PENDAHULUAN
Sejauh ini petani atau pengusaha tanaman hias dan sayuran kalangan industri sangat bergantung pada pestisida sintetik yang diimpor dari luar negeri. Tanpa pestisida ini, produk tanaman hias tidak akan berkualitas dan tidak laku dijual ke pasar domestik maupun pasar internasional. Anggapan tersebut terus berkembang, sehingga penggunaan pestisida pun terus meningkat. Berdasarkan data survei usahatani di berbagai sentra produksi menunjukkan bahwa penggunaan pestisida lebih 30% dari total biaya produksi tanaman hias. Pada komoditas-komoditas bernilai ekonomis tinggi, penggunaan pestisida ternyata melebihi nisbi yang dilaporkan oleh tim survei, misalnya pada krisan, biaya pembelian pestisida mencapai lebih 40% dari total biaya produksi.
Di sisi lain krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan daya beli petani tanaman hias untuk pestisida menjadi rendah. Petani mulai membeli produk-produk pestisida
berharga murah, kefanatikan terhadap suatu merek pestisida yang harganya sangat mahal, merangsang tumbuhnya praktek-praktek pemalsuan. Hal ini menyebabkan kondisi petani lebih terpuruk, karena pestisida yang dibeli ternyata palsu dan tidak dapat diandalkan mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Terlepas dari efek pemalsuan pestisida sintetik, penggunaan pestisida sintetikpun sebenarnya sudah merugikan ditinjau dari pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Pestisida sintetik juga merangsang timbulnya resistensi dan resurgensi, di mana kondisi hama atau penyakit menjadi kebal dan lebih ganas karena pemunculan strain-strain baru. Faktor-faktor tersebut perlu dicermati dengan cara reorientasi usahatani tanaman hias dari yang bergantung pada pestisida sintetik menjadi usahatani yang ramah lingkungan. Penggunaan biopestisida yang berbahan aktif microbe antagonistic menjadi alternatif solusi yang paling prospektif.
Biopestisida Ramah Lingkungan untuk
Pengendalian Penyakit Tanaman Hias
dan Sayuran
Keistimewaan Teknis Biopestisida
Indonesia terletak di daerah tropis memiliki
dikembangkan sebagai agen pengendali hayati penyakit tanaman, yaitu Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens, diformulasi dalam bentuk emulsi yang diberi nama dagang Prima-BAPF. Karakeristik formulasi biopestisida ini berbentuk cair, berbahan aktif B. subtilis BHN 4 yang diisolasi dari biakan murni jamur B. bassiana isolat ulat jambu batu (Carea angulata F. atau C. subtilis Wlk.) dan isolat no. 18 Segunung, Cianjur.
Zat pembawa yang berfungsi sebagai isolator antarsel bakteri bahan aktifnya adalah parafin cair dan parafin hidrokarbon yang berfungsi sebagai emulsiefer, perekat, dan perata (sticker), sehingga biopestisida ini dapat menempel dan masuk ke dalam jaringan tanaman dengan kuat dan tidak mudah tercuci oleh air hujan (leaching). Perbandingan komposisi antarbahan aktif (suspensi BHN 4 dan Pf
Prima-BAPF efektif mengendalikan penyakit tanaman hias dan tanaman lainnya. Seperti mengendalikan penyakit karat putih (Puccinia horiana) pada tanaman krisan dan mengendalikan penyakit akar bengkak yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae pada tanaman
kubis-kubisan serta dapat menekan intensitas infeksi F. oxysporum f.sp. dianthi sebesar 60% pada tanaman anyelir. Viabilitas bahan aktif formulasi tersebut di atas dapat bertahan sampai 240 hari (8 bulan) dalam larutan bahan pembawa.
