GERAKAN SEPARATIS DI THAILAND SELATAN
PERIODE 2000-2009
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S1)
oleh:
Desy Arisandy
NIM: 106083002799
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
i
Secara geografis Thailand dan Malaysia merupakan dua negara yang saling berdekatan satu sama lain. Kedua negara tetangga ini hanya dibatasi oleh daratan yang relatif sangat dekat. Maka wajar, bila kedua negara tersebut saling melakukan kerjasama dalam berbagai bidang, baik itu ekonomi, sosial, pendidikan dan lain sebaginya. Akan tetapi, dalam kurun waktu tertentu yakni sejak gerakan separatis di Thailand Selatan kembali memanas di tahun 2004, hubungan kedua negara ini sempat mengalami ketegangan. Hal ini terkait dengan adanya konflik yang mencapai skala masif di Thailand Selatan dan dampaknya yang meluas hingga ke wilayah Malaysia Utara. Berbagai upaya dan kebijakan coba ditempuh untuk mengatasi gerakan separatis tersebut. Untuk mengatasi gerakan separatis dan memperbaiki hubungan diplomatik yang sempat mengalami benturan, maka Thailand-Malaysia menempuh jalan diplomasi.
Konflik Thailand Selatan telah menjadi masalah bagi negara Thailand. Dampak negatifnya telah menimbulkan banyak kerugian bagi negara Thailand. Bahkan yang lebih parahnya lagi, Malaysia sebagai negara tetangga turut merasakan dampak negatif tersebut. Oleh sebab itu, kedua negara pun menyadari akan pentingnya untuk melakukan hubungan diplomasi agar konflik tersebut dapat selesai. Tidak hanya itu, penyelesaian konflik akan membuat hubungan Thailand-Malaysia kembali membaik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diplomasi yang dilakukan oleh Thailand dan Malaysia dalam mengatasi gerakan separatis di Thailand Selatan. Tidak hanya itu, juga untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan antara Thailan-Malaysia agar gerakan separatis dapat teratasi. Upaya itu pun dilakukan dengan jalan damai yakni dimulai dengan melakukan kunjungan yang dilakukan antar kedua pemimpin negara. Bahkan kedua negara pun sepakat untuk memetakan masalah yang terjadi di Thailand Selatan dan merumuskan upaya yang hendak direalisasikan kemudian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori yakni diplomasi, kerjasama keamanan, kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri. Dalam penelitian ini metode yang digunakan yakni kualitatif. Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi yaitu melalui studi pustaka (library research) dengan melihat data-data sekunder yang relevan dengan tema yang tengah diangkat dalam penelitian ini. Adapun sumbernya didapat melalui buku-buku, jurnal, laporan, surat kabar, artikel, fasilitas website dan lain sebagainya.
Meskipun hingga saat ini gerakan separatis masih belum teratasi karena mereka telah berjanji akan terus melakukan perlawanan hingga diberikan hak otonomi khusus atau kemerdekaan. Selain itu, karena kesepakatan yang dilakukan demi kesejahteraan penduduk Thailand Selatan masih dirasakan belum merata oleh penduduk yang tinggal di Selatan. Oleh sebab itu, baik Thailand-Malaysia hingga saat ini masih terus berupaya mewujudkan keadaan yang kondusif di Thailand Selatan. Pada akhirnya, meskipun masih terus terjadi perlawanan dari para separatis, namun hubungan diplomatik kedua negara yang sempat mengalami ketegangan dapat kembali membaik.
ii Bismillahirrahmanirrahim,
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Diplomasi
Thailand-Malaysia Dalam Mengatasi Gerakan Separatis Di Thailand Selatan Periode 2000-2009”. Selesainya tulisan ini tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak terkait, baik itu tenaga, ide-ide segar, pemikiran dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai ketua Jurusan Hubungan Internasional dan Agus
Nilmada Azmi, S.Ag, M.Si., sebagai sekretaris Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. M. Adian Firnas, M.Si., sebagai dosen pembimbing yang dengan begitu sabar
membimbing penulis, bahkan ketika sedang dalam masa-masa sulit sekalipun.
Terimakasih untuk segenap ilmu, ide, pemikiran, pengalaman, kesabaran dan lain
sebagainya selama ini.
4. Ali Munhanif, Ph.D., sebagai dosen pembimbing akademik penulis.
5. Badrus Sholeh, MA., yang telah bersedia meluangkan waktunya ditengah-tengah
kesibukan beliau, untuk membaca skripsi penulis dan memberikan beberapa
iii
Motivasi beliau telah mampu dan menjadikan penulis dapat bertahan hingga saat
ini. Nazaruddin Nasution, SH, MA., terimakasih untuk segenap pengetahuan dan
ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh studi di program Hubungan
Internasional.
7. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
mengajarkan berbagai ilmu dan pengalaman sehingga penulis mampu melewati
semua ini.
8. Segenap Staf Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. My beloved family, mama Ratna Sari dan ayah Abdul Ghani, Cr, My brother
Rangga Panugali, My sisters Susanty SAS dan Luluk Febrianty, Teh Novi dan ponakanku Sultan Pradana Al-Faqih. Terimakasih atas kesabaran, cinta, kasih
sayang dan motivasinya kepada penulis untuk terus berjuang menyelesaikan
tanggungjawab ini. Semoga kebahagiaan senantiasa mewarnai hidup kita.
10.Big family Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat yang telah menghujaniku dengan canda tawa, menghiasi langkahku dengan berjuta semangat untuk terus berkarya
dan berarti. Tempat segala kegelisahan dan haus akan ilmu ditumpahkan.
Terimakasih atas segala ide-ide segar dan diskusi yang selama ini kita lewati.
11.Manajemen Literary Agency Mata Pena Writer (MPW), Rochmad Widodo, S.pd.I, CH, CHt., Ika Rifqiawati, S.Pd., Nurul Khasanah, S.S., Arief Hidayat,
iv
12.Manajemen Aksara Publishing Service dan Manajemen Anakkata Publishing
yang telah memberikan bekal dan kesempatan untuk belajar bagaimana
me-manage segala sesuatu agar lebih baik.
13.Manajemen Writer University (WU) dan Event Organizer Team, yang telah
memberikan kepercayaan kepada penulis. Terimakasih pula untuk berbagai ilmu,
canda dan tawa selama ini.
14.Brain Bagus Communication School (Public Speaking School) Program Diploma III (D3) angkatan 2010. Terimakasih untuk segalanya, yang mampu menyadari
penulis akan pentingnya ―berkomunikasi‖, baik itu berkomunikasi pada diri
sendiri maupun untuk orang-orang sekitar.
15.Latansa Institute. Mr. Mahbub Hefdzil Akbar, MA., Mr. Achmad Firdaws
Mainuri, S.S., dan Mr. Lukman Hakim, MA. Terimakasih atas semua ilmu dan
pengalaman yang telah dituangkan kepada penulis.
16.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang telah berikan
kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu sebagai peserta magang di
lembaga independen negara tersebut.
17.Karate UIN (FORKI) yang telah memberikan spirit sebagai seorang juara sejati. 18.Sahabat-sahabat Jurusan Hubungan Internasional (HI) angkatan 2006, khususnya
kelas A. Mohon maaf karena tidak bisa menyebutkan nama kalian semuanya.
Namun, berjuta semangat telah kalian kobarkan kepada penulis, tanpa pernah
v berbagai referensinya.
20.Segenap staf Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) dan seluruh staf
Perpustakaan Miriam Budiardjo yang telah bersedia membantu penulis dalam
mencari berbagai referensi yang dibutuhkan.
21.Segenap staf Perpustakaan Universitas Budi Luhur, Mas Arifin dan seluruh staf
Perpustakaan Universitas Moestopo Beragama, Mbak Wida. Terimakasih untuk
segenap bantuan dan informasinya selama penulis merampungkan tulisan ini.
22.Ali Syafaat, S.Pd. atas kesabarannya menemani penulis bahkan ketika dalam
keadaan tersudut sekalipun. Terimakasih untuk sejuta warna yang telah engkau
berikan.
23.Sahabat-sahabat luar biasa Qory Dewi, S.Sos., M. Gufron Hidayat, SE. Sy., Anah
Nurkhasanah, S.Si., Erick Purnama, Ajie Payumi, S.Pd.I, Ali Rif’an, Linda
Pramitha, Dedik Priyanto, dan seluruh sejawat luar biasa lainnya yang tidak dapat
dituliskan di sini. See you at the top!
24.Cholid, S.S., graduate of Gunadarma University. Thank you so much for
everything, for your time, for your kindness and all.
25.Terimakasih untuk orang-orang terkasih yang pernah kutemui dan tidak dapat
kusebutkan semua. Percayalah! Kalian adalah sumber inspirasiku.
Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Namun, segala
vi
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mohon maaf atas segala kekurangan dan kealfaan tersebut. Semoga Allah swt.
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Semoga skripsi ini berguna bagi semua.
Salam sukses!
Jakarta, 09 Mei 2012
vii
BAB II DINAMIKA KONFLIK DI THAILAND SELATAN ... 22
2.1. Latar Belakang Terjadinya Gerakan Separatis di Thailand Selatan ... 22
2.1.1. Faktor Penyebab Gerakan Separatis di Thailand Selatan ... 25
2.1.2. Dampak Konflik Terhadap Stabilitas Negara Thailand ... 30
2.2. Usaha Pemerintah Thailand Dalam Mengatasi Gerakan Separatis di Thailand Selatan ... 31
BAB III IMPLIKASI GERAKAN SEPARATIS DI THAILAND SELATAN TERHADAP KEPENTINGAN THAILAND-MALAYSIA ... 36
3.1. Hubungan Kerjasama Antara Thailand-Malaysia Di Berbagai Bidang……… ... 36
3.2. Implikasi Gerakan Separatis Di Thailand Selatan Terhadap Kepentingan Thailand-Malaysia ... 39
3.2.1. Implikasi Dalam Bidang Politik ... 39
3.2.2. Implikasi Dalam Bidang Keamanan ... 45
viii
4.1. Program Kerjasama Antara Thailand-Malaysia Dalam Mengatasi
Gerakan Separatis Di Thailand Selatan ... 56
4.2.1.Membangun Ekonomi dan Memberantas Kemiskinan di
Wilayah Perbatasan………... ... 56
4.2.2.Menjaga Stabilitas Wilayah Perbatasan Antar Kedua
Negara……… ... 60
4.2.3.Mengatasi Kewarganegaraan Ganda ... 63
4.2.4.Mencegah Arus Pengungsi atau Perpindahan Penduduk
Secara Ilegal di Kedua Negara………….. ... 65 4.3. Efektivitas Kerjasama Keamanan Thailand-Malaysia Dalam
Mengatasi Gerakan Separatis di Thailand Selatan ... 66
ix
Pemeluk Agama di Negara Thailand………1
Penempatan Penduduk Buddha dan Muslim Pada Sektor Publik di Thailand
Selatan……... 27 Perbandingan Tingkat Pendidikan di Wilayah Thailand Selatan……….. 29
1
1.1. Pernyataan Masalah
Negara Thailand yang berbatasan langsung dengan Kamboja, Laos,
Myanmar dan Malaysia ini didirikan pada pertengahan abad XIV dengan nama
Siam. Pada tahun 1939 berubah nama menjadi Thailand. Thailand memiliki sistem
pemerintahan parlementer dan bentuk pemerintahannya adalah monarki
konstitusional dan kepala pemerintahannya adalah perdana menteri. Sejak tahun
1946 hingga saat ini, Thailand memiliki kepala negara Raja Bhumibol Adulyadej.1
Thailand pun terdiri dari penduduk yang memiliki agama berbeda. Tercatat
bahwa mayoritas penduduk Thailand memeluk agama Buddha yakni sebesar 94.6
persen, Muslim 4.6 persen, Kristen 0.7 persen dan lainnya sebanyak 1.0 persen.2 Jika
digambarkan dalam diagram yakni sebagai berikut:
Thailand seperti kebanyakan negara pada umumnya juga mengalami konflik
internal dalam negaranya. Hal ini ditandai dengan adanya gerakan separatis di
1
Militer Dalam Sejarah Politik Thailand, Kompas, Sabtu, 30 September 2006. Hlm. 35.
2
Thailand Selatan (Pattani Raya). Pada tahun 1902 terjadi aneksasi yang
menyebabkan jatuhnya Pattani Raya ketangan kerajaan Thailand (Siam) dan
terjadinya perjanjian Anglo-Siam pada 1909.3 Inti dari perjanjian ini menyebutkan
bahwa wilayah Pattani Raya (Thailand Selatan) bukan sebagai sebuah kerajaan
Melayu lagi, tetapi menjadi wilayah kerajaan Thailand (Siam).4
Wilayah Selatan Thailand yang dahulunya memiliki otoritas sendiri harus
bergabung mengikuti kebijakan kerajaan Thailand. Dilihat secara geografis,
perubahan wilayah yang terjadi di selatan Thailand yang asalnya merdeka dan
merupakan mayoritas kemudian berubah sebagai wilayah subordinat Thailand serta
menjadi minoritas dilevel nasional.5
Akibatnya, hadirlah gerakan separatis yang ingin memperoleh otonomi
khusus atau memerdekakan diri akibat adanya perasaan termarjinalkan dialami oleh
masyarakat atau etnis yang tinggal di bagian selatan Thailand. Kesenjangan ekonomi
dan pembangunan serta pendapatan perkapita penduduk yang lebar antara wilayah
Metropolis, Timur Laut dan Utara dengan bagian selatan juga menjadi salah satu
penyebab.6 Hal inilah yang membuat kekecewaan dan menimbulkan kecemburuan
sosial. Sehingga pada akhirnya, masyarakat Thailand Selatan ingin mengatur diri
sendiri dengan cara otonomi atau memerdekakan diri.
Adanya keinginan yang kuat untuk memerdekakan diri juga karena adanya
ketimpangan ekonomi, sosial, politik dan sebagainya yang dialami Thailand Selatan,
3
Neil J. Melvin, Conflict in Southern Thailand; Islamism, Violence and the State in The Patani Insurgency, Sweden: SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) Policy Paper No.20, September 2007. Hlm. V.
4
Paulus Rudolf Yuniarto, Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Akar Gerakan Separatisme, Jakarta: Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 1 Tahun 2005. Hlm. 91.
5Ibid
, hlm. 91.
6
adanya dominasi elit politik di sektor publik oleh etnis Thai terhadap
Melayu-Muslim dalam pemerintahan ditingkat nasional maupun lokal. Selain itu,
diberlakukannya konsep pendidikan sekuler, di mana setiap sekolah diharuskan
menggunakan bahasa Thai. Semakin membuat Muslim-Melayu terpinggirkan.
Apalagi, penduduk di Selatan Thailand mayoritas beragama Muslim dan berbahasa
Melayu yang telah mengakar ratusan tahun.7 Tercatat bahwa penduduk di Selatan
Thailand 78.2 persen Muslim sedangkan 21.8 persen adalah Buddha.8
Atas dasar berbagai ketimpangan itulah hadir gerakan separatis hingga
mencapai skala puncaknya pada tahun 2004, yang ditandai dengan munculnya
kebangkitan Muslim-Melayu. Akibat konflik tersebut tercatat lebih dari 1843 insiden
terjadi di wilayah Thailand Selatan sepanjang tahun 2000-2004.9 Jumlah jantuhnya
korban dan kerugian yang dialami semakin hari semakin bertambah. Setidaknya
lebih dari 4.300 orang terbunuh di wilayah yang mayoritas dihuni Muslim tersebut.10
Akibat gerakan separatis telah menyebabkan berbagai kerugian, baik itu
menimbulkan kerugian materi, jatuhnya korban, menimbulkan instabilitas,
memberikan citra negatif Thailand dimata internasional dan lain sebagainya. Maka
untuk mengatasinya pemerintah Thailand mengeluarkan status darurat militer pada
30 Agustus 2005. Status darurat militer tersebut dapat memberlakukan banyak hal,
misalnya penyadapan, penggeledahan dan penangkapan terhadap orang yang
7Jhon Funston, Thailand’s Southern Fires: The Malaysian Factor, Research School of Pacific
and Asian Studies (RSPAS), Canberra: Autralian National University, 2006. Hlm. 56.
8
Jitpiromsri, Srisompob with Panyasak Sobhonvasu, Unpacking Thailand’s Southern Conflick; The Poverty of Structural Explanations, Routledge: Critical Asian Studies 38:1 Tahun 2006. Hlm. 102.
9Ibid
. Hlm. 97.
10Tiga Bom Meledak di Thailand Selatan,
dicurigai melakukan aksi kekerasan dan mengacaukan situasi.11 Akan tetapi,
penerapan status darurat militer justru menimbulkan ketakutan di wilayah Selatan.
Ini semua karena terjadinya jumlah korban tewas (angkanya mencapai ribuan).12
Akibatnya, terjadilah eksodus besar-besaran penduduk di Selatan yang
bergerak memasuki wilayah Malaysia untuk mencari suaka. Hal ini karena jarak
geografis yang dekat, yakni wilayah perbatasan Thailand-Malaysia hanya dibatasi
oleh daratan. Tidak hanya itu, para separatis yang dicari oleh pemerintah Thailand
juga kerap memasuki wilayah Malaysia. Tentu Malaysia khawatir dengan keadaan
tersebut.
