• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Universitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 Universitas Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Bangunan merupakan salah satu data arkeologi yang tidak dapat dipindahkan atau terpisah dari matriksnya. Istilah tersebut dalam arkeologi disebut fitur. Fitur terbagi dalam cummulative features1 dan constructed features (Sharer & Ashmore, 2003: 415, 426). Bangunan itu sendiri termasuk dalam constructed features karena mengalami proses perancangan sebelum dibuat. Hal tersebut terlihat dari pengertian bangunan.

Bangunan, menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997: 137), meliputi segala struktur yang dibuat dengan tujuan menyediakan tempat bagi manusia, sehingga mereka dapat menetap dan melakukan kegiatan di dalamnya. Ruangan dan strukturnya harus direncanakan untuk menghasilkan lingkungan dan fasilitas yang dibutuhkan untuk kegunaan masing-masing.

Bangunan dapat dikelompokkan berdasarkan kegunaan dan pemakaiannya (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1997: 137), antara lain:

1. Bangunan untuk umum, misalnya auditorium, gereja, mesjid, gedung bioskop, dan teater.

2. Bangunan suatu lembaga, misalnya rumah sakit, sekolah dan penjara. 3. Bangunan kediaman, misalnya rumah tinggal, apartemen, dan hotel.

4. Bangunan untuk usaha perdagangan, misalnya pasar, pabrik, dan perkantoran.

5. Bangunan penyimpanan, misalnya garasi mobil, gudang, bunker.

Bangunan-bangunan mulai ada di Indonesia ketika masa prasejarah pada saat bercocok tanam berupa rumah panggung, sebelumnya manusia bertempat tinggal dalam ceruk atau gua. Pada masa Hindu-Buddha bangunan yang didirikan mulai beragam dari fungsinya. Fungsinya sebagai rumah tinggal, Keraton, pemandian, candi dan sebagainya. Perbedaan fungsi yang terbagi menjadi dua, yaitu sakral dan non sakral maka pada pembangunan bangunan sakral

1

Cummulative features merupakan fitur-fitur yang terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia, misalnya ceruk dan goa.

(2)

diperhatikan dalam pembuatannya dan keletakannya. Begitu pun yang terjadi pada masa Islam.

Ketika bangsa Belanda datang ke Indonesia membuat bangunan dengan bentuk dan fungsi yang makin beragam, tanpa memperhatikan bangunan tersebut sakral atau tidak. Perhatian bangunannya disesuaikan dengan bangunan umum atau pribadi.

Bangunan awal yang didirikan oleh bangsa Belanda, berupa gudang-gudang untuk menyimpan barang dagangan yang berupa rempah-rempah. Bila memiliki modal besar didirikan pula kantor dagang dan benteng sebagai sarana pertahanan. Benteng selain untuk pertahanan juga untuk tempat tinggal orang-orang Belanda sehingga dilengkapi dengan sarana dan prasarananya. Oleh karena itu segala aktivitas perdagangan dan kehidupan sehari-hari berada dalam benteng. Seiring waktu, keamanan di luar benteng menjadi aman dari perlawanan rakyat sekitarnya maka para pembesar tinggal di luar benteng. Pada masa VOC dibangun rumah peristirahatan dan taman luas serta mengikuti model Belanda dari abad 18 (Soekiman, 2000: 1-4).

Bangunan yang didirikan pada masa kolonial dapat dikatakan sebagai bangunan kolonial (Soekiman, 1992:661). Tumbuhnya kota-kota kolonial di Indonesia dimulai ketika perdagangan Belanda yang makin mantap sehingga perlu untuk membangun berbagai sarana dan prasarana untuk keperluan hidup mereka termasuk di dalamnya berdiri bangunan-bangunan kolonial seperti bangunan bangunan umum, bangunan pemerintahan/lembaga dan bangunan tempat tinggal (Abbas, 2006: 227).

