• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III OBJEK KAJIAN. pada tahun 80 Hijriyah (659) menurut pendapat yang pertama. 52 Imam Hanafi. Fiqih di Iraq dan pendiri madrasah Ahli al-ra yi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III OBJEK KAJIAN. pada tahun 80 Hijriyah (659) menurut pendapat yang pertama. 52 Imam Hanafi. Fiqih di Iraq dan pendiri madrasah Ahli al-ra yi."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III OBJEK KAJIAN

A.Biografi Imam Hanafi

1. Tahun kelahiran Imam Hanafi

Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah bersamaan (650 Masehi). Sebagian ahli sejarah mengatakan, bahwa ia dilahirkan pada tahun 61 Hijriyah. Pendapat ini kurang mendasar, karena yang sebenarnya ialah

pada tahun 80 Hijriyah (659) menurut pendapat yang pertama.52 Imam Hanafi

ialah Imam yang pertama lahir dan lebih dahulu dari pada Imam Madzhab Empat yang lainnya. Beliau terkenal sebagai seorang yang ahli dalam Ilmu

Fiqih di Iraq dan pendiri madrasah Ahli al-Ra’yi.53

2. Nasab Imam Hanafi

Nama asli Imam Hanafi adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Ma’ah bin Muli Taimullah dan sampai kepada Ta’labah. Ada pula yang berpendapat yang mengatakan keturunan dari Bangsa Persia. Sebagai buktinya keturunan beliau adalah sebagai berikut :

An-Nu’man, Tsabit, Nu’man, al-Marzuban. al-Marzuban adalah perkataan persi yang berarti ketua kaum persi (merdeka).

3. Imam Hanafi menuntut ilmu

Imam Hanafi dikala belajar kepada Imam Amir bin Syarahil asy-Syu’by, Guru ini setelah melihat dan memperhatikan keadaan pribadi beliau dan kecerdasan akalnya, lalu menasehati supaya rajin belajar Ilmu

52Ahmad asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Terj. Sabil Huda

dan A. Ahmadi, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 1991), Cet. 1, hlm. 14.

53Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah: Kajian Fiqih atas Masalah-Masalah

Kontemporer, (Kudus : Nora Media Enterprise, 2011), Cet. 1, hlm. 37.

(2)

pengetahuan, dan supaya mengambil tempat belajar yang tertentu (khusus) di majlis-majlis para Ulama’, para cendekiawan yang kenamaan dikala itu.

Nasehat yang baik oleh beliau diterima dan diperhatikan sungguh-sungguh, lalu dimasukkan kesanubarinya, dan selanjutnya beliau mengerjakan benar-benar. Yakni sejak waktu itulah beliau rajin belajar dan giat menuntut pengetahuan yang bertalian dengan keagamaan dengan seluas-luasnya.

Mula-mula Imam Hanafi mempelajari Ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan hukum-hukum keagamaan, lalu pindah ganti mempelajari pengetahuan yang bertalian dengan soal kepercayaan (ketuhanan) atau yang biasa disebut Ilmu Kalam dengan sedalam-dalamnya. Yang selanjutnya beliau kerap kali sangat rajin membahas atau membicarakannya, sehingga dimana-mana beliau sering bertukar pikiran atau berdebat tentang ketuhanan, baik dari pihak kawan maupun dari pihak

lawan.54

4. Guru-guru Imam Hanafi

Imam Hanafi terkenal sebagai seorang yang alim dibidang Ilmu

Fiqih dan Tauhid. Menurut sebagian ahli sejarah bahwa beliau mempelajari

IlmuFiqih dari Ibrahim, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan

Abdullah bin Abbas.

Di antara guru-gurunya ialah Hamad bin Abu Sulaiman al-Asy’ari. Beliau banyak sekali memberi pelajaran kepadanya. Imam Hanafi telah mendapat kelebihan dalam Ilmu Fiqih dan juga Tauhid dari gurunya.

54 Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i,

(3)

Imam Hanafi juga belajar kepada Hasan Bashri di Bashrah, Atha’ bin Rabbah di Makkah, Sulaiman dan Salim di Madinah. Dengan demikian Imam Hanafi banyak guru pada masa itu.