Kekhawatiran Malaysia dilatarbelakangi beberapa hal, misalnya karena
wilayah perbatasan yang sangat dekat, sehingga menimbulkan ketakutan bagi
penduduk Malaysia yang tinggal diperbatasan tersebut. Sebagai salah satu contoh
misalnya, ketika pemberontak Thailand Selatan diburu oleh pemerintah setempat.
Umumnya melarikan diri ke wilayah perbatasan, bahkan hingga memasuki wilayah
Malaysia. Tentu saja, atas kejadian ini bisa menimbulkan gangguan keamanan bagi
penduduk di lintas batas Malaysia.
Selain itu, dalam menyikapi eksodus 131 penduduk Thailand ke Malaysia
juga menjadi dilematis tersendiri bagi Malaysia. Pihak Malaysia ingin memberikan
perlindungan sementara bagi penduduk tersebut, setidaknya hingga status darurat
militer dicabut oleh pemerintah Thailand. Akan tetapi, kejadian ini justru
menimbulkan reaksi berbeda dari pemerintah Thailand. Thailand (Bangkok)
mengeluh atas sikap Kuala Lumpur yang menerima 131 penduduk.13
11
Wimpi Wibisono, Malaysia Khawatirkan Status Darurat Thailand Selatan, Republika, 9 Februari 2007.
12
Taufiqulhadi, Mengharap Damai di Pattani, Sinar Harapan, 24 September 2005.
13Malaysia-Thailand Saling Kecam
Sejak status darurat milter diberlakukan oleh Thailand pada tahun 2005 yang
mengakibatkan eksodus penduduknya ke Malaysia, hubungan antara Thailand dan
Malaysia mengalami ketegangan hubungan diplomatik. Hal ini ditandai dengan
saling kecam dan tuduh antara Thailand-Malaysia. Menteri Luar Negeri Malaysia
Syed Hamid Albar, ia mengatakan bahwa, ―Kami tidak akan mengajari Thailand
bagaimana melaksanakan kebijakan luar negeri. Dan saya akan meminta mereka
untuk tidak mengajari kami bagaimana menjalankan kebijakan luar negeri kami.‖14 Pihak Thailand pun beranggapan bahwa setiap separatis yang melarikan diri
ke wilayah Malaysia selalu mendapatkan perlindungan khusus dari Malaysia. Di lain
pihak, pemerintah Thailand tidak terima karena menganggap Malaysia terlalu ikut
campur dengan permasalahan di Thailand. Sedangkan pihak Malaysia sendiri
menyatakan bahwa tidak ada dasar yang dapat membenarkan setiap kelompok atau
negara untuk mengambil tindakan terhadap negara lain.15 Maka tercatat sejak tahun
2005 hingga tahun 2007 Thailand-Malaysia mengalami ketegangan hubungan
diplomatik terkait gerakan separatis yang belum teratasi.
Memasuki tahun 2007 hingga tahun 2009, kedua negara mulai menyadari
bahwa saling kecam justru tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu, baik
Thailand maupun Malaysia mulai menjalin hubungan baik untuk mengatasi gerakan
separatis, Syed Hamid Albar di Kuala Lumpur misalnya menyatakan bahwa, ―Kami
dapat membantu selama tak mencampuri urusan dalam negeri.‖16
Maka sejak saat
http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/19/int03.htm. Diakses pada 24 Oktober 2011.
14Ibid. 15
Ian Storey, Peran Malaysia Dalam Pemberontakan Thailand Selatan,
http://www.jamestown.org/singel/%3Fno_cache%3D1%26tx_ttnews%255Btt_news%255D %3D1043. Diakses pada 24 Oktober 2011.
16
Ron Corben, Apakah Malaysia Bisa Membantu Mengakhiri Konflik di Thailand Selatan?
itulah kedua negara mulai melakukan kunjungan dan membangun kesepakatan untuk
mengatasi gerakan separatis.
Thailand-Malaysia pun sepakat untuk memetakan rangkaian upaya
sosial-ekonomi untuk mengakhiri ketegangan dan gerakan separatis di wilayah selatan
Thailand. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Menteri Luar Negeri Malaysia
Syed Hamid Albar yang menyatakan bahwa ketegangan yang terjadi di wilayah
mayoritas Muslim di negeri mayoritas Buddha tidak terkait dengan agama atau
Islam, ―Itu tidak ada hubungannya dengan Islam. Warga Muslim dan Buddha telah
hidup damai di sana sebelumnya. Di sana ada perasaan teralienasi, ditinggal dan
problem sosio-ekonomi.‖17
Rangkaian kunjungan dan berbagai upaya ditempuh demi terciptanya
perdamaian. Itu semua sebagai salah satu bentuk upaya untuk mengatasi rangkaian
ketegangan yang terjadi di negeri Gajah Putih tersebut dan demi membaiknya
hubungan Thailand-Malaysia akibat konflik.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pernyataan penelitian ini yaitu
bagaimana diplomasi Thailand-Malaysia dalam mengatasi gerakan separatis di Thailand Selatan periode 2000-2009?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun maksud dan tujuan penelitian ini, yaitu:
a) Mengetahui sejauhmana diplomasi antara Thailand-Malaysia dalam
mengatasi gerakan separatis di Thailand Selatan.
17
Redaksi, Thailand-Malaysia Petakan Atasi Ketegangan di Thailand Selatan,
b) Mengetahui langkah-langkah diplomasi Thailand-Malaysia dalam
mengatasi gerakan separatis di Thailand Selatan.
1.4. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai Thailand Selatan ternyata menarik banyak peneliti, salah
satunya yakni dilakukan oleh Bonny Ardianto yang mengambil judul skripsi tentang
Terjadinya Konflik di Thailand Selatan Memberikan Dampak Terhadap Hubungan Bilateral Malaysia-Thailand (Periode 2004-2005). Penelitian yang dilakukan di tahun 2008 pada Universitas Moestopo (beragama) ini, Bonny lebih menekan
mengenai akibat konflik yang dapat mengakibatkan adanya bentuk ketegangan
keduabelah pihak, yakni Malaysia dan Thailand. Akibat dari aksi kekerasan yang
terjadi di Thailand Selatan, sebanyak 131 warga muslim Thailand selatan mengungsi
ke Malaysia. Akibatnya, sejak terjadi peristiwa itu hubungan kedua negara
mengalami ketegangan. Tidak hanya itu, Bonny juga menggambarkan lebih lanjut
mengenai pengaruh dari konflik Thailand Selatan terhadap hubungan bilateral
Thailand. Bonny pun berkesimpulan bahwa hubungan bilateral
Malaysia-Thailand menegang akibat terjadinya konflik di Malaysia-Thailand Selatan.
Beberapa poin penting telah dipaparkan pada penelitian tersebut. Akan tetapi,
tulisan itu lebih mengedepankan akibat konflik yang ditimbulkan di Thailand selatan
ternyata mengakibatkan ketegangan antar kedua negara. Penelitian Bonny tersebut
tidak menjelaskan bagaimana atau upaya-upaya apa saja yang dilakukan agar kedua
hubungan Thailand-Malaysia dapat rujuk kembali seperti sedia kala. Bagaimana
kedua negara itu saling membangun kembali kepercayaan setelah sempat menegang
untuk beberapa saat pun tidak dijelaskan. Maka pada penelitian kali ini, mencoba
Penelitian selanjutnya, yakni dilakukan oleh Rizanti Ambarany. Dalam
skripsinya, Rizanti mengambil tema Kepentingan Malaysia Membantu Pemerintah Thailand Menyelesaikan Konflik Separatis Di Thailand Selatan Periode 2004-2008. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009 pada Universitas Moestopo (Beragama).
Dalam tulisannya, Rizanti menekankan untuk melihat dan mengetahui kepentingan
Malaysia membantu pemerintah Thailand. Ia juga hendak mengetahui peran apa saja
yang dilakukan oleh Malaysia terhadap penyelesaian konflik separatis di Thailand
Selatan. Adapun beberapa peran yang telah diungkap dalam penelitian Rizanti sudah
cukup konfrehensif dan detail. Beberapa poin penting pun sudah dijelaskan dengan
rinci. Ia memaparkan mengenai pemberantasan separatis, pembangunan ekonomi,
mengatasi kewarganegaraan ganda dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kepentingan
Malaysia membantu pemerintah Thailand untuk mengatasi konflik di Thailand
Selatan agar konflik tersebut tidak menyebar ke Malaysia.