Mekanisme kerja setiap bagian dari formulasi B. subtilis BHN 4 dan Pf 18 efektif untuk mengendalikan penyakit tanaman dengan cara memproduksi antibiotik dan mengkolonisasi jaringan tanaman, sehingga terlindung dari infeksi patogen. Penambahan 0,01 M FeC3 ke dalam media
pertumbuhan (media King’S B)
dapat memicu sintesis antibiotik. Berbagai jenis antibiotik diproduksi oleh , seperti pyuloteorin, oomycin, phenazine -1-carboxylic acid, atau 2,4-diphloroglucinol. Produksi antibiotik ini telah dibuktikan sebagai faktor utama penghambat perkembangan populasi dan penyakit yang ditimbulkan oleh Gaeumannomyces tritici, Thielaviopsis basicola dan Ralstonia solanacearum (Mulya et al. 1996). Di samping menekan perkembangan populasi dan aktivitas patogen tanaman, Pf dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit. Mulya et al. (1996) menemukan bahwa Pf strain G32R dapat menginduksi aktivitas enzim phenil alanine amoliase, enzim yang terlibat dalam ekspresi ketahanan tanaman tembakau. Defago et al. (1990) mengemukakan bahwa gen Pf yang terlibat dalam produksi asam salisilat memegang peranan penting dalam menginduksi tembakau terhadap T. basicola.
Potensi Ekonomis Biopestisida
Penggunaan microbe antagonistic sebagai bahan aktif biopestisida dan diproduksi skala industri di Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) sangat dimungkinkan, mengingat teknologi isolasi, perbanyakan, dan konservasi inokulum telah dikuasai. Sementara itu, larutan MgSO4, FeC3, pembawa biopestisida mudah didapat di toko kimia lokal, sehingga peluang industrialisasinya sangat besar.
Pr ima-BAPF telah dipatenkan p ada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan Nomor Pendaftran P00200300467. Selain itu, Prima-BAPF pada tanggal 20 Agustus 2007 telah di launching di Bogor oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia betepatan dengan hari ulang tahun ke-33 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian). Produk ini Badan Litbang Pertanian.
Studi banding tentang penggunaan Prima-BAPF dan pestisida kimiawi sintetik telah dilakukan dalam skala terbatas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi 1 liter biopestisida yang mengandung Bacillus dan P. fluorescens ternyata ekivalen dengan hasil aplikasi 1 liter pestisida kimiawi. Harga jual biopestisida produk pestisida kimiawi sintetik (Bactocyn) dijual perhitungan ekonomi tersebut dapat dinyatakan, bahwa penggunaan biopestisida dapat menekan biaya pembelian pestisida kimiawi sintetik biopestisida tersebut, sangat menarik petani untuk mengalihkan penggunaan pestisida kimiawi sintetik ke penggunaan biopestisida. Disisi lain prospek yang cerah bagi pemasaran biopestisida, menarik minat para investor untuk memproduksi biopestisida dalam skala industri. Prima-BAPF berpeluang diproduksi dalam skala industri karena dukungan teknologi dari tim inventor dan dana dari pihak investor sudah disiapkan.
Aplikasi Secara Umum Biopestisida Prima-BAPF pada Tanaman Kubis-kubisan dan Krisan
1. Aplikasi di Pesemaian
Siapkan bedengan pesemaian yang telah dicampur dengan pupuk kandang dan tanah, kemudian biarkan 3-7 hari.
Buatlah lubang tanam, kemudian masukkan benih, siramlah dengan larutan Prima-BAPF 2), kemudian
4 hari kemudian penutup pesemaian dibuka, siramlah tanaman tersebut dengan Prima-BAPF pada dosis dan konsentrasi yang sama seperti di atas.
Semprotlah tanaman dengan Prima-BAPF
2. Aplikasi di lapangan
Siapkan bibit yang berasal dari pesemaian yang telah diberi Prima-BAPF.
siramlah lahan dan jaringan tanaman dengan Prima-BAPF diaplikasikan kembali pada lahan dan jaringan tanaman saat berumur + 14 hari setelah tanam (HST) (pada saat tanaman lilir).
Aplikasi Prima-BAPF selanjutnya pada lahan
insektisida.
Untuk mengendalikan penyakit karat putih (P. horiana) pada krisan, semprotlah daun dan jaringan tanaman dengan Prima-BAPF dengan aplikasi insektisida.
Aplikasi Prima-BAPF dianjurkan dilakukan pada pagi atau sore hari.