Imam Hanafi mempunyai kelebihan dalam Ilmu Fiqih antara lain:

1. Sangat rasional, mementingkan Mashlahat dan manfa’at

2. Lebih mudah dipahami dari pada Madzhab yang lain

3. Lebih liberal sikapnya terhadap dzimiz (warga Negara yang non

muslim).55

Setelah Hamad bin Abu Sulaiman al-Asy’ari meninggal dunia, beliau menggantikan gurunya untuk mengajar Ilmu Fiqih. Nama beliau terkenal keseluruh negeri pada masa itu. Pelajaran Ilmu Tajwid juga beliau

pelajarinya dari Idris bin Asir seorang yang alim dalam Ilmu Tajwid. Beliau

amat berpengaruh kepada gurunya Ibrahim an-Nukha’i.56

Sepeninggal gurunya ia pernah mengajar sebagai gantinya, banyak pertanyaan-pertanyaan yang telah dikemukakan kepadanya. Ia telah menjawabnya semua pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika gurunya pulang

dari musafir ia meminta gurunya supaya memeriksa jawaban-jawaban yang

telah dijawabnya. Gurunya hanya menyetujui 40 dari 60 jawaban saja, dari jawaban yang telah diberikan. Sejak itu dia berjanji tidak akan berpisah dengan gurunya sampai akhir hayat.

Setelah gurunya meninggal dunia, ia menggantikan kedudukan gurunya, maka banyaklah para murid-murid gurunya yang datang belajar kepadanya.

55 A. Djazuli, Ilmu Fiqih : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,

Edisi Revisi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), Cet. 7, hlm. 127.

(4)

5. Murid-murid Imam Hanafi

Di antara murid Imam Hanafi yang terkenal ialah Abu Yusuf Ya’qub al-Anshari, dengan pengarahan dan bimbingan dari gurunya ia terkenal

sebagai seorang yang alim dalam Ilmu Fiqih dan diangkat sebagai Qadli

semasa Khalifah al-Mahdi dan al-Hadi. Dan juga al-Rasyid pada masa

pemerintahan abbasiyyah.

Di antara muridnya yang lain ialah al-Hazail, mereka tidak banyak mengarang buku, beliau banyak memberikan pelajaran dengan cara lisan saja. Begitu jua al-Hasan bin Zaid al-Lu’lu, mereka juga termasuk

muridnya yang menjadi Qadli kota Kufah, antara lain kitab karangannya yaitu

al-Khisal, Ma’ani al-Imam, an-Nafaqat, al-Kharaj, al-Fara’idh, al-Washaya, al-Amani.57

6. Karakteristik metode Istinbath al-Hukmi Imam Hanafi

Dalam pendapatnya, Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang dijadikan dalam menetapkan suatu

hukum adalah sebagai berikut.58

1. Al-Kitab (al-Qur’an) 2. Al-Sunnah 3. Al-Aqwalus shahabah 4. Al-Qiyas 5. Al-Istihsan 6. Al-‘Urf. 57Ibid, hlm. 18.

58 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011),

(5)

Menurut Imam Hanafi, bahwa Ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu ijtihad dengan Nash (al-Ijtihad bi an-Nusus) dan ijtihad dengan ghairu an-Nas (al-Ijtihad bi ghair an-Nusus). Ijtihad dengan Nash, pertama ia melihat Nash al-Qur’an, sebagai sumber tertinggi. Jika tidak menemukan, maka menengok ke al-Sunnah Nabi SAW. Tentang al-Sunnah ini ia lebih memilih ber-Istidlal dengan al-Qiyas dari pada Hadits ahad. Jika tidak menemukan

dalam al-Sunnah, maka mencari qaul sahabat. Jika ternyata banyak qaul yang

berbeda-beda maka memilih salah satunya dan meninggalkan yang lain. Jika

pencarian ini sudah sampai generasi tabi’in, seperti Ibrahim an-Nakha’i,

as-Sya’bi, Ibnu Sirin, Hasan Atha’, dan Sa’id Ibnu al-Musayyab. Maka ia ber-Ijtihad sendiri sebagaimana mereka juga ber-Ijtihad. Alasannya adalah karena

mereka masih segenerasi.59

Adapun ijtihad dengan selain Nash, pertama ia menggunakan

al-Qiyas setelah tidak menemukan qaul sahabat tadi. Jika dengan al-Qiyas

justru bertentangan dengan Nash al-Iijma’ dan maslahat (maqasid) maka

menggunakan al-Istihsan. Tentang Istidlal dengan al-Istihsan, ia terkenal

paling professional dan sering menerapkannya dibanding dengan para Ulama’

lain pada masanya, terutama Ulama’ hijaz. Jika dengan al-Istihsan juga masih

menemukan kebuntuhan, maka menggunakan dalil al-Ijma’. Menurutnya,

bahwa al-Ijma’ dapat terjadi dalam masa sesudah sahabat. Jika tidak

menemukan dalil al-Ijma’, maka ia menggunakan dalil al-‘Urf salih (sahih),

yaitu yang tidak bertentangan dengan Nash dan maqasid. Dalam ber-Istidlal

dengan al-‘Urf ini Abu Hanifah termasuk yang paling banyak

59 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqih Pesantren, (Jakarta : Kencana Prenada Media

(6)

menerapkannya, khususnya dalam lapangan aqdat-tijarah atau mu’amalah madiyyah secara umum. Dan dialah yang pertama kali merumuskan konsep

akad dalam fiqih mu’amalah, sejalan dengan profesinya sebagai saudagar.