Dalam tulisan tersebut, peneliti melihat bagaimana konflik coba untuk diatasi
dengan cara-cara yang dilakukan Malaysia. Melihat dari sudut pandang atas dasar
kepentingan Malaysia agar konflik tidak menyebar luas ke negara tersebut.
Sedangkan dalam penelitian kali ini, penulis hendak melihat dari dua sisi yakni
berdasarkan kepentingan Thailand dan Malaysia. Hal tersebut pun dilakukan dengan
berbagai cara, salah satunya yakni dengan melakukan kunjungan, kesepakatan yang
merupkan bagian dari diplomasi.
Dalam penelitian ini penulis tidak hanya berusaha mengedepankan satu
negara, akan tetapi kedua belah pihak, baik itu dampak yang diakibatkan konflik di
Thailand Selatan, upaya kedua negara untuk mengatasi konflik di perbatasan dan
bagian dari diplomasi. Bagi Thailand diplomasi yang dilakukan sebagai upaya untuk
mengatasi gerakan separatis yang tidak dapat diatasinya sendiri. Sehingga Thailand
berharap gerakan separatis dapat teratasi dan juga hubungan baik dengan Malaysia
dapat kembali membaik. Begitu pun sebaliknya, Malaysia khawatir stabilitas
wilayahnya terganggu dan juga khawatir akan ketegangan hubungan diplomatiknya
dengan Thailand.
1.5. Kerangka Pemikiran 1.5.1. Diplomasi
Dalam mengatasi permasalahan yang terjadi dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara, salah satunya yakni dengan diadakannya diplomasi.
Dalam hal ini diplomasi dapat ditempuh dengan berbagai bidang atau hal.
Misalnya, dilakukan dengan adanya kerjasama, kesepakatan, resolusi konflik
dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Louise
Diamond dan Ambassador John McDonald, dalam bukunya yang berjudul
Multi Track Diplomacy: A System Approach to Peace. Kedua ahli tersebut menjelaskan bahwa;
Diplomacy is a peaceful political process between nation-states that seeks the structure, shape, and manage over time a system of international relationships to secure the nation’s interests. Utilized in the pursuit of many kinds of objectives – political, economic, national, trade, aid, human rights, arms control, scientific, cultural, and academic enrichment – diplomacy is both a peacebuilding and a peacemaking activity. It works at the government level enhance trust, confidence, and understanding among nations as well as to provide negotiation, mediation, crisis intervention and conflict resolution; it also seeks to prevent war.18
18
Adapun diplomasi menurut Barston yakni sebagai manajemen
hubungan antar negara atau hubungan antar negara dengan aktor-aktor
hubungan internasional lainnya. Negara, melalui perwakilan resmi dan
aktor-aktor lain berusaha untuk menyampaikan, mengoordinasikan dan
mengamankan kepentingan nasional khusus atau yang lebih luas, yang
dilakukan melalui korespondensi, pembicaraan tidak resmi, saling
menyampaikan cara pandang, lobi, kunjungan, dan aktivitas-aktivitas lainnya
yang terkait.19
Selain itu, dalam Random House Dictionary, diplomasi diartikan sebagai berikut.
―the conduct by government official of negotiations and other relations between nations; the art of science of conducting such negotiations, skill in managing negotiations, handling of people so that there is little or no ill-will tact‖.20
Selain pengertian-pengertian di atas, diplomasi juga diartikan sebagai
seni serta praktek dalam melakukan perundingan antar bangsa (the art and practice of conducting negotiations between nations) atau dapat juga didefinisikan sebagai keterampilan dalam mengelola serba urusan tanpa
menimbulkan permusuhan (the skill in handling affairs without hostility). Namun, meskipun diplomasi memiliki beragam arti, intinya yakni the actual conduct of foreign relation (pelaksanaan hubungan luar negeri secara nyata).21
19
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Hlm. 4.
20
Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanthi, Hukum Diplomatik dan Konsuler; Buku Ajar untuk Mahasiswa, Malang: Bayumedia Publishing, 2008. Hlm. 5.
21
Diperlukannya diplomasi dalam menyikapi kasus yang terjadi di
Thailand Selatan, karena di dalam diplomasi itu sendiri memiliki tujuan yang
baik demi terciptanya sebuah jalan damai yang tidak bisa diwujudkan oleh
negara bersangkutan. Oleh sebab itu, Thailand membutuhkan negara lain
sebagai upaya untuk mengatasi kasus yang telah berlangsung di wilayah
Selatan. W.W. Kulski dalam bukunya yang berjudul International Politics in A Revolutionary Age, memaparkan mengenai tujuan dari diplomasi itu sendiri, yakni ―to strive for the achievement of national objectives by
peaceful means i.e. by negotiations with other states,‖ (berusaha mencapai
tujuan-tujuan nasional dengan jalan damai, yaitu dengan melakukan
perundingan-perundingan dengan negara-negara lain).22
Diplomasi adalah berbentuk cara-cara untuk mencapai tujuan serta
memperoleh hasil yang diharapkan dalam hubungan internasional dengan
menggunakan kecerdasan dan kelincahan berkenaan dengan pelaksanaan
hubungan resmi antara pemerintah dari negara-negara berdaulat.23 Diplomasi
merupakan manajemen dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri. Seni
dan profesionalisme untuk menghasilkan konsensus serta menghindari
munculnya konflik kepentingan ke permukaan dalam rangka hubungan luar
negeri atau dalam sistem internasional.24
Dalam hal ini sejak kembali memanasnya gerakan separatis di
Thailand Selatan, menimbulkan keinginan Malaysia untuk membantu
tetangganya tersebut. Mengingat konflik yang terjadi di Thailand Selatan
telah berlangsung lama dan belum juga menemui titik terang, maka memang
sudah sepatutnya pemerintah Thailand menggunakan cara damai untuk
mengatasi separatis dengan melakukan perundingan atau kesepakatan dengan
negara lain sebagai bagian dari diplomasi. Apalagi hubungan
Thailand-Malaysia sempat mengalami ketegangan.
Diplomasi adalah mencakup penggunaan dan pemanfaatan pengaruh
serta kapabilitas suatu negara dengan menggunakan cara damai—umumnya melalui perundingan—untuk menghasilkan kesepakatan dengan negara lain dan mendapatkan kesediaan guna melakukan hal-hal yang diharapkannya.
Demikian pula sebaliknya, dapat digunakan untuk menghasilkan kesepakatan
agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki dan tidak
diharapkannya. 25
Pada akhirnya, Thailand-Malaysia pun sepakat melakukan diplomasi
dalam menghadapi separatis dan mengatasi ketegangan yang pernah terjadi.
Selanjutnya, diadakannyalah kunjungan yang dilakukan oleh Perdana
Menteri Malaysia Abdullah Badawi ke Thailand. Pada kunjungan kala itu,
kedua negara sepakat mempererat hubungan antar kedua negara. Dalam
kunjungan kenegaraan yang berlangsung selama tiga hari tersebut, pihak
pemerintahan Malaysia menawarkan bantuan untuk penyelesaian konflik di
Thailand Selatan.26
Kunjungan balasan pun dilakukan oleh pemerintahan Thailand, yakni
Perdana Menteri Thailand Thaksin Sinawatra mengunjungi Malaysia.
25Ibid
, hlm. 57.
26
Ron Corben, Apakah Malaysia Bisa Membantu Mengakhiri Konflik di Thailand Selatan?
Adapun agenda yang dibicarakan yakni mengenai penyelesaian di Thailand
Selatan.27
1.5.2. Kerjasama Keamanan
Dalam menjalin hubungan bernegara maka penting bagi setiap negara
untuk saling menjaga keamanan bersama. Akan tetapi, ketika terjadi
instabilitas, tentunya setiap negara harus bersatu untuk mewujudkan
keamanan tersebut. Keamanan memang keniscayaan yang harus diwujudkan
secara bersama-sama. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan kerjasama keamanan.
Dalam hal keamanan Holsti mendifinisikan bahwa keamanan
misalnya diartikan sebagai kondisi tanpa ancaman. Suatu negara akan
berusaha mencapai kondisi yang aman bagi dirinya. Kondisi yang aman
merupakan tujuan utama semua negara di dunia. Sehingga setiap negara akan
terus berusaha meningkatkan power yang dimiliki. 28
Lebih jauh lagi membahas tujuan keamanan suatu negara, Holsti
dengan meminjam konsep dari Barry Buzan yang membedakan antara threats
(ancaman) dan Vulnerabilities (kerawanan/kerapuhan). Vulnerabilities
berasal dari karakteristik geografi dan demografis. Dengan kata lain, sifatnya
domestik, sedangkan threats (ancaman) berasal dari luar. Dalam definisi Holsti, untuk membedakan antara ancaman dan vulnerabilities, yakni: Threat
27
Redaksi, Thailand Bantah Bantai Penduduk Muslim,
http:/www.detiknews.com/read/2005/06/03/113209/374135/10. Akses 25 Agustus 2011.
