• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN. 1 Data monografi Desa Bubulak per tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL PENELITIAN. 1 Data monografi Desa Bubulak per tahun 2010"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENELITIAN Gambaran umum lokasi penelitian

Desa Bubulak, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat menjadi pilihan sebagai lokasi penelitian karena diantara seluruh Kecamatan Bogor Barat, Keluarhan Bubulak menjadi satu-satunya kelurahan yang belum berkembangan dengan jumlah masyarakan menengah ke bawah yang lebih banyak. Berdasarkan data monografi desa, luas kelurahan adalah 157,085 Ha. Luas daerah ini diperuntukkan untuk beberapa hal seperti jalan, sawah, ladang, bangunan umum, pemukiman, jalur hijau, pekuburan, dan lai-lain. Sebanyak 68,265 Ha digunakan sebagai ladang dan 47,2 Ha dijadikan perumahan. Desa Bubulak berada dalam dataran rendah dengan ketinggian 160 meter dari permukaan laut. Batas sebelah utara Keluarahan Bubulak adalah Kelurahan Semplak, sedangkan batas selatannya adalah Kelurahan Margajaya. Batas sebelah barat adalah Keluarhan Situgede dan batas timurnya adalah Kelurahan Sindangbarang. Jarak Kelurahan Bubulak ke pusat pemerintahan kecmatan sejauh 6 km, sedangkan ke pemerintahan pusat kota sejauh 9 km. Desa Bubulak memiliki 13 RW dengan jumlah kepala keluarga per tahun 2010 sebanyak 3437 kepala keluarga dengan jumlah laki-laki sebanyak 6280 orang dan perempuan 6194 orang. Untuk penduduk musiman, terdapat 137 kepala keluarga yang tercatat di Desa Bubulak1.

Karakteristik keluarga Besar keluarga

BKKBN menyebutkan bahwa keluarga dengan anggota tiga sampai empat orang termasuk dalam kategori keluarga kecil. Hampir seluruh contoh (98,8%) memiliki besar keluarga kecil (Tabel 3). Satu contoh lainnya anggota keluarga sebanyak lima orang. Rata-rata besar keluarga contoh adalah sebesar 3,21 orang atau tiga orang dengan standar deviasi sebesar 0,437.

1

(2)

Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga Jumlah Persentase

Kecil (3-4 orang) 89 98,8 Sedang (5-7 orang) 1 1,1 Besar (≥ 8 orang) 0 0 Total 90 100 Keterangan: Nilai minimum-maksimum : 3-5

Rata-rata±sd besar keluarga contoh : 3,21±0,437 Lama menikah contoh

Gambar 4 menunjukkan bahwa hampir setengah contoh (48,9%) menikah selama lima tahun. Satu contoh menikah selama tiga tahun dan terdapat dua contoh yang sudah menikah selama 10 tahun. Lama menikah contoh berada dalam rentang tiga sampai sepuluh tahun. Rata-rata lama menikah contoh adalah 5,13 tahun dengan standar deviasi sebesar 1,144.

Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan lama menikah

Usia suami dan istri saat ini

Hurlock (1980) membagi usia dewasa kedalam tiga kategori, yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa akhir ( >60 tahun). Terlihat dari Tabel 4 bahwa hampir seluruh suami dan istri (94,4% dan 98,9%) berada dalam rentang usia dewasa muda dengan rentang usia 22 sampai 47 tahun. Rata-rata umur suami saat ini adalah 32,94 tahun, sedangkan umur istri saat ini adalah 28,08 tahun. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara usia suami dan istri dengan nilai p value sebear 0,000.

1,1 24,4 48,9 20 2,2 1,1 2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 lama menikah per se nt as e (% ) (tahun) 3 4 5 6 7 9 10

(3)

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia saat ini

Kategori Suami Istri Total

Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Dewasa muda (18-40) 85 94,4 89 98,9 174 96,7

Dewasa madya (40-60) 5 5,6 1 1,1 6 3,3

Total 90 100 90 100 180 100

Keterangan:

Nilai minimum-maksimum umur suami dan istri saat ini : 22-47

Rata-rata±sd umur suami dan istri saat ini : 30,5±4,8

P value : 0,000

Usia menikah suami dan istri

Blood (1962) menyatakan bahwa umur merupakan indikator seseorang sudah matang dan dewasa. Kematangan seseorang yang akan menikah diperlukan untuk membentuk komitmen dalam pernikahan. Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa seseorang diperbolehkan menikah pada usia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Berdasarkan undang-undang tersebut, terlihat dalam penelitian ini bahwa seluruh laki-laki menikah lebih dari umur 19 tahun dan hanya terdapat satu perempuan (1,1%) yang menikah saat umur 16 tahun (Tabel 5). Perbedaan yang sangat signifikan terdapat antara umur menikah suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,000.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan umur menikah

Kategori Jumlah Persentase Total

Jumlah Persentas Suami ≤19 tahun 0 0 0 0 >19 tahun 90 100 90 100 Istri ≤16 tahun 1 1,1 1 1,1 >16 tahun 89 98,9 89 98,9 Keterangan :

Nilai minum-maksimum umur menikah suami : 20-39

Rata-rata±sd umur menikah suami : 27,8±4,2

Nilai minum-maksimum umur menikah istri : 16-36

Rata-rata±sd umur menikah suami : 22,9±3,7

P value : 0,000**

Pekerjaan suami dan istri

Gambar 5 menjelaskan bahwa 41,1 persen suami bekerja sebagai buruh. Buruh disini antara lain buruh bangunan, buruh pabrik, sopir, dan penjaga warung. Untuk istri, hampir seluruhnya (87,8%) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga.

(4)

Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan

Lamapendidikan suami dan istri

Pendidikan merupakan jalan untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Pendidikan akan memberikan wawasan, pengetahuan, dan membentuk perilaku yang baik2. Pemerintah mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan minimal sembilan tahun menurut Undang-undang No. 47 tahun 2008. Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh suami menempuh sekolah formal kurang dari sembilan tahun dengan nilai rata-ata dan standar deviasi sebesar 9,7 dan 2,8. Sama halnya dengan suami, istri juga menempuh pendidikan formal kurang dari sembilan tahun sebanyak 65,6 persen. Rata-rata istri menempuh pendidikan selama 8,84 tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 3,1. Terdapat perbedaan pendidikan yang signifikan antara suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,049.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan

Pendidikan Suami Istri Total

Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase

≤ 9 tahun 48 53,3 59 65,6 107 59,4

> 9 tahun 42 46,7 31 34,4 73 40,6

Total 90 100 90 100 180 100

Keterangan:

Nilai minimal-maksimal lama pendidikan suami dan istri : 0-16

Rata-rata±sd lama pendidikan suami dan istri : 9,3±3,1

P value : 0,049 1,1 2,2 31,1 3,3 25,6 3,3 41,1 2,2 1,1 0 1,1 87,8 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Suami Istri per se nt as e (% ) PNS Karyawan Wiraswasta Buruh

Kyai/guru agama/ustadz Tidak bekerja/IRT

2

http://umum.kompasiana.com/2009/06/30/pendidikan-sebagai-salah-satu-faktor-untuk-meningkatkan-kualitas-hidup-manusia-bag-1/

(5)

Pendapatan per kapita

Garis kemiskinan wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat menurut BPS tahun 2010 adalah Rp212 210. Berdasarkan hal tersebut, Tabel 7 menunjukkan bahwa 86,7 persen contoh memiliki pendapatan per kapita di atas garis kemiskinan wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat menurut BPS 2010.

Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan garis kemiskinan BPS

Garis Kemiskinan BPS 2010 Jumlah Persentase

< Rp 212.210 12 13,3 ≥ Rp 212.210 78 86,7 Total 90 100 Rata-rata±sd 482.000 ± 357.654 Min-max 70.000-1.666.667 Keterangan:

Nilai minimal-maksimal pendapatan per kapita contoh : Rp70.000-1.666.667

Rata-rata±sd pendapatan per kapita contoh : Rp482.000±357.654

Kesiapan Menikah

Kesiapan menikah diartikan oleh Duvall (1971) sebagai laki-laki dan perempuan yang telah menyelesaikan tugas perkembangan remajanya dan telah siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan, dan pribadi siap untuk bertanggung jawab dan menikah. Untuk itu peneliti mengukur kesiapan menikah dari beberapa dimensi, yaitu kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finanasial, dan mental.

Kesiapan Intelektual

Kesiapan intelektual meliputi pernyataan tentang kemampuan contoh untuk mendapatkan informasi. Kesiapan intelektual diartikan oleh Papalia dan Olds (1986) sebagai kemampuan seseorang seperti belajar, mengingat, beralasan, dan berpikir. Tabel 8 dapat terlihat bahwa sebagian hampir seluruh istri (94,4%) dapat memenuhi pernyataan mengenai keikutsertaannya dalam mnencari berita yang menggemparkan dunia, seperti berita tsunami di Aceh tahun 2004 hingga selesai. Hal ini terkait dengan pekerjaan istri yang 87,8 persen bekerja sebagai ibu rumah tangga sehingga memiliki waktu untuk mengikuti berita. Kebanyakan istri mendapatkan berita dari sekilas berita saat sedang menonton televisi. Lain halnya dengan 94,4 persen suami yang mencari berita terbaru melalui televisi, surat kabar, maupun internet tapi hanya 84,4 persen saja yang menikuti kejadian yang

(6)

menggemparkan dunia hingga selesai. Bagi suami, tidak perlu mengikuti berita sampai selesai karena bagi mereka mengetahui berita terbaru saja sudah cukup.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan intelektual

Hasil penelitian yang dilakukan Dopplet dan Wallace (1955) dalam Papalia dan Olds (1986) menunjukkan bahwa kesiapan intelektual dewasa muda akan meningkat pada usia 20-an dan akan menurun setelahnya. Kemampuan ini akan berubah seiring jalannya waktu dan berhubungan dengan aspek motorik dan emosi. Hasil penelitian ini menunjukkan kesiapan intelektual suami lebih tinggi daripada istri dan ada perbedaan yang nyata antara kecerdasa intelektual suami dan istri. Sebuah penelitian yang dilakukan Furnham dan Bunclark (2006) dan Furnham dan Petrides (2004) dalam Sanchez et.al (2008) menyebutkan bahwa laki-laki memiliki nilai kesiapan intelektual yang lebih baik daripada perempuan. Pencapaian kesiapan intelektual suami yang tinggi dapat terlihat dari pendidikan suami yang juga lebih tinggi daripada istri. Pendidikan akan memberikan akses bagi keluarga untuk melakukan salah satu syarat minimal untuk menikah yang disebutkan oleh Burgess dan Locke (1960), yaitu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Semakin tinggi pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan akan semakin tinggi juga (Duvall 1971).

Pemenuhan suami (32,2%) maupun istri (44,4%) mengenai

keikutsertaannya dalam perkumpulan seni sebagai upaya untuk melestarikan budaya masih rendah. Dilihat dari rata-ratanya, suami dapat memenuhi kesiapan intelektual lebih baik daripada istri. Perbedaan yang signifikan terdapat pada

No Pernyataan Suami (%) Istri (%)

1

Saat saya menemukan hal yang baru, saya memiliki rasa keingintahuan yang tinggi untuk mendalami hal tersebut

91,1 81,1

2 Saya mengikuti perkumpulan budaya sebagai

upaya untuk melestarikan budaya 44,4 32,2

3 Saya mencari berita untuk mendapatkan berita

terbaru (melalui surat kabar, televisi, internet) 94,4 85,6

4 Saya suka membaca buku mengenai ilmu

pengetahuan 80 71,1

5

Saat ada peristiwa yang menggemparkan dunia, saya akan mengikuti kejadian tersebut hingga selesai

84,4 94,4

6 Saya menyukai perkembangan dunia politik 54,4 41,1

(7)

kesiapan intelektual keduanya dengan nilai p-value sebesar 0,020. Secara keselurahan, lebih dari separuh suami berada dalam memiliki kesiapan intelektual yang tinggi dan mayoritas istri berada dalam kategori sedang (Tabel 9).

Tabel 9 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan intelektual contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n % Rendah (0-33.3%) 6 6.7 8 8.9 14 7.8 Sedang (33.4-66.7%) 34 37.8 47 52.2 81 45 Tinggi (66.8-100%) 50 55.6 35 38.9 85 47.2 Total 90 100 90 100 180 100 Kesiapan Emosi

Kesiapan emosi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengontrol, mengendalikan, dan mengevaluasi emosi. Papalia dan Olds (1986) mendefinisikan kesiapan emosi adalah kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan dunia, orang lain, dan perasaan. Kesiapan emosi dinilai Blood (1962) sebagai konsep penting dalam kesiapan menikah karena konsep ini sebagai tanda bahwa seseorang telah masuk pada masa dewasa. Hampir seluruh suami (98,9%) dan istri (95,6%) dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan sebanyak 93,3 persen suami dan istri mendapatkan dukungan dari keluarga disegala aktivitas saat sebelum menikah (Tabel 10). Terdapat satu istri yang merokok, baik dalam aktivitas sehari-harinya maupun saat sedang stres.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan emosi

1 Saat saya dikhianati oleh pasangan, saya akan merasa

kecewa 81,1 57,8

2 Saya tidak menggerutu saat marah 33,3 24,4

3 Apabila pasangan saya diganggu oleh orang lain, saya tidak

akan menghampiri 44,4 90

4 Saya tidak merokok saat stres 28,9 98,9

5 Saya mendapat dukungan dari keluarga disegala aktivitas

saya 93,3 93,3

6 Saya dapat menyelesaikan pekerjaan saya tepat waktu 98,9 95,6

7 Jika ada teman yang mengganggu pekerjaan saya, maka saya

akan menyuruhnya pergi dengan baik-baik 57,8 52,2

8 Saya tidak pernah melempar barang dan berteriak jika saya

merasa kesal dengan beban pekerjaan 68,9 23,3

9 Saat saya berbeda persepsi dengan teman saya, maka saya

segera menyamakan persepsi kami 58,9 42,2

10 Saya ikut sedih ketika mendengarkan cerita sedih teman saya 73,3 81,1

Rataan (%) 63,9 71,2

Tabel 10 terlihat bahwa suami dapat memenuhi pernyataan kesiapan emosi rata-rata enam pernyataan (63,9%), sedangkan istri rata-rata tujuh pernyataan

(8)

(71,2%). Pernyataan yang pemenuhannya masih rendah oleh suami adalah merokok saat sedang setres maupun dalam aktivitas sehari-hari karena suami yang tidak merokok hanya tiga dari sepuluh orang (28,9%). Untuk istri, pernyataan yang pemenuhannya masih rendah adalah tidak melempar barang saat sedang marah. Sebanyak 76,7 persen istri yang melempar barang saat marah. Terlihat pada penelitian ini bahwa kesiapan emosi istri lebih baik daripada suami dan ada perbedaan yang signifikan antara kesiapan emosi suami dan istri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Awasthi dan Katyal (2005) menghasilkan kesiapan emosi wanita lebih baik daripada laki-laki. Penemuan ini diduga karena kesiapan emosi berhubungan dengan menjaga dan mengekspresikan emosi yang terlihat dari

kemampuan empatinya, tanggung jawab sosialnya, dan hubungan

interpersonalnya. Selain kemampuannya untuk menjaga emosi dan hubungan personalnya, kesiapan emosi dipengaruhi oleh lingkungan masyarakatnya dan kepribadiannya. Perempuan lebih sensitif dalam mengekspresikan emosinya terhadap orangtua, kerabat, dan peer group sehingga saat seorang perempuan lebih menjaga emosi dan hubungan personalnya daripada laki-laki, maka kesiapan emosinya pun baik.

