• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsitektur_Bioklimatik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Arsitektur_Bioklimatik"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PIDATO ILMIAH PENGUKUHAN GURU BESAR Prof.Dr.Ir.Sangkertadi, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi, 9 April 2008

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, bahwa pada kesempatan ini saya mendapat penghargaan untuk menyampaikan pidato ilmiah dalam rangka pengukuhan Guru Besar dalam bidang ilmu teknik mata kuliah Fisika Bangunan/ Sains Bangunan

Adapun Pidato ilmiah yang saya sampaikan berjudul :

“Arsitektur Bioklimatik : Hemat Energi, Nyaman dan Ramah

Lingkungan”

Sistimatika penyampaiannya terdiri dari :

1. Penyampaian tentang pentingnya penghematan energi bangunan 2. Pengungkapan tentang definisi arsitektur bioklimatik

3. Tentang Kenyamanan versus Hemat Energi

4. Pembahasan Mengenai Tantangan Arsitektur Bioklimatik Menghadapi Tuntutan Kenyamanan Termis

5. Pembahasan Mengenai Tantangan Arsitektur Bioklimatik Menghadapi Tuntutan Kenyamanan Penerangan, dan

6. Sedikit tentang Pendidikan Arsitektur Bioklimatik.

Sidang Senat dan para hadirin sekalian,

A. Pentingnya penghematan energi bangunan

Penghematan energi dalam masa kontemporer ini sudah seharusnya merupakan bagian dari gaya hidup kita karena harga energi yang semakin mahal. Termasuk diantaranya adalah kegiatan atau upaya penghematan energi operasionalisasi bangunan. Untuk itu maka dibutuhkan kiat dan strategi perancangan bangunan yang berorientasi pada aspek konservasi energi.

Pengertian konservasi energi tidak sekedar hanya penghematan pemakaian energi tetapi juga dalam hal mengupayakan penggunaan sumber energi yang masih berkesinambungan (sustainable), misalnya perhatian pada penggunaan sumber energi matahari, angin, biogas untuk operasional teknik pada bangunan. Artinya pada bangunan juga harus diterapkan strategi desain yang mengarah pada peluang penggunaan energi yang terbarukan tersebut.

Di beberapa negara, terutama di negara maju, pemakaian energi pada sektor bangunan sudah mencapai lebih dari 30% terhadap total konsumsi energi bagi semua sektor. Konsumsi energi terbesar di bangunan pada umumnya adalah untuk pemakaian sistim penghawaan mekanik yang dapat mencapai sekitar 35% dan untuk penerangan buatan

(2)

dibutuhkan suatu strategi desain yang dapat dipakai untuk menurunkan angka pemakaian energi pada operasional bangunan.

Di Indonesia pernah disusun RIKEN, Rencana Induk Konservasi Energi Nasional yang mana ditetapkan bahwa sampai tahun 2005 ditargetkan adanya penurunan konsumsi energi bangunan sebesar 10%. Untuk mendukung kebijaksanaan tersebut, maka diterbitkanlah Standar Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi Pada Bangunan Gedung oleh Departemen Pekerjaan Umum tahun 1993 [2]

Dalam praktek, tidak banyak dari para perancang yang mengedepankan aspek lingkungan dan penghematan energi untuk diterapkan sebagai konsep utama desain pada saat melakukan tugas profesi merancang bangunan. Di Australia sebagai contoh, hanya sekitar 31% dari para perancang yang berpendapat bahwa pendekatan hemat energi adalah titik tolak utama dalam praktek perancangan bangunan [4].

B. Definisi Arsitektur Bioklimatik

Arsitektur bioklimatik adalah suatu konsep terpadu pada rancangan bangunan dimana sistim struktur, ruang dan konstruksi bangunan tersebut dapat menjamin adanya kondisi nyaman bagi penghuninya. Penggunaan perangkat elektro-mekanik dan energi tak terbarukan adalah seminimal mungkin, sebaliknya memaksimalkan pemanfaatan energi dari alam sekitar bangunan tersebut. [1] Dengan demikian, maka pendekatan bioklimatik pada desain arsitektur pada hakekatnya bertitik tolak dari dua hal fundamental untuk menentukan strategi desain yang responsif terhadap lingkungan global yaitu kondisi kenyamanan manusia dan penggunaan energi secara pasif [3]

Gambar 1. Prosentase jajak pendapat para arsitek Australia mengenai titik tolak dalam proses perancangan gedung. Pendapat terbanyak adalah pada aspek fungsi bangunan, disusul pendekatan estetika dan kontekstual.