Awal kota Bandung pada abad 19 terdapat perencanaan pembangunan dan penataan kota yang bernama Plan der Negorij Bandong. Rancangan tersebut masih sederhana dan tidak terlalu luas. Batas kota rancangan tersebut, yaitu sebelah timur dengan Jalan Kaca Wetan, sebelah barat dengan Jalan Kaca-Kaca Kulon, sebelah utara dengan Jalan Aceh, dan sebelah selatan dengan Jalan Kebon Kalapa. Bangunan-bangunan yang didirikan pada masa itu terdapat delapan bangunan baru, antara lain: Kantor Kabupaten (Woning van den Regent), Gudang Kopi (Assisten der kofiee Kultuur) yang kemudian menjadi gedung Papak, Rumah Temenggung (Toemenggoeng), Rumah Kepatihan (Aria), Rumah

(3)

Tuan Herberg (Herberg), Barak Militer (Blokhuizen), Mesjid di Alun-Alun (Masigit), dan Rumah Tuan Paijen (Woning van der Heer Puijen) (Kunto, 2008: 174).

Peta 1.1. Peta Bandung Awal Abad 20 Sumber: Kunto, 2008: 175

Pada tahun 1906, kota Bandung dijadikan sebagai gemeente2 sesuai dengan ordonansi yang dikeluarkan pada tanggal 21 Februari 1906 dan Undang-Undang tanggal 1 Maret 1906 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutzs (Verslag 1919:1). Ketika bangsa Belanda berkuasa di kota Bandung dan dibukanya jalan raya Pos Anyer-Panarukan dibangun beberapa bangunan atau sarana kota tambahan, seperti loji, penjara dan kantor pos yang terletak di sebelah

2

Geemente merupakan pemerintahan otonom pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen (Hardjasaputra, 2000: 5-6).

(4)

utara alun-alun. Penggunaan loji di kota-kota di Pulau Jawa meniru kota yang ada di Negara Belanda (Pemerintah Kotamadya DT II Bandung, 1999: 66).

Sejak pemerintah Kota Bandung menjadi gemeente, diwajibkan mendirikan fasilitas-fasilitas umum, seperti sekolah, stasiun, kantor pemerintahan, bank, pasar, bioskop dan tempat hiburan serta infrastruktur kota, seperti jalan raya, jembatan, saluran air hujan, saluran limbah air sumur dan mata air, dan jaringan pipa air ledeng.

Sehubungan dengan rencana perpindahan ibu kota Hindia Belanda dari kota Batavia ke Bandung, selama kurang lebih tujuh tahun atau sejak tahun 1918-1925 telah dibangun sebanyak 400-750 bangunan rumah modern yang direncanakan sebagai tempat tinggal para pegawai pemerintah pusat yang sekarang berada di daerah Taman Sari, Taman Pramuka, dan Jalan Dago (Kunto 1996:103, 2000:54). Pada tahun 1926 status Kota Bandung menjadi

stadsgemeente3 dan wilayahnya diperluas hingga mencapai 2.853 hektar dan sebanyak 1.050 hektar (37 persen) diantaranya digunakan untuk bangunan. Kota Bandung makin berkembang dengan dibangunnya pusat perbelanjaan di sekitar jalan Braga sekarang.

Dalam menambah jumlah sarana dan prasarana umum dibutuhkan suatu perancangan yang baik agar kota menjadi menarik. Rancangan suatu bangunan dapat memberikan kesan-kesan tertentu pada pengamatannya. Kota Bandung memiliki banyak bangunan menarik dengan rancangan yang khas. Ir. Thomas Karsten menyatakan bahwa Bandung merupakan sebuah kota yang dirancang sempurna, dengan tata ruang terinci (Kunto, 1986:193). Di Kota Bandung terdapat dua jenis bangunan khas berdasarkan keletakannya, yaitu peletakan mundur4 dan persimpangan jalan (Dana, 1990:xii). Berdasarkan kedua jenis bangunan khas tersebut yang banyak dibangun di Kota Bandung adalah di persimpangan jalan.

3

Stadsgemeente adalah kotapraja, ibukota atau pusat pemerintahan gemeente (Hardjasaputra, 2000: 5-6).

4

Peletakan mundur adalah bangunan khas yang letaknya lebih mundur dari garis sepadan. Biasanya dilengkapi dengan taman di bagian depan bangunan tersebut. Contohnya: Gedung Sate, Kantor Walikota Bandung dsb.