Lebih dari tiga perempat istri memiliki kesiapan emosi dalam kategori tinggi dan lebih dari separuh suami berada dalam kategori sedang (Tabel 11). Kesiapan emosi suami dan istri berbeda dengan nilai p-value seesar 0,000.

Tabel 11 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan emosi contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n % Rendah (0-33.3%) 0 0 1 1,1 1 0,5 Sedang (33.4-66.7%) 49 54,4 21 23,3 70 38,9 Tinggi (66.8-100%) 41 45,6 68 75,6 109 60,6 Total 90 100 90 100 180 100 Kesiapan Sosial

Selain kesiapan emosi, Blood (1962) menyebutkan seseorang yang telah dewasa secara emosi belum tentu memiliki kehidupan sosial remaja yang cukup untuk siap menikah. Kesiapan sosial, desebutkan pula oleh Blood (1962), sebagai aspek kesiapan menikah yang mendasari pemenuhan kehidupan sosial remaja. Sebanyak 90 persen suami menyatakan sudah cukup umur untuk menikah. Tidak ada ukuran yang tepat untuk menentukan usia menikah (Tabel 12). Menurut UU no. 1 tahun 1974, umur yang tepat untuk menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun,

(9)

sedangkan untuk perempuan adalah16 tahun. Namun, umur tersebut terlalu dini untuk melangsungkan pernikahan, menurut BKKBN. Hampir 90 persen istri akan menyapa terlebih dahulu tetangga baru yang ada di lingkungan rumahnya saat sebelum menikah. Kesiapan sosial suami dan istri berbeda dengan nilai p value sebesar 0,038. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa kesiapan sosial suami lebih baik daripada istri dan terdapat perbedaan yang nyata antara kesiapan sosial suami dan istri. Pernyataan yang masih rendah pemenuhannya adalah menilai seseorang saat pertama kali bertemu. Menurut Carli (2001) kesiapan sosial itu ditentukan oleh beberapa hal, yaitu jumlah laki-laki dan perempuan dalam satu grup yang sedang berinteraksi, cara berkomunikasi, dan isi pembicaraan (hal yang mengandung unsur feminin atau maskulin). Papalia, Olds, dan Feldman (2008) menyebutkan bahwa laki-laki lebih menyukai pembicaraan mengenai olahraga dan permainan yang kompetitif, sedangkan perempuan lebih suka menceritakan pengalamnnya.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan sosial

1 Saya sudah cukup umur untuk menikah 90 85,6

2 Ketika saya sedang bermasalah dengan pasangan,

saya cepat dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebur

40 47,8

3 Saya cepat beradaptasi dengan lingkungan baru 40 21,1

4 Saya akan menyapa duluan saat ada tetangga baru 86,7 88,9

5 Saya akan mengenyampingkan kepentingan saya

untuk mencapai kepentingan bersama 84,4 67,8

6 Saya tidak pernah melarang teman saya untuk

berteman dengan orang lain 88,9 80

7 Saya tidak langsung menilai seseorang dari

penampilan 38,9 41,1

Rataan (%) 66,9 61,7

Berdasarkan kelas interval, kesiapan sosial dibagi ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Mayoritas suami (60%) memiliki untuk kesiapan sosial dalam kategori tinggi, sedangkan lebih dari separuh istri (54,4%) memiliki kesiapan sosial dalam kategori sedang.

Tabel 13 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan sosial contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 1 1,1 4 4,4 5 2,8

Sedang (33.4-66.7%) 35 38,9 49 54,4 85 47,2

Tinggi (66.8-100%) 54 60 37 41,1 90 50

Total 90 100 90 100 180 100

(10)

Kesiapan Moral

Kesiapan moral diartikan sebagai kemampuan seseorang menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk. Masa dewasa muda memiliki tahap perkembangan moral yang paling tinggi, yaitu post conventional menurut Kohlberg. Tahap ini dibagi dua, yaitu social contract dan universal ethical principles. Social contract adalah moral yang ditentukan oleh hak-hak manusia, sedangkan universal ethical principles adalah moral yang diasumsiakn adanya prinsip universal dan nurani sebagai pedoman kebajikan. Papalia dam Olds (1986) menyebutkan bahwa perkembangan moral dewasa muda berfungsi sebagai fungsi pribadi, sosialisasi, dan pengalaman moral. Hampir seluruh contoh, baik suami (96.7%) dan istri (94.4%), akan menolong orang yang tidak disukainya. Sebanyak 94,4 persen istri akan ikut mencela orang lain walaupun hanya bercanda dan 24,4 persen istri pernah melakukan bullying terhadap juniornya baik secara verbal maupun non verbal (Tabel 14).

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan moral

No Pernyataan Suami (%) Istri (%)

1 Saya selalu menolong orang lain meskipun orang

tersebut tidak menyukai saya 96,7 94,4

2 Saat ada orang yang dicela, saya tidak ikut mencela 37,8 5,6

3 Saya selalu memikirkan perasaan orang lain 41,1 37,8

4 Saya pernah menyontek saat ujian 65,6 60

5 Saya selalu berkata jujur kepada semua orang 93,3 93,3

6 Saya dapat menyembunyikan perasaan saya saat

senang maupun sedih 32,2 36,7

7 Saat teman saya terlibat dalam suatu masalah yang saya ketahui, saya akan menceritakan masalah tersebut sejauh pengetahuan saya

46,7 53,3

8 Saya tidak pernah mengambil barang orang 65,6 68,9

9 Saya tidak pernah menggunakan barang orang tanpa

izin 62,2 65,6

10 Saya tidak pernah melakukan bullying terhadap

junior saya 55,6 75,6

11 Saya tidak pernah membeberkan rahasia teman saya 56,7 45,6

Rataan (%) 59,4 57,9

Hasil rataan pada Tabel 14 menunjukkan bahwa suami dapat memenuhi pernyataan kesiapan moral lebih baik daripada istri. Dari 11 pernyataan, suami dapat memenuhi ata-rata 59,4 persen pernyataan sedangkan istri memenuhi rata-rata 57,9 persen pernyataan. Pernyataan yang belum dapat dipenuhi dengan baik oleh suami maupun istri adalah ketidakmampuannya menyembunyikan perasaan saat senang atau sedih (Tabel 14). Kesiapan moral suami dan istri tidak memiliki

(11)

perbedaan dengan nilai p value sebesar 0,464. Peneltian yang dilakukan oleh Walker (1984) mendukung penelitian ini yang menunjukkan bahwa perkembangan moral baik laki-laki maupun perempuan tidak berbeda (Papalia dan Olds 1986). Gilligan (1977) menemukan bahwa moral perempuan lebih baik pada perhatian atau kepekaannya kepada lingkungan, sedangkan laki-laki lebih lebih baik pada moral justice (Podolskiy 2008). Berdasarkan kategori, lebih dari separuh suami (64,4%) dan lebih dari tiga perempat istri (76,7%) berada pada kategori sedang (Tabel 15).

Tabel 15 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan moral contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n % Rendah (0-33.3%) 4 4,4 1 1,1 5 2,7 Sedang (33.4-66.7%) 58 64,4 69 76,7 127 70,6 Tinggi (66.8-100%) 28 31,2 20 22,2 48 26,7 Total 90 100 90 100 180 100 Kesiapan Individu

Blood (1962) menjelaskan bahwa kebanyakan orang belajar menjadi istri dan suami secara otomatis. Dalam proses pendewasaannya mereka belajar untuk menjadi suami dari ayahnya dan menjadi istri dari ibunya. Apabila orangtua mereka berhasil memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya, maka keberhasilan rumah tangga anaknya dapat terjamin. Salah satu yang perlu disiapkan untuk menikah adalah siap untuk mengasuh anak. Lebih dari separuh ibu sudah mengerti cara mengasuh anak karena latar belakangnya yang pernah mengasuh adik, tetangga, ataupun pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga (Tabel 16). Namun sisanya mengandalkan pengalaman masa lalunya saat diasuh oleh orangtua mereka. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menjelaskan bahwa banyak orangtua yang tidak menyiapkan diri untuk mendidik atau mengasuh anaknya dan mengandalkan pengalaman masa lalunya sehingga mereka menggunakan anak mereka sebagai “kelinci percobaan”.