Arsitektur Bioklimatik juga dikatakan sebagai cabang dari arsitektur hijau (Green Architecture) yang diterapkan dalam kota dengan mengedepankan sistim alami bagi kebutuhan ventilasi dan pencahayaan bangunan [9]

(3)

Pendekatan desain arsitektur bioklimatik dengan demikian mengandung keandalan sebagai salah satu tipe desain arsitektur yang hemat energi ditinjau dari penggunaan energi saat pengoperasian bangunan yang bersangkutan. Sebagai bagian dari kelompok eko-arsitektur, maka tujuan dari arsitektur bioklimatik juga menghadirkan bangunan yang ramah lingkungan, diantaranya turut berperan serta dalam meredam efek rumah kaca pada lingkungan urban, misalnya melalui upaya pengurangan produksi gas CO2 dan CFC

ke atmosfer.

Dalam praktek proses perancangan arsitektur bioklimatik, digunakanlah diagram bioklimatik sebagai bagian dari strategi teknik perancangan bangunan hemat energi. Kontrol akan variabel iklim dalam koridor kenyamanan termis dilakukan melalui penggunaan diagram bioklimatik. Pada diagram tersebut tergambar area zona nyaman termis menurut fungsi waktu harian, untuk kondisi rencana di dalam ruang maupun keadaan di ruang luar

Sejumlah negara, dalam rangka kebijaksanaan penghematan energi di berbagai sektor, telah menerapkan rancangan arsitektur dengan pendekatan bioklimatik seperti Commerzbank di Frankfurt, NMB Bank Amsterdam, Audubon House di New York, Centre International Rogier di Brussels.

Di Lingkungan berikim tropis lembab, penerapan desan arsitektur dengan pendekatan bioklimatik pada kasus bangunan tinggi, diantaranya adalah hasil karya Ken Yeang yaitu Menara Mesiniaga setinggi 15 lantai di Kuala Lumpur yang mendapatkan Aga Khan Award of Architecture pada Tahun 1995 dan Arcasia Award pada Tahun 1996. Menurut perancangnya, Menara Mesiniaga ini mampu mencapai efisiensi hingga 80%.[3]

C. Kenyamanan versus Hemat Energi

Sidang Senat dan Para Hadirin yang saya muliakan,

Dalam bidang perancangan arsitektur, jaminan terhadap pencapaian standar kenyamanan, keselamatan dan keamanan di dalam dan disekitar bangunan menjadi titik tolak kualitas hasil rancangan. Berkaitan dengan aspek penghematan energi bangunan, jenis kenyamanan yang berhubungan adalah kenyamanan termis dan kenyamanan penerangan (pencahayaan). Dalam pandangan umum, untuk mencapai kenyamanan termis dan pencahayaan yang memenuhi standar, seringkali kita dihadapkan pada kebutuhan penggunaan perangkat pengkondisian udara mekanik (AC) dan lampu. Pemakaian AC dan lampu jelas dituntut memerlukan energi listrik yang cukup besar.

Jadi dalam hal ini, tantangan terhadap pendekatan arsitektur bioklimatik adalah untuk mencapai optimasi hasil rancangan guna mendapatkan dua tujuan sekaligus yaitu tercapainya standar kenyamanan bagi pemakai bangunan dan hemat energi.

(4)

D. Arsitektur Bioklimatik Menghadapi Tuntutan Kenyamanan Termis

Dalam pandangan fisika bangunan, lingkungan fisis termal disekitar kita mengandung nilai-nilai yang berbobot sama dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan non fisis yang sarat dengan aspek-aspek sosio-kultural. Tuntutan akan kehidupan yang nyaman secara termal telah menjadi bagian dari kebudayaan atau pola hidup manusia dimana saja dia berada.

Kenyamanan termis didefinisikan sebagai suatu kondisi atau rasa puas dari seseorang menghadapi lingkungan termisnya, atau dengan kata lain adalah situasi dengan absennya rasa tidak nyaman. Yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan rasa nyaman secara fisis adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada karakteristik biologis seseorang. Yakni suatu tanggapan sensorial secara biologis terhadap keadaan atau lingkungan termis di sekitarnya.

