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan Titik BS-3 yang terletak di sebelah Selatan (bahkan mempunyai harga anomali negatif). Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan hipotesa yang telah diberikan.

Gambar 19. Anomali geomagnetik gabungan Titik BS-1, BS-2 dan BS-3 dalam 2D

Gambar 20. Anomali geomagnetik gabungan titik BS-1, BS-2 dan BS-3 dalam 3D

(8)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Titik BS-1 merupakan titik yang paling layak untuk dipilih sebagai Base Station pada

pengukuran geomagnetik berikutnya,

berdasarkan kriteria gradien magnetik horizontal yang paling minimum.

Titik BS-1 dan BS-2 yang terletak di sebelah Utara cenderung memberikan harga anomali yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan Titik BS-3 yang terletak di sebelah Selatan. Titik BS-3 bahkan mempunyai harga anomali negatif. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan hipotesa yang telah diberikan.

Saran

Pengukuran yang dilakukan dengan meletakkan sensor pada ketinggian 1,8 m memberikan hasil yang selalu lebih baik jika dibandingkan dengan ketinggian 0,6 m. Pada

pelaksanaan pengukuran berikutnya

direkomendasikan untuk meletakkan sensor pada ketinggian yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Fraser-Smith, A.C.; Bernardi A., McGill, P.R.; Ladd, M.E.; Helliwell, R.A.; Villard, Jr. O.G. (1990): Low-frequency magnetic field measurements near the epicenter of the Ms 7.1 Loma Prieta earthquake, Geophys. Res. Lett., 17, pp. 1465-1468.

Hayakawa,M.; Molchanov,O.A. (2002): Seismo Electromagnetics: Lithosphere Atmosphere Ionosphere Coupling, TERRAPUB, Tokyo, Japan.

Langlais, B.; Mandea, M. (2000): An IGRF candidate main geomagnetic field model for epoch 2000 and a secular variation model for 2000-2005, Earth Planets Space, 52, pp. 1137-1148.

Larkina, V.I., Migulin, V.V., Molchanov, O.A., Kharkov, I.P., Inchin, A.S., Schvetcova, V.B. (1989): Some statistical results on very low frequency radio wave emissions in the upper iohosphere over earthquake zones, Phys. Earth Planet.. Inter, 57, pp. 100–109.

Maus, S., Rother, M., Hemant, K., Stolle, C., Lühr, H., Kuvshinov, A., Olsen, N. (2006): Earth's lithospheric magnetic field determined to spherical harmonic degree 90 from CHAMP satellite measurements, Geophysical Journal International, 164, 2, pp. 319-330.

Petersen, M., Harmsen, S., Mueller, C., Haller, K., Dewey, J., Luco, N., Crone, A.,

Lidke, A., Rukstales, K. (2007):

Documentation for the Southeast Asia Seismic Hazard Maps, Administrative Report September 30, 2007, U.S. Department of the Interior U.S. Geological Survey.

Serebryakova, O.N., Bilichenko, S.V., Chmyrev, V.M., Parrot, M., Rauch, J.L., Lefeuvre, F., Pokhotelov, O.A. (1992): Electromagnetic ELF radiation from earthquake regions as observed by low‐altitude satellites, Geophys. Res. Lett., 19(2), pp. 91–94.

Uyeda, S.; Nagao, T.; Tanaka, H. (2004): A Report from the RIKEN International Frontier Research Project on Earthquakes (IFREQ) TAO, 15, 3, pp. 269-310.

Zubaidah, T.; Kanata, B.; Utama, W.;

Arumdati, N. (2005a): Pengembangan

Metodologi Elektromagnetik dan Aplikasinya untuk Evaluasi Sumber Anomali Magnetik Bumi: Kajian Tentang Potensi Sumber Daya Alam di Kota Mataram Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat, Laporan penelitian, PRSD MIPA tahun 2005, Jurusan Elektro FT-UNRAM.

Zubaidah, T.; Kanata, B.; Utama, W.; Warnana, D.D.; Arumdati, N.; (2005b): Evaluasi Hasil Pengukuran Anomali Geomagnet di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat dan Analisis Hubungannya dengan Anomali Gravitasi serta Tafsiran Geologis Lokal, Seminar Bahan Magnet-IV, Fakultas MIPA Universitas Diponegoro, Semarang.

Zubaidah, T.; Kanata, B.; Utama, W.; Arumdati, N. (2005c): Penelusuran Sumber Anomali Medan Magnet Bumi di kota Mataram, pulau Lombok, provinsi NTB, Jurnal Rekayasa, Fakultas Teknik Universitas Mataram, Mataram.

Gambar

Gambar 1. Daerah rawan gempa tektonik  sepanjang zona patahan/Subduction zone di
Gambar 3. Peta anomali geomagnetik pulau  Lombok wilayah Mataram dan sekitarnya dalam 2D
Gambar 6. Kondisi topografis titik pengukuran  acuan
Gambar 7. Grid pengukuran 10 x 10 m 2  spasi   1 x 1 m 2
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) migran di urban fringe area Kota Singraja didominasi oleh penduduk usia produktif dari usia 18 tahun sampai 49 tahun

EP 3 Staf diberikan pelatihan dalam pelaksanaan kebijakan dan prosedur serta peran mereka dalam mendukung partisipasi pasien dan keluarganya dalam

Abstrak: Pemurnian awal enzim selulase yang berasal dari isolat KB kompos termofilik Desa Bayat Klaten menggunakan fraksinasi amonium sulfat perlu dilakukan agar

Para pengambil kebijakan pangan di setiap negara membangun cadangan pangan nasional dengan mempertimbangkan beberapa tujuan, yaitu : (1) untuk mengkoreksi kegagalan pasar

Tafsir al-Jaila>ni Tahqiq Fad}il Jailani al-H}asani al-Taila>ni..

Dengan melakukan sensitifiti frekuensi maka kita juga dapat mensensitiviti laju produksi sumur tersebut, dari hal tersebut kita dapat menentukan laju produksi

Jika diperlukan untuk pelayanan berkelanjutan maka sal i nan resume medis juga diberikan kepada praktisi kesehatan yang akan bertanggung jawab atas pelayanan

Keragaman karakter morfologis sifat kuantitatif ganyong merah dan ganyong putih rendah (<10%), yaitu pada umur berbunga, panjang daun, lebar daun, panjang tangkai daun, dan