Tabel 16 memperlihatkan bahwa sebanyak 87,8 persen suami telah mengetahui pendidikan mengenai berkelaurga baik dari konseling pra nikah, sharing dengan teman-teman, maupun modelling dari orangtuanya. Lebih dari sepertiga suami (33.3%) adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Begitupula dengan istri, sebanyak 5,6 persen adalah pencari nafkah utama dalam keluarga.

(12)

Sebelum menikah, hampir seluruh istri melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini mungkin dikarenakan wanita yang sering pekerjaan domestik dibandingkan publik. Hampir seperlima istri (17,8%) istri yang secara aktif mencari pengetahuan reproduksi, kehamilan, dan kelahiran sebelum menikah. Hal yang sama terjadi dengan suami yang hanya 38,9 persen yang memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah (Tabel 16).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan individu

1 Sebagai satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga

besar 33,3 5,6

2 Pasangan yang sudah dipilih merupakan pasangan

yang seperti diharapkan 72,2 61,1

3 Sudah memiliki waktu yang cukup untuk mengenal

pasangan 83,3 63,3

4 Memiliki pengetahuan tentang berkeluarga (peran,

fungsi, dan tugas setiap anggota keluarga dalam keluarga)

87,8 85,6

5 Memiliki pengetahuan mengenai cara menstimulasi

anak dengan benar 64,4 67,8

6 Memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak 68,9 61,1

7 Anda akan mengurangi kesenangan pribadi setelah

menikah 78,9 71,1

8 Membiasakan diri untuk melakukan pekerjaan

rumah tangga 75,6 95,6

9 Anda memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum

menikah (Bapak)

Anda memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, kehamilan, dan kelahiran (Ibu)

38,9 17,8

10 Sebelum menikah, pasangan telah membicarakan

mengenai jumlah anak yang diinginkan 52,2 52,2

11 Sebelum menikah Anda telah hidup mandiri

(terpisah dari orangtua) 54,4 23,3

12 Anda memiliki keyakinan akan mendapatkan

pekerjaan yang layak karena keterampilan yang dimiliki

63,3 30

Rataan (%) 64,4 52,9

Istri dapat memenuhi rata-rata 52,9 persen pernyataan atau setara rata-rata delapan pernyataan dan suami dapat memenuhi rata-rata enam pernyataan dari 12 pernyataan yang diajukan mengenai kesiapan individu. Pernyataan yang pemenuhannya masih rendah adalah memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah. Perbedaan yang signifikan ada diantara kesiapan individu suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0.000. Berdasarkan kategori, hampir separuh suami (44,4%) berada pada kategori sedang dan tinggi, sedangkan hampr tiga per empat istri (72,2%) berada pada kategori sedang (Tabel 17). Secara keseluruhan,

(13)

Tabel 17 menunjukkan bahwa kesiapan individu dari seluruh contoh berada pada kategori sedang (58,3%).

Tabel 17 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan individu contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n % Rendah (0-33.3%) 10 1,2 18 20 28 15,6 Sedang (33.4-66.7%) 40 44,4 65 72,2 105 58,3 Tinggi (66.8-100%) 40 44,4 7 7,8 47 26,1 Total 90 100 90 100 180 100 Kesiapan Finansial

Masalah finansial akan terus ada selama kehidupan berkeluarga. Masalah tersebut meningkat pada masa awal pernikahan dan akan terus meningkat hingga masa awal anak. Pasangan yang memiliki masalah dalam masa awal anak-anak akan mendorong orangtua untuk membantu pasanngan tersebut. Keluarga yang memiliki pendidikan dan pekerjaan yang tinggi, keluarga yang fleksibel, dan komunikasi yang baik memiliki manajemen keluarga yang baik, pilihan yang lebih baik, dan rencana untuk masa depan keluarga. Penelitian yang dilakukan Hunt dan Eshlemen tahun 1967 di Michigan menemukan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang masih sekolah atau kuliah lebih memiliki masalah finansial dibandingkan seseorang yang menikah saat kemampuan finansialnya telah stabil (Duvall 1971). Ketidakmampuan finansial tersebut membuat orangtua akhirnya ikut campur dalam masalah keluarga. Menurut Blood (1962), pernikahan yang sukses salah satunya apabila memiliki finansial yang baik dan tercermin dari kepemilikan tabungan baik di bank maupun menyimpan sendiri. Tabel 13 memperlihatkan bahwa hampir tiga per empat suami (72,2%) memiliki tabungan, sedangkan istri hanya 42,2 persen saja. Baik suami maupun istri telah bekerja sebelum menikah. Lebih dari tiga per empat istri (76,7%) telah memiliki pekerjaan tetap, sisanya ada yang membatu orangtuanya bekerja atau selesai sekolah langsung menikah. Demikian pula dengan 84,4 persen suami yang telah memiliki pekerjaan tetap dan sisanya mengikuti usaha turun menurun keluarga.

(14)

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan finansial

1 Sebelum menikah Anda memiliki pekerjaan tetap 84,4 76,7

2 Sebelum menikah Anda sudah memiliki rumah

sendiri 7,8 1,1

3 Sebelum menikah Anda memiliki tabungan 72,2 42,2

4 Sebelum menikah Anda memiliki investasi emas

atau perhiasan 20 64,4

5 Sebelum menikah Anda sudah memiliki kendaraan

sendiri 35,6 8,9

6 Memiliki pengetahuan cara mengelola keuangan

(dari buku, internet, televisi) 55,6 70

7 Memiliki jejaring yang banyak 52,2 74,4

8 Memiliki pendapatan sampingan 50 16,7

Rataan (%) 47,2 44,3

Hasil nilai rataan pada Tabel 18 menunjukkan bahwa suami dan istri dapat memenuhi pernyataan kesiapan finansial rata-rata hampir setengah dari pernyataan (47,2% dan 44,3%). Pernyataan yang masih sedikit dapat dipenuhi oleh suami dan istri adalah kepemilikan rumah. Hanya hampir sepersepuluh suami dan 1,1% istri yang menyiapkan rumah sebagai tempat tinggal setelah menikah. Sisanya masih menumpang di rumah orangtua dan mengontrak. Tidak ada perbedaan kesiapan finansial antara suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0.384. Kategori skor pada Tabel 19 menunjukkan bahwa suami dan istri berada dalam kategori sedang (57,8% dan 60%).