28
are those more immediate capabilities in the hands of adversaries that may be used to exploit vulnerabilities.29
Ada beberapa hal yang penting untuk diingat dalam membicarakan
tentang ancaman. Hal yang pertama adalah ancaman dalam kenyataannya
mungkin tidak sebesar apa yang dipersepsikan. Hal ini disebabkan oleh
banyak faktor, baik oleh kurangnya informasi, rasa takut yang berlebihan dan
lain-lain. Hal yang kedua adalah bagaimana membedakan antara ancaman
yang serius dan pantas untuk masuk ke dalam agenda nasional dan mana
yang tidak. Untuk membedakannya maka ancaman dianggap sebagai
ancaman apabila dianggap demikian oleh para pembuat keputusan.30
Akan tetapi, apapun itu tetap saja bisa mengganggu sistem politik,
stabilitas negara pun mengalami kegoyahan dan implikasinya dapat
merugikan baik negara yang langsung mengalami ancaman tersebut atau pun
bagi negara tetangga. Hal yang terpenting yakni bagaimana menciptakan
keamanan itu sendiri demi keberlangsungan hidup yang lebih baik. Terkait
kasus yang terjadi di Thailand Selatan tentu dapat mengganggu keamanan
bersama, baik itu intern bagi negara Thailand dan juga negara Malaysia yang
memiliki perbatasan darat secara langsung. Tidak hanya itu, menciptakan
keamanan di wilayah perbatasan menjadi hal penting yang tidak
terbantahkan.
Jika rasa keamanan masing-masing negara terganggu dan keamanan
itu sendiri tidak dapat diperoleh, maka bisa terjadi pergesekan bahkan
ketegangan. Ketika terjadi sebuah ketegangan antara kedua belah pihak, maka
29
Barry Buzan, People, State an Fear. Harverster Wheatsheaf: New York, 1990, Hlm. 115.
30Ibid
ada beberapa hal bisa dilakukan agar keharmonisan antara keduanya berjalan
dengan baik. Salah satu hal yang perlu dilakukan misalnya dengan
mengadakan kerjasama. Dalam menghadapi kasus seperti di Thailand
Selatan, maka yang diperlukan adalah kerjasama dalam berbagai bidang.
Kerjasama ini juga menjadi penting dalam kegiatan berdiplomasi, karena
diplomasi tidak mungkin dapat berjalan dengan baik jika tidak ada
kesepatakan kerjasama sebelumnya.
Masalah kerjasama terletak pada pencapaian sasaran. Tujuan akhir yang
kemudian dijabarkan ke dalam sasaran-sasaran kerjasama yang ditentukan
oleh persamaan kepentingan yang fundamental dari masing-masing pihak
yang melakukan kerjasama.31 Dalam masalah ini tentu saja kedua belah pihak
baik Malaysia ataupun Thailand memerlukan adanya kerjasama. Maka sudah
tentu kerjasama yang dilakukan memiliki banyak tujuan, salah satunya yakni
agar terjadi dinamisasi dan harmonisasi antara kedua negara. Sehingga
diharapkan tidak ada lagi ketegangan yang terjadi antara Thailand-Malaysia.
Adapun kerjasama keamanan itu sendiri melandaskan diri pada antisipasi
ancamana (terutama eksternal) dengan jalan merangkul pihak lawan atau
pihak yang dianggap mengancam, karena adanya interdependensi dalam
masalah keamanan disuatu kawasan. Dampak dari adanya interdependensi
tersebut adalah penciptaan kondisi keamanan yang justru harus dilakukan
dengan mengajak pihak yang dianggap mengancam (lawan) untuk
bekerjasama dalam penciptaan stabilitas keamanan bersama di kawasan.32
31
R. Soeprapto, Hubungan Internasioanl: Sistem, Interaksi, Dan Perilaku, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997, Hlm. 181.
32
Jika kerjasama berjalan dengan baik maka keamanan pun bisa tercipta. Tentu
ini semua untuk mencapai sebuah keamanan bersama yang bisa dirasakan
masing-masing pihak.
Jika melihat situasi di Thailand Selatan, tentu saja masing-masing negara
yang mengalami ketegangan hubungan diplomatik (Malaysia-Thailand)
memerlukan adanya kerjasama dalam bidang keamanan. Bagi Thailand tentu
saja agar konflik yang terjadi cepat reda, sedangkan bagi Malaysia sendiri
agar tidak terjadi lagi tuduhan yang membuat gerah pemerintahan negara
Jiran akibat konflik Thailand Selatan yang sedang bergejolak tersebut.
1.5.3. Kepentingan Nasional
Menurut Donald E. Nuchterlain dalam tulisannya yang berjudul The Concept of Nation Interst. Ia memaparkan mengenai kepentingan nasional, yakni produk dari suatu proses politik melalui pemimpin dari suatu negara
mengenai pentingnya hubungan peristiwa-peristiwa yang bersifat eksternal
terhadap kepentingan dalam negerinya.33
Kepentingan nasional merupakan justifikasi terhadap tindakan suatu
negara.34 Selanjutnya, kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh suatu
negara pada dasarnya dirumuskan dan diimplementasikan oleh pemerintah,
dengan memperhatikan kapabilitas yang dimiliki dan berdasarkan pada
FISIP-UI dengan S2 HI PAsca-Sarjana Ilmu Poitik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia 2001, Hlm. 49.
33
Donald E. Nuchterlein, The Concept of Nation Interst, A Time For News Aproaches. Orbis Jurnal of World Affairs, Vol. 23. Hlm. 75-76.
34
kepentingan-kepentingan negara lain, disesuaikan dengan kondisi keamanan
regional dan internasional.35
Dalam hal ini baik Malaysia maupun Thailand memiliki kepentingan
nasional yang merupakan tujuan nasional dalam jangka pendek. Tentunya,
dapat berubah-ubah tergantung apa ditetapkan untuk dicapai dalam waktu
dekat. Akan tetapi, kepentingan nasional pun harus mengacu pada tujuan
nasional jangka panjang. Tujuan kepentingan ini dapat berbagai macam.
Lebih spesifik mengenai keamanan, baik itu lingkup regional mau pun
internasional.
Melihat kejadian di negara tetangganya, timbullah keperihatinan di
pihak Malaysia. Tidak hanya itu, negara yang memiliki kedekatan geografis
dengan Thailand itu pun sempat khawatir menyaksikan aksi gerakan separatis
yang terjadi. Bahkan yang parahnya lagi, gencarnya tuduhan Thailand
terhadap Malaysia sempat membuat kedua negara itu mengalami ketegangan.
Oleh sebab itu, demi menjaga hubungan baik Malaysia memiliki kepentingan
nasional yang harus diwujudkan dengan cara mengadakan hubungan
kerjasama dengan pihak yang mengalami konflik tersebut. Begitu pun juga
dengan Thailand yang memiliki kepentingan untuk mengatasi pemberontakan
tersebut, tentu tidak bisa menjalankan sendiri tanpa adanya bantuan dari
negara tetangga yang notabenenya memiliki kedekatan perbatasan.
1.5.4. Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri suatu negara merupakan serangkaian tindakan
negara yang berkaitan dengan hubungan eksternal dalam sistem internasional.
35Ibid
Kebijakan tersebut dibuat dengan melihat kapabilitas yang dimiliki negara
dan memikirkan kemungkinan tanggapan negara lain atas kebijakan yang
dibuat karena memiliki maksud dan tujuan tertentu yang mengedepankan
kepentingan nasional. 36
Holsti mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai gagasan-gagasan
atau tindakan-tindakan yang dirancang oleh pembuat kebijakan untuk
mengatasi suatu masalah atau mempromosikan beberapa perubahan dalam
kebijakan-kebijakan, perilaku tindakan-tindakan terhadap negara lainnya,
kepada aktor non negara, dalam ekonomi internasional, atau dalam
lingkungan fisik dunia.37 Negara-negara memiliki maksud dan tujuan serta
strategi-strategi tertentu untuk mencapai dan mempertahankan maksud dan
tujuan tersebut. Holsti mengindentifikasikan empat maksud yang sama dari
semua negara modern, yakni, pertama, keamanan. Kedua, otonomi. Ketiga, kesejahteraan. Keempat, status dan martabat. 38
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi memberikan definisi yang berbeda
dari politik luar negeri. Menurut mereka politik luar negeri merupakan
sejumlah keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh negara dalam
hubungannya dengan aktor-aktor di luar negara tersebut, baik negara lain,
perusahaan-perusahaan mulitinasional dan aktor-aktor lain.39
Adapun Kegley dan Wittkopf menyatakan bahwa penggambaran
politik luar negeri dilakukan dengan menjelaskan tiga unsur yakni, unsur
36
Christoper Hill, The Changing Politics of Foreign Policy. New York: Palgrave MacMillan, 2003. Hlm. 3-5.