7. Pandangan Ulama’ Hanafiyah tentang al-Istihsan

Beberapa ta’rif al-Istihsan yang dikemukakan oleh Ulama’

Hanafiyah ialah

Ulama’ Hanafiyah memberikan ta’rif, al-Istihsan ialah al-Qiyas

yang wajib diamalkan karena intensitas illat-nya yang lebih kuat. Illat yang

intensitas-nya lebih kuat mereka namakan al-Istihsan. Sedangkan illat yang

lemah pengaruhnya mereka namakan al-Qiyas. Dengan demikian al-Istihsan

adalah salah satu dari dua macam al-Qiyas yang diamalkan karena intensitas

dan illat-nya lebih kuat sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

mereka didalam memilih yang lebih kuat.60

Al-Istihsan ialah perpindahan dari hukum (yang berlaku) dalam suatu masalah tertentu yang sebanding hukumnya pada hukum lain yang lebih kuat.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa karena ada dalil

yang menuntut kepindahan, al-Istihsan dengan berbagai macamnya adalah

perpindahan dari kaidah umum, Nash umum, atau illat al-Qiyas, atau asal

yang dijadikan Istinbath. Dalil yang dimaksud biasa berupa al-Qiyas khafi,

Nash, al-Ijma’, darurat, atau kaidah raf al-haraj.

60 Abuddin Nata, Masa’il al-Fiqhiyah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012),

(7)

B.Biografi Imam Maliki

1. Nasab dan kelahiran Imam Maliki

Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Abu Amir bin Harits al-Anshari, dan diberi gelar Abu Abdillah. Lahir di Madinah tahun 93 H (712 M) Ibunya bernama Aliyah binti Syuraik. Menurut riwayat ia dikandung ibunya dua tahun lamanya. Sejak kecil ia sudah Nampak kecerdasan fikirannya. Sangat rajin membaca al-Qur’an dengan fasih dan lancar, sampai

diluar kepala.61

Imam Maliki menjadi orang yang alim dan budiman. Suka menolong orang miskin, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, dan bertindak tegas dalam kebenaran. Ia seorang pendiam, tidak suka omong kosong, tidak pernah membicarakan keadaan orang lain. Perawakannya besar, tinggi, berkulit tinggi kesawo matangan, rambutnya memutih, kumis dan jenggotnya tidak dicukur. Ia menyukai baju Aden yang bagus dan mahal harganya tetapi hidupnya sederhana. Berpenampilan necis dan berwibawa. Tidak menyukai baju yang kumal dan kotor. Ia suka memakai wangi-wangian. Ia mengatakan, para Alim Ulama’ hendaknya menghargai ilmunya dengan berpakaian yang baik dan pantas sesuai kedudukannya.

2. Imam Maliki menuntut Ilmu pada Syaikh-Syaikhnya (Gurunya)

Imam Maliki mula-mula belajar Ilmu Agama pada para Ulama’ Madinah. Di antara guru-gurunya yang terkenal adalah Imam Abdurrahman bin Harnaz. Imam Malik belajar agak lama dengannya dan pernah tinggal dirumahnya. Ia memperdalam Ilmu Fiqih pada Rabi’ah al-Ra’yi, guru besar

61 PWLP Ma’arif NU Jateng, Nahdlatul Ulama’: Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah,

(8)

Ahli Fiqih di Madinah. Ilmu Hadits dipelajarinya dari Ulama’-Ulama’ Hadits ketika itu, yaitu Imam Nafi’, Imam Syaibah al-Zuhri dan masih banyak lagi yang lainnya. Ia sangat akrab bergaul dengan para sahabat, tabi’in anshar dan

para cerdik pandai dalam ilmu keagamaan.62

3. Kecerdasan Imam Maliki

Kecerdasan Imam Maliki dapat kita ketahui melalui Ulama’ pada masanya, seperti pernyataan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa, “Beliau tidak pernah menjumpai seorangpun yang lebih alim dari pada Imam Malik. Bahkan Imam Laits bin Sa’ad pernah berkata bahwa pengetahuan Imam Malik adalah pengetahuan orang yang bertaqwa kepada Allah dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak mengambil

pengetahuannya.63

Imam Yahya bin Syu’bah berkata. “Pada masa itu tidak ada orang pun yang dapat menduduki kursi Mufti di Masjid Nabawi selain Imam Malik, karena kedalaman Ilmu Imam Malik tentang Agama atau seorang alim besar pada masanya, maka terkenallah beliau sebagai seorang ahli kota Madinah dan terkenal pula sebagai seorang Imam Negeri Hijaz”.

Demikian pernyataan-pernyataan tentang kepandaian Imam Malik, sehingga timbullah suatu pernyataan dari para Ulama’ terkemuka. “Tidak selayaknya seorang pun memberi Fatwa tentang urusan keagamaan selain Imam Malik masih berada di kota Madinah.