Tabel 19 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan finansial contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n % Rendah (0-33.3%) 24 26,7 28 31,1 52 28,9 Sedang (33.4-66.7%) 52 57,8 54 60 106 58,9 Tinggi (66.8-100%) 14 15,5 8 8,9 22 12,2 Total 90 100 90 100 180 100 Kesiapan Mental

Kesiapan mental perlu dipersiapkan karena menurut Gunarsa dan Gunarsa (2002), dalam kehidupan berumah tangga tentunya sering menemukan ketidakcocokan antara apa yang disukai dan apa yang tidak disukai oleh pasangan. Maka dari itu, setiap pasangan suami istri harus menjadi tim yang kuat dalam menanggulangi perbedaan tersebut sehingga tidak membawa pada perpisahan. Sebelum menikah terdapat syarat yang sebaiknya diajukan sendiri maupun kesepakatan bersama karena akan berdampak pada kesiapan mental pasangan yang akan menikah. Menurut Napolitano, Furstenberg, dan Kefalas (2005)

(15)

kesiapan mental dalam pernikahan termasuk dalam menerima aturan-aturan dalam hubungan pernikahan dan melakukan perjanjian sebagai suami dan istri yang dibuat saat pernikahan. Chairy (2006) mengatakan bahwa kesiapan mental adalah hal yang pertama kali harus disiapkan oleh pasangan yang akan menikah. Pernyataan yang sudah dapat dipenuhi dengan baik oleh suami maupun istri yaitu siap apabila pendapatan keluarga tidak hanya untuk keluarganya saja. Penelitian menunjukkan bahwa istri lebih tidak siap apabila hidup dalam keterbatasan daripada suami. Sebanyak 67,8 persen istri siap untuk hidup terbatas dibandingkan suami yang lebih dari empat perlimanya (82,2%) siap jika harus hidup dalam keterbatasan.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan mentalnya

1 Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri

untuk hidup dalam keterbatasan setelah menikah 82,2 67,8

2 Sebelum menikah, Anda telah memikirkan

bagaimana cara membagi penghasilan yang

didapatkannya untuk dirinya, keluarganya, juga untuk keluarga besar

94,4 90

3 Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri

untuk kemungkinan hubungan yang kurang baik dengan mertua (misalnya mendapatkan sindiran)

61,1 60

4 Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri jika pasangan melakukan perilaku yang sesuai selama pernikahan

67,8 53,3

5 Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri jika

memiliki anak tidak seperti yang diharapkan 62,2 67,8

Rataan (%) 73,6 67,8

Suami dapat memenuhi pernyataan rata-rata hampir tiga perempatnya (73,6%) dari lima pernyataan yang diajukan mengenai kesiapan mental. Pernyataan yang belum dapat dipenuhi oleh suami dengan baik adalah ketidaksiapan hubungan dengan mertua. Istri sudah dapat memenuhi rata-rata lebih dari setengah pernyataan (67,8%). Pernyataan yang belum dapat memenuhi oleh istri dengan baik adalah ketidaksiapannya atas perilaku pasangan yang tidak diharapkan. Dilihat dari kategori skor, lebih dari separuh contoh (55%) berada dalam kategori tinggi untuk kesiapan mentalnya. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kesiapan mental suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,150.

(16)

Tabel 21 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan mental contoh

Kategori Suami Istri Total

n % n % n %

Rendah (0-33.3%) 3 1,7 9 10 12 6,7

Sedang (33.4-66.7%) 34 18,9 35 38,9 69 38,3

Tinggi (66.8-100%) 53 29,4 46 51,1 99 55

Total 90 100 90 100 180 100

Secara keseluruhan, kesiapan menikah suami lebih baik daripada istri. Suami dapat memenuhi rata-rata 63,2 persen dari 59 pernyataan kesiapan menikah, sedangkan istri memenuhi rata-rata 59,6 persen pernyataan kesiapan menikah. Hanya dalam kategori kesiapan emosi saja istri memiliki tingkat kesiapan yang lebih baik daripada suami. Sebagian besar suami maupun istri memiliki kesiapan menikah dalam kategori sedang. Perbedaan yang signifikan antara suami dan istri ditunjukkan dengan nilai p value sebesar 0,008.

Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan kesiapan menikahnya

Tugas Dasar

Tugas dasar merupakan bagian-bagian yang harus dipenuhi oleh keluarga mapun individu sebelum memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya (Maslow 1970). Menurut BKKBN, kebutuhan dasar yang harus dipenuhi keluarga antara lain kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Berikut adalah tabel pemenuhan tugas dasar keluarga di lokasi penelitian.

63,2 59,6 kesiapan menikah per se nt as e (% ) suami istri

(17)

Tabel 22 Sebaran keluarga berdasarkan pemenuhan tugas dasarnya

No Pernyataan Pemenuhan (%)

1 Memiliki ketersediaan makanan 100

2 Anggota keluarga makan minimal dua kali sehari 100

3 Memilliki rumah yang permanen 100

4 Memiliki atap dan dinding yang kokoh 95,6

5 Memiliki pakaian yang berbeda untuk setiap kegiatan 91,1

6 Pergi ke dokter/klinik/bidan saat ada anggota keluarga yang sakit

98,9

7 Melakukan KB di rumah sakit/klinik/bidan 87,8

Rataan (%) 96,2

Tabel 22 memperlihatkan bahwa seluruh keluarga menyediakan makanan untuk makan sehari-hari dan tidak ada anggota keluarga yang makan kurang dari dua kali. Seluruh keluarga juga menempati rumah permanen, baik masih mengontrak, rumah sendiri, maupun masih tinggal dengan orangtua atau mertua. Hampir seluruh contoh membawa anggota keluarga yang sedang sakit ke dokter, klinik, maupun bidan terdekat. Namun ada satu keluarga yang masih menggunakan obat tradisional.

Seluruh keluarga di lokasi penelitian rata-rata hampir memenuhi seluruh pernyataan mengenai tugas dasar keluarga. Dari tujuh pernyataan mengenai pemenuhan tugas dasar, terdapat tiga peryataan yang dapat dipenuhi dengan sempurna oleh keluarga, yaitu ketersediaan makanan, makan lebih dari dua kali sehari, dan memiliki rumah permanen. Terdapat empat keluarga yang atap rumahnya masih terbuat dari anyaman bambu ataupun asbes, bahkan masih ada yang tidak memiliki loteng, lantainya masih dari tanah, dan dindingnya hanya tersusun dari batako putih yang rapuh (belum diplester). Hampir seluruh keluarga (91,1%) memiliki baju yang berbeda untuk setiap kegiatan dan sisanya tidak memiliki baju untuk acara yang berbeda. Delapan keluarga hanya membeli baju setahun sekali, saat lebaran. Sebanyak 87,8 persen ibu melakukan KB, sisanya tidak melakukan karena penyakit (kista dan miom), tidak cocok, dan keyakinan bahwa KB dapat menghambat rezeki untuk mendapatkan anak.

Tugas Krisis

Tugas krisis adalah periode krusial dalam setiap tahapan perkembangan keluarga karena kurangnya sumberdaya (Sunarti 2007). Dalam penelitian, tugas krisis dibagi menjadi tiga, yaitu tugas krisis terkait anak, hubungan suami istri,

(18)

dan kesiapan sekolah anak. Berikut adalah tabel item pernyataan tugas krisis keluarga prasekolah di lokasi penelitian.

Tabel 23 Sebaran keluarga berdasarkan pemenuhan tugas krisisnya

No Pernyataan Pemenuhan (%)

Tugas krisis anak

1 Tidak mengabaikan anak karena bicaranya yang belum jelas 11,1

2 Tidak menyalahkan anak saat terjatuh 24,4

3 Tidak membiarkan anak di depan televisi 36,7

4 Tidak membiarkan anak menangis 56,7

5 Melakukan sebagian besar pengasuhan sendiri 41,1

6 Mendapatkan dukungan pengasuhan 80

7 Membaca buku tentang pengasuhan 37,8

8 Tidak membiarkan anak gemuk 13,3

9 Tidak membiarkan anak buang air sembarangan 51,1

10 Mengatur keadaan rumah yang layak untuk perkembangan

anak 25,5

Tugas krisis hubungan suami dan istri

11 Memiliki privasi untuk menjaga hubungan dengan pasangan 26,7

12 Memiliki waktu untuk melakukan pengasuhan dan

pekerjaan rumah (khusus ayah)

80

13 Memiliki waktu untuk merawat diri 27,8

Tugas krisis kesiapan sekolah anak

14 Memiliki biaya untuk sekolah anak 74,4

15 Memiliki kesempatan untuk menstimulasi anak 67,8

Rataan (%) 43,6

Sebanyak 88,9 persen ibu masih sering mengabaikan anak karena bicaranya yang belum jelas. Namun, saat menangis lebih dari setengah ibu tidak membiarkan anaknya. Sebanyak duapuluh persen ibu tidak mendapatkan dukungan untuk mengasuk karena tinggalnya yang berjauhan atau tidak ingin merepotkan orangtua sehingga setengah ibu memilih untuk meminta bantuan baby sitter maupun saudara kandungnya. Sisanya melakukan pengasuhan sendiri (Tabel 23).