(5)

Persimpangan jalan merupakan daerah tempat manusia dan kendaraan berjalan perlahan-lahan, memperlambat pergerakan atau berhenti sejenak untuk mengamati keadaan atau situasi di sekelilingnya. Hal tersebut menjadikan bahwa keberadaan bangunan-bangunan yang terletak di sudut pada persimpangan jalan menjadi istimewa karena terletak di tempat strategis dan dapat dilihat dari setiap sudut pandang. Bangunan didirikan pun tentunya memiliki rancangan yang lebih menarik dibandingkan bangunan di sekitarnya (Dana, 1990:30). Oleh karena itu, bangunan yang terletak di sudut persimpangan jalan disebut sebagai bangunan sudut (Hoek Bouw).

Foto 1.1. Contoh Bangunan Sudut Foto oleh: Maharani Qadarsih

Bangunan yang terletak di sudut persimpangan jalan merupakan ciri utama dari bangunan sudut. Apabila tidak terletak di sudut persimpangan jalan merupakan bukan bangunan sudut. Hal yang kemudian diperhatikan adalah berbedanya bentuk bangunan sudut dengan bangunan yang ada di sekitarnya yang bukan bangunan sudut. Bila dilihat pada masa sekarang bangunan yang terletak di sudut umumnya memiliki luas lahan, tapi ada beberapa bangunan dari masa kolonial tidak memiliki lahan yang luas dan bangunannya menggunakan semua lahan tersebut. Namun, ada juga yang memiliki lahan yang luas sehingga

(6)

bangunannya tidak menggunakan semua lahan yang ada. Sebagian besar bangunan tersebut pada masa sekarang adakalanya digunakan sebagai perkantoran dan tempat perdagangan, karena letak bangunan yang sangat strategis.

Keberadaan bangunan sudut dimulai dari masa Renaisans yang memiliki bentuk bangunan simetris. Bangunan sudut pada masa itu dijadikan sebagai gerbang lingkungan karena terletak di sudut persimpangan dan memiliki bentuk yang sama dengan di seberangnya (Dana, 1991). Berbedanya dengan yang ada di Kota Bandung adalah bangunan sudut yang sebagian besar tidak memiliki bentuk yang sama dengan di seberangnya.

Bangunan-bangunan sudut yang berada di kota-kota kolonial di Indonesia terutama di Pulau Jawa cukup banyak jumlahnya, antara lain: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Jogjakarta. Bangunan sudut di Jakarta misalnya bangunan Chartered Bank, di Semarang misalnya bangunan Lawang Sewu, di Surabaya misalnya bangunan Siola, di Jogjakarta misalnya bangunan sudut BNI Malioboro, dan di Bandung misalnya bangunan Bank DENIS.

Sebelumnya bangunan sudut di Bandung telah dilakukan oleh Djefry W. Dana5 dalam tesisnya yang berjudul Studi Bangunan Sudut di Kota Bandung: Suatu Telaah Tipologi Bangunan di Kavling Sudut. Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan berupa metode yang dilakukan. Perbedaan metode yang digunakan menyebabkan kerja penelitian yang berbeda. Penelitian yang akan dilakukan adalah analisis bentuk dan keletakan bangunan-bangunan sudut yang kemudian ditafsirkan dengan bantuan data sejarah Kota Bandung dan arsitektur bangunan kolonial. Sedangkan pada penelitian sebelumnya berupa tipologi bangunan sudut secara arsitektur. Jumlah data bangunan sudut yang digunakan sebagai data pun berbeda, penelitian yang akan dilakukan berjumlah 50 bangunan sudut, sedangkan pada penelitian sebelumnya berjumlah 71.

Hasil penelitian sebelumnya dalam tesis menyebutkan bahwa beberapa cara penyelesaian rancangan bangunan sudut, antara lain: pemakaian bentuk plastis kurva linier, bentuk menara (tunggal atau ganda), atap dengan bentuk kubah atau pyramid, bentuk bangunan melengkung mengikuti sudut jalan, bentuk

5

Lihat dalam tesisnya yang berjudul Studi Bangunan Sudut di Kota Bandung: Suatu Telaah Tipologi Bangunan di Kavling Sudut

(7)

lebih tinggi dari bangunan lainnya, atap bangunan dengan bahan khusus, pemakaian arkade, bangunan kembar, bentuk bangunan dengan peninggian berupa penonjolan pada bagian muka, dan bentuk bengunan dengan ragam hias menarik. Jumlah bangunan sudut dari tahun 1905-1940 sebanyak 71 bangunan sudut.