Dalam bidang Fisika Bangunan atau Sains Bangunan, kenyamanan termis bukan hanya suatu definisi kualitatif namun dapat diformulasikan secara kuantitatif dengan mengandalkan persamaan-persamaan dari hasil pendekatan teori perpindahan panas antara manusia dan lingkungannya yang dipertautkan dengan pendekatan fisiologi. Angka kenyamanan termis adalah fungsi dari variabel lingkungan (suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin) dan parameter individu (jenis kegiatan, jenis pakaian dan ukuran tubuhnya).

Khusus di lingkungan beriklim tropis lembab, kepekaan tingkat kenyamanan termis manusia diukur berdasarkan faktor keringat yang meliputi komponen angka kuantitas debit keringat dan prosentase luas bidang kulit yang basah karena keringat [11].

Persamaan-persamaan perpindahan panas secara konvektif dan radiatif antara kulit manusia dengan pakaiannya serta antara pakaian dengan udara sekitarnya, maupun persamaan untuk menghitung luas permukaan kulit tubuh manusia, besar debit keringat dan metabolisme termis serta perhitungan suhu permukaan kulit dan luasnya kulit basah karena keringat, kesemuanya merupakan bagian dari prosedur dalam model perhitungan tingkat kenyamanan termis manusia di lingkungan beriklim tropis lembab.

Jadi situasi nyaman termis di iklim tropis lembab adalah situasi pada limit dimana manusia selain merasa tidak berkeringat namun juga tidak merasa kedinginan. Karena itu dalam mencapai situasi nyaman diiklim tropis lembab, kejadian evaporasi keringat menjadi penentu dimana peranan kecepatan angin menjadi penting sebagai komponen pemicu evaporasi tersebut.

Umumnya untuk mencapai kenyamanan termis bagi manusia yang sudah terbiasa hidup di lingkungan beriklim tropis lembab, diperlukan kondisi udara dengan suhu pada kisaran 25 sampai 28 0C dimana suhu konvektif lebih dominan dibandingkan suhu radiatif,

(5)

Sementara itu udara di lingkungan beriklim tropis lembab, suhu hariannya dapat mencapai lebih dari 300C dengan kelembaban relatif yang dapat mencapai lebih dari 90% pada jam-jam tertentu. Ditambah lagi bahwa radiasi matahari pada bidang horisontal di posisi katulistiwa dapat mencapai 1100 W/m2 yang tentu saja akan mempengaruhi tingginya komponen suhu radiatif. Kondisi iklim mikro di ruang luar tersebut sudah menunjukkan situasi yang tidak nyaman yang hanya terjadi pada jam-jam tertentu saja misalnya pada tengah hari. Karena itu pada saat dimana iklim mikro tidak mendukung kenyamanan termis, maka sebaiknya dilakukan istirahat kerja atau mencoba mendapatkan rasa nyaman secara instan dengan mencari hembusan angin untuk menguapkan keringat serta mendinginkan kulit.

Dikarenakan suhu udara lingkungan luar yang memang sudah demikian tinggi disertai lemahnya pergerakan angin pada saat-saat tertentu maka akan terjadi situasi ketidaknyamanan pada saat tersebut.

Sering diungkapkan oleh sejumlah pihak dalam berbagai kesempatan, bahwa rumah tradisional dianggap mewakili contoh arsitektur yang mampu memberikan rasa nyaman pada penghuninya. Namun demikian bukanlah berarti bahwa dalam 24 jam sehari selalu terjamin rasa nyaman termis didalamnya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis [12] menunjukkan bahwa pada kasus arsitektur tradisional di Indonesia, rata-rata angka rasio ketidaknyamanan hunian adalah sekitar 0.3, artinya dari 24 jam dalam satu hari, terdapat sekitar 7 jam, dimana situasinya adalah tidak nyaman secara termis. Rasio ketidaknyamanan hunian secara maksimum terjadi pada musim panas (sekitar 0.4), sebaliknya terjadi pada musim penghujan (sekitar 0.2). Meskipun pada musim penghujan yang dirasakan biasanya bersuhu rendah dan nyaman, namun pada kenyataannya masih terdapat saat-saat tertentu dimana terjadi situasi tidak nyaman, sekitar 4 jam dalam satu hari rata-rata [12].