4. Murid-murid Imam Maliki dan sekaligus meyokong Madzhabnya.

Di antara murid-murid Imam Maliki antara lain :

62Ibid.

(9)

1) Abu Marwan Abdul Malik bin Abdil Aziz bin Abi Salamah al-Majisyum (Wafat 212 H).

2) Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim al-Quraisyi

(125-197 H).

3) Abu Abdillah Abdurrahman bin Qasim al-Utaqiy (Wafat 191 H).

4) Asyab bin Abdil Aziz al-Kuwaisyi (145-204 H).64

5. Kitab karangan Imam Maliki

Kitab karangan Imam Maliki yang sangat terkenal Di antaranya yaitu :

1. Al-Muwattha’

2. Al-Muhtashar al-Kabir

3. Al-Muhtashar Ausath

4. Al-Muhtashar al-Shaghir

5. Al-Majmu’ah dan masih banyak lagi yang lain.65

6. Karakteristik metode Istinbath al-Hukmi Imam Maliki

Dasar-dasar hukum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Malik dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kitab Allah (al-Qur’an).

2. Al-Sunnah yang beliau pandang sah.

3. Al-Ijma’ para Ulama’ Madinah, tetapi kadang-kadang beliau

menolak Hadits apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para Ulama’ Madinah.

64 LP Ma’arif Jateng, Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, (Semarang: CV Wicaksana, 1980),

hlm. 16.

(10)

4. Al-Qiyas.

5. Istishlah (Mashlahah al-Mursalah).66

Istishlah adalah mengekalkan apa yang telah ada karena

suatu hal yang belum diyakini. Adapun mashlahah al-Mursalah

ialah memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.

C.Biografi Imam Syafi’i

1. Nama Imam Syafi’i dan Nasabnya

Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Abu Abdillah al-Quraisyi as-Syafi’i al-Makkiy, keluarga Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Imam Syafi’i mendapat gelar Nashirul Hadits (pembela Hadits).

Beliau mendapat gelar ini karena dikenal sebagai pembela Hadits Rasulullah

SAW, dan komitmennya untuk mengakui al-Sunnah.67

Al-Muthalib adalah saudara Hasyim, yang merupakan ayah dari Abdul Muthalib, kakek Rasulullah SAW, dan Imam Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga.

2. Tempat dan kelahiran Imam Syafi’i

Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i dilahirkan dikota Ghazzah,

66 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Op. Cit, hlm. 54.

67 Muhammad bin Abdul Wahab al-Aqil, Manhaj Imam asy-Syafi’i: Fi Itsbath al-Aqidah,

(11)

pendapat lain mengatakan dikota Asqalan, ada juga yang mengatakan beliau

dilahirkan di Yaman.68

3. Pertumbuhan dalam mencari ilmu

Imam Syafi’i menuntut ilmu di Makkah sehingga beliau menjadi orang yang cakap. Sesungguhnya beliau mendapatkan kepercayaan untuk memberikan fatwa dan hukum-hukum dari gurunya Muslin bin Khalid az-Zanji, beliau tidak cepat merasa puas, bahkan beliau tetap belajar mempelajari ilmu-ilmu, kemudian beliau pindah ke Madinah. Di Madinah beliau belajar kepada Imam Malik, yaitu setelah beliau bersedia menemuinya

untuk mempelajari kitab al-Muwattha’. Imam Syafi’i dapat menghafal hampir

keseluruhannya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa beliau minta surat pengakuan dari gubernur Makkah untuk menemui Imam Malik. Ketika Imam Malik menemui Imam Syafi’i beliau berkata : Allah telah memasuki

cahaya (Nuur) kedalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan dengan

melakukan maksiat.

4. Para gurunya Imam Syafi’i

Imam Syafi’i mengambil banyak ilmu dari para ulama’ diberbagai tempat pada zamannya, Di antaranya di Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah,

Yaman, Syam, dan Mesir.69

Di antara guru-gurunya

1) Dari Makkah adalah :

a. Imam Sufyan bin Uyainah.

b. Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah.

68Ibid. 69 Ibid, hlm. 27.

(12)

c. Isma’il bin Abdullah bin Qisthinthin al-Muqri.

d. Muslim bin Khalid az-Zanji.

e. Sa’id bin Kuddah.

f. Daud bin Abdurrahman al-Aththar.

g. Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud.70

2) Dari Madinah adalah :

a. Malik bin Anas bin Abu Amir al-Ashbahi

b. Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi

c. Ibrahim bin Sa’ad bin Abdurrahman bin Auf

d. Muhammad bin Isma’il bin Abu Fudaik. Dan masih banyak lagi

selain mereka.