Masa prasekolah merupakan masa yang sibuk sehingga 72,2 persen ibu tidak sempat untuk merawat diri atau punya waktu luang untuk dirinya. Akibatnya, waktu yang dimiliki istri untuk menjaga hubungan dengan suami hanya dimiliki oleh 26,7 persen istri (Tabel 23). Waktu yang digunakan untuk menjaga hubungan suami dan istri sebatas pergi kondangan bersama atau mengobrol di malam hari saat anak sudah tidur. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menjelaskan bahwa partisispasi suami dalam keluarga, baik merawat, mendidik, dan menjaga anak dapat mempererat hubungan suami istri. Namun, karena kesibukan di luar rumah, suami dan istri sering mengacuhkan waktu yang sebenarnya dapat digunakan untuk memupuk rasa keakraban. Hal tersebut terlihat

(19)

dari 20 persen ayah yang tidak memiliki waktu untuk mengurus anaknya karena kelelahan bekerja atau menyerahkan pekerjaan rumah tangga kepada istrinya.

Usia prasekolah merupakan usia persiapan untuk masuk ke sekolah formal. Terdapat 37,8 persen anak yang belum sekolah karena beberapa alsan, salah satunya belum cukup umur untuk masuk PAUD. Namun, umur bukan alasan anak tidak sekolah. Sebelum masuk PAUD, ibu memasukkan anaknya ke TPA sebagai persiapan masuk PAUD. Hampir sama dengan PAUD, di TPA anak mulai mengenal angka, warna, dan ditambah dengan membaca iqra’. Terdapat 30 persen anak yang mengikuti TPA, sedangkan terdapat 31,1 persen anak yang sudah masuk PAUD, dan hanya satu anak yang sudah masuk TK. Tentunya kerjasama antara sekolah dan keluarga diperlukan agar anak benar-benar siap masuk ke sekolah dasar. Namun hanya terdapat 32,2 persen ibu yang menstimulasi anak agar siap untuk sekolah. Ibu yang tidak sempat menstimulasi anak memiliki alasan seperti sibuk bekerja, anaknya yang tidak mau mengulangi pelajaran di PAUD/TPA/TK, memiliki adik yang masih bayi atau usia balita, dan sedang hamil sehingga lebih terkonsentrasi dengan kehamilannya. Secara umum, tugas krisis keluarga dalam lokasi penelitian ini dalam kategori sedang. Dari 15 pertanyaan tersebut, keluarga dapat memenuhi rata-rata 43,6 persen pernyataan atau rata-rata enam pernyataan mengenai tugas krisis.

Tugas krisis merupakan periode-periode krusial dalam keluarga yang terjadi sepanjang tahap perkembangan keluarga. Hampir separuh pernyataan mengenai tugas krisis dapat dipenuhi oleh keluarga dari pernyataan yang diharapkan. Kemampuan keluarga dalam menghadapi krisis dalam keluarga, biasanya dapat terlihat dari teori ABCX family crisis model yang dikembangkan oleh McCubbin dan Thompson (1987). Model ini fokus terhadap stressor yang datang pada keluarga, sumberdaya keluarga, dan kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor. Terdapat tujuh komponen dalam model ini, yaitu stressor, kerentanan keluarga, tipe keluarga (rhytmic, regenerative, resilience, atau traditionalistic families), sumberdaya dalam keluarga, kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor, respon keluarga dalam bentuk pemecehan masalah atau koping strategi, dan penyesuaian keluarga sebagai bentuk akhir dari kemampuan keluarga dalam menerima stressor (krisis keluarga atau tidak).

(20)

Krisis terjadi ketika stressor mulai mengganggu kestabilan keluarga. Kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor tergantung dari sumberdaya keluarga. Besarnya stressor dan tahap perkembangan keluarga akan mempengaruhi kelentingan keluarga yang kemudian rentan atau tidaknya keluarga ditentukan oleh tipe keluarga. Tipe keluarga resilience tidak akan menimbulkan krisis bagi keluarga karena keluarga menjadi fleksibel ketika masalah datang.

Kekuatan, sumberdaya, dan kemampuan keluarga mengartikan stres akan mempengaruhi pemecahan masalah dan koping strategi yang dilakukan keluarga. Krisis atau tidaknya keluarga akan ditentukan dari kekuatan, sumberdaya, dan kemampuan keluarga dalam mengartikan sters tersebut. Keluarga yang resilience (rentan) adalah keluarga yang mampu mengelola tekanan yang diukur dari fleksibitas dan kelekatan keluarga. Tipe keluarga ini menjadi komponen utama untuk menjadikan keluarga yang sehat, kuat dan menunjang keberfungsian keluarga. Keluargatipe ini dapat dikatakan memiliki pola adaptasi yang baik dan ditunjukkan dengan kepuasan keluarga, perkembangan anak, pernikahan, dan lingkungan sekitar.

Hubungan Umur Menikah, Pendidikan serta Kesiapan Menikah Suami dan Istri

Hubungan yang signifikan (p<0,05) terdapat diantara kesiapan menikah suami, umur, dan pendidikan (Tabel 24). Semakin tinggi umur dan pendidikan suami maka kesiapan menikahnya pun semakin baik. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bayer (1968) menemukan bahwa semakin cepat seseorang menikah maka kesiapannya juga semakin rendah. Pendidikan merupakan aset yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Pendidikan dan pendapatan yang tinggi akan meminimalisasi perceraian keluarga (Papalia, Olds, dan Feldman 2008). Blood (1962) menjelaskan bahwa umur adalah indikasi seseorang telah dewasa. Hasil penelitian ini juga didukung oleh Knox (1985) bahwa pendidikan, usia, dan pekerjaan adalah tiga hal yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah.

Hubungan yang sangat signifikan (p<0,01) juga terdapat diantara umur menikah suami dengan kesiapan finansialnya (Tabel 24). Ini berarti semakin tinggi umur menikah suami maka kesiapan finansial suami juga akan semakin

(21)

baik. Duvall (1971) menyatakan bahwa seseorang yang menikah muda mungkin masih bergantung dengan orangtua. Terlihat pada penelitian ini bahwa sebagian besar contoh masih bergantung dengan orangtua sehingga kesiapan finansialnya juga belum stabil. Kesiapan intelektual, emosi, dan kesiapan individu suami berhubungan positif sangat signifikan (p<0,01) dengan pendidikan (Tabel 24). Artinya semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi pula kesiapan intelektual, emosi, dan kesiapan individunya untuk mempersiapkan pernikahan. Secara total, kesiapan menikah suami berhubungan sangat signifikan (p<0,01) dengan umur dan pendidikan (Tabel 24).

Tabel 24 Sebaran koefisien korelasi kesiapan menikah, umur menikah, dan pendidikan suami

Kesiapan menikah Umur menikah Pendidikan

Kesiapan intelektual 0,202 0,362** Kesiapan emosi 0,095 0,358** Kesiapan sosial -0,08 0,047 Kesiapan moral 0,083 0,007 Kesiapan individu 0,198 0,210* Kesiapan finansial 0,356** 0,166 Kesiapan mental 0,102 -0,071

Total kesiapan menikah suami 0,283** 0,289**

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

Sama dengan suami, kesiapan finansial istri memiliki hubungan signifikan positif (p<0,05) dengan umur menikah (Tabel 25). Umur menikah istri yang semakin tinggi menyebabkan kesiapan finansial yang tinggi pula. Begitupula dengan kesiapan intelektual dan emosi memiliki hubungan yang sangat signifikan (p<0,01) dengan pendidikan (Tabel 25). Selain itu, kesiapan finansial juga berhubungan nyata dengan pendidikan. Itu artinya semakin tinggi pendidikan maka kesiapan intelektual, emosi, dan kesiapan finansialnya juga semakin baik. secara keseluruhan terdapat hubungan positif signifikan (p<0,05) antara pendidikan dan kesiapan menikah istri (Tabel 25).

Tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara kesiapan menikah istri dan umurnya. Kesiapan menikah istri yang seragam diduga menjadi sebab tidak adanya hubungan kesiapan menikah dan umurnya. Duvall (1971) menjelaskan bahwa pernikahan yang dilakukan terlalu dini lebih rentan terhadap perceraian dan perpisahan. Mendukung apa yang disebutkan oleh Duvall (1971), Papalia dan Olds (1986) menyebutkan pernikahan yang terlalu cepat akan berdampak pada karir, keikutsertaan dalam sekolah, pengembangan diri pasangan,

(22)

dan mengahambat hubungan pasangan dengan orang lain. Sebaliknya, bagi yang tidak terlalu cepat menikah mereka lebih memiliki kesempatan untuk mencapai kesuksesan dalam pernikahannya. Selain umur, Duval (1971) menyebutkan faktor lainnya yang menentukan kesuksesan keluarga, yaitu kepribadian, pendidikan, latar belakang pacaran, tunangan, alasan untuk menikah, terjadinya kehamilan, status sosial, sikap orangtua terhadap pernikahan, dan keadaan ekonomi.

Tabel 25 Sebaran koefisien korelasi umur menikah, pendidikan, dan kesiapan menikah istri

Kesiapan menikah Umur menikah Pendidikan

Kesiapan intelektual 0,063 0,362** Kesiapan emosi -0,117 0,209* Kesiapan sosial 0,187 0,060 Kesiapan moral -0,057 0,027 Kesiapan individu -0,028 -0,065 Kesiapan finansial 0,217* 0,351** Kesiapan mental 0,040 0,001

Total kesiapan menikah

istri 0,094 0,266*

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

Hubungan Karakteristik Keluarga, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis

Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tidak terlepas dari kemampuan keluarga dalam mencari sumberdaya untuk memenuhinya. Burgess dan Locke (1960) mengatakan bahwa salah satu syarat menikah adalah mampu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada penelitian ini, pendidikan suami berhubungan signifikan (p<0,05) dengan pemenuhan tugas dasar keluarga (Tabel 26). Semakin tinggi pendidikan suami maka kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya akan semakin baik. Pendidikan merupakan aset yang dapat digunakan untuk mendapatkan sumberdaya untuk keluarga. Menurut Duvall (1971) pendidikan yang tinggi akan memberikan kesempatan bagi keluarga untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik.

Tabel 26 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis

Karakteristik keluarga Tugas dasar Tugas krisis

Jumlah anggota keluarga -0,135 -0,073

Lama menikah 0,127 -0,073

Umur menikah suami 0.122* -0,074

Umur menikah istri 0.080* 0,099

(23)

Umur istri 0.113* 0,072

Pendidikan suami 0.257* 0,185

Pendidikan istri 0.105* 0,125

Penghasilan 0.070* 0,030

Pemenuhan tugas krisis keluarga dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu tugas krisis terkait anak, hubungan suami istri, dan kesiapan sekolah anak. Uji hubungan pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara pendidikan suami dan pemenuhan tugas krisis kesiapan sekolah anak (Tabel 27). Semakin tinggi pendidikan suami maka pemenuhan akan krisis terkait kesiapan sekolah anak pun dapat terpenuhi sehingga suami dapat mendukung kesiapan anak untuk sekolah dengan sumberdaya uang.

Tabel 27 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dan dimensi pemenuhan tugas krisis keluarga

Karakteristik keluarga Tugas krisis Anak

Tugas krisis hubungan suami dan istri Tugas krisis kesiapan sekolah anak

Jumlah anggota keluarga -0,139 0,101 -0,034

Lama menikah -0,038 -0,024 -0,104

Umur menikah suami -0.180 0.128 0.018

Umur menikah istri 0.019 0.183 0.040

Umur suami -0.181 0.116 -0.010

Umur istri 0.006 0.166 0.008

Pendidikan suami 0.037 0.190 0.246*

Pendidikan istri 0.000 0.184 0.155

Penghasilan -0.004 0.004 0.091

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

Hubungan Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis Keluarga

Berdasarkan hasil uji hubungan (Tabel 28), terlihat bahwa kesiapan menikah suami berhubungan signifikan (p<0,05) dengan pemenuhan tugas krisis keluarga. Artinya, semakin tinggi kesiapan menikah suami maka pemenuhan tugas krisis keluarganya pun semakin baik. Semakin tinggi kesiapan menikah suami, maka kemampuan akan mendapatkan sumberdaya juga semakin baik sehingga tugas krisis pun dapat terpenuhi.

Tabel 28 Sebaran koefisien korelasi kesiapan menikah, tugas dasar, dan tugas krisis keluarga

Kesiapan menikah Tugas dasar Tugas krisis

Kesiapan menikah suami -0,021 0,223*

Kesiapan menikah istri 0,074 -0,028

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf p<0,01

(24)

Hasil uji hubungan pearson memperlihatkan bahwa tidak ada indikator kesiapan menikah suami dan istri yang berhubungan nyata dengan tugas dasar (Tabel 29). Hubungan yang positif signifikan terdapat diantara kesiapan intelektual, sosial, dan emosi suami dengan pemenuhan tugas krisis keluarga. Semakin tinggi ketiga kesiapan tersebut, maka pemenuhan tugas krisis pun semakin baik. Hubungan positif signifikan juga terdapat pada kesiapan intelektual istri dengan pemenuhan tugas krisis keluarga.

Kesiapan intelektual suami dan istri menjadi aset untuk memperoleh sumberdaya keluarga. Semakin tinggi kesiapan intelektual suami maka pendidikan suami juga semakin baik yang nantinya menjadi kesempatan untuk mendapatkan pendapatan dan pekerjaan yang baik (Duvall 1971). Oppenheim (1969) mejelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan dan pendidikan. Semakin tinggi pendidikan maka pekerjaan yang didapatkan akan semakin baik. Pemenuhan kebutuhan krisis juga tidak terlepas dari adanya dukungan dari keluarga maupun teman (Smart dan smart 1980). Kesiapan emosi dan sosial suami dapat digunakan sebagai aset untuk mendapatkan dukungan dalam memenuhi tugas krisis keluarga.

Tabel 29 Sebaran koifeisen korelasi dimensi kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga

Dimensi kesiapan Menikah Tugas krisis keluarga Tugas dasar

Kesiapan menikah suami

Kesiapan intelektual 0,258* -0,132 Kesiapan emosi 0,226* 0,052 Kesiapan sosial 0,291** -0,043 Kesiapan moral -0,021 0,022 Kesiapan individu 0,096 -0,091 Kesiapan finansial -0,017 0,063 Kesiapan mental 0,132 0,069

Kesiapan menikah istri

Kesiapan intelektual 0,216* 0,105 Kesiapan emosi -0,053 0,142 Kesiapan sosial 0,020 0,130 Kesiapan moral 0,011 0,012 Kesiapan individu -0,192 -0,117 Kesiapan finansial 0,012 0,024 Kesiapan mental -0,028 0,061

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

Tabel 30 menunjukkan bahwa kesiapan intelektual suami berhubungan sangat signifikan (p<0,01) dengan pemenuhan dimensi tugas krisis (dimensi anak, hubungan suami istri, dan kesiapan sekolah anak). Ini berarti semakin tinggi

(25)

kesiapan intelektual suami, maka pemenuhan akan tugas krisis (anak, hubungan suami dan istri, serta kesiapan sekolah anak) juga semakin baik. Kesiapan mental suami juga berhubungan signifikan (p<0,05) dengan pemenuhan tugas krisis kesiapan sekolah anak. Semakin tinggi kesiapan mental suami maka pemenuhan akan tugas krisis kesiapan sekolah anak juga semakin baik. Ini berkaitan dengan kemampuan suami untuk membagi penghasilannya untuk sekolah anak, kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan pribadinya.