Dengan penerapan sistim pasif atau tanpa bantuan sistim mekanik, tidak mungkin didapatkan suhu dalam ruang bangunan yang lebih rendah dibandingkan suhu lingkungan luar. Sehingga yang dapat dilakukan melalui pendekatan arsitektur bioklimatik adalah pencapaian suhu dalam ruang yang mendekati suhu udara lingkungan luar dengan meminimumkan komponen suhu radiatif yang bersumber dari radiasi matahari.

Sistim ventilasi dan teknik penaungan terhadap sinar matahari menjadi komponen penting dalam strategi rancangan arsitektur bioklimatik di lingkungan beriklim tropis lembab. Dengan sistim ventilasi yang baik maka akan tercapai dukungan terhadap evaporasi (penguapan) keringat untuk meningkatkan rasa nyaman, dimana arah aliran angin dapat menyentuh langsung pada tubuh manusia. Pemanfaatan teknologi jalousie secara efektif pada bukaan (jendela dan lubang ventilasi) adalah juga merupakan strategi desain untuk mendapatkan aliran udara dengan kecepatan, arah dan debit yang memadai dalam mendukung kebutuhan akan kenyamanan termis.

(6)

Pada kasus bangunan tinggi yang menerapkan sistim ventilasi alami, diuntungkan oleh kecenderungan semakin besarnya angka kecepatan angin menurut ketinggian dan selanjutnya membuka peluang dorongan penghawaan silang (cross ventilation) pada lantai-lantai diposisi ketinggian. Namun demikian angka koefisien bukaan (Cd, discharge coefficient) ternyata tidak mengalami perbedaan yang berarti pada posisi bukaan di lantai rendah maupun di ketinggian. Dengan demikian dalam perhitungan debit ventilasi pada bangunan tinggi, komponen kecepatan dan arah angin tetap merupakan komponen signifikan [8]

Sistim ventilasi atap juga diperkenalkan dalam sistim pasif, yang berperan mendinginkan ruang langit-langit untuk mengurangi dampak panas radiatif dari plafond terhadap ruang dibawahnya.

Kemudian, adanya sistim perlindungan terhadap sinar matahari dalam bentuk penghijauan ruang luar, overstack dan pemakaian jenis material isolatif terhadap panas akan mengurangi angka suhu radiatif secara drastis, sehingga suhu udara resultantenya akan mendekati pada suhu konvektif.

Mencermati besarnya ketersediaan energi radiasi matahari diiklim tropis lembab, maka dalam penerapan arsitektur bioklimatik dilakukan upaya pemanfaatannya melalui instalasi sel-surya (PhotoVoltaic-cell) untuk kemudian dikoversikan menjadi energi listrik dan dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi pengoperasian bangunan. Berdasarkan pendekatan simulasi secara numerik, apabila sel surya diletakkan di atap bangunan yang berada di garis tropis dan pada posisi kemiringan atap dengan sudut 30 derajat, pada saat tingkat penyinaran harian mencapai rata-rata sekitar 70%, maka dapat ditampung energi matahari sebesar lebih dari 4000 Wh/m2 dalam satu hari [7]. Angka yang cukup besar apabila dapat dikonversi menjadi energi listrik dengan efisiensi yang baik.

Teknologi sel surya mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dekade ini. Tingkat efisiensi panel sel surya bahkan sudah ada yang mencapai 25%, meskipun masih dalam taraf laboratorium. Sementara itu efisiensi sel surya yang beredar dipasaran saat ini adalah pada kisaran 12 sampai 15%. Harga yang relatif masih cukup mahal, dan efisiensi yang diangap masih belum memadai menyebabkan belum dapat diproduksi secara massal, khususnya bagi kebutuhan para individu pengelola bangunan yang hidup di dunia ketiga. Namun demikian berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi sel surya ini perlu diapresiasi dan kita optimis bahwa, pada suatu saat nanti, pemakaian energi listrik dari tenaga surya di negara berkembang akan menjadi berita yang biasa ditemukan.