5. Murid dari Imam Syafi’i

Di antara murid-murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah :71

1) Al-Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar bin Kamil, Imam

al-Muhaddits al-Faqih al-Kabir Abu Muhammad al-Muradi al-Mishri al-Muadzdzin.

Ia adalah teman Imam Syafi’i yang mengambil ilmunya, Syaikh muadzdzin dimasjid fusthath dan seorang yang diminta para syaikh pada zamannya untuk membacanya atau menyampaikan ilmu. ar-Rabi’ lahir pada tahun 174 H.

2) Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Isma’il bin Amr bin Muslim

al-Muzani al-Mishri al-Imam al-Allamah, sangat paham tentang

70Abdurrohman Kasdi, Kontekstualisasi Hukum Islam: Studi Pemikiran Imam Syafi’i

dalam Qaul Qadim dan Qaul Jadid, (Yogyakarta: Idea Press, 2011), Cet. 1, hlm. 15.

(13)

agamanya para ahli zuhud, murid dari Imam Syafi’i, ia lahir pada tahun 175 H.

3) Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam bin A’yan

bin Laits al-Imam Syaikhul Islam Abu Abdillah al-Mishri al-Faqih,

lahir pada tahun 182 H.

4) Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Mishri al-Buwaithi. al-Imam

aL-Allamah pemimpin para Fuqaha’ Sahabat dari Imam Syafi’i yang mendampinginya dalam waktu yang lama sehingga ia menjadi murid dari Imam Syafi’i yang mengalahkan kawan-kawannya.

Al-Buwaithi adalah seorang Imam dalam ilmu teladan

dalam amal, seorang yang zuhud, rabbani, yang banyak bertahajjud,

selalu berdzikrullah dan ahli Fiqih.

6. Kitab-kitab karya Imam Syafi’i

Di antara Kitab karyanya Imam Syafi’i yang terkenal adalah :

1) Kitab al-Umm

Sebuah kitab tebal yang terdiri dari empat jilid dan berisi

seratus dua puluh delapan masalah. Di mulai dari kitab at-Thaharah

(masalah bersuci) kemudian kitab as-Shalat (masalah shalat). Begitu

seterusnya yang beliau susun berdasarkan bab-bab Fiqih. Kitab ini di

ringkas oleh Imam al-Muzani kemudian dicetak bersama al-Umm.

Sebagian ada yang menyangka, bahwa kitab ini bukanlah buah pena oleh Imam Syafi’i, melainkan karangan al-Buwaithi yang di susun oleh ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi.

(14)

a) Kitab Jima’i al-Ilmi, sebagai pembelaan terhadap as-Sunnah dan pengamalannya.

b) Kitab Ibthalu al-Istihsan, sebagai sanggahan terhadap para

Fuqaha’ (ahli fiqih) dari madzhab Hanafi.

c) Kitab Ikhtilaf al-Malik wa al- Syafi’i.

d) Kitab al-Radd Ala Muhammad bin al-Hasan (bantahan

terhadap Muhammad bin al-Hasan).72

e) Kitab khilaf al-Ali wa Ibnu Mas’ud.

f) Kitab Ikhtilaf al-Abi Hanifah wa Ibnu Abi Laila.

g) Kitab Siyar al-Auza’iy.

h) Kitab Ikhtilaf al-Hadits.73

i) Kitab al-Amla’.

j) Kitab al-Amali.

k) Harmalah (di diktekannya kepada muridnya Harmalah Ibnu

Yahya)

l) Muhtashar al-Muzani (di nisbahkan kepada Imam Syafi’i)

m) Muhtashar al-Buwaity (di nisbahkan kepada al-Buwaity).74

2) Kitab al-Risalah al-Jadidah

Di dalam kitab ini Imam Syafi’i berbicara tentang al-Qur’an dan penjelasannya, juga membahas tentang al-Sunnah

berikut kedudukannya dari al-Qur’an al-Karim. Beliau

mengemukakan bahwa banyak dalil mengenai keharusan ber-hujjah

72Ibid, hlm. 33.

73Muzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, hlm. 135.

74 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian

(15)

dan berargumentasi dengan al-Sunnah, beliau juga mengupas

masalah Nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,

menguraikan tentang illat (cacat) yang terdapat pada sebagian

al-Hadits dan alasan dari keharusan mengambil al-Hadits ahad sebagai

hujjah dan dasar hukum serta apa yang boleh diperselisihkan dan yang tidak boleh diperselisihkan didalamnya. Dan masih banyak lagi kitab-kitab Imam Syafi’i yang lain.