Kemangkusan B. subtilis dan
terhadap Penyakit Karat Putih ( ) pada Krisan
Percobaan dilaksanakan di laboratorium Balithi, Segunung dan di Kebun Petani, Desa Cihanjuang Rahayu, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung (1.200 m dpl), bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat, Dinas Pertanian, Provinsi Jawa Barat, serta Kelompok Tani, dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Desember 2006. Penelitian menggunakan perbandingan 2 harga rerata contoh yang berpasangan. Di dalam satu lahan percobaaan diletakkan satu pasang perlakuan pestisida, yaitu Prima-BAPF dan fungisida yang biasa digunakan petani (Mancozeb 80).
Penyakit karat daun pada tanaman krisan disebabkan oleh 2 spesies karat yang berbeda, yaitu karat putih (P. horiana) dan karat coklat (P. chrysanthemi). Penyakit karat putih mudah menular dan lebih sulit ditanggulangi, karena sporanya dapat menembus permukaan daun tanpa harus melalui lubang alami (Rademaker dan Jong 1987). Serangan penyakit karat putih pada permukaan daun krisan menyebabkan timbulnya bintik-bintik berwarna kuning yang ditengahnya coklat tua. Apabila dilihat dari bagian bawah daun, maka terlihat pustul berwarna krem berubah menjadi merah muda, kemudian pustul ini membesar dan warnanya berubah menjadi putih. Pada pengamatan P. horiana pada tanaman krisan bervariasi, bergeser antara
Berdasarkan analisis statistik, biopestisida Prima-BAPF dan fungisida yang biasa digunakan oleh petani tanpak tidak berbeda nyata pada taraf Prima-BAPF tampak lebih mangkus dapat menekan P. horiana
yang dibudidayakan oleh petani (Ade, Ano, dan Tatang). Sedang pada krisan yang dibudidayakan oleh petani (Dede dan Uje), justru fungisida mankozeb 80% lebih mangkus menekan P. horina sebesar 10,16% bila dibanding biopestisida
Prima-BAPF. Walaupun demikian, secara keseluruhan biopestisida Prima-BAPF lebih unggul dapat menekan P. horina sebesar 4,89%, bila dibanding fungisida Mancozeb 80%.
Kemangkusan B. Subtilis dan s terhadap Penyakit Layu Fusarium pada Krisan
Pada umumnya s erangan F. o. f.sp. tracheiphilum pada tanaman krisan menunjukkan gejala luar berupa kelayuan sejumlah daun. Balio (1981) melaporkan bahwa kelayuan tanaman yang terinfeksi fusarium disebabkan oleh adanya asam fusarat. Senyawa kimia ini dapat mempengaruhi fungsi mitokondria dan menghambat enzim katalase, serta mengganggu membran sel yang dapat mengakibatkan kebocoran ion. Selain itu, asam fusarat yang dikeluarkan oleh patogen dapat merusak jaringan phloem (Davis 1969). Serangan fusarium pada tanaman krisan dapat mengakibatkan terjadinya diskolorisasi phloem. Hal tersebut disebabkan oleh enzim pektinmetilesterase, poligalakturonase, dan enzim penghancur phloem
jumlah tanaman layu (JTL) akibat serangan F. o. f.sp. tracheiphilum pada tanaman krisan bervariasi, bergeser antara 3,33 dan 26,67%. Berdasarkan analisis statistik, kemangkusan BAPF dan fungisida Mancozeb 80% terhadap penyakit layu fusarium pada krisan tampak tidak berbeda nyata. Namun dalam kenyataannya, BAPF lebih mangkus dapat menekan F. oxysporum f.sp. tracheiphilum dibudidayakan oleh semua petani kooperator (Ade, Ano, Dede, Tatang, dan Uje). Mekanisme penekanan mikroba antagonis BAPF terhadap suatu patogen dapat terjadi melalui antibiosis, hiperparitisme, kompetisi ruang, dan hara (Baker 1991, Sitepu 1993) atau kolonisasi (Shekhawat et al. 1993).