Tabel 1.1. Data Bangunan Sudut Tahun 1905-1940 (Sumber. Dana, 1991)

No Tipe Bangunan Sudut Jumlah

1 Menggunakan Kurva Linier 4

2 Menggunakan menara tunggal dan ganda

18

3 Menggunakan peninggian tampak 13

4 Menggunakan atap kubah 4

5 Menggunakan bentuk melengkung 8 6 Menggunakan ketinggian berlebih 12

7 Menggunakan arkade 2

8 Bentuk Kembar 4

9 Menggunakan atap dengan bahan khusus

3

10 Menggunakan ragam hias menarik 3

Total 71

Lingkup penelitian yang dilakukan adalah penelaahan dan pembahasan mengenai konsep-konsep yang digunakan pada bangunan secara umum, terutama pada peranan bangunan di kavling sudut dan penerapannya pada bangunan-bangunan sudut. Tujuan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah menjelaskan pengertian antara bangunan sudut dan bangunan yang terdapat di sudut lainnya.

Bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial di Bandung masih dipertahankan hingga sekarang, tapi sebagian lagi bangunannya sudah berubah menjadi bangunan baru. Pada tahun 1990 ada 495 bangunan lama, namun yang

(8)

tersisa hingga tahun 2000 hanya sekitar 206 bangunan arsitektur kolonia (Kunto, 2000: 20).

1.2. Rumusan Permasalahan

Bangunan sudut merupakan bangunan yang terletak di lahan sudut persimpangan jalan dengan bentuk yang berbeda dari bangunan di sekitarnya. Bangunan-bangunan ini memiliki bentuk dan keletakan yang beragam. Namun, tidak ada ketentuan yang pasti tentang bentuk dan keletakan bangunan-bangunan sudut. Bangunan-bangunan sudut di Bandung memiliki jumlah yang banyak dengan bentuk beranekaragam, tapi terdapat pula kesamaan bentuk. Begitu pula dengan keletakannya terletak di persimpangan jalan. Bangunan-bangunan sudut ada yang keletakannya berada di satu persimpangan jalan dengan bangunan sudut lainnya dan ada yang terletak di persimpangan jalan yang berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan banyak data untuk menjelaskan bentuk-bentuk bangunan sudut serta keletakan yang sering digunakan bangunan sudut tersebut. Fungsi bangunan sudut pun sangat beragam, seperti tempat tinggal, perkantoran pemerintah maupun swasta, sarana militer dan sekolah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah:

Bagaimana bentuk dan keletakan bangunan-bangunan sudut di Bandung serta kaitannya dengan fungsi dan perkembangan Kota Bandung?

1.3. Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian

Dengan diketahui bentuk dan keletakan bangunan-bangunan sudut di Kota Bandung maka tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bangunan sudut dalam kerangka sejarah Kota Bandung dan arsitektur. Tujuan khusus pada penelitian ini untuk mengetahui pola dan persebaran bangunan sudut.

Seperti dijelaskan sebelumnya batas ruang lingkup penelitian dibatasi pada bangunan-bangunan sudut yang didirikan pada tahun 1900-1940 karena pada tahun-tahun tersebut kota Bandung mengalami peningkatan sarana dan prasarana mengingat status kota Bandung sebagai gemeente kemudian menjadi

(9)

bangunan-bangunan sudut tersebut sebanyak 50 bangunan.

1.4. Metode Penelitian

Metode penelitian arkeologi merupakan cara untuk menjawab permasalahan-permasalahan penelitian arkeologi. Dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap penelitian yakni, pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data.

Bagan 1.1. Metode Penelitian

Berikut tahapan-tahapan penelitian yang digunakan pada penelitian ini, sebagai berikut:

(10)

Pengumpulan Data

Tahap penelitian pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data, berupa mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian dan sesuai dengan kebutuhan penelitian pula. Data terbagi dalam dua, yaitu data primer dan data sekunder. Penjajakan data ini melalui buku-buku yang berkaitan dengan tata perkembangan dan sejarah Kota Bandung.