7. Karakteristik metode Istinbath al-Hukmi Imam Syafi’i

Imam Syafi’i terkenal sebagai seorang yang membela madzhab

Maliki dan mempertahankan madzhab Ulama’ Madinah hingga terkenallah

beliau dengan sebutan Nasyir al- Sunnah (Penyebar sunnah). Hal ini adalah

hasil mempertemukan antara Fiqih Madinah dengan Fiqih Iraq. as-Syafi’i

telah dapat mengumpulkan antara Thariqat ahlu al-Ra’yu dengan Thariqat

ahlu al-Hadits. Oleh karenanya, madzhab-nya tidak terlalu condong kepada ahlu al-Hadits.

Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i

sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya al-Risalah sebagai

berikut.75

1) Al-Qur’an, beliau mengambil dengan makna yang lahir kecuali jika

didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.

2) Al-Sunnah, beliau mengambil al-Sunnah tidaklah mewajibkan

mutawatir saja, tetapi Hadits ahad pun diambil dan dipergunakan

(16)

untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni

selama perawi Hadits orang kepercayaan, kuat ingatan, dan

bersambung langsung kepada Nabi Muhammad SAW.

3) Al-Ijma’, dalam arti bahwa para sahabat telah menyepakatinya. Disamping itu beliau berpendapat dan menyakini bahwa

kemungkinan al-Ijma’ dan persesuaian paham bagi segenap Ulama’

itu, tidak mungkin karena berjauhan tempat tinggal dan

berkomunikasi. Imam Syafi’i mendahulukan Hadits ahad dari pada

al-Ijma’ yang bersendikan ijtihad, kecuali jika ada keterangan bahwa al-Ijma’ itu bersendikan nash dan riwayatnya dari orang ramai sehingga sampai kepada Rasulullah SAW.

4) Al-Qiyas, Imam Syafi’i memakai al-Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di atas tidak tercantum dan dalam keadaan memaksa.

Hukum al-Qiyas yang terpaksa diadakan itu hanya mengenai

keduniaan atau muamalah karena segala sesuatu yang berkenaan

dengan ibadah telah cukup sempurna dari al-Qur’an dan al-Sunnah.

Untuk itu beliau dengan tegas berkata, “Tidak ada al-Qiyas dalam

hukum ibadah.” Beliau tidak terburu-buru menjatuhkan hukum

secara al-Qiyas sebelum lebih dalam menyelidiki tentang dapat atau

tidaknya hukum itu dipergunakan.

5) Al-Istishab, makna aslinya adalah menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Dua sumber utama yang diakui untuk ditarik

kesimpulannya ialah adat dan kebiasaan yang lazim di tanah Arab

(17)

kekuatan hukum. Begitu pula adat dan kebiasaan yang lazim dimana-mana, jika tidak bertentangan dengan jiwa al-Qur’an, juga diperbolehkan. Sebab, menurut pribahasa ahli hukum sudah terkenal, “Diizinkan sesuatu adalah prinsip asli, oleh karenanya apa yang tidak dinyatakan haram diizinkan.”. oleh karena itu, Imam Syafi’i

memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas kaidah-kaidah

agama Ahli Kitab yang terang-terangan tidak dihapus dalam

al-Qur’an. Beliau tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia. Seterusnya, beliau tidak mau mengambil hukum

dengan cara al-Istihsan. Imam Syafi’i berpendapat mengenai

al-Istihsan ini sebagai berikut, “Barang siapa menetapkan hukum dengan al-Istihsan berarti ia membuat syari’at tersendiri.”

8. Qaul Qadim dan Qaul Jadid

Imam Syafi’i adalah seorang yang pakar Hukum Islam, salah seorang yang tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan lingkungan tempat beliau menentukan hukum sehingga tidak segan-segan untuk mengubah penetapan yang semula ia lakukan untuk menggantikan dengan hukum yang baru, karena berubah keadaan lingkungan yang dihadapi.

Karena pendiriannya yang demikian itu, muncullah apa yang disebut

sebagai Qaul Qadim sebagai hasil Ijtihatnya yang pertama dan Qaul Jadid

sebagai pengubah keputusan hukum yang pertama.

Contoh mengenai Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi’i.

(18)

Qaul Qadim : air yang sedikit dan kurang dari dua kullah atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis, selama air itu tidak berubah.

Qaul Jadid : air yang sedikit dan kurang dari dua kullah atau kurang

dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikatagorikan air mutanajjis,

apakah air itu berubah atau tidak.

2) Hukum shalat yang terdapat padanya najis yang tidak dapat

dima’afkan, sedangkan dia tidak tahu.

Qaul Qadim : tidak wajib meng-qadha’ shalat.

Qaul Jadid : Wajib meng-qadha’ shalat, karena suci dalam shalat hukumnya wajib. Hukum wajib tidak bisa gugur karena tidak tahu ada najis, sebagaimana halnya wajib bersuci dari hadats.

3) Bilangan shalat jum’at

Qaul Qadim : Shalat jum’at dianggap sah apabila dilakukan sekurang-kurangnya oleh tiga orang jama’ah.