Tabel 30 Sebaran koefisien korelasi dimensi kesiapan menikah dan tugas krisis keluarga

Dimensi kesiapan menikah

Tugas krisis terkait anak

Tugas krisis terkait hubungan suami dan istri

Tugas krisis terkait kesiapan sekolah anak Kesiapan menikah suami Kesiapan intelektual 0,999** 0,998** 0,999** Kesiapan emosi 0,214* 0,129 0,060 Kesiapan sosial 0,284** 0,084 0,237* Kesiapan moral -0,022 0,057 -0,081 Kesiapan individu 0,017 0,057 0,180 Kesiapan finansial -0,101 0,105 0,044 Kesiapan mental 0,099 0,134 0,216*

Kesiapan menikah istri

Kesiapan intelektual 0,081 0,246* 0,181 Kesiapan emosi -0,028 -0,088 0,005 Kesiapan sosial -0,017 0,074 0,011 Kesiapan moral 0,063 -0,136 0,055 Kesiapan individu -0,207 -0,032 -0,088 Kesiapan finansial -0,063 0,125 0,028 Kesiapan mental -0,025 0,000 -0,029

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

Pengaruh Umur Menikah dan Pendidikan terhadap Kesiapan Menikah

Berdasarkan penjelasan Knox (1985) bahwa kesiapan menikah dipengaruhi oleh umur, pendidikan, dan karir. Hasil uji regresi berganda (Tabel 31) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) antara kesiapan menikah suami dan umur menikah. Setiap kenaikan satu standar deviasi umur menikah maka akan menaikkan pula kesiapan menikahnya sebesar 0,251 standar deviasi. Begitupula dengan pendidikan, tedapat pengaruh yang sangat signifikan dengan kesiapan menikah. Setiap kenaikan pendidikan satu standar deviasi maka akan menaikkan pula kesiapan menikah suami sebanyak 0,261 standar deviasi. Model dalam penelitian menjelaskan 12,9 persen pengaruhnya

(26)

dengan variabel independen dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam model.

Tabel 31 Sebaran koefisien regresi umur menikah dan pendidikan terhadap kesiapan menikah suami

Variabel

Kesiapan menikah suami

Sig Beta tidak

terstandarisasi

Beta terstandarisasi

Umur menikah menikah 0,351 0,251 0,014*

Pendidikan suami 0,516 0,261 0,010**

R2 0,149

Adjusted R2 0,129

Sig 0,001

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

Berbeda dengan apa yang dikemukakan Knox (1985) bahwa umur menikah berpengaruh terhadap kesiapan menikah, tidak ada pengaruh yang signifikan antara umur menikah istri terhadap kesiapan menikahnya. Ini diduga karena istri tidak menyiapkan diri seperti yang dilakukan suami. Mereka lebih banyak bergantung pada suami, orangtua, ataupun mertua. Pengaruh yang signifikan (p<0,05) terdapat pada pengaruh pendidikan istri terhadap kesiapan menikah istri. Setiap kenaikan standar deviasi pendidikan istri akan menaikkan 0,258 standar deviasi kesiapan menikah istri. Model ini menjelaskan 5,2 persen pengaruhnya dengan variabel independen. Sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti (Tabel 32).

Tabel 32 Sebaran koefisien regresi umur menikah dan pendidikan terhadap kesiapan menikah istri

Variabel

Kesiapan menikah istri

Sig Beta tidak

terstandarisasi

Beta terstandarisasi

Umur menikah menikah 0,061 0,047 0,655

Pendidikan istri 0,396 0,258 0,016*

R2 0,073

Adjusted R2 0,052

Sig 0,037

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

Pengaruh Kesiapan Menikah terhadap Pemenuhan Tugas Krisis

Berdasarkan hasul uji regresi (Tabel 33) menunjukkan bahwa ada pengaruh sangat signifikan (p<0,01) antara kesiapan sosial suami terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga dengan nilai beta 0,262. Artinya setiap kenaikan

(27)

satu standar deviasi kesiapan menikah akan menaikkan pula pemenuhan tugas krisis keluarga sebesar 0,262 standar deviasi. Terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) juga antara kesiapan intelektual suami terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga dengan nilai beta 0,313. Artinya setiap kenaikan satu standar deviasi kesiapan menikah akan menaikkan 0,313 standar deviasi pemenuhan tugas krisis keluarga. Model ini menjelaskan 13,9 persen pengaruh dimensi kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga, sedangkan sisanya (86,1%) dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak diteliti dalam model.

Tabel 33 Sebaran koefisien regresi dimensi kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga

Dimensi kesiapan menikah

Tugas krisis Sig Beta tidak terstandarisasi Beta terstandarisasi

Kesiapan intelektual suami 0,463 0,262 0,034

Kesiapan emosi suami 0,306 0,176 0,112

Kesiapan sosial suami 0,601 0,313 0,008

Kesiapan moral suami -0,175 -0,131 0,237

Kesiapan individu suami -0,106 -0,109 0,411

Kesiapan finansial suami -0,086 -0,070 0,549

Kesiapan mental suami 0,160 0,089 0,427

Kesiapan intelektual istri 0,215 0,116 0,320

Kesiapan emosi istri -0,161 -0,081 0,444

Kesiapan sosial istri 0,098 0,046 0,686

Kesiapan moral istri -0,018 -0,011 0,917

Kesiapan individu istri -0,202 -0,167 0,129

Kesiapan finansial istri -0,057 -0,045 0,684

Kesiapan mental istri -0,015 -0,009 0,934

R2 0,275

Adjusted R2 0,139

Sig 0,026

*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01

(28)

Gambar

Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga
Tabel 6 Sebaran  contoh  berdasarkan lama pendidikan
Tabel 10  Sebaran  contoh  berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan emosi  1  Saat  saya  dikhianati  oleh  pasangan,  saya  akan  merasa
Tabel 12  Sebaran  contoh  berdasarkan  pemenuhan  item  pernyataan  kesiapan  sosial
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu regu akan dinyatakan kalah default, jika dalam pertandingan jumlah pemain dari regu tersebut yang ada di lapangan kurang dari …a. Dalam suatu pertandingan bola basket, pemain

Seperti pada tabel 1 bahwa responden menjawab sebagian besar berada pada tingkat sedang, artinya kotribusi yang telah diberikan oleh atasan terhadap karyawan berupa pemikiran, gaya

a). Penyisipan vokal /a/ dalam gugus konsonan dapat diketahui dari tabel 12. Vokal yang disisipkan pada gugus konsonan tersebut di atas adalah sejenis dengan vokal sebelumnya.

Dari hasil observasi peneliti bahwa makanan yang dibawa oleh anak-anak murid RA Al Hikmah bahwasannya ada yang bergizi dan tidak, dikarenakan dapat dilihat dari makanan

Effects of n-3 HUFA content in broodstock diet on spawning performance and fatty acid composition of eggs and larvae in Plectorhynchus cinctus.. Slechta,

Pengembangan desain tokoh merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk menonjolkan keunikan dan karakter dari sebuah tokoh, akan tetapi pengembangan tokoh juga harus

Apabila hasil penelitian ini menemukan ada perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar Calistung siswa yang melakukan pembelajaran Tematik tersupervisi

Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi selalu menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan intravena yang diberikan selama