Data primer yang dipakai pada penelitian adalah bangunan-bangunan sudut yang terdapat di kota Bandung yang berasal dari tahun 1900-1940. Sumber data utama atau data primer yang digunakan adalah foto, dan gambar bangunan sudut pada tahun 1930 hingga keadaan sekarang. Berdasarkan data-data yang dipelajari terdapat bangunan Kantor Pos Besar Bandung, Hotel Savoy Homann, Museum Konferensi Asia Afrika, Toko Asia Afrika-Pecinan, Gedung Merdeka, Kantor Ex. Escompto Bank Bandung, Hotel Swarha, Toko de Vries, Toko Sudirman-Kasmin, Kantor Asia Afrika- Kaca Kaca Wetan, Toko Ligna, Apotek de voor Zogh, Kantor Asuransi Independent, Toko Cetre Point, LKBN Antara, de Javasche Bank, Denis Bank, Gereja Bethel, Gereja Santo Petrus, Bangunan Juanda-Hasanuddin, Bangunan Juanda-Prabudimuntur, Rangga Gading-Purnawarman, Sawunggaling-Rangga Gading, Villa Merah, Drie Klieur, Merdeka-Aceh, Perpustakaan Universitar Parahyangan, Kyai Gede Utama-Dipati Ukur, Kantor DPD Angkatan 45, GKP RI, Toko ABC-Banceuy, Toko Bintang Mas, Toko Hasil Bumi Bintang, Gedung Bapemil, Cendana-Taman Pramuka, Riau-Banda, Soka-Riau, Pudak-Anggrek, Anggrek-Taman Cendana, Markas Komando Wilayah V, Balai Keselamatan, SMPN 5 Bandung, Sumatera-Aceh, Villa Gruno, Malabar-Gatsu, Gatsu-Malabar, Pabrik Kina, dan Yayasan Panti Asuhan Dana Mulya.

Sementara itu data sekunder sebagai data bantu, antara lain data kepustakaan, dan lapangan. Data kepustakaan adalah Buku dan artikel yang berkaitan dengan Sejarah Bandung, bangunan sudut, dan arsitektur kolonial di Bandung. Selain itu pula dibutuhkan majalah-majalah lama dan foto-foto lama untuk memperlihatkan keletakan bangunan sudut dengan jalan dan perubahannya bentuk bangunan sudut., serta denah-denah bangunan-bangunan tersebut yang diperoleh melalui instansi yang berkaitan, yaitu Departemen Kebudayaan

(11)

Bandung (Yayasan Bandung Heritage) dan pengelola atau pengguna bangunan-bangunan sudut itu sendiri. Selanjutnya, data lapangan diperoleh melalui pengamatan dan perekaman data. Pengamatan berupa pencatatan dan memperhatikan seluruh bangunan yang menunjang penelitian dan perubahan-perubahan bangunan termasuk pula renovasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui keadaan bangunan sekarang dan perubahan-perubahan yang terjadi sebelumnya. Hasilnya pencatatan kemudian dideskripsikan dalam bentuk verbal yang terlihat dalam bab 2.

Deskripsi yang dilakukan pada pengumpulan data adalah menjelaskan keletakan bangunan, bentuk bangunan yang meliputi denah bangunan sudut baik yang bertingkat atau tidak, bermenara atau tidak, berhalaman depan atau tidak, keadaan bangunan sekarang, tampak muka bangunan sudut, deskripsi bagian bangunan yang terlihat dari luar dan keadaan bangunan sekarang. Selain itu, dijelaskan pula biro arsitek, gaya bangunan, sejarah dari bangunan sudut tersebut, ciri khas bangunan dan fungsi awal bangunan.

Guna mempermudah pendeskripsian maka dilakukan pembagian wilayah menjadi sektor-sektor. Penamaan sektor disesuaikan dengan nama jalan-jalan dan wilayah pada awal abad 20 ketika masih di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Sektor-sektor tersebut ditetapkan sebanyak sembilan yang sesuai dengan wilayah pada masa awal abad 20. Sembilan sektor tersebut antara lain, sektor Grote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika dan Jalan Sudirman), sektor Bragaweg (sekarang Jalan Braga), sektor Merdekaweg (sekarang Jalan Merdeka dan Jalan Ir. H. Djuanda), sektor Oude Hospitaalweg (sekarang Jalan Veteran dan Jalan Bungsu), sektor Pasar Baroeweg (sekarang Jalan Otto Iskandardinata), sektor Roozemboomweg (sekarang Jalan R.L.L.E. Martadinata atau Jalan Riau), sektor Soematrastraat (sekarang Jalan Sumatera), sektor Papandayanlaan (sekarang Jalan Gatot Subroto), dan sektor Burgermeester Coopsweg (sekarang Jalan Pajajaran). Kesembilan sektor tersebut (sektor Grote Postweg, sektor Bragaweg, sektor Merdekaweg, sektor Oude Hospitalweg, sektor Pasar Baroeweg, sektor Roozeboomweg, sektor Soematrastraat, sektor Papandyanlaan, dan sektor Burgemeester Coopsweg) akan tetap digunakan selama penelitian ini.