Qaul Jadid : Shalat jum’at dianggap sah apabila jama’ah sudah mencapai empat puluh orang. Sebagai alasan adalah bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di Madinah dengan empat puluh

orang jama’ah.76

Beberapa contoh di atas sebagai fakta nyata, bagaimana keluasan pandangan Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum. Beberapa perubahan penetapan hukum yang dilakukan oleh Imam Syafi’i tersebut adalah karena beberapa sebab.

(19)

a. Beliau menemukan dan berpendapat bahwa ada dalil yang dipandang lebih kuat sewaktu beliau sudah pindah ke Mesir, atau kata lain meralat pendapat yang lama.

b. Beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi, dan kondisi.

Faktor yang kedua inilah barangkali lebih luas namun tetap terbatas. Sebab, walaupun bagaimana beliau tetap hati-hati dalam menetapkan suatu hukum, sebagaimana kita lihat dari pendirian beliau mengatakan ketidak setujuannya dalam menetapkan hukum dengan

cara al-Istihsan.

9. Pandangan Imam Syafi’i tentang al-Istihsan

Menurut Imam Syafi’i bahwa al-Istihsan tidak menjadi hujjah.

Menurutnya, “Barang siapa yang ber-Istihsan, maka sama halnya telah

membuat syari’at”. Sementara otoritas tasyri’ hanyalah di “tangan” Tuhan.

Alasan Imam Syafi’i menolak al-Istihsan ialah :

1) Ber-Istihsan sama halnya menganggap bahwa syari’at ini tidak

mengcover semua masalah hukum, sementara Syari’at ini berlaku

untuk semua zaman dan konteks.

2) Bahwa keta’atan hanyalah kepada Allah dan Rasulnya. Oleh

karenanya, semua hukum harus disandarkan kepada semua ketetapan.

3) Nabi tidak pernah menjelaskan hukum-hukumnya dengan

al-Istihsan, tetapi dengan Wahyu dan al-Qiyas.

4) Nabi pernah mengingkari keputusan sahabat yang menggunakan

(20)

5) Al-Istihsan adalah teori hukum yang tidak ada patokan dan ukuran sehingga akan menghantarkan kepada perselisihan.

6) Jika al-Istihsan diperbolehkan, maka banyak sekali hukum ini hanya

dapat di Istinbat-kan oleh orang yang berakal saja tanpa melibatkan

Ahli Ilmu. Tampak sekali Imam Syafi’i Ber-Istidlal-nya dengan al-Qiyas dan membatasi penggunaan maslahat, sehingga kurang dapat

mengimbangi dinamika hukum masyarakat.77

D.Biografi Imam Hambali

1. Tahun kelahiran dan nasabnya Imam Hambali

Imam Hambali dilahirkan di Baghdad tahun 164 H (780 M). Dan menetap di Baghdad sampai akhir hayat. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Ahmad ibnu Hambal ibnu Hilal al-Syaibani al-Marizi. Ayahnya bernama Muhammad al-Syaibani dan Ibunya bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun al-Syaibani (Wanita

dari bangsa sayibaniyah juga) dari golongan terkemuka Bani Amir.78

2. Imam Hambali menuntut Ilmu dan Syaikh-Syaikhnya (Gurunya)

Sejak kecil sudah tampak minatnya terhadap Agama, beliau menghafal al-Qur’an, mendalami bahasa Arab, belajar hadits, atsar sahabat dan tabi’in serta sejarah Nabi, dan para sahabat. Beliau belajar fiqih dari Abu Yusuf muridnya Imam Hanafi dari Imam Syafi’i, tetapi perhatiannya terhadap hadits ternyata lebih besar. Beliau belajar Hadits di Baghdad, Bashrah,

77 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqih Pesantren, Op. Cit, Cet.1, hlm. 81. 78 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Op. Cit, hlm. 63.

(21)

Makkah, Madinah dan Yaman. Beliau selalu menuliskan Hadits dengan

perawi-perawinya dan cara inipun diharuskannya kepada murid-muridnya.79

Imam Hambali memiliki daya ingat yang kuat dan ini adalah kemampuan yang umum terdapat pada ahli-ahli Hadits. Beliau juga sangat sabar dan ulet, memiliki keinginan yang kuat dan teguh dalam pendirian. Disamping itu seperti Imam-Imam yang lain, beliau adalah orang yang sangat ikhlas dalam perbuatannya.

Imam Hambali yang menentang pendapat Mu’tazilah, pernah dijatuhi hukuman dan dipenjara oleh Khalifah al-Ma’mum yang menganut faham Mu’tazilah. Ketika Khalifah al-Ma’mum wafat, Imam Hambali masih tetap didalam penjara di masa Mu’tashim Billah, dan akhirnya dibebaskan kembali.