37
K.J. Holsti, International Politics: A Framework For Analysis, 6th ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1992. Hlm. 82.
38Ibid
, hlm. 83.
39
tujuan, unsur tindakan dan unsur nilai yang menyebabkan munculnya
persepsi tentang tujuan dan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya.40
Unsur tujuan merupakan kepentingan nasional negara bersangkutan. Unsur
tindakan merupakan sejumlah pilihan-pilihan tindakan yang dimilliki oleh
suatu negara dalam rangka mempromosikan kepentingan nasionalnya.
Sedangkan nilai merupakan kondisi yang menjadi latar belakang munculnya
tujuan yang ingin dicapai dalam politik luar negeri tersebut.
Pertama-tama adalah unsur tujuan. Tujuan menurut Kegley dan
Wittkopf merupakan kepentingan nasional. Hal kurang lebih sama diutarakan
oleh Paul R. Viotti dan Mark.41 Kepentingan nasional didefinisikan sebagai
suatu hal yang dianggap penting bagi negara lain. Kepentingan nasional
dalam bentuk yang paling minimum adalah keberlangsungan hidup negara
(state survival).
Adapun pengertian politik luar negeri adalah sekumpulan komitmen
dan rencana bertindak mengacu pada strategi (strategies), keputusan-keputusan (decisions), atau kebijaksanaan-kebijaksanaan (policies), yang memuat tujuan-tujuan khusus (specific goals) dan saran-sarana (means) untuk mencapainya dan dianggap sebagai tindakan yang memadai dalam
menghadapi peluang dan hambatan dari lingkunngannya. Komitmen dan
Untuk mengatasi gerakan separatis yang terjadi, pemerintah Thailand
bersedia melakukan kesepakatan dengan Malaysia. Hal ini dijalankan karena
Thailand memiliki tujuan yang hendak dicapainya, yakni agar gerakan
separatis dapat diatasi karena dalam prakteknya Thailand tidak dapat
mengatasi sendiri konflik tersebut. Bahkan upaya-upaya yang ditempuh pun
masih belum signifikan mengatasi separatis. Oleh sebab itu, agar kepentingan
Thailand tersebut dapat terpenuhi, maka hal-hal yang tidak dapat
diperolehnya sendiri dapat dipenuhi dengan melakukan hubungan dengan
Malaysia.
Sedangkan Malaysia sendiri bersedia membantu karena Malaysia
perihatin dengan keadaan yang terjadi di Thailand Selatan, selain itu juga
untuk memperbaiki hubungan bilateral dan menghilangkan berbagai macam
tuduhan akibat dampak konflik yang turut dialami Malaysia. Malaysia tentu
tidak dapat mengatasi gerakan separatis jika tidak melakukan kebijakan yang
sama dengan Thailand, yakni keduanya sama-sama bersedia melakukan
kunjungan dan kesepakatan sebagai upaya mengatasi gerakan separatis.
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian pada skripsi ini menggunakan analisa data kualitatif.
Penelitian ini pun menggunakan pendekatan deskripsi analitis mengenai diplomasi
yang melibatkan dua negara tetangga yakni Thailand-Malaysia dalam mengatasi
gerakan separatis di Thailand Selatan. Adapun deskripsi analitis bertujuan untuk
menggambarkan fenomena tertentu untuk menentukan adanya keterlibatan antar satu
gejala dengan gejala lainnya yang relevan dengan masalah penelitian.
Hakikat penelitian bersifat deskriptif-analitis memberikan pemaparan
mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif dengan menjawab
pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana suatu fenomena itu terjadi dalam konteks
lingkungannya. Objektifitas pun harus dijaga sedemikian rupa agar subjektifitas
dalam membuat interpretasi dapat dihindari. Hal ini pun berarti interpretasi terhadap
isi dibuat dan disusun secara sistematik atau menyeluruh dan sistematis.43 Penulisan
skripsi ini tidak hanya terbatas pada pengumpulan data, melainkan pula dengan
melakukan sebuah analisa serta interpretasi tentang arti kata yang digunakan.
Oleh karena penelitian kualitatif merupakan proses penelitian yang
berkesinambungan sehingga tahap pengumpulan data, pengolahan data dan analisis
data dilakukan secara bersamaan selama proses penelitian.44 Teknik pengumpulan
data penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini yakni melalui studi
pustaka (library research) dengan melihat data-data sekunder yang relevan dengan tema yang tengah diangkat dalam penelitian ini. Adapun sumbernya didapat melalui
buku-buku, jurnal, laporan, surat kabar, fasilitas website dan lain sebagainya.
43
Nurul Zuriah, Metodelogi Penelitian Sosial Dan Pendidikan; Teori-Aplikasi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007. Hlm. 92 & 94.
44
22
Konflik yang terjadi adalah dinamika kehidupan domestik sebuah negara.
Konflik tidak mungkin terjadi tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya. Adanya
bentuk ketimpangan sosial, ekonomi, etnis, agama dan lain sebagainya merupakan
faktor-faktor yang mencetus adanya konflik hingga naik permukaan.
Berbagai macam ketimpangan dapat menimbulkan kecemburuan dan pada
akhirnya melahirkan bermacam-macam keinginan, salah satunya yakni untuk memiliki
otoritas sendiri terhadap wilayah tersebut. Hal ini terjadi biasanya karena beberapa hal,
misalnya; terdapat saluran yang tidak tepat untuk melakukan dialog dan
ketidaksepakatan, adanya suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan yang ada tidak
dapat didengar atau dibahas dan terjadi ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan
dalam komunitas dan masyarakat secara luas.45 Hal tersebut juga dialami oleh Thailand,
dimana wilayah selatan dari negara ini menuntut adanya otonomi khusus hingga
keinginan untuk memerdekakan diri.
2.1. Latar Belakang Terjadinya Gerakan Separatis di Thailand Selatan
Thailand merupakan sebuah negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara.
Negara ini berbatasan langsung dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti
Laos dan Kamboja berada di timur, Malaysia dan Teluk Siam berada di Selatan dan
45
Laut Andaman di barat. Selatan Thailand sendiri terdiri dari beberapa provinsi
diantaranya Narathiwat, Pattani dan Yala. Mayoritas penduduk di daerah ini berbangsa
Melayu dan beragama Muslim, yang merupakan bagian kecil dari penduduk Thailand
yang mayoritas beragama Buddha.
Wilayah selatan Thailand sendiri terdiri dari Narathiwat, Pattani, Yala dan Satun
merupakan wilayah atau komunitas Muslim keturunan Melayu, yang memiliki sejarah
melayu yang begitu kuat dan mengakar. Sehingga penduduk di wilayah tersebut
memiliki cara hidup, budaya, agama, tradisi yang sangat berbeda dengan penduduk
Thailand pada umumnya.
Akan tetapi, keadaan tersebut berubah sejak terjadinya traktat Anglo Siam pada
1901-1902.46 Di mana inti dari perjanjian itu menyebutkan bahwa wilayah Pattani Raya
(Thailand Selatan) bukan sebagai sebuah kerajaan Melayu lagi, tetapi menjadi wilayah
kerajaan Thailand (Siam).47 Thailand Selatan yang dahulunya adalah sebuah kerajaan
independen dianeksasi48 oleh kerajaan Buddha Thailand pada tahun tersebut. Maka
sejak saat itulah mulai muncul berbagai pertentangan dan separatisme.49
Hal ini karena wilayah Selatan Thailand seperti Narathiwat, Pattani dan Yala
menjadi bagian dari kerajaan Thailand. Maka secara resmi pula provinsi Melayu yang
46 Konflik Thailand Selatan, Kenapa Jusuf Kalla,
pada http://www.antara.co.id/arc/2008/9/21/konflik-thailand-selatan-kenapa-jusuf-kalla/ diakses pada 15 September 2011.
47
Paulus Rudolf Yuniarto, Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Akar Gerakan Separatisme, Jakarta: Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 1 Tahun 2005. Hlm. 91.
48
Aneksasi merupakan pencaplokan wilayah kekuasaan lain dengan jalan kekerasan; kerjasama internegara dengan dalih kekeluargaan, Arti dalam Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap, Surabaya: Gitamedia Press, 2006. Hlm. 31-32.