Semua petani kooperator yang tanaman krisannya mendapat perlakuan BAPF, pada umumnya menunjukkan kolonisasi BAPF lebih
mendapat perlakuan fungisida sintetik. Kecuali petani Uje, populasi BAPF pada tanaman yang mendapat perlakuan BAPF ataupun tidak, populasi Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa JTL pada krisan yang dibudidayakan oleh petani Uje pada perlakuan BAPF, lebih rendah daripada JTL krisan yang dibudidayakan oleh petani Tatang. Jumlah tanaman layu krisan pada petani dan perlakuan tersebut masing-masing adalah 6,67 dan 13,33%. Sedang JTL pada perlakuan Mancozeb yang dibudidayakan oleh kedua petani tersebut sama-sama menunjukkan nilai 26,67%. Hal ini berarti bahwa dinamika populasi BAPF pada rizosfer krisan yang dibudidayakan oleh Uje, tidak mengalami peningkatan, baik pada perlakuan BAPF maupun Mancozeb. Populasi BAPF pada perlakuan dan petani tersebut tetap sama, yaitu tanaman. Hal ini membuktikan bahwa BAPF dapat menekan patogen tanaman dengan mekanisme
yang lain. Mulya et al. (1996) menemukan Pf strain G 32 R dapat menginduksi aktivitas enzim phenil alanine amoliase, enzim yang terlibat dalam ekspresi ketahanan tanaman tembakau terhadap Thielaiopsis basicola. Sedang Defago et al. (1990) melaporkan bahwa gen Pf yang terlibat dalam produksi asam salisilat memegang peranan penting dalam menginduksi ketahanan tembakau terhadap patogen tersebut di atas.
Kemangkusan Biopestisida terhadap Penyakit Akar Bengkak pada Sawi
Penelitian dilakukan di Kebun Penelitian dan Pengembangan PT. Primasid Andalan Utama, sejak bulan Januari hingga Maret 2007. Percobaan ini terdiri atas tiga perlakuan (Biopestisida Prima BAPF, Biopestisida berbahan aktif Chitosan, dan kontrol) dengan menggunakan 2 ulangan. Pada percobaan ini media pertumbuhan sawi campuran diinokulasi secara buatan. Inokulum diperoleh
Gambar 2. Langkah inokulasi dan aplikasi Prima-BAPF untuk pengendalian penyakit akar bengkak (P. brassicae) pada tanaman sawi.
Inokulum Inokulum diblender Penyaringan inokulum
Pengadukan campuran inokulum dan media semai
Prima-BAF dan benih sawi yang digunakan
Benih yang direndam dalam emulsi BAPF
dari akar tanaman caisim yang terinfeksi penyakit akar bengkak berasal dari kebun petani di sekitar Gunung Puteri. Akar tanaman terinfeksi diblender, disaring ampasnya, kemudian air saringan yang mengandung spora P. brassicae dimasukkan ke dalam lemari pendingin suhu 10oC selama 24 jam. Inokulasi dilakukan dengan menyiramkan air saringan yang mengandung P. brassicae kerapatan
Hasil percobaan menunjukkan bahwa, tanaman sawi yang terinfeksi P. brassicae menunjukkan pertumbuhan yang kerdil sedang gejala kelayuan pada daun tidak tampak. Hal ini disebabkan oleh tanaman disiram setiap hari, sehingga pasokan air dan hara berjalan lancar. Namun tanaman yang kerdil, akarnya menunjukkan gejala bengkak dengan rerata derajat serangan berkisar antara 6,30 dan 48,80% (Gambar 3).
Pengaruh aplikasi BAPF terhadap derajat serangan (DS) P. brassicae pada tanaman sawi tampak jelas. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya jumlah tanaman terinfeksi dan DS pada perlakuan tersebut. Perlakuan Prima-BAPF paling mangkus menekan patogenisitas P. brassicae di antara perlakuan lainnya. Jumlah tanaman terinfeksi dan derajat serangan pada perlakuan tersebut masing-masing adalah 3 pohon dan 6,30% dengan penekanan sebesar 87,01% (Tabel 1, Gambar 4).