(12)

Pengolahan Data

Tahap kedua dalam penelitian ini adalah proses pengolahan data. Pada tahap ini dilakukan analisis data yang telah dikumpulkan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis bentuk dan keletakan. Analisis bentuk dan keletakan merupakan proses untuk mengetahui bentuk-bentuk dan lokasinya yang digunakan dalam bangunan-bangunan.

Hal-hal yang diperhatikan dalam analisis ini antara lain, ruang, keletakan fungsi dan waktu. Atribut yang dipelajari dalam analisis bentuk dan lokasi adalah ukuran, bentuk, dan bagian-bagiannya. Tujuan penelitian dengan analisis bentuk dan lokasi adalah untuk menyimpulkan bentuk bangunan dan letaknya (Sharer and Ashmore, 2003: 422). Pada penelitian ini dilakukan analisis bentuk secara umum mengingat jumlah bangunan yang berjumlah 50 bangunan sudut.

Analisis yang dilakukan terhadap bentuk dan kelatakan adalah dengan cara menganalisis dari semua bangunan sudut dengan membuat pengelompokan. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah analisis data mengingat data yang banyak. Pengelompokan yang dilakukan berdasarkan keletakan dan bentuk serta terbagi sebelumnya menjadi dua, yaitu analisis bangunan sudut per bangunan dan per sektor. Analisis keletakan dilakukan dengan membagi dalam tiga kelompok yang disesuaikan dengan persimpangan jalan, yaitu persimpangan tiga, empat dan lima. Setelah itu menjelaskan lokasi bangunan sudut terhadap persimpangan jalan dan bangunan sudut tersebut berada di satu persimpangan jalan atau tidak.

Analisis selanjutnya berupa analisis bentuk. Atribut-atribut yang diperhatikan dalam analisis bentuk adalah bentuk denah (bujur sangkar dan persegi panjang, segitiga, lingkaran, dan tidak beraturan), bermenara dan tidak bermenara, tinggi bangunan (bertingkat dan tidak bertingkat), halaman depan, dan tampak muka bangunan.

Penafsiran Data

Tahap ketiga dalam penelitian ini adalah penafsiran data. Dalam penafsiran data metode yang digunakan adalah pendekatan data sejarah dan perbandingan dengan kota-kota kolonial di pulau Jawa.

(13)

Pendekatan data sejarah guna menjawab pertanyaan mengenai perkembangan kota kolonial Bandung. Diharapkan dengan menggunakan data sejarah dapat memasukkan hasil-hasil bangunan sudut yang telah dilakukan analisis kedalam kerangka sejarah Kota Bandung. Hasil analisis yang digunakan berupa keletakan dengan didampingi tahun berdiri, dan fungsi yang telah diperoleh.

Penafsiran data berikutnya adalah perbandingan. Perbandingan yang dilakukan lebih menekankan pada bentuk-bentuk bangunan sudut di Bandung dengan di kota-kota lainnya. Bentuk yang dibandingkan adalah melalui setiap fungsi bangunan sudut. Fungsi-fungsi tersebut adalah bank, kantor, rumah tinggal, toko, hotel dan gereja. Hasil analisis yang digunakan adalah bentuk bangunan sudut dan dibantu dengan tahun berdiri bangunan sudut, fungsi dan arsitek.

1.3. Riwayat Penelitian

Beberapa tulisan mengenai sejarah Bandung tidak semuanya terdapat pembahasan mengenai data bangunan-bangunan sudut. Sebagian tulisan tersebut hanya membahas bangunan-bangunan sudut yang terkenal dan sering digunakan oleh bangsa-bangsa Kolonial pada saat itu dan mengenai sejarah politik, ekonomi, serta perkembangan kota Bandung. Dalam penelitian ini buku-buku sejarah Bandung sangat dibutuhkan, khususnya yang menjelaskan perkembangan fisik kota dan bangunannya.