49Badawi Tiba di Thailand untuk Bahas Konflik Thailand Selatan,
dahulunya adalah wilayah Pattani Raya menjadi bagian wilayah kerajaan Thailand
(sub-ordinat Thailand). Oleh sebab itu, kerajaan Thailand pun memberlakukan kebijakan
baru terhadap wilayah-wilayah tersebut. Misalnya dengan memberlakukan berbagai
program untuk menggantikan identitas agama dan budaya Melayu-Muslim dengan
Budhaisme.
Terjadinya aneksasi serta adanya pemberlakuan asimilasi dapat mengancam
keberlangsungan budaya di Thailand Selatan. Hal ini jelas membuat penduduk di
Thailand Selatan menentang. Kemudian, muncullah berbagai bentuk tuntutan untuk
memperjuangkan hak otonomi dalam berbagai hal, seperti keagamaan, budaya, hukum
dan lain-lain.
Gerakan separatis di Thailand Selatan merupakan bentuk perlawanan budaya akibat
adanya sikap diskriminasi perlakuan yang diterima. David Wyatt dalam bukunya yang
berjudul Hikayat Pattani, Bibliotheca Indonesica 5, menyatakan bahwa munculnya gerakan separatis komunitas Muslim Pattani dilatarbelakangi paling tidak merujuk;
pertama, sejarah penaklukan oleh Siam, di mana Pattani dahulu adalah sebuah kerajaan yang termahsyur dan pelabuhannya berkembang sebagai pusat perdagangan (trading port) terbesar di Asia Tenggara. Akibat adanya penaklukan atau aneksasi oleh Siam yang kemudian diikuti dengan adanya kebijakan dan tata pemerintahan yang baru, tentu
menghadirkan nuansa yang berbeda, sehingga lahirlah gerakan separatis. Penduduk
Pattani Raya yang dahulu menjadi kerajaan besar dan memiliki pelabuhan yang
sedia kala. Oleh sebab itu, benturan kepentingan yang bertolak belakang inilah yang
pada akhirnya melahirkan gerakan separatis.50
Kedua, kepentingan ekonomi. Wilayah Selatan terkenal cukup kaya karena sebagai sumber penghasil minyak dan berbagai penghasil ekonomi lainnya. Namun, mereka
tidak dapat menikmati hasilnya, akses ekonomi hanya dinikmati oleh komunitas lain.
Sehingga penduduk Pattani merasa tersingkir dan menjadi warga negara nomor dua di
Thailand.51
Ketiga, migrasi internal. Adanya program migrasi penduduk dari wilayah Utara telah menciptakan kesenjangan ekonomi antara komunitas Muslim dengan komunitas
non Muslim. Para penduduk dipindahkan dari wilayah utara ke selatan. Mereka
dipindahkan ke selatan untuk meratakan jumlah penduduk di wilayah selatan, sekaligus
untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tidak hanya itu, penduduk yang dipindahkan
ke selatan ditempatkan atau diperuntukan mengisi jabatan-jabatan di wilayah selatan.52
Hal tersebut menjadikan warga Thailand Selatan tersingkir dan tidak mendapatkan
perlakuan yang sama. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik,
yakni sebagai berikut:
2.1.1. Faktor Penyebab Gerakan Separatis di Thailand Selatan
A. Faktor-faktor Sosial
Gerakan separatis yang terjadi di Thailand Selatan disebabkan oleh faktor
sosial, misalnya: terancamnya otonomi budaya etnik Melayu-Muslim sejak
50
Paulus Rudolf Yuniarto, Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Akar Gerakan Separatisme, Jakarta: Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 1 Tahun 2005. Hlm. 110.
51Ibid
, hlm. 110.
52
terbentuknya sistem administrasi provinsi dan terpusat, diterapkannya
asimilasi serta bentuk sekularisasi dengan diberlakukannya konsep
pendidikan sekuler (misalnya, setiap sekolah di wilayah selatan harus
menggunakan bahasa Thai). Wilayah kesultanan Melayu-Muslim yang
dianeksasi Thailand pada 1902 menjadi salah satu penyebab terjadinya
ketegangan di Thailand Selatan.53 Hal ini tentu dapat mengancam
keberlangsungan budaya Melayu-Muslim bagi kehidupan penduduk di
Selatan Thailand.
B. Faktor-faktor Politik
Dalam bidang politik yakni adanya keinginan yang kuat untuk
mendapatkan hak otonomi dalam berbagai bidang, misalnya dalam
keagamaan, kebudayaan, hukum dan membentuk pemerintahan yang otonom,
juga adanya dominasi elit politik di sektor publik oleh etnis Thai terhadap
Melayu-Muslim dalam pemerintahan ditingkat nasional maupun lokal.54
Tentu hal tersebut sangat mendiskriminasikan Melayu-Muslim, apalagi
dengan adanya pegawai pemerintahan yang umumnya berasal dari pusat.
Total populasi di tiga provinsi Pattani, Yala dan Narathiwat pada tahun
2003 diperkirakan mencapai 1.803.306 juta jiwa (Narathiwat 708.241 jiwa,
Yala 465.446 jiwa dan Pattani 634.619 jiwa) atau 21.8 persen beragama
Buddha dan 78.2 persennya adalah Muslim. Akan tetapi, dari sejumlah
53
Redaksi, Tiga Warga Muslim Tewas Ditembak di Thailand Selatan, http://antara.co.id/tiga- warga-muslim-tewas-ditembak-di-thailand-selatan/ diakses pada 16 September 2011/14:48 wib.
54
penduduk tersebut hanya beberapa penduduk Muslim yang berhasil
menduduki jabatan-jabatan prestigious di wilayah selatan, sedangkan penduduk yang lain umumnya bekerja pada sektor-sektor lain (misalnya
pegawai, buruh dan lain sebagainya).55
Dari berbagai sektor pekerjaan tersebut, sebagai gambaran penulis
mengambil contoh mengenai penempatan penduduk Buddha dan Muslim
pada sektor publik, yakni penduduk Buddha yang mengisi jabatan birokrat
jauh lebih besar dari penduduk Muslim. Padahal sebagian besar penduduk di
wilayah selatan mayoritas adalah Muslim. Penduduk Buddha yang mengisi
jabatan sebagai birokrat jauh lebih besar yakni sekitar 19.2 persen sedangkan
2.4 persen diisi oleh Muslim. Begitupun dalam bidang-bidang pekerjaan yang
lain.56 Adapun jika digambarkan dalam bagan, yakni sebagai berikut:
55Srisompob Jitpiromsri with Panyasak Sobhonvasu, Unpacking Thailand’s Southern Conflick;
The Poverty of Structural Explanations, Routledge: Critical Asian Studies 38:1 Tahun 2006. Hlm.102..
56
C. Faktor-faktor Ekonomi
Akibat diberlakukannya kebijakan asimilasi dan adanya dominasi elit
politik ditingkat lokal dan nasional oleh etnis Thai, maka semakin
mempersempit ruang gerak penduduk di Thailand Selatan untuk ikut serta
dalam proses pembangunan. Apalagi kemiskinan dan kesejahteraan penduduk
di Thailand Selatan masih memperihatinkan.
Hal tersebut senada dengan yang diungkap oleh Perdana Menteri
Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi yang menyatakan bahwa, ―Kemiskinan
dan tingkat ekonomi yang rendah di wilayah selatan menjadi salah satu
pemicu terjadinya masalah keamanan,‖57 Bahkan wilayah-wilayah di perbatasan Thailand yang dihadapkan berbagai macam masalah seperti
kemiskinan, kurangnya pendidikan, pengangguran dan lain sebagainya. Hal
inilah yang semakin memperparah keadaan.58
Jarak yang begitu jauh antara penduduk Pattani dan pegawai pemerintah
setempat, turut menjadi alasan gagalnya pembangunan ekonomi dan
pendidikan.59 Jika akses terhadap ekonomi sulit dicapai dan pada akhirnya
menyebabkan kemiskinan, tentu akan berdampak pula terhadap pencapaian
yang lain, misalnya karena tidak ada akses yang mudah terhadap ekonomi
maka akan menyebabkan pula sulitnya untuk mengenyam pendidikan.
57―Malaysia: Kemiskinan Picu Pergolakan di Thailand Selatan,‖
pada http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3851_0_3_0_M/ akses pada 16 September 2011.
58Srisompob Jitpiromsri with Panyasak Sobhonvasu, Unpacking Thailand’s Southern Conflick;
The Poverty of Structural Explanations, Routledge: Critical Asian Studies 38:1 Tahun 2006. Hlm. 102.