Gambar 3. Tanaman sawi yang kerdil menunjukkan terinfeksi penyakit akar bengkak
Gambar 4. A. Pengaruh perlakuan Prima-BAPF dan B. kontrol terhadap keganasan P. brassicae pada sawi umur 28 HST, Cipanas 2007.
A
B
Tabel 1. Pengaruh Prima-BAPF terhadap penyakit akar bengkak (P. brassicae) pada tanaman Pack coi
Perlakuan Jumlah tanaman
Populasi asal Sehat Terinfeksi Intensitas serangan% Penekanan %
Prima BAPF 48 3 06,30 87,01
Chitosan 30,00
-KESIMPULAN
1. Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung telah menghasilkan biopestisida ramah ling-kungan untuk mengendalikan penyakit tana-man hias dan sayuran. Karakteristik formulasi biopestisida ini adalah berbentuk cair, berba-han aktif B. subtilis BHN 4, dan
dan hidrokarbon. Biopestisida ini diberi nama Prima-BAPF telah dipatenkan pada Departe-men Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan Nomor Pendaftran P00200300467. Selain itu, Prima-BAPF telah di launching di Bogor oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia pada 20 Agustus 2007 bertepatan dengan HUT Badan Litbang Pertanian ke-33. unggulan Badan Litbang Pertanian.
2. Biopestisida Prima-BAPF tampak lebih mangkus karena dapat menekan P. horiana dibudidayakan oleh petani. Secara keseluruhan biopestisida Prima BAPF lebih unggul karena dapat menekan P. horina sebesar 4,89%, bila dibanding fungisida Mancozeb 80%.
3. Perlakuan Prima-BAPF paling mangkus menekan patogenisitas P. brassicae di an-tara perlakuan Chitosan dan kontrol. Jumlah tanaman terinfeksi dan derajat serangan pada perlakuan tersebut masing-masing adalah 3 pohon dan 6,30% dengan penekanan sebesar 87,01%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan penghargaan setinggi-tingginya kepada Ir.Ayub Darmanto, Ir. Mathius Rahardjo, Ir. Heri Kristanto, dan Asep dari P.T. Primasid Andalan Utama, yang telah bersedia memberikan saran, kritik, dan membantu dalam perencanaan, memberikan benih sawi, dan melaksanakan percobaan. Kepada Ir. Evy Silvia Yusuf, Endang Sutarya, Soma Mihardja, Dede Surachman, Muhidin, Ade Sulaeman, dan Dadang
yang telah membantu pengamatan, pengumpulan data, dan pelaksanaan penelitian penulis ucapkan terima kasih.
PUSTAKA
1. Baker, C. J. 1991. Diversity in Biological Control.
Crop Protection
2. Balio, A. 1981. Structure Activity Relationship. 3. Davis, D. 1969. Fusaric Acid in Selective Pathogenicity of Fusarium oxysporum. Phytopat. 4. Defago, G., C.H. Berling, U. Burger, D. Haas, G. Kahr, C. Keel, C. Votsard, P. Wirthner, and B. Withrich. 1990. Suppression of Black Root Rot of Tobacco and Other Root Diseases by Strains of . Potential application and mechanisms. In. Homby, D. (Ed.) Biological Con-trol of Soilborne Pathogens. C.A.B. International, England, 93-108p.
The Presence of Homologous to Hrp Cluster in PfG32R. Annal.Phytopathol.Soc. Japan.
6. Rademaker, W. and J. de Jong. 1987. Type of Resistance to Puccinia Horiana in Chrysanthemum.
Acta Horticulture.
7. Shekhawat, G.S., S.K. Chakrabati, V. Kishore, V. Sunaina, and A.V. Gadewar. 1993. Possibilities of Biological Management of Potato Bacterial Wilt with Strains of Bacillus sp., B. subtilis, P.
, and Actinomycetes. Bacterial wilt.
Proceeding of an International Conf. held at Kaohshiung, Taiwan, 28-31 Ockt, 1992. Australian Center for International Agricultural Research
and Role of extracellular dectic enzyme of F. oxysporum. Phytopat
Hanudin
Balai Penelitian Tanaman Hias Jl. Raya Ciherang, Pacet P.O. Box 8 Sindanglaya,