Dalam penerapan sistim aktif, dimana diterapkan teknologi pengkondisian udara secara mekanik yang membutuhkan bantuan daya listrik, maka tuntutan utamanya adalah penghematan energi yang berhubungan dengan efisiensi pemakaiannya serta perlindungan terhadap penetrasi panas dari ruang luar yang melewati dinding selubung bangunan dan kemudian masuk mengganggu keseimangan termis dalam ruang. Untuk

(7)

skala kenyamanan termis 0.5 (angka yang menunjukkan batas rasa agak tidak nyaman). Artinya tidak diperlukan pengkondisian udara dengan menerapkan suhu yang berakibat pada rasa agak dingin dan lebih dingin lagi. Dari hasil simulasi didapat bahwa peningkatan angka rencana suhu rata-rata dalam ruang dari 240C menjadi 270C pada suatu tipe bangunan tropis dapat mereduksi energi sampai 15% [10] . Untuk melindungi ruang terhadap penetrasi panas lingkungan luarnya, dibutuhkan rancangan bentuk dasar masa yang berpotensi menghindar dari dominasi terpaan radiasi matahari serta rancangan selubung ruang (selubung bangunan) yang mampu menghambat laju aliran panas.

Bentuk dasar rancangan selubung bangunan yang berorientasi hemat energi, diarahkan tidak memiliki dominasi bidang fasade yang menghadap langsung pada arah sinar matahari (Barat-Timur). Namun permasalahannya, dalam praktek, para perancang sering diperhadapkan pada kebutuhan terhadap keteraturan atau keserasian terhadap posisi jalan dan terhadap bangunan sekitarnya, sehingga terpaksa mengorbankan arahan ini.

Dalam hal rancangan material selubung bangunan, di Indonesia telah diterapkan standar maksimal angka laju aliran panas dari selubung bangunan terhadap ruang dalam, dengan istilah OTTV (Overall Thermal Transmission Value) yang angka maksimalnya adalah 45 W/m2 [2]. Pembatasan pada angka tersebut sudah cukup memadai, karena dari hasil survey terhadap tipe bangunan tropis jenis bangunan komersial pada umumnya, ternyata angka OTTV nya berkisar 30 s/d 60 W/m2. Dengan kisaran angka tersebut maka dibutuhkan AC dengan kapasitas sekitar 0.04 s/d 0.1 PK/m2. Namun dengan pembatasan OTTV pada angka 45 W/m2 maka akan cukup dibutuhkan AC maksimal dengan kapasitas 0.06 PK/m2. [10].

Sasaran utama dari pembatasan angka OTTV ini adalah untuk menghambat laju pemborosan energi yang pada umumnya dikonsumsi oleh tipe bangunan non-tropikal yang bericirikan ekspose bidang kaca yang berlebihan serta tidak adanya elemen pelindung atau naungan terhadap sinar matahari.

Untuk memudahkan penetapan rancangan material selubung bangunan yang mampu menahan laju panas maksimum 45 W/m2, dibuatkan sejumlah grafik sumbu-sumbu angka koefisien U (koefisien transmitansi termal dinding masif) versus koefisien τ (koefisien transmisi termal bidang transparan) dengan garis isovalue OTTV=45 W/m2 diantara sumbu-sumbu tersebut [5].

0.45 0.5 0.55 0.6 0.65 0.7 0.75 0.8 0.85 0.9 a n g k a t ra n s m it a n s i k a lo r k a c a ( t) 0.2 0.5 0.8 1.1 1.4 1.7 2 2.3 koef. U dinding masif [W/m2 C]

30% 40% 50% 60%

korelasi komposisi angka.t thd koef.U tipe denah bujur sangkar "homogen'

Prosentase bidang kaca Kaca Ternaungi

α = 0.3

L

W=L

(8)

E. Arsitektur Bioklimatik menghadapi Tuntutan Kenyamanan Penerangan

Para hadirin yang saya muliakan,

Kenyamanan penerangan bagi manusia mengandung arti tercapainya kecukupan kuat penerangan, tidak silau dan kesesuaian warna yang terlihat. Jadi pada prinsipnya kenyamanan penerangan adalah bergantung pada angka kuat penerangan dari sumber cahaya dan komponen pendukungnya, posisi atau kedudukan dari sumber cahaya, serta aspek pewarnaan dan material permukaan lingkungan. Kuat penerangan (dalam satuan Lux) untuk berbagai jenis kegiatan (kebutuhan membaca, bekerja halus, bekerja kasar, menggambar, dll) telah diatur angka standarisasinya di Indonesia [2]