59
Tercatat bahwa penduduk di Selatan kekurangan dalam hal pendidikan
dibandingkan dengan penduduk Buddha, sebagai perbandingan jumlah
penduduk Muslim dan Buddha di tahun 2000 yakni 1.390.109 Muslim dan
364.767 Buddha, tercatat sebagian besar penduduk Muslim di wilayah Selatan
berpendidikan Sekolah Dasar (SD), sedangkan penduduk Buddha hanya
sebagian kecil saja. Begitupun dalam jenjang pendidikan yang lain. Sekitar
69.8 persen penduduk Muslim di Selatan mengenyam pendidikan SD,
sedangkan 49.6 adalah penduduk Buddha. Sedangkan dalam jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP) sebanyak 13.2 persen adalah penduduk Buddha
sedangkan penduduk Muslim hanya 9.2 persen yang berhasil mencapai
jenjang pendidikan tersebut. Begitupun dalam jenjang pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA), warga Buddha masih lebih mendominasi yakni
sekitar 8.1 persen, sedangkan warga Muslim hanya 4.8 persen.60 Adapun
bagannya yakni sebagai berikut:
60
2.1.2. Dampak Konflik Terhadap Stabilitas Negara Thailand
Gerakan separatis yang mencapai skala puncak di tahun 2004, telah
menjatuhkan korban ribuan jiwa warga sipil, milisi dan tentara Thailand.61
Wilayah Thailand seakan menjadi tempat yang menakutkan dan menjadi wilayah
yang benar-benar sangat tidak kondusif bahkan dapat mengancam jiwa.
Diberitakan dalam Metrotvnews.com bahwa tujuh orang dilaporkan tewas dalam dua serangan bom di Thailand Selatan. Korban yang tewas sebagian besar adalah
anggota keamanan Thailand. Dalam berita tersebut, media Thailand melansir
sekitar enam belas orang terluka dari serangan yang diduga dilakukan oleh
kelompok separatis.62 Setidaknya, lebih dari 4.300 orang terbunuh di wilayah
yang mayoritas dihuni Muslim tersebut.63 Jika dalam satu kali pemberontakan
menewaskan ratusan yang terluka dan beberapa orang terbunuh, maka dapat
dibayangkan berapa banyak korban tewas lainnya yang telah berjatuhan akibat
kejadian tersebut.
Sejak tahun 2004 hingga tahun 2005, tercatat sudah banyak korban yang
jatuh akibat gerakan separatis, korbannya pun tidak hanya dari kalangan tertentu
melainkan juga dari warga Buddha dan Muslim pun menjadi korban peristiwa
yang belum teratasi ini. Sebanyak 55.67 persen warga Buddha menjadi korban
akibat gerakan separatis, sedangkan 40.46 persennya adalah Muslim dan 3.87
61Konflik di Thailand Selatan Kembali Pecah, 7 Tewas,
http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/05/09/127849/konflik-di-thailand-selatan-kembali-pecah-7-tewas/ diakses pada tanggal 16 September 2011.
62Ibid.
63Tiga Bom Meledak di Thailand Selatan,
persen adalah warga lainnya. Begitupun dengan korban luka, tercatat bahwa
66.14 persen korban luka dialami oleh warga Buddha dan 25.77 persen adalah
warga Muslim.64 Adapun bagannya yakni sebagai berikut:
Perbandingan Jumlah Korban
2.2. Usaha Pemerintah Thailand Dalam Mengatasi Gerakan Separatis di Thailand Selatan
Konflik yang terjadi di Thailand Selatan telah menjadikan stabilitas negara
terganggu. Tidak hanya itu, kejadian tersebut pun telah memberikan citra negatif
terhadap pemerintahan Thailand. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah Thailand guna mengatasi peristiwa tersebut. Ada berbagai kebijakan yang
diambil, diantaranya sebagai berikut:
64Srisompob Jitpiromsri with Panyasak Sobhonvasu, Unpacking Thailand’s Southern Conflick;
A. Kebijakan Militer
Pemerintah Thailand telah mengeluarkan status darurat militer di tiga
provinsi di wilayah selatan yakni Pattani, Yala dan Narathiwat pada bulan
Agustus tahun 2005. Kebijakan tersebut dapat memberlakukan banyak hal,
misalnya penyadapan, penggeledahan dan penangkapan terhadap orang yang
dicurigai dan mengacaukan situasi.
Tidak hanya itu, pemerintahan Thailand mengeluarkan kebijakan seperti
mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi para Muslim yang dituduh
mendalangi serangan di Thailand Selatan. Selanjutnya, pemerintahan juga
menginstruksikan untuk menyita semua bahan peledak dan melakukan
penyebaran tentara dan polisi bersenjata berat di wilayah selatan. Kendati
demikian, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Thailand bukanlah sebuah
solusi yang baik. Kebijakan tersebut justru semakin meningkatkan ketegangan
dan membuat suasana semakin rumit serta menimbulkan ketakutan di wilayah
Selatan Thailand.65 Pada akhirnya, hingga saat ini konflik masih terus terjadi
dan belum ada satu formula pun yang dapat meredam dan mengakhiri konflik
tersebut.
B. Kebijakan Politik
Gerakan separatis yang terjadi di Thailand Selatan telah menyadarkan
pemerintah Thailand bahwa kejadian tersebut tidak mungkin dapat diatasi
sendiri tanpa adanya bantuan. Apalagi, mengingat bahwa berbagai upaya
65
sudah dilakukan untuk meredam konflik yang terjadi di Thailand Selatan.
Menimbang hal ini, maka pemerintah Thailand merasa perlu untuk melakukan
kerjasama dengan negara lain. Salah satu negara yang dapat dijadikan mitra
yakni negara tetangga, Malaysia.
Kebijakan politik yang diambil yakni, meminta bantuan Malaysia untuk
mengatasi gerakan yang terus mengalami eskalasi di wilayah Thailand Selatan.
Hal yang pertama diwujudkan yakni dengan adanya pertemuan Perdana
Menteri Abdullah Ahmad Badawi yang bertujuan untuk mengatasi separatis
dan melakukan kerjasama antara Malaysia-Thailand. Thailand beralih ke
tetangganya, Malaysia, untuk bekerjasama mengakhiri separatis di
provinsi-provinsi paling selatan Thailand.66
Selain itu, sebagai negara tetangga Malaysia pun turut perihatin terhadap
gejolak yang terjadi di Thailand. Apalagi sejak dicetuskannya kebangkitan
Melayu yang membuat suasana semakin memanas dan diberlakukannya situasi
darurat. Akibat kebijakan tersebut, banyak penduduk melarikan diri dan
meminta bantuan ke Malaysia.
Lebih lanjut, kala itu Najib Razak yang menjabat sebagai Perdana
Menteri Malaysia dan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva dari Thailand,
berjuang untuk mengatasi gerakan separatis diperbatasan, berkunjung ke
provinsi selatan Narathiwat. Menurut Reuben Wong selaku pakar kebijakan
luar negeri di Lembaga Pengkajian Internasional Singapura mengatakan
66Perdana Menteri Thailand Ingin Mempererat Kerjasama Regional,
bahwa, ―Ini adalah kunjungan yang sangat simbolik…kedua pemimpin
bersikap sama bahwa perlu adanya dialog dan penyelesaian aksi kekerasan di
sini.‖67
Akhirnya, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah melakukan
pengamanan ekstra ketat di wilayah perbatasan, sebagaimana yang diungkap
oleh Menteri Pertahanan Thailand Jenderal Thammarak Isarangura Na
Ayutthaya bahwa pengamanan di sepanjang daerah perbatasan akan
ditingkatkan guna mencegah tersangka gerilyawan di pedalaman Thailand
Selatan dengan mudah menyeberangi perbatasan ke negara tetangga,
Malaysia.68
Dalam hal tersebut pengaturan pengamanan juga turut diperketat yakni
dengan pembuatan bangunan atau perintang yang kuat disepanjang daerah
perbatasan di wilayah Thailand. Pembangunan tersebut untuk memperkuat
keamanan di wilayah perbatasan, mencegah kaum separatis bersembunyi di
negara Malaysia dan sewaktu-waktu kembali ke Thailand.
C. Kebijakan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi pemerintah Thailand mengeluarkan kebijakan
yakni dengan memberikan peluang kesempatan kerja bagi penduduk yang
berada di wilayah Selatan Thailand. Penduduk di wilayah Selatan Thailand,
67Pemimpin Malaysia-Thailand Lakukan Kunjungan Perdamaian
,
http://www.iannnews.com/news.php?kat=6&bid=102&PHPSESSID=3ba40125a0844f11d336dae 1ff284bd6. Diakses pada 28 September 2011.
68Pengamanan Perbatasan Thailand-Malaysia Diperketat,