3. Kecerdasan Imam Hambali

Imam Hambali adalah seorang Ulama’ yang sangat Alim terutama dalam bidang Hadits. Menurut Imam Zur’ah seorang ahli Hadits yang semasa dengan Imam Hambali menyatakan bahwa. “Imam Hambali itu telah hafal satu juta Hadits.” Lalu ia ditanya orang. “Bagaimana engkau mengerti itu?” Abu Zur’ah menjawab. “ karena aku pernah berunding dengan dia dan aku mengambil beberapa bab dari padanya”. Selanjutnya ia ditanya lagi. “Apakah engkau lebih hafal dari pada Imam Hambali? “Abu Zur’ah menjawab. “Imam

Hambali lah yang lebih hafal.80

Imam Syafi’i adalah seorang Ulama’ besar yang pernah menjadi guru Imam Hambali berkata kepada muridnya itu. “Engkau lebih tahu dan

79 A. Jazuli, Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Op.

Cit, Cet. 7, hlm. 132.

(22)

lebih mengerti tentang Hadits-Hadits Nabi dari pada saya, oleh karena itu, saya akan mencarinya dimana saja Hadits itu berada.” Itulah beberapa riwayat yang menyatakan kepandaian Imam Ahmad bin Hambal tentang Hadits.

4. Murid-murid Imam Hambali yang mengembangkan Madzhabnya

Di antara murid-murid Imam Hambali antara lain :

1) Al-Atsram Abu Bakar Ahmad ibnu Hani Khurasan, pengarang

al-Sunnah. (Wafat 273 H).

2) Ahmad ibnu Muhammad ibnu al-Hajjaj al-Marwani. (Wafat 275 H).

3) Ibnu Ishaq. (Wafat 285 H).

4) Al-Qasim Umar ibnu Abi Ali Husain al-Khiraqi. (Wafat 334 H).

5) Abdul Aziz ibnu Ja’far. (Wafat 363 H).

6) Muwaffaquddin ibnu Qudamah al-Mughni. (Wafat 620 H).

7) Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad ibnu Taimiyah. (Wafat 728 H).

8) Imam ibnu Qayyim al-Jauziyyah, pengarang Kitab I’lamul

Muwaqi’in al-Thuruq al-Hukmiyyah Fi Siyasah al-Syari’ah. (Wafat

751 H).81

5. Karakteristik metode Istinbath al-Hukmi Imam Hambali

Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum berlandasan kepada dasar-dasar hukum sebagai berikut :

1) Nash al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni apabila beliau mendapatkan

nash, maka beliau tidak lagi membutuhkan dalil-dalil yang lain dan

tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang

menyalahinya.

81 PWLP Ma’arif NU, Nahdlatul Ulama’: Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, OP. Cit, hlm.

(23)

2) Fatwa shahabi, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati sesuatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, beliau berpegang pada pendapat ini dengan tidak memandang bahwa pendapat itu bukan al-Ijma’.

3) Pendapat sebagaian shahabat, yaitu apabila terdapat beberapa

pendapat dalam suatu masalah, beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.

4) Hadits mursal atau Hadits dla’if. Hadits mursal atau Hadits dla’if

akan tetap dipakai jika tidak berlawanan dengan suatu atsar atau dengan pendapat seorang shahabat.

5) Qiyas. Imam Hambali baru akan memakai al-Qiyas apabila memang

tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang

disebut di atas.82

Referensi

Dokumen terkait

lahzasından süzülüp gelen, enerji dolu. millî, arkaik tipli dinî- mitolojik anlayışlardır. Dinin dil üzerindeki etkisinin bir örneği de Uygur Türkleri olabilir.

Fitur yang dimiliki dari website ini yaitu menampilkan barang, menampilkan info seputar perusahaan, form untuk pemesanan, mengelola data barang, mengelola

Hasil pengamatan terhadap pengaruh penambahan gliserol dalam bahan pembawa alginat terhadap viabilitas Pseudomonas berfluoresen setelah 42 hari masa inkubasi dapat

Line Tracking Tracking Robot ini meru*akan ebua3 alat yang beker?a berdaarkan kondii *antulan Robot ini meru*akan ebua3 alat yang beker?a berdaarkan kondii *antulan ca3aya

Berdasarkan pemaparan tentang permasalahan dan fenomena diatas yang terkait dengan Locus of Control dan Prokrastinasi akademik, menimbulkan permasalahan yang dapat

Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum pemberian layanan orientasi minat berwiarusaha siswa berada dalam kategori rendah dan sedang, setelah pemberian layanan orientasi

Sebelum diberikan layanan bimbingan kelompok, diperoleh hasil penelitian tentang interaksi sosial siswa terisolir yaitu lebih dari separuh berada dalam

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kebun Percobaan Dulamayo, bahwa semua pedon di lokasi tersebut tersebar pada tiga toposekuen, yaitu lereng bawah dengan