Pada penerapan sistim pasif yang mengandalkan sumber cahaya siang hari, besarnya kuat cahaya dalam ruang bersumber dari tiga komponen, yaitu komponen terang langit (yang langsung masuk melalui bukaan), komponen pemantulan dalam ruang, dan komponan pemantulan dari ruang luar. Di iklim tropis, dimana terang langit dapat mencapai 10.000 Lux, maka peran dari bukaan/jendela pada bidang selubung bangunan menjadi penting untuk mendapatkan kecukupan kuat cahaya yang masuk secara langsung ke dalam ruangan, serta peran dari warna dinding bagian dalam yang menyumbangkan efek pemantulan cahaya dalam ruang, agar didapatkan kuat penerangan secara merata.

Dalam konteks pencahayaan alami siang hari, dinding dan plafond ruang dalam yang diberi warna mengarah ke warna putih, akan mampu menyumbangkan sampai sekitar 20% dari total kuat cahaya dalam ruang. Sementara itu jenis permukaan dinding kayu (warna cokelat tua/agak gelap) sebagaimana terdapat pada tipe rumah tradisional, hanya mampu memberi kontribusi terang dalam ruang sebesar sekitar 5% saja [6]. Apabila sumbangan dari pemantulan dalam ruang, tidak mencukupi untuk mencapai standar kenyaman penerangan, maka berdampak pada kebutuhan penambahan komponen lampu. Disini nampak terlihat bahwa tidak selamanya, tipe arsitektur tradisional adalah mewakili jenis bangunan hemat energi. Diperlukan suatu modifikasi desain pada rumah tradisional dengan tetap berdasar pada konsep arsitektur bioklimatik agar tujuan konservasi energi dapat tercapai.

Pada sistim aktif, dimana diterapkan sistim penerangan buatan, maka sasarannya adalah pada penerapan jenis lampu yang memiliki spesifikasi luminasi dan daya listrik tertentu. Warna dan jenis permukaan dinding hanya berpengaruh secara signifikan terhadap kuat penerangan dalam ruang apabila diterapkan teknik pencahayaan tidak langsung. Standarisasi terhadap sistim penerangan buatan, selain diarahkan pada kecukupan angka kuat penerangan, juga pada daya rata-rata/m2. Pada ruang-ruang hunian, misalnya dibatasi angka maksimum 15 W/m2 [2]. Perkembangan teknologi lampu hemat energi tentu saja disambut baik dalam kaitannya dengan pengembangan konsep arsitektur bioklimatik.

(9)

F. Pendidikan Arsitektur Bioklimatik

Dari uraian diatas, jelas bahwa arsitektur bioklimatik merupakan konsep yang dapat diandalkan dalam merancang bangunan hemat energi. Adanya permasalahan konsumsi energi pada akhir-akhir ini khususnya pada sektor bangunan membutuhkan jawaban dari para perancang agar menyajikan rancangan yang berwawasan hemat energi. Para mahasiswa jurusan arsitektur sudah selayaknya mendalami topik arsitektur bioklimatik ini, karena merekalah yang dimasa mendatang harus mampu menjawab permasalahan energi bangunan.

Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa topik Arsitektur Bioklimatik dalam kurikulum pendidikan Arsitektur S-1, sebaiknya dijadikan mata kuliah wajib, karena menjadi tolok ukur bagi keberhasilan penghematan energi pada sektor bangunan dimasa mendatang. Adapun landasan teoretis untuk medalami arsitektur bioklimatik, sudah disajikan secara tersebar dan terkandung pada sejumlah mata kuliah lainnya yakni Fisika Bangunan/ Sains Bangunan, Sains Arsitektur, Ilmu Lingkungan, dan Utilitas serta Ruang Luar. Dalam pendidikan tingkat pasca sarjana, topik arsitektur bioklimatik menjadi bagian dari program-program studi seperti teknologi bangunan, arsitektur lingkungan, maupun arsitektur tropis. Untuk menguasai dengan baik topik ini para mahasiswa perlu dibekali dengan ketrampilan penggunaan perangkat lunak yang dapat dipakai untuk kebutuhan simulasi dalam rangka mengevaluasi desain dan menghitung energi bangunan, misalnya program ECOTECH, TRNSYS, ENEGY+, ARCHIPAK, dsb.