Buku-buku yang digunakan karena terdapat tulisan mengenai bangunan sudut dan perkembangan kota Bandung adalah:

1. Djefri W. Dana dalam tesis arsitektur Institut Teknologi Bandung yang berjudul Studi Bangunan Sudut di Kota Bandung: Suatu Telaah Tipologi Bangunan di Kavling Sudut. Tesis tersebut menjelaskan mengenai konsep-konsep Bangunan-Bangunan sudut di Bandung dengan melakukan wawancara ke masyarakat, tipologi dan perbandingan bentuk-bentuk bangunan sudut dengan yang berada di Eropa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan bangunan sudut dalam suatu kota. Data bangunan yang digunakan berjumlah 71 dan menghasilkan tujuh tipologi penyelesaian akhir

(14)

bangunan-bangunan sudut.

2. Haryoto Kunto dalam bukunya yang berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya. Buku tersebut menjelaskan mengenai sejarah Bandung secara jelas dan luas dari berbagai aspek, tapi penjelasan mengenai banguan sudut tidak dijelaskan secara eksplisit. Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan yang pernah dibuat oleh Haryoto Kunto.

3. Djefri W. Dana dalam bukunya yang berjudul Ciri Perancangan Kota Bandung. Buku tersebut berisi mengenai bangunan-bangunan dan monumen yang memiliki bentuk berbeda salah satunya adalah bangunan-bangunan sudut. Pada buku ini tidak dijelaskan bangunannya satu per satu dan hanya menyebutkan bangunan-bangunan sudut saja. Selain itu dijelaskan pula peta keletakan bangunan sudut di keletakan persimpangan jalan.

1.4. Sistematika Penelitian

Penelitian mengenai Bangungan-Bangunan Sudut di Bandung manggunakan sistematika penelitian sebagai berikut:

Bab 1 berupa pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan dan ruang lingkup penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab 2 berupa sejarah dan deskripsi yang berisi mengenai sejarah kota Bandung, gambaran data yang terdiri dari riwayat penelitian dan deskripsi bangunan-bangunan sudut satu per satu.

Bab 3 berupa analisis yang berisi mengenai analisis terhadap keletakan dan bentuk bangunan-bangunan sudut.

Bab 4 berupa penafsiran yang berisi mengenai interpretasi bangunan-bangunan sudut yang dikaitkan dalam perkembangan arsitektur dan kota kolonial di Bandung.

Bab 5 berupa penutup yang berisi mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan dan saran untuk pemerintah atau penelitian selanjutnya.

Gambar

Foto 1.1. Contoh Bangunan Sudut  Foto oleh: Maharani Qadarsih
Tabel 1.1. Data Bangunan Sudut Tahun 1905-1940 (Sumber. Dana, 1991)

Referensi

Dokumen terkait

Pada pasien didapatkan dua gejala utama depresi yang terdiri dari: (1) kehilangan minat dan kegembiraan, (2) berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan

Tentukanlah besarnya momentum sudut dari sebuah piringan VCD yang massanya 50 gram, jari-jarinya 6 cm ketika sedang berotasi dengan sumbu putar melalui titik pusat massa dan tegak

Penyimpangan pada pelaksanaan adukan dan bahan pasangan batu bata dari total keseluruhan di empat kabupaten Yogyakarta secara umum didapatkan rata-rata penyimpangan sebesar 44,8

Pengukuran kecepatan angin pada sumbu axial menghasilkan peningkatan kecepatan relatif terhadap aliran masuk, yaitu 104% (posisi 3 cm dari masukan) untuk profil rata dan 130%

Berdasarkan penelitian berkelanjutan guna mencapai kesempurnaan efisien performa pompa sanyo tersebut diperoleh Debit paling besar senilai 16liter/menit dan 335,89cm³/s

Media ini menggunakan sarana lensa pembesar yang dimodifikasi dengan beberapa perlengkapan seperti Pipa PV ½ inchi, Eva sheet, lampu LED dan charger, cat

Dengan latar belakang diatas maka penulis akan mengembangkan sebuah aplikasi yang akan memvisualisasikan Informasi Bangunan Sejarah Kota Matsum dalam bentuk 3D dengan

Tingkat profitabilitas pada suatu perusahaan yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mendapatkan laba yang tinggi, sehingga laba yang dijadikan sebagai