Sidang senat dan para hadirin yang saya muliakan

Demikianlah pembahasan mengenai tantangan dan peluang untuk menerapkan konsep arsitektur bioklimatik dalam rangka menuju arsitektur yang nyaman, hemat energi dan ramah lingkungan, khususnya di daerah beriklim tropis lembab.

Perlu juga saya informasikan, bahwa sebagian besar dari isi pidato ilmiah ini bersumber dari sejumlah hasil penelitian yang saya lakukan atas dukungan pendanaan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, dalam periode 1996 hingga 2004, yakni melalui program URGE – Young Academics Research Grant (1996), Hibah Bersaing Perguruan Tinggi ke V (1996-1998) dan ke X (2002-2004), Engineering Education Development Program (1997 dan 1998), serta URGE – Domestic Collaboration Research Grant (2000-2001)

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, yang telah membantu saya dalam mendanai penelitian melalui program tersebut.

(10)

Referensi

1. ENEA , IN-ARCH, Architecture Bioclimatique, De Luca Edizioni d’Arte, Rome, 1989

2. Departemen Pekerjaan Umum, Standar Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi Pada

Bangunan Gedung, SK-SNI-T-14-1993-03, YLPMB, Bandung, 1993

3. J Priatman, Menara Bioklimatik, Solusi Arsitektural Bangunan Tinggi Hemat Energi, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol 24, Desember 1997.

4. Sabine Wittman, Architects Commitment Regarding Energy Efficient/ Ecological Architecture, Architectural Science Review, Vol. 41.No.2, June 1998.

5. Sangkertadi, Pengembangan Teknik Praktis Desain Konfigurasi Selubung Bangunan Sebagai Strategi

Penghematan Konsumsi Energi Pada Gedung Ber – AC, The Journal of Research and Development,

(Lembaga Penelitian Universitas Sam Ratulangi - Manado) Vol XX No.19 Pebruari 1999

6. Sangkertadi, Uji Kualitas Penerangan Buatan Pada Sebuah Tipe Rumah Tradisional Minahasa, Media Matrasain, Vol. 2, No.1, 2006

7. Sangkertadi, Studi Potensi Bentuk Atap Rumah Tradisional Minahasa untuk Kajian Efektifitas Penempatan Sel-Surya, Jurnal Ekoton, Vol.2 No.2, 2002

8. Sangkertadi, Suryono, Mengestimasi Koefisien Bukaan Cd Pada Jendela Bangunan Tinggi Dengan Bantuan Simulasi C F D, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 29 No.2. Juli 2001

9. Tanya Tirza Ussilly, Sekolah Tinggi Arsitektur Bioklimatik di Surabaya, Tugas Akhir S-1, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2002

10. Sangkertadi, Survey dan Evaluasi Konsumsi Energi pada sejumlah bangunan komersial di Manado, Laporan Hasil Penelitian, EEDP-PRF, 1998

11. Sangkertadi, Contribution a l'etude du comportement thermoaeraulique des batiments en climat tropical humide. Prise en compte de la ventilation naturelle dans l’evaluation du confort. These de Doctorat, INSA de Lyon, 1994

12. Sangkertadi, Konservasi Energi Bangunan pada tipe arsitektur tradisional Indonesia dan

Gambar

Gambar 1. Prosentase jajak pendapat para arsitek Australia mengenai titik tolak dalam proses perancangan  gedung

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan waktu (lama) fermentasi dedak padi dengan kapang Aspergillus niger tidak mempengaruhi kandungan bahan kering namun

Diskripsikan dengan penuh percaya diri menggunakan contoh yang kontekstual bahwa aktivitas pasar faktor produksi modal dan skill dapat meningkatkan perekonomian

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pemantauan Tenaga

Menimbang, bahwa dalam gugatannya Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Kabupaten Madiun untuk menjatuhkan talak satu Tergugat atas Penggugat karena sejak pamit ke

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan REKSA DANA PENDAPATAN TETAP PANIN DANA PENDAPATAN UTAMA yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum

Temuan penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara perhatian orang tua dengan kematangan karir siswa SMK Swasta Al-Maksum Stabat. Semakin

Lingkungan membentuk karakter seseorang, setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan

BUNGA NUSA INDAH NO.